Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 05 Oktober 2017

Menyentuh Kemaluan Batal Wudhu



4. Menyentuh Kemaluan

Beberapa hadits berikut berkaitan dengan hukum menyentuh kemaluan:

a. Dari Busrah binti Shafwan, bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya dia tidak shalat hingga berwudhu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Malik)

Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan al-Hakim.

Dalam riwayat an-Nasai dari Basrah:

“Bahwasanya dia mendengar Rasulullah Saw. menyebutkan beberapa perkara, yang karenanya seseorang harus berwudhu. Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Seseorang hendaknya berwudhu karena menyentuh kemaluan.”

Dalam riwayat Ibnu Hibban dari Busrah, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menyentuh farjinya maka hendaklah dia berwudhu. Perempuan pun seperti itu.”

Dalam riwayat at-Thabrani dari Busrah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyentuh farjinya, maka dia wajib berwudhu.”

b. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke kemaluannya, dan di antara keduanya itu tidak ada penutup dan penghalang, maka hendaklah dia berwudhu.” (HR. Ibnu Hibban, al-Hakim dari jalur Nafi bin Abi Nuaim, dari al-Maqbari, dari Abu Hurairah, hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ibnu Abdil Barr)

c. Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Lelaki manapun yang menyentuh farjinya, maka hendaknya dia berwudhu. Wanita manapun yang menyentuh faijinya, maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. ad-Daruquthni, Ahmad dan al-Baihaqi)

Tirmidzi menukil pernyataan Bukhari: Menurutku status hadits ini shahih. Al-Hazimi berkata: sanad hadits ini shahih. Hadits ini pun dikuatkan oleh ad-Dzahabi.

d. Dari Thalq bin Ali, dia berkata:

“Kami mengunjungi Nabi Saw., lalu datanglah seorang lelaki yang nampak sebagai seorang Arab dusun. Kemudian dia bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana menurutmu tentang seorang lelaki yang menyentuh kemaluannya setelah dia berwudhu? Maka beliau Saw. berkata: “Kemaluan itu hanya segumpal daging dari tubuh. Atau beliau Saw. berkata: Satu bagian daging dari tubuh.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, at-Thabrani dan Ibnu Hazm.
Diriwayatkan bahwa Ibnu al-Madini berkata: Menurut kami hadits ini lebih baik dari hadits Busrah.
Tetapi hadits ini didhaifkan oleh as-Syafi’i, Abu Hatim, Abu Zur'ah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ibnu al-Jauzi.
Sedangkan Ibnu Hibban, at-Thabrani, Ibnu al-Arabi dan al-Hazimiy menyatakan bahwa hadits ini dinasakh (dihapus).

Para imam dan ulama, juga para sahabat sebelum mereka, berbeda pendapat dalam persoalan apakah menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu ataukah tidak. Al-Hazimi menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas dalam salah satu riwayatnya, Hudzaifah bin al-Yaman, Imran bin Hushain, Abu Darda, Saad bin Abi Waqash dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Musayyab dalam salah satu riwayat darinya, Said bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’iy, Rabi’ah bin Abdurrahman, Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya, berpendapat seseorang tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluan.

Sedangkan yang lain berpendapat wajibnya berwudhu karena menyentuh kemaluan. Di antara para sahabat yang diriwayatkan mewajibkan wudhu -berdasarkan paparan yang disebutkan al-Hazimi- adalah Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar, Abu Ayub al-Anshari, Zaid bin Khalid, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Jabir, Aisyah, Ummu Habibah, Busrah binti Shafwan, Saad bin Abi Waqash dalam salah satu riwayat darinya, Ibnu Abbas dalam salah satu riwayat darinya, dan dari kalangan tabi’in ada Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Atha bin Abi Rabbah, Aban bin Utsman, Jabir bin Zaid, Zuhri, Mush’ab bin Saad, Yahya bin Abi Katsir, Said bin al-Musayyab dalam salah satu riwayat yang paling shahih darinya, Hisyam bin Urwah, ale Auzai, as-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan pendapat yang masyhur dari Malik.

Kalangan ulama Syafi'iyah mengatakan wudhu itu menjadi batal ketika kemaluan disentuh oleh telapak tangan, merujuk pada pengertian lafadz afdha, dan diriwayatkan dari Malik satu pendapat yang memandubkan wudhu ketika menyentuh kemaluan, diriwayatkan dari Jabir bin Zaid bahwa beliau berpendapat wudhu itu menjadi batal jika memang seseorang sengaja menyentuh kemaluan, sehingga jika tidak sengaja menyentuhnya maka tidak batal wudhunya. Inilah secara ringkas pendapat yang ada dalam persoalan ini.
Kita akan mengkaji lebih jauh hadits-hadits yang berhubungan dengan persoalan ini, dan kemudian menggali beberapa hukumnya dengan ijin Allah.

Hadits yang pertama: riwayat yang pertama menyebutkan:

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya dia tidak shalat hingga berwudhu.”

Sedangkan riwayat kedua menyebutkan:

“Seseorang hendaknya berwudhu karena menyentuh kemaluan.”

Riwayat ketiga menyebutkan:

“Jika salah seorang dari kalian menyentuh farjinya, maka hendaklah dia berwudhu. Perempuan pun seperti itu.”

Riwayat keempat menyebutkan:

“Barangsiapa yang menyentuh farjinya, maka dia wajib berwudhu.”

Hadits yang kedua menyebutkan:

“Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya, ...maka hendaklah dia berwudhu.”

Hadits yang ketiga menyebutkan:

“Lelaki manapun yang menyentuh farjinya maka hendaknya dia berwudhu. Wanita manapun yang menyentuh farjinya maka hendaknya dia berwudhu.”

Hadits keempat menyebutkan:

“Kemaluan itu hanya segumpal daging dari tubuh. Atau beliau Saw. berkata: Satu bagian daging dari tubuh.”

Dengan meneliti lebih jauh hadits-hadits tersebut, akan nampak, bahwa orang yang menyentuh kemaluan atau kemaluannya, maka dia harus berwudhu. Dan ini bersifat umum, untuk laki-laki dan perempuan. Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, atau farjinya, atau kemaluan orang lain, berdasarkan dilalah riwayat yang kedua dari hadits yang pertama, atau menyentuh farjinya maka hendaknya dia berwudhu; dan seorang wanita ketika menyentuh farjinya maka hendaknya dia berwudhu.
Kita mendapati bahwa hadits-hadits tersebut menggunakan lafadz dzakar dan farj. Dzakar itu qubul seorang lelaki, sedangkan farj adalah istilah yang digunakan untuk menyebut qubul dan dubur lelaki dan wanita, karena farj itu aurat, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Qamus dan Lisan ul Arab.
Lafadz-lafadz hadits itu ditafsirkan menurut istilah bahasa, selama lafadz tersebut belum memiliki definisi syar’i yang berbeda. Dan di sini kata farj dan kata dzakar dalam syara tidak memiliki pengertian atau makna yang berbeda dengan pengertian bahasanya, sehingga kata tersebut ditafsirkan secara bahasa. Kitab al-Qamus dan Lisanul Arab menafsirkan farj sebagai aurat, dan ini mencakup qubul dan dubur, sehingga penafsiran ini bisa diamalkan (dipergunakan).
Dengan demikian, hadits-hadits tersebut memberi pengertian bahwa menyentuh qubul dan dubur laki-laki dan perempuan itu, membatalkan wudhu.
Hadits-hadits tersebut layak digunakan sebagai hujjah, dan hadits-hadits tersebut melahirkan hukum ini, yakni hukum batalnya wudhu akibat menyentuh qubul dan dubur laki-laki dan perempuan.

Perihal hadits yang keempat, hadits ini digunakan oleh mereka yang menyatakan tidak batalnya wudhu. Sebagaimana telah kami sebutkan, di antara mereka ada sahabat, para imam dan ulama, sayangnya hadits tersebut tidak bisa menopang pendapat mereka, dan hadits tersebut tidak mampu berdiri ketika dihadapkan dengan hadits-hadits yang menyatakan batalnya wudhu.
Al-Baihaqi mengatakan: “Cukuplah kiranya mentarjih hadits Busrah, yakni hadits yang pertama atas hadits Thalq, yakni hadits yang keempat. Bahwa dalam hadits Thalq itu tidak seorangpun perawinya yang dijadikan hujjah oleh Syaikhan (Bukhari Muslim), sedangkan seluruh perawi hadits Busrah dijadikan hujjah oleh keduanya.” Inilah hujjah pertama untuk mentarjih pendapat yang mewajibkan wudhu daripada yang tidak.

Kedua, sesungguhnya keIslaman Busrah itu lebih akhir, dan keIslaman Thalq lebih awal. Ibnu Hibban yang meriwayatkan hadits ini berkata: “Hadits Thalq bin Ali yang kami sebutkan ini merupakan khabar yang telah dinasakh, karena kedatangan Thalq bin Ali menemui Nabi Saw. adalah tahun pertama dari tahun-tahun hijrah, di mana saat itu kaum Muslim sedang membangun Masjid Rasulullah di Madinah.” Sedangkan Busrah masuk Islam jauh setelah itu, di mana hal itu merupakan perkara yang diketahui oleh ahli hadits.
Hadits Abu Hurairah yang kedua menguatkan hadits Busrah ini, karena Abu Hurairah pun seorang sahabat yang akhir-akhir masuk Islam seperti halnya Busrah.
Ibnu Hibban berkata: “Abu Hurairah itu masuk Islam tahun ketujuh setelah hijrah, dan yang mutaakhir itu lebih kuat dan lebih wajib diambil dan diamalkan dibandingkan yang sebelumnya. Yang menambah kuatnya hadits Busrah ini adalah bahwasanya Busrah menyampaikan hadits ini di Darul Muhajirin wal Anshar, di mana jumlah mereka sangat banyak.”

Ketiga, hadits Thalq ini didhaifkan oleh sejumlah imam terkemuka. As-Syafi’i berkata: Kami bertanya tentang identitas Qais bin Thalq, tetapi kami tidak menemukan orang yang mengetahuinya. Abu Hatim dan Abu Zur'ah berkata: Qais bin Thalq termasuk orang yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Telah diketahui bahwa hadits Thalq bin Ali berasal dari riwayat anaknya, yakni Qais bin Thalq. Pada saat yang sama, para imam yang mendhaifkan hadits Busrah semata-mata mendhaifkannya dari jalur Urwah, dari Marwan, dari Busrah. Marwan itu dituduh cacat sifat ‘adalahnya, tetapi Ibnu Khuzaimah dan selainnya menegaskan bahwa Urwah mendengar langsung hadits ini dari Busrah, di mana dalam Shahih Ibnu Hibban dan Sunan ad-Daruquthni disebutkan: “Urwah berkata, aku bertanya kepada Busrah dan dia membenarkannya,” dengan fakta seperti ini tuduhan Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim telah terjawab, sehingga gugur pula alasan pendhaifan mereka itu.

Selain itu, mereka mendhaifkan hadits tersebut dengan menyatakan bahwa Hisyam tidak mendengar hadits ini dari ayahnya (Urwah). Ini dikatakan oleh an-Nasai dan at-Thahawi. Maka kami sanggah pendhaifan ini dengan menyatakan bahwa sekali waktu Hisyam meriwayatkan hadits ini dari ayahnya (Urwah), kali yang lain Hisyam meriwayatkan dari Abu Bakar bin Muhammad. Ahmad dalam salah satu riwayat telah menegaskan bahwa ayahnyalah (Urwah) yang menceritakan hadits ini kepadanya. Tirmidzi menegaskan dalam satu riwayat bahwa ayahnya (Urwah) yang mengabari hadits ini kepadanya, sehingga dengan demikian Hisyam telah meriwayatkan hadits ini, sekali dari ayahnya secara langsung, kali yang lain meriwayatkan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr.
Dia menyampaikan hadits ini melalui ayahnya, juga menyampaikan hadits ini melalui Abu Bakar bin Muhammad, dan ini tidak bisa menjadi faktor penyebab dhaifnya hadits tersebut. Hadits ini tidak dhaif, melainkan shahih, dan pada saat yang sama, hadits Thalq justru diragukan keshahihannya.

Keempat, tidak wajibnya wudhu karena menyentuh farji itu diambil dari hadits Thalq berdasarkan mafhum, sedangkan hadits-hadits kami di atas memberi pengertian wajibnya berwudhu berdasarkan manthuq (makna literal). Padahal manthuq itu lebih kuat daripada mafhum.

Dengan beberapa sebab ini, maka hadits Busrah dan hadits-hadits lain yang menyatakan batalnya wudhu, ternyata lebih diunggulkan; dan hadits Thalq tidak bisa diamalkan, karena tidak layak digunakan sebagai dalil untuk masalah ini setelah semuanya jelas sedemikian rupa. Karena itu, nampaklah alasan benarnya pendapat yang mewajibkan wudhu karena menyentuh farji, baik qubul ataupun dubur, baik laki-laki ataupun perempuan, farji-nya sendiri ataupun farji orang lain.

Mengenai pendapat ulama Syafi’iyah, bahwa wudhu itu menjadi batal jika farji disentuh oleh telapak tangan bagian dalam, bukan punggung telapak tangan, maka pendapat ini lemah.
Pakar bahasa Ibnu Sayyidih dalam kitab al-Muhkam menyatakan: afdha fulanun ilaa fulanin washala ilaihi (sampainya itu lebih umum, baik dengan punggung ataupun bagian dalam telapak tangan).
Ibnu Hazm berkata: “Ifdha itu terjadi, baik dengan punggung telapak tangan ataupun bagian dalam telapak tangan,” dan berkata: “tidak ada dalil atas apa yang mereka nyatakan dengan mentakhsis hanya untuk telapak tangan bagian dalam, baik yang berasal dari Kitab, Sunnah ataupun Ijma Sahabat, ataupun pernyataan sahabat, qiyas dan pendapat yang shahih manapun.”
Dengan demikian, hanya ada dua kemungkinan saja, ulama Syafi'iyah menyampaikan dalil atas pendapat yang mereka lontarkan, atau pendapat mereka itu tidak benar. Dalil-dalil syara justru tidak menyatakan seperti apa yang mereka katakan, pengertian bahasa pun tidak menolong dan membantu pendapat yang mereka pegang.

Tentang pendapat yang diriwayatkan dari Malik, bahwa wudhu itu dianjurkan (disunahkan) saja, alias tidak wajib ketika menyentuh kemaluan, maka hadits Busrah yang menyatakan:

“Barangsiapa yang menyentuh farjinya maka dia wajib berwudhu.”

Itu telah cukup untuk membantahnya.

Adapun pendapat Jabir bin Zaid yang menyatakan wudhu itu batal jika menyentuh kemaluan dengan sengaja, berbeda halnya (alias tidak batal) jika tidak disengaja, maka semua hadits yang ada justru membantahnya, di mana hadits-hadits tersebut tidak membedakan antara yang disengaja dan tidak disengaja.

Hadits-hadits ini menunjukkan wudhu itu menjadi batal ketika menyentuh farji manusia, sehingga tidak menjadi batal kalau yang disentuh itu farji binatang, sehingga menyentuh farji binatang tidak membatalkan wudhu. Begitu pula tidak menjadi batal kalau menyentuh bulu kemaluan, sehingga menyentuh bulu kemaluan tidak membatalkan wudhu, karena dalil tersebut tidak kongruen dengan fakta bulu kemaluan.

Sedangkan menyentuh buah pelir, maka ini membatalkan wudhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi, at-Thabrani, dan ad-Daruquthni dari Busrah binti Shafwan dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyentuh dzakarnya, buah pelirnya atau rufghu-nya, maka hendaklah dia berwudhu seperti halnya wudhu untuk shalat.”

Lafadz ar-rufghu artinya adalah pangkal paha yang dekat dengan dzakar, al-untsiyyani adalah al-khashiyyatan (buah pelir atau testis).

Hadits ini walaupun didhaifkan oleh sebagian orang, tetapi juga telah dihasankan oleh yang lain, sehingga layak untuk dijadikan sebagai dalil.

Sedangkan farji yang membatalkan wudhu itu adalah farji manusia, tidak ada perbedaan antara farji orang dewasa yang sudah baligh dengan farji anak-anak yang belum baligh, bahkan farji balita yang masih menyusui sekalipun, selama dicakup oleh pengertian farji anak Adam.
Begitu pula tidak ada perbedaan antara menyentuh dengan atau tanpa syahwat, karena hadits-hadits tersebut tidak mentakhsis salah satupun di antara keduanya, sehingga hukum ini tetap berlaku dalam keumumannya.
Dan yang dimaksud dengan al-yad (tangan) itu adalah bagian yang sampai pergelangan tangan, dan inilah pendapat seluruh ulama yang saya ketahui. Karena tangan (pergelangan) itu adalah alat untuk menyentuh, berbeda dengan hasta ataupun lengan atas.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam