Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 15 Oktober 2017

Tayamum Tidak Harus Setiap Masuk Waktu Shalat



Apakah “Masuk Waktu Shalat” Menjadi Syarat Sahnya Tayamum?

Ulama penganut madzhab Hanafi berkata: tayamum itu sah walaupun dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Sedangkan Malik, as-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud berpendapat bahwa tayamum tidak sah bila dilakukan sebelum masuk waktu shalat; mereka berargumentasi dengan hadits-hadits berikut:

1. Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid (tempat bersujud) dan sesuatu yang suci-mensucikan. Di manapun waktu shalat datang padaku, maka aku bisa bersuci dan bisa shalat.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

2. Hadits Abu Umamah, di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Dan bumi seluruhnya telah dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di manapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat sujud dan memiliki sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

3. Dari Jabir, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Bumi telah dijadikan untukku sebagai sesuatu yang bersih, suci-mensucikan dan tempat bersujud (masjid), maka siapapun didatangi waktu shalat, dia tetap bisa shalat, bagaimanapun keadaannya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan an-Nasai)

4. Surat al-Maidah ayat 6.

5. Mereka menyatakan bahwa tayamum adalah thaharah yang sifatnya darurat, sehingga tayamum tidak dibutuhkan sebelum masuk waktu shalat. Mereka mengatakan bahwa hadits yang pertama, begitu pula hadits kedua dan ketiga memberi taqyid (pembatasan) tayamum dengan datangnya waktu shalat, dan datangnya waktu shalat (idraakus shalat) hanya terjadi dengan masuk waktu shalat. Hadits-hadits tersebut memerintahkan tayamum ketika datang waktu shalat, mafhumnya adalah tayamum itu tidak diperintahkan sebelum datang waktu shalat, yakni sebelum masuk waktu shalat. Terkait ayat al-Qur’an di atas, mereka mengatakan: berdiri untuk melaksanakan shalat tidak terjadi kecuali setelah memasuki waktu shalat, sedangkan wudhu tetap sah walaupun dilakukan sebelum masuk waktu shalat, tiada lain karena dilandaskan pada perbuatan Rasulullah Saw. Sedangkan tayamum tetap harus dipahami sesuai dzahir ayat di atas. Poin lima ini jelas. Inilah dalil-dalil dan argumentasi yang diajukan oleh mereka yang mensyaratkan masuk waktu shalat sebagai syarat sahnya tayamum.

Sebenarnya, dalil-dalil dan berbagai argumentasi tersebut tidak layak digunakan untuk membuktikan kebenaran klaim mereka. Menarik kesimpulan masuknya waktu shalat sebagai syarat sahnya tayamum dari dalil-dalil di atas merupakan istidlal yang terlalu jauh, karena telah memalingkan dalil dari dilalahnya yang nyata, dan mengarahkan dalil pada pengertian yang tidak dikandungnya. Disebutkan dalam hadits pertama dan kedua:

“Di manapun waktu shalat datang padaku maka aku bisa bersuci dan bisa shalat.”

“Di manapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat sujud dan memiliki sesuatu untuk bersuci.”

Dua kalimat dalam hadits tersebut diawali dengan kata aina. Kata aina berkaitan dengan tempat, bukan dengan waktu, sehingga tidak memberi pengertian penentuan waktu (at-tauqit). Seandainya kalimat tersebut hendak disederhanakan, maka bisa dikatakan:

Di tempat manapun waktu shalat datang kepadaku, maka aku bertayamum di sana.

Dari kalimat seperti ini bisa dipahami bahwa tayamum dilakukan di tempat manapun untuk shalat. Beginilah seharusnya kita memahami dua nash hadits tersebut. Keduanya disampaikan untuk menjelaskan bahwa tayamum tiada lain untuk shalat, yang bisa dilakukan di tempat manapun di bumi ini.
Kedua hadits ini sama sekali tidak sedang menjelaskan penetapan waktu tayamum, terlebih lagi tidak sedang menjelaskan waktu tayamum itu adalah ketika masuk waktu shalat. Taqyid (penetapan batasan) yang mereka katakan sama sekali tidak dikandung dua nash hadits tersebut, sehingga taqyid tersebut hanya menjadi sebuah ijtihad yang tidak benar, yang tidak disandarkan pada kaidah-kaidah kebahasaan. Selain itu kedua hadits tersebut diawali dengan kalimat:

“Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid (tempat bersujud) dan sesuatu yang suci-mensucikan.”

“Dan bumi seluruhnya dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan.”

Kalimat seperti itu mengandung arti, Rasulullah Saw. hendak menjelaskan bahwa bumi seluruhnya adalah tempat yang layak untuk shalat dan tayamum. Agar pengertian ini bisa lebih tegas maka bisa kami jelaskan dengan kalimat:

Jika kalian berada di bagian manapun dari bumi ini, maka kalian tetap memiliki kemungkinan untuk shalat dan bertayamum di sana.

Bagian akhir kedua nash ini disampaikan hanya untuk mengokohkan dan menegaskan bagian awalnya. Seperti inilah dua hadits tersebut harus dipahami, sehingga kita bisa melihat bahwa keduanya tidak memberi pengertian penentuan waktu bertayamum, terlebih penetapann waktu tayamum ketika sudah masuk waktu shalat.

Mengenai hadits ketiga, walaupun disampaikan dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda, tetapi tetap memberikan pengertian dan makna yang sama dengan yang disampaikan dua hadits sebelumnya. Setelah diawali dengan kalimat yang sama yang mengawali dua hadits sebelumnya:

“Telah dijadikan bumi untukku itu sesuatu yang bersih, suci-mensucikan dan sebagai tempat bersujud (masjid).”

Lalu beliau Saw. berkata:

“Maka siapapun datang waktu shalat padanya, dia bisa shalat bagaimanapun keadaannya.”

Perhatikanlah lafadz haitsu, ini merupakan kata keterangan tempat, persis sama dengan lafadz ainamaa yang disebutkan dalam dua hadits pertama. Dengan demikian, pengertian hadits ini adalah: Allah telah menjadikan bumi ini layak untuk menjadi tempat sujud dan layak untuk menjadi sesuatu yang suci-mensucikan. Dan setiap orang yang didatangi waktu shalat, maka hendaklah dia shalat di atas bumi ini, di manapun dia berada.
Hadits ini berbicara tentang bumi, dan kelayakan bumi untuk shalat dan tayamum. Hadits tersebut tidak menyampaikan penetapan waktu tayamum sama sekali, sehingga ketiganya tidak layak menetapkan waktu tayamum. Syubhat yang menyelubungi mereka itu berasal dari kata kerja adraka, yang disebutkan dalam ketiga hadits tersebut. Mereka mengatakan bahwa tayamum itu dilakukan ketika waktu shalat tiba, di mana waktu shalat tidak dikatakan tiba tanpa masuknya waktu tersebut. Ketika masuk waktu shalat, maka itulah saat untuk bertayamum. Seperti itulah mereka menyuarakan hadits tersebut dengan berbagai pengantar dan kesimpulan yang nyata-nyata tidak bisa dibenarkan. Seandainya mereka mau sedikit melebarkan pandangan, tentu mereka tidak akan terjatuh pada kesalahan istidlal seperti itu.

Kesimpulan mereka dari ayat tayamum sebagai penetapan waktu juga merupakan kesimpulan yang tidak benar. Ayat ini menjelaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh shalat kecuali setelah berwudhu. Redaksi kalimatnya memberikan arti bahwa jika kalian hendak shalat maka berwudhulah. Mafhumnya jika kalian belum berwudhu maka janganlah shalat, hingga kalian berwudhu. Dengan arti lain, jika kalian sudah berwudhu, maka shalatlah. Ayat ini disampaikan untuk menjelaskan wudhu sebagai syarat sahnya shalat.
Ayat ini tidak datang untuk menjelaskan bahwa seorang Muslim harus berwudhu untuk setiap shalatnya, atau tidak menjelaskan seorang Muslim harus berwudhu karena masuk waktu dari setiap shalat.
Pernyataan ini juga berlaku untuk tayamum, yang disebutkan pada bagian akhir ayat. Ayat ini hendak menjelaskan hukum tayamum untuk shalat, sama sekali bukan memerintahkan tayamum karena masuk waktu shalat. Bahkan lebih dari itu, di bagian akhir ayat ini tidak ada penyebutan shalat, terlebih lagi penyebutan masuk waktu shalat.
Ayat ini tiada lain hanya untuk menjelaskan bahwa orang yang sakit, atau musafir yang sedang dalam perjalanan, atau seorang yang berhadats kecil karena buang air besar, atau yang berhadats besar karena persetubuhan, sedangkan dia tidak mendapatkan air, maka hendaknya bertayamum. Seperti inilah ayat tersebut mesti dipahami, dan pemahaman inilah yang dikandung oleh nash tersebut.
Mengarahkan nash ini untuk menjelaskan hukum tayamum karena masuk waktu shalat merupakan tindakan membebani nash dengan sesuatu yang melebihi daya muatnya. Saya tidak akan berpanjang kata tentang itu, karena persoalannya jelas. Dengan demikian ayat ini tidak bisa menopang klaim mereka.

Perihal pernyataan mereka dalam poin lima, itu sama sekali bukan dalil dan tidak bisa tegak ketika dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Saya akan bertanya: Darimana Anda bisa mengatakan tayamum itu tidak dibutuhkan sebelum masuk waktu shalat? Apakah tayamum menurut Anda hanya dilakukan untuk shalat saja? Apakah tayamum tidak akan membolehkan seseorang menyentuh mushaf, dan apakah tidak membolehkan seseorang untuk berthawaf mengelilingi Ka'bah? Bahkan tidakkah tayamum itu disyariatkan pada seorang Muslim yang ingin senantiasa dalam keadaan suci? Tidakkah Anda membaca hadits yang di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bertayamum hanya untuk membalas salam seorang Muslim? Mengapa Anda membatasi tayamum hanya untuk shalat seperti ini sehingga Anda mewajibkan tayamum hanya ketika masuk waktu shalat? Tidak ragu lagi bahwa hal ini merupakan jenis kesewenang-wenangan.

Berdasarkan tinjauan seperti ini, kita bisa sampai pada kesimpulan tidak layaknya dalil dan hujjah yang mereka sampaikan untuk menopang pendapat mereka yang mensyaratkan masuknya waktu shalat untuk sahnya tayamum.
Dengan gugurnya istidlal seperti itu, kini terbukti kebenaran pernyataan yang dilontarkan Abu Hanifah dan mereka yang sependapat dengan beliau. Walaupun mereka tidak memiliki dalil khusus untuk menopang pendapatnya. Tiada lain karena pernyataan atau pendapat mereka termasuk ke dalam keumuman dalil yang menetapkan bahwa tayamum adalah thaharah (bersuci), tayamum adalah thaharah yang layak untuk shalat dan selain shalat, sehingga sama persis dengan wudhu.
Faktor-faktor yang membatalkan wudhu menjadi faktor yang membatalkan tayamum, dengan pengecualian adanya air setelah sebelumnya tidak ada air. Selain faktor adanya air ini, faktor-faktor yang membatalkan tayamum itu sama persis dengan yang membatalkan wudhu, dan tayamum itu sama dengan wudhu sebagai tata cara bersuci.
Terdapat nash hadits yang menjelaskan bahwa tayamum itu adalah cara bersuci. Dari Abu Dzar, dia berkata:

“Aku menemui Nabi Saw., lalu beliau Saw. berkata: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya tanah itu suci dan mensucikan bagi orang yang tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika engkau menemukan air, maka usapkanlah air itu ke kulitmu.” (HR. ad-Daruquthni)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: hadits ini hasan shahih.

Bahkan terdapat beberapa hadits yang menjelaskan bahwa tayamum adalah wudhu.

1. Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Tanah yang baik lagi bersih itu menjadi air wudhu bagi seorang Muslim walaupun (tidak menemukan air) hingga sepuluh tahun. Dan jika engkau menemukan air, maka usapkanlah air itu ke kulitmu, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Al-Hakim meriwayatkan dan menshahihkan hadits ini, dan disepakati oleh ad-Dhahabiy.

2. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tanah itu menjadi air wudhu seorang Muslim walaupun dia tidak menemukan air hingga sepuluh tahun. Dan jika dia menemukan air, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan mengusapkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh Ibnu al-Qaththan)

Al-Haitsami berkata: para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih.

Hadits-hadits ini menyebut tayamum dengan istilah air wudhu, karena tayamum itu merupakan wudhu (berlaku sebagai wudhu) yang tidak diperselisihkan lagi. Yang membedakannya adalah adanya air yang akan membatalkan tayamum tersebut. Disebutkan dalam hadits tersebut:

“Dan jika engkau menemukan air, maka usapkanlah air itu ke kulitmu.”

Artinya, seseorang itu tetap dalam keadaan bertayamum, yakni dalam keadaan suci, selama tidak ada air. Seandainya keluar waktu shalat itu menjadi faktor yang membatalkan tayamum, niscaya hal itu akan disebutkan di sini. Ketika hal itu tidak disebutkan, maka keluar waktu shalat tidak termasuk faktor yang membatalkan wudhu. Pada prinsipnya, tayamum itu memiliki kedudukan yang sama dengan wudhu dalam seluruh hukumnya, sehingga tidak boleh ada hukum yang keluar darinya kecuali jika memang diterangkan oleh dalil.
Wudhu tidak batal karena keluar waktu shalat, wudhu juga boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat, maka begitu pula dengan tayamum, kecuali jika memang hal itu diterangkan oleh dalil. Dan ternyata dalil-dalil berikut tidak layak digunakan sebagai dalil, yakni hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. bahwasanya dia berkata:

“Adalah bagian dari Sunnah, seorang lelaki tidak shalat dengan tayamum kecuali hanya satu kali shalat saja, kemudian dia bertayamum untuk shalat yang lain.” (HR. ad-Daruquthni, Abdurrazaq dan al-Baihaqi)
Ini dhaif.

Atau hadits yang diriwayatkan dari Ali, dia berkata:

“Dia bertayamum untuk setiap kali shalat.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Ini dhaif.

Hal ini karena hadits yang pertama diriwayatkan dari jalur al-Hasan bin Imarah, dia seorang perawi yang dhaif. Sebagian ahli hadits berkata: dia seorang yang ditinggalkan haditsnya.
Mengenai hadits yang berisi ucapan Ali, maka ini diriwayatkan dari jalur al-Harits al-A'war. Al-Harits itu seorang perawi yang dhaif, bahkan sebagian ahli hadits memandangnya suka berdusta. Al-Baihaqi berkata: sanad hadits ini dhaif.

Semisal dengan dua hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya dia bertayamum untuk setiap kali shalat, hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, hal ini karena dalam rangkaian perawinya terdapat nama Amir al-Ahwal dari Nafi. Amir ini didhaifkan oleh Ibnu Utaibah dan Ahmad. Klaim bahwa dia mendengar hadits dari Nafi juga dipertanyakan. Ibnu Hazm berkata: Riwayat dari Ibnu Umar tentang persoalan itu adalah riwayat yang tidak benar.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam