Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 08 Oktober 2017

Makan Daging Unta Batal Wudhu


6. Makan Daging Jazur (Unta)

Daging jazur maksudnya adalah daging unta. Terdapat dua pendapat yang berbeda di antara kaum Muslim terkait hukum memakan daging unta: apakah membatalkan wudhu atau tidak. Dinisbatkan pada Khalifah yang empat, Ibnu Mas'ud, Ubay bin Kaab, Ibnu Abbas, Abu Darda, Abu Umamah, Malik, Abu Hanifah dan as-Syafi’i, mereka menyatakan bahwa memakan daging unta itu tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan ashab ul-hadits secara mutlak, serta sekelompok sahabat berpendapat bahwa memakan daging unta itu membatalkan wudhu. Pendapat terakhir ini juga dinisbatkan pada as-Syafi’i dalam salah satu qaul-nya dan pada Muhammad bin al-Hasan dari kalangan ulama Hanafiyah.
Hal ini karena diriwayatkan bahwa as-Syafi'i berkata: Jika hadits tentang daging unta ini shahih maka kami berpendapat dengannya.
Dan kami katakan, memang benar bahwa hadits ini shahih adanya.
Al-Baihaqi seorang yang bermadzhab Syafi'i berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Ibrahim al-Handzaliy yakni Ibnu Rahuwaih, keduanya menyatakan yang shahih dalam persoalan ini hanya dua hadits dari Nabi Saw., yakni hadits al-Barra bin Azib, dan hadits Jabir bin Samurrah.
Karena itu kami akan menyebutkan hadits-hadits tersebut sebagai berikut:

1. Dari Jabir bin Samurah:

“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw.: Apakah aku mesti berwudhu karena memakan daging kambing? Beliau Saw. menjawab: “Jika engkau berkehendak maka silakan berwudhu, dan jika berkehendak silakan pula tidak berwudhu.” Dia berkata: Apakah aku mesti berwudhu karena memakan daging unta? Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, berwudhulah karena memakan daging unta.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang kambing? Beliau Saw. berkata: “Iya boleh.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang unta? Beliau Saw. menjawab: “Jangan.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

2. Dari al-Bara bin Azib, dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang wudhu karena memakan daging unta, maka beliau Saw. menjawab: “Berwudhulah karena makan daging unta.” Beliau Saw. kembali ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Kalian tidak perlu berwudhu karena makan daging kambing.” Beliau Saw. ditanya tentang shalat di kandang unta, maka beliau Saw. menjawab: “Janganlah kalian shalat di kandang unta, karena unta itu termasuk setan.” Dan beliau Saw. ditanya tentang shalat di kandang kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Shalatlah kalian di sana, karena itu adalah barakah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dan berkata: Kami tidak menemukan perbedaan di antara ulama ahli hadits bahwa hadits ini shahih dari sisi penukilannya karena keadilan para perawinya.

3. Dari Dzil Ghurrah, dia berkata:

“Seorang Arab dusun datang menemui Rasulullah Saw. Saat itu Rasulullah Saw. sedang dalam suatu perjalanan. Dia bertanya: Wahai Rasulullah, ketika waktu shalat tiba, kami sedang berada di kandang unta, apakah kami boleh shalat di sana? Rasulullah Saw. menjawab: “Jangan.” Dia bertanya: Apakah kami harus berwudhu karena memakan dagingnya? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.” Dia bertanya: Apakah kami boleh shalat di kandang kambing? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.” Apakah kami harus berwudhu karena memakan daging kambing? Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani)

Al-Haitsami berkata dalam kitabnya Majma'uz Zawaid: para perawi hadits Ahmad ini dipandang tsiqah.

4. Dari Abdullah bin Ibrahim bin Qaridz.

“Bahwasanya dia melihat Abu Hurairah sedang berwudhu di masjid. Abu Hurairah berkata: Aku berwudhu setelah memakan sepotong keju, karena aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Berwudhulah kalian setelah memakan sesuatu yang disentuh api (dibakar).” (HR. Muslim dan an-Nasai)

Dari Aisyah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Berwudhulah kalian karena memakan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai)

5. Dari Jabir, dia berkata:

“Aku memakan roti dan daging bersama Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, lalu mereka shalat dan mereka tidak berwudhu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)

Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang cukup panjang.

6. Dari Jabir, dia berkata:

“Salah satu dari dua perkara yang terakhir diperintahkan Rasulullah Saw. adalah tidak berwudhu karena memakan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.” (HR. an-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Hadits ini dhaif.

7. Dari Busyair bin Yasar bahwasanya Suwaid bin an-Nu’man bercerita padanya:

“Bahwasanya dia keluar bersama Rasulullah Saw. pada tahun penaklukan Khaibar, hingga ketika mereka berada di as-Shahba -suatu daerah dekat Khaibar-, beliau Saw. shalat Ashar, kemudian meminta perbekalan, namun tidak dibawakan kecuali tepung gandum. Maka beliau Saw. memerintahkan untuk dihidangkan, lalu tepung tersebut diadon dengan air. Rasulullah Saw. makan dan kami pun ikut makan. Kemudian Rasulullah Saw. berdiri untuk shalat maghrib, beliau berkumur-kumur dan kami pun ikut berkumur-kumur, lalu beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah dan Malik)

8. Dari Maimunah ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. makan paha kambing di sisinya, kemudian beliau Saw. shalat dan tanpa berwudhu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits-hadits ini terdapat dua masalah atau terdapat satu masalah yang mengandung dua bagian persoalan, yakni: wudhu karena makan daging unta, dan wudhu karena makan sesuatu yang disentuh oleh api (dibakar).
Sebelumnya kami telah menyebutkan dua kelompok yang berbeda pendapat dalam bagian pertama, sekarang kita akan menyebutkan dua kelompok yang berbeda dalam bagian kedua.

Mereka yang berpendapat bahwa berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar api itu tidak wajib, artinya memakan sesuatu yang dibakar api itu tidak membatalkan wudhu, adalah Khulafaur Rasyidun yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu ad-Darda, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Samurrah, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Ubay bin Kaab, Abu Umamah, al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Malik, Abu Hanifah, as-Syafi'i, Ahmad, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Tsur, dan Sufyan at-Tsauri. An-Nawawi berkata: Memang ada perbedaan pendapat sebagaimana yang telah kami ceritakan di bagian pertama ini, tetapi kemudian para ulama bersepakat bahwa wudhu karena memakan daging yang disentuh api (dibakar) itu tidak wajib.

Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa makan sesuatu yang disentuh api itu membatalkan wudhu adalah Umar bin Abdul Aziz, Abu Qilabah, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, riwayat kedua dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Musa, Aisyah, Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah. Saya katakan riwayat kedua dari Abdullah bin Umar ...hingga Abu Hurairah tiada lain karena dari mereka telah diriwayatkan pendapat yang pertama, sehingga mereka disebutkan bersama kelompok yang pertama.

Delapan hadits ini layak digunakan sebagai hujjah, kecuali hadits yang keenam yang diriwayatkan an-Nasai dan selainnya. Ibnu Hajar telah menetapkan dua kecacatan pada hadits ini sehingga harus kita buang.

Hadits yang pertama:

“Apakah aku mesti berwudhu karena makan daging unta? Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, berwudhulah karena makan daging unta.”

Hadits yang kedua:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau Saw. menjawab: “Berwudhulah karena makan daging unta.”

Hadits ketiga:

“Apakah kami harus berwudhu karena makan dagingnya (unta)? Rasulullah Saw. menjawab: “Iya.”

Hadits keempat:

“Berwudhulah kalian setelah makan sesuatu yang disentuh api (dibakar).”

Hadits kelima:

“Aku makan roti dan daging bersama Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, lalu mereka shalat dan mereka tidak berwudhu.”

Hadits ketujuh:

“Namun ke hadapan beliau tidak dibawakan kecuali tepung gandum. Maka beliau Saw. memerintahkan untuk dihidangkan, lalu tepung tersebut diadon dengan air. Rasulullah Saw. makan dan kami pun ikut makan lalu beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.”

Hadits kedelapan:

“(Nabi Saw.) makan paha kambing di sisinya (Maimunah), kemudian beliau Saw. shalat dan tanpa berwudhu.”

Dalam tiga hadits pertama disebutkan dengan jelas (manthuq) bahwa memakan daging unta itu membatalkan wudhu.
Dalam hadits keempat disebutkan berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api.
Dalam hadits kelima disebutkan bahwa makan daging sebagaimana dilakukan Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, itu tidak membatalkan wudhu.
Dan dalam hadits ketujuh disebutkan bahwa makan tepung gandum sebagaimana dilakukan Rasulullah Saw. dan sahabatnya itu tidak membatalkan wudhu.
Dalam hadits kedelapan disebutkan bahwa makan daging yang dimasak itu tidak membatalkan wudhu.
Tiga hadits pertama memerintahkan berwudhu karena makan daging unta.
Hadits keempat satu-satunya yang memerintahkan berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api.
Sedangkan dalam hadits kelima, ketujuh dan kedelapan disebutkan bahwa makan sesuatu yang disentuh api itu tidak membatalkan wudhu dengan beberapa perbedaan kondisi; satu waktu disebutkan makan daging, dan saat yang lain disebutkan makan tepung gandum; keduanya adalah makanan yang disentuh api, kadangkala berasal dari perbuatan Rasulullah Saw., kadangkala berasal dari perbuatan para sahabat Rasulullah Saw., dan terkadang pula berasal dari perbuatan Rasulullah Saw. bersama dengan para sahabat.

Dengan mencermati hadits-hadits tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa wudhu karena makan sesuatu yang disentuh oleh api itu sebelumnya diperintahkan. Kemudian datang hadits-hadits yang belakangan membatalkan tuntutan ini dan menasakhnya.
Hadits sawiq (tepung gandum) ini terjadi dalam Perang Khaibar. Perang Khaibar itu terjadi belakangan, sehingga layak menjadi penasakh, terlebih lagi ketika dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Maslamah:

“Rasulullah Saw. makan sesuatu yang dibakar api, kemudian beliau Saw. shalat tetapi tidak berwudhu. Ini merupakan salah satu dari dua perintah terakhirnya.” (HR. al-Baihaqi)

Hadits ini menerangkan dengan jelas bahwa perintah tersebut datang belakangan. Ketika ada kontradiksi di antara hadits-hadits, maka yang dipegang adalah hadits yang belakangan. Hadits-hadits yang menyebutkan tidak berwudhu itu datang belakangan, sehingga inilah yang harus diamalkan dan dipandang sebagai penasakh hadits-hadits yang memerintahkan berwudhu.

Tidak bisa dikatakan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan wudhu itu adalah hadits qauli, sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan beliau tidak berwudhu itu adalah hadits fi’li, tidak bisa dikatakan seperti itu, karena hadits memakan tepung gandum merupakan perbuatan yang dilakukan sahabat dengan sepengetahuan Rasulullah Saw., bahkan dilakukan sahabat bersama dengan Rasulullah Saw. Ini menunjukkan adanya iqrar (persetujuan) Rasulullah Saw. atas apa yang mereka lakukan, selain memang dilakukan juga oleh beliau saw.
Persetujuan (iqrar) Rasulullah Saw. dihukumi sebagai ucapan (qaul) beliau Saw., sehingga dalam persoalan ini, pada mulanya ada perintah dari Rasulullah Saw. untuk berwudhu, kemudian datang perintah berikutnya untuk tidak berwudhu. Artinya, hukum keharusan berwudhu setelah makan sesuatu yang disentuh api (dibakar) itu telah dinasakh.

Dengan demikian, jelas bahwa pendapat mereka yang menyatakan tidak wajib berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar itu adalah pendapat yang benar. Besar kemungkinan perbedaan pendapat dalam persoalan ini pada mulanya disebabkan karena tidak sampainya hadits penasakh itu kepada mereka yang menyatakan wajib berwudhu (setelah memakan sesuatu yang dibakar). Setelah mendengar hadits penasakh, kemudian mereka meninggalkan pendapatnya semula dan menyepakati pendapat tidak ada kewajiban berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar, kecuali segelintir orang dari mereka yang keukeuh dengan pendapatnya semula. Inilah hukum makan sesuatu yang disentuh api (dibakar) dan telah kami jelaskan bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.

Perihal makan daging unta, tidak ada satu nash pun yang menasakh hukum kewajiban berwudhu setelah makan daging unta.
Sejumlah imam seperti aS-Syafi’i sedikit kesulitan memahami ucapan Jabir tentang tidak ada kewajiban berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar, padahal hadits Jabir ini memiliki dua cacat atau kelemahan:

“Salah satu dari dua perkara terakhir yang diperintahkan Rasulullah Saw. adalah tidak berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh (dibakar) oleh api.”

Mereka mengatakan bahwa hadits Jabir ini datang belakangan, dan ini jelas merupakan nash yang tidak mewajibkan berwudhu setelah makan sesuatu yang dibakar api. Dan daging unta itu termasuk sesuatu yang disentuh api, sehingga kewajiban berwudhu setelah makan daging unta itu dinasakh oleh hadits ini. Di antara mereka ada yang menakwilkan tiga hadits yang memerintahkan berwudhu setelah makan daging unta itu dengan wudhu dalam pengertian bahasa, yakni mencuci kedua tangan saja. ‘Illat atau alasannya adalah lemak dan bau busuk. Pendapat mereka ini kami bantah dengan menyatakan bahwa hadits Jabir ini dhaif, karena rangkaian sanad antara Ibnu al-Munkadir dengan Jabir terputus, sehingga hadits Jabir ini dikategorikan sebagai hadits munqathi.
Di dalam rangkaian sanadnya juga ada nama Amr bin Manshur, yang didhaifkan oleh Abu Hatim ar-Razi. Al-Khatib menceritakan bahwa Amr ini meriwayatkan hadits munkar dari Ali bin al-Madini, dan dalam rangkaian sanad Abu Dawud terdapat nama Musa bin Sahm yang juga dhaif, sehingga status hadits ini dipandang dhaif, yang tidak layak dijadikan sebagai hujjah. As-Syaukani menyatakan dalam kitabnya yang berjudul Irsyadul Fuhul: Ulama as-Syafi'iyah menyatakan: Ketika lafadz yang umum ini lebih belakangan untuk mengamalkan yang khusus, maka lafadz yang umum ini dilandaskan pada lafadz yang khusus, karena makna yang dikandung lafadz yang khusus itu lebih meyakinkan, sedangkan makna yang dikandung oleh lafadz yang umum itu jelasnya sekedar dugaan, padahal sesuatu yang meyakinkan itu lebih utama adanya.
Seandainya penganut madzhab as-Syafi’iyah merujuk pada kaidah ushul mereka, tentunya mereka tidak akan menyatakan makan daging unta itu tidak membatalkan wudhu. Dengan demikian, kaidah ushul Imam Syafi’i ini benar, dan ketika kaidah ini diamalkan mengharuskan kita untuk mengatakan bahwa makan daging unta itu membatalkan wudhu. Imam an-Nawawi yang termasuk fuqaha bermadzhab as-Syafi’i telah menyatakan: Perihal opsi adanya nasakh, maka jelas lemah atau batil, karena hadits tidak berwudhu setelah makan sesuatu yang disentuh api ini bersifat umum, sedangkan hadits berwudhu setelah makan daging unta itu bersifat khusus. Nash yang khusus harus didahulukan daripada nash yang umum, baik terjadinya sebelum atau setelahnya. As-Syaukani mengomentari pernyataan an-Nawawi ini dengan mengatakan: Pendapat an-Nawawi ini dilandaskan pada kaidah “lafadz yang umum itu mesti dibangun di atas yang khusus” secara mutlak sebagaimana dipegang oleh as-Syafi’i dan mayoritas ahli ushul, dan inilah pendapat yang benar.
As-Syaukani mengatakan dalam kitab ilmu ushul yang disusunnya yakni Irsyadul Fuhul: “Alasan “nash yang umum yang datang belakangan itu menjadi penasakh” yang mereka lontarkan adalah adanya dua dalil yang saling bertentangan, di mana latar belakang sejarah kedua nash tersebut diketahui, maka yang harus dilakukan adalah memenangkan nash yang datang belakangan untuk menasakh nash yang ada sebelumnya, begitu pula jika dalil yang belakangan itu adalah nash yang khusus (bukan nash yang umum). Alasan ini bisa dibantah bahwa nash yang umum yang datang belakangan tersebut memiliki dilalah yang dhaif, sehingga nash yang umum tersebut tidak bisa mengalahkan nash yang khusus yang memiliki dilalah yang kuat. Selain itu “membangun nash yang umum di atas yang khusus” sama dengan pengkompromian, sedangkan mengamalkan yang umum sama dengan pentarjihan. Pengkompromian dua dalil lebih diprioritaskan daripada pentarjihan. Lagi pula mengamalkan nash yang umum sama dengan mengabaikan nash yang khusus, tetapi dalam pentakhsisan itu tidak ada pengabaian terhadap nash yang umum, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.”
Kemudian Imam as-Syafi’i mengatakan: “Seandainya hadits “memakan daging unta” ini shahih maka aku akan berpendapat dengannya.” Ini merupakan pernyataan yang jelas menunjukkan bahwa beliau tidak berpendapat bahwa lafadz yang umum itu bisa menasakh yang khusus. Sebab, jika beliau berpendapat seperti itu niscaya pernyataan beliau ini tidak memiliki arti apapun.

Sebenarnya, kalangan ulama Syafi’iyah seluruhnya seharusnya mematuhi kaidah ushul imam mereka, yang menyatakan kewajiban berwudhu setelah makan daging unta setelah terbukti keshahihan sebagian besar hadits tentang daging unta ini, sehingga para pengikutnya tidak boleh menyatakan tidak wajib berwudhu setelah makan daging unta setelah terbukti keshahihan dalilnya.
Sebaliknya, justru dalil-dalil yang dipegang as-Syafi’i itulah yang tidak terbukti keshahihannya. Inilah yang ditabanni (diadopsi) oleh banyak fuqaha bermadzhab as-Syafi’i, sehingga mereka menetapkan wudhu menjadi batal setelah makan daging unta. Misalnya saja Ibnu al-Mundzir, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah. An-Nawawi yang juga seorang penganut madzhab Syafi’i menyatakan dalam kitabnya al-Majmu' tentang hukum batalnya wudhu karena makan daging unta: Pendapat inilah yang kuat atau shahih dari sisi dalil, dan pendapat inilah yang aku yakini ketetapannya.

Sedangkan orang-orang yang mentakwilkan hadits-hadits dan menetapkan sebab datangnya perintah berwudhu karena adanya bau busuk pada daging unta, maka kami katakan bahwa bau busuk itu selain ada pada daging unta, juga ada pada daging kambing, tetapi Rasulullah Saw. tidak memerintahkan berwudhu setelah makan daging kambing. Dengan demikian, hujjah dan penetapan ‘illat yang mereka lakukan itu terbantahkan.
Sedangkan ketika mereka menyatakan bahwa wudhu yang Rasulullah maksudkan adalah wudhu dari sisi bahasa, yakni mencuci tangan, maka kami bantah mereka dengan ucapan an-Nawawi yang notabene sebagai salah seorang dari mereka: “Memahami wudhu dalam hadits tersebut sebagai wudhu dari sisi bahasa saja, maka pemahaman seperti itu jelas kedhaifannya, karena memahaminya sebagai wudhu dalam konotasi syar'i harus diprioritaskan daripada wudhu dengan konotasi lughawi (bahasa). Kaidah seperti ini populer dalam kitab-kitab ushul.”
Selain itu, pernyataan bahwa wudhu yang dimaksud dalam hadits-hadits ini adalah membasuh kedua tangan saja, itu membutuhkan dalil. Faktanya tidak ada dalil dalam hal ini. Seandainya yang dimaksudkan oleh hadits-hadits tersebut adalah membasuh kedua tangan, maka mengapa Rasulullah Saw. tidak memerintahkan hal yang sama ketika makan daging kambing, yang bisa kita temukan dalam hadits-hadits yang sama yang memerintahkan berwudhu setelah makan daging unta. Sebenarnya, penakwilan seperti ini merupakan penakwilan yang rusak, dan ketidakinginan untuk menyatakan batalnya wudhu yang sebenarnya dituturkan dalam hadits-hadits.

Ringkas kata, makan daging unta itu membatalkan wudhu. Sedangkan makan daging yang lain yang disentuh api (dibakar-pen.), termasuk makanan dan minuman, bagaimanapun juga tidak membatalkan wudhu.
Hati dan limpa unta dipandang sebagai daging unta, sedangkan susu dan yoghurtnya tidak.

Ketika sebagian mereka mengambil kesimpulan, minum susu unta itu membatalkan wudhu dengan berdalilkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Usaid bin Hudhair ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah kalian berwudhu karena minum susu kambing, tetapi berwudhulah karena minum susu unta.”
Hadits ini dhaif.

Juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr ra. dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Berwudhulah kalian karena makan daging unta, dan janganlah kalian berwudhu karena makan daging kambing. Berwudhulah kalian karena minum susu unta, dan janganlah kalian berwudhu karena minum susu kambing. Sholatlah kalian di kandang kambing, dan janganlah kalian shalat di kandang unta.”
Hadits ini dhaif.

Kedua hadits ini adalah hadits dhaif, di dalam sanad hadits pertama ada nama Hajjaj bin Artha’ah, seorang perawi yang dhaif, sedangkan dalam hadits kedua ada Baqiyyah bin al-Walid merupakan perawi yang dhaif, serta ada Khalid bin Yazid bin Umar seorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Dengan demikian, dua hadits ini tidak layak dijadikan sebagai hujjah, sehingga gugurlah pendapat yang mereka lontarkan itu.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam