Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 14 Oktober 2017

Tayamum Menggunakan Benda Apa?



7. Benda yang Digunakan Dalam Tayamum

Setelah kita mengistinbath beberapa hukum di atas -dari nash-nash yang telah kami sebutkan sebelumnya- tinggallah kini kita membahas masalah mendasar dalam tayamum yang berkaitan dengan tata cara (al-kaifiyah), yakni benda yang digunakan untuk mengusap wajah dan telapak tangan tersebut: apakah benda tersebut tanah (at-turab) yang biasa dan umum diterima oleh mayoritas ahli fiqih, ataukah permukaan bumi (wajhu al-ardhi) secara mutlak dengan benda-benda yang ada di atasnya, berupa batu cadas (as-shakhr), tanah, kerikil dan pasir? Dalam persoalan ini beberapa madzhab dan mayoritas ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda:

Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang suci-mensucikan (as-sha'id at-thahur) yang harus digunakan dalam tayamum itu adalah segala sesuatu yang termasuk jenis tanah, berupa debu, pasir, kerikil, dan batu walaupun licin. Mereka tidak membolehkan tayamum menggunakan salju (es), pohon, kaca, mineral yang sudah dirubah, mutiara walaupun berbentuk bubuk, tepung, abu, celak mata, dan sulfur (belerang). Ketika tanah bercampur dengan sesuatu yang berasal dari jenis tanah, lalu sesuatu itu memiliki kadar lebih dominan darinya, atau tidak dominan, atau kadarnya sama dengan tanah, maka tanah tersebut sah digunakan untuk bertayamum.

Kalangan ulama Malikiyah berpendapat bahwa tanah (as-sha’id) itu adalah bagian bumi yang muncul atau nampak, sehingga mencakup tanah (at-turab), dan inilah yang lebih utama. Pasir (ar-raml), batu, salju, tanah liat (at-thin), dan kapur (kapur ini dipandang oleh mereka sebagai batu ketika dibakar sehingga menjadi kapur), logam kecuali emas dan perak, perhiasan dan sesuatu yang berasal dari mineral seperti tawas dan garam, batubata yang tidak dibakar, sehingga ketika batubata tersebut telah dibakar maka tidak boleh digunakan untuk bertayamum. Mereka tidak membolehkan tayamum menggunakan sesuatu yang termasuk bagian dari tanah, seperti kayu dan rumput.
Dengan demikian, kalangan ulama Hanafiah dan Malikiyah memiliki pendapat yang sama dalam pangkal persoalannya, tetapi berbeda dalam rinciannya. Mereka sama berpendapat bahwa tayamum boleh dilakukan dengan bagian atas permukaan bumi berupa tanah, pasir, kerikil dan sebagainya. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Atha, al-Auza’iy dan at-Tsauriy.

Kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa tanah yang suci dan mensucikan itu adalah tanah yang berdebu, walaupun ada beberapa ulama di antara mereka yang membolehkan penggunaan pasir, tetapi jika pasir tersebut tidak berdebu maka tidak sah digunakan untuk bertayamum. Juga boleh menggunakan tanah yang dibakar kecuali jika sudah menjadi abu (arang). Ketika tanah dan pasir bercampur dengan sesuatu yang lain seperti tepung, walaupun sedikit, maka tetap tidak boleh digunakan untuk bertayamum. Mereka mensyaratkan agar tanah itu belum digunakan untuk bersuci sebelumnya, maksudnya adalah tanah yang tersisa pada anggota tayamum yang diusap atau yang tercecer ketika diusapkan.

Para ulama madzhab Hanabilah berpendapat bahwa as-sha’id itu artinya adalah tanah yang berdebu, dan tanahnya itu adalah tanah yang mubah, sehingga tidak sah bertayamum dengan tanah hasil ghasab, tidak boleh dengan tanah yang dibakar, tidak sah tayamum dengan pecahan porselen dan semisalnya, karena dengan membakarnya itu sama dengan mengeluarkannya dari kategori tanah. Mereka mensyaratkan agar debunya masih menempel, karena sesuatu yang tidak berdebu itu tidak bisa diusap, dan jika bercampur dengan sesuatu yang berdebu seperti kapur dan nuurah maka hukumnya sama dengan hukum air yang suci-mensucikan yang telah bercampur dengan benda yang suci. Ketika yang dominan itu adalah tanahnya, maka boleh digunakan untuk bertayamum. Tetapi ketika yang dominan itu adalah benda yang mencampurinya, maka dilihat dulu, jika benda yang mencampurnya itu tidak berdebu maka tayamum dengan tanah seperti itu tidak boleh, contohnya gandum dan barley, tetapi ketika tanahnya banyak dan dominan maka boleh digunakan untuk tayamum. Tayamum tidak sah dilakukan menggunakan tanah liat yang tidak bisa dikeringkan. Tayamum dengan tanah itu boleh jika dilakukan sebelum keluar waktu, bukan setelah keluar waktu.
Dengan demikian, kalangan fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa tayamum itu harus menggunakan tanah yang berdebu, tidak sah dengan yang tidak berdebu. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Dawud.

Sekarang kita akan mencermati nash-nash dan dilalah berbagai lafadznya, baik secara bahasa ataupun syara dalam tujuan bisa mendapatkan pendapat yang paling tepat dengan ijin Allah:

1. Dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Bumi seluruhnya telah dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di mana saja waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat untuk bersujud dan sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dengan sanad cukup baik)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi, sebelumnya telah kami sebutkan dalam pembahasan “definisi tayamum dan legalitasnya.”

2. Firman Allah Swt.:

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

3. Dari Imran bin Hushain, dia berkata:

“Kami sedang berada dalam suatu perjalanan bersama Nabi Saw... lalu beliau Saw. shalat mengimami orang-orang. Saat selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang laki-laki yang memisahkan diri tidak shalat bersama orang-orang. Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang?” Orang tersebut menjawab: Aku sedang junub, padahal tidak ada air. Rasulullah Saw. bersabda: “Hendaknya engkau menggunakan tanah, karena tanah itu sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

An-Nasai dan Ibnu Syaibah meriwayatkan hadits ini secara ringkas. Dalam pembahasan sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan.

4. Dari Amr bin al-Ash, dia berkata:

“Pada suatu malam yang sangat dingin dalam Perang Dzatus Salasil aku bermimpi, aku merasa khawatir jika mandi akan binasa. Lalu aku pun bertayamum, kemudian shalat subuh mengimami para sahabatku. Mereka menceritakan hal itu kepada Nabi Saw., maka beliau Saw. bertanya: “Wahai Amr, benarkah engkau telah shalat mengimami sahabat-sahabatmu padahal engkau dalam keadaan junub?” Lalu aku memberitahu beliau Saw. tentang perkara yang menghalangiku untuk mandi, dan kemudian aku berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Kemudian Rasulullah Saw. tertawa dan tidak berkata apapun.” (HR. Abu Dawud, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

5. Dari Ali ra. dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Aku telah diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun (sebelumku).” Maka kami bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu? Beliau Saw. bersabda: “Aku diberi kemenangan karena ketakutan (musuhku), dan aku diberi kunci-kunci bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah telah dijadikan sebagai sesuatu yang suci-mensucikan untukku, dan umatku dijadikan sebagai umat terbaik.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad yang dihasankan oleh al-Haitsami)

6. Dari Hudzaifah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga perkara: barisan kami telah dijadikan seperti barisan malaikat, bumi telah dijadikan untuk kami sebagai tempat bersujud (masjid) dan tanahnya telah dijadikan untuk kami sebagai sesuatu yang suci-mensucikan ketika kami tidak mendapatkan air. Dan beliau Saw. menyebutkan sifat yang lain.” (HR. Muslim, Ahmad dan al-Baihaqi)

7. Hadits Abu Juhaim yang telah kami sebutkan sebelumnya:

“Nabi Saw. datang (dari arah telaga Jamal)… hingga menghadap ke dinding, lalu mengusap wajah dan kedua tangannya. Setelah itu barulah beliau Saw. menjawab salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat ad-Daruquthni dari jalur Ibnu Ishaq, dari al-A’ raj disebutkan dengan lafadz:

“Hingga beliau Saw. meletakkan tangannya pada dinding.”

Dan dalam riwayat as-Syafi'i dari jalur Ibnu as-Shummah disebutkan dengan lafadz:

“Beliau Saw. berdiri ke arah dinding, lalu beliau menggoresnya dengan tongkat yang dibawanya, kemudian meletakkan tangannya di atas dinding.”


Dalam hadits yang pertama disebutkan:

“Telah dijadikan bumi seluruhnya untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan sesuatu yang suci-mensucikan.”

Dalam ayat al-Qur’an disebutkan:

“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”

Dalam hadits nomor tiga disebutkan:

“Hendaknya engkau menggunakan tanah, karena tanah itu sudah cukup bagimu.”

Dalam hadits nomor empat disebutkan:

“Lalu aku pun bertayamum, kemudian shalat subuh mengimami para sahabatku.”

Dalam hadits kelima disebutkan:

“Tanah telah dijadikan sebagai sesuatu yang suci-mensucikan untukku.”

Dalam hadits keenam disebutkan:

“Bumi telah dijadikan untuk kami sebagai tempat bersujud (masjid), dan tanahnya telah dijadikan untuk kami sebagai sesuatu yang suci-mensucikan.”

Dalam hadits ketujuh disebutkan:

“Hingga menghadap ke dinding, lalu mengusap wajah dan kedua tangannya.”

Dalam beberapa nash tersebut, secara berulang disebutkan beberapa lafadz berikut: bumi seluruhnya, ash-sha’id, at-turab (tanah), dan dinding sebagai media atau sarana untuk bertayamum, dan semuanya itu tidak disebutkan sama sekali dalam hadits nomor empat.

Kaum Muslim berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan dari nash-nash tersebut, dan mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kata as-sha’id (tanah). Begitu pula mereka berbeda pendapat tentang at-turab, apakah kata tersebut menjadi pentakhsis ataukah pentaqyid dari kata as-sha'id, apakah at-turab itu diposisikan sebagai sesuatu yang dominan dari as-sha'id, atau hanya salah satu item dari benda yang umum, yakni as-sha'id? Apakah at-turab itu mencakup pasir atau tidak? Dari berbagai perbedaan pendapat ini lahirlah pendapat-pendapat empat imam yang telah kami sebutkan di atas, juga pendapat beberapa fuqaha lainnya.
Agar kita sampai pada pendapat yang kuat dan tepat, maka kita harus meninjau arti kata as-sha'id dan pendapat para ahli bahasa, baru kemudian kita mengkaji nash-nash berdasarkan tinjauan tersebut.

Az-Zujaj, al-Khalil, Ibnul Arabiy dan penyusun kamus al-Mishbah menyatakan: as-shaid itu adalah permukaan bumi, baik yang ada tanahnya atau tidak. Az-Zujaj menambahkan: aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam arti kata tersebut di kalangan para ahli bahasa. Dengan pengertian inilah Abu Hanifah, Malik dan at-Tsauri menafsirkan kata as-sha'id.
Qatadah dan at-Thabari berkata: as-sha'id adalah permukaan tanah yang kosong dari tumbuh-tumbuhan, tanaman dan bangunan.
Ibnu Zaid berkata: as-shaid adalah bagian bumi yang rata.
Pendapat yang paling tepat adalah pendapat az-Zujaj dan kawan-kawan. Menurut ilmu bahasa, ash-shaid itu artinya adalah sesuatu yang muncul dari bumi. Diberi istilah seperti itu karena as-sha'id merupakan bagian akhir atau ujung sesuatu yang muncul dari bumi. Bentuk jamak as-sha'id adalah shu'udat, dan shu’udat itu digunakan untuk menyebut jalan, di antaranya adalah hadits:

“Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan.” (HR. Ahmad dari jalur Abu Said)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan as-sha’id itu adalah permukaan bumi atau bagian atasnya, atau sesuatu yang tampak darinya, baik berupa batu cadas, bebatuan, tanah, kerikil, atau benda apapun yang dikenal sebagai material yang berasal dari bumi.

Kami telah katakan sebelumnya, bahwa ayat dan hadits-hadits tersebut menyebutkan beberapa lafadz: al-ardhu kulluha (bumi seluruhnya), as-sha'id (tanah), at-turab (tanah) dan dinding; ini mengandung arti bahwa nash-nash tersebut memerintahkan tayamum dengan bumi, baik bagian luarnya ataupun bagian dalamnya, memerintahkan tayamum menggunakan as-sha'id yang merupakan bagian luar bumi saja, dan memerintahkan tayamum menggunakan at-turab yang merupakan sesuatu yang lembut halus dari permukaan bumi. Hal ini dinyatakan di dalam al-Qamus al-Muhith. Dinding tembok juga termasuk perkara yang boleh digunakan untuk bertayamum. Orang-orang membolehkan tayamum dengan menggunakan batu cadas, logam, batu kerikil, debu, dan pasir, tiada lain mengamalkan lafadz al-ardhu (bumi) dan as-sha'id (tanah). Sedangkan orang-orang yang membatasi tayamum hanya dengan at-turab (debu) saja tiada lain karena menyatakan adanya takhsis dalam persoalan ini, yakni perkara yang umum (al-ardhu atau as-sha'id) telah ditakhsis oleh kata yang khas, yakni at-turab.
Pertanyaannya adalah: pendapat mana yang benar dari keduanya?

Ketika nash-nash ini menyebutkan kata at-turab (tanah), tujuannya bukan mentakhsis lafadz yang umum, yakni as-sha’id (permukaan bumi). Dan ketika menyebutkan kata as-sha'id tidak dimaksudkan untuk mentakhsis yang umum, yakni al-ardhu (bumi).
Begitu pula ketika nash-nash tersebut menyebutkan kata al-jidar tidak dimaksudkan untuk mentakhsis al-ardhu (bumi), as-sha'id (permukaan bumi) dan at-turab (tanah).
Sebenarnya ada nash-nash yang menyebutkan lafadz yang umum, dan ada nash-nash yang menyebutkan satuan benda (afrad) dari lafadz yang umum ini.
Penyebutan satuan benda dari lafadz yang umum itu tidak berarti mentakhsis yang umum dengan satuan benda tersebut (al-fard), dan penyebutan at-turab tidak keluar dari fakta bahwa at-turab itu sesuatu yang dominan, karena at-turab inilah bagian yang paling banyak digunakan dari bumi. Penyebutan al-jidar (dinding) itu bukan untuk menjadi pentakhsis.
Semua itu hanya satuan benda (al-fard) dari lafadz yang umum, yakni bumi, atau katakanlah dia merupakan kondisi yang dengannya tayamum bisa dilakukan, tidak lebih dari itu.
Pernyataan bahwa at-turab ini menjadi pentakhsis atau pentaqyid merupakan pernyatan yang tidak benar, karena sebenarnya tanah itu hanya satuan benda dari lafadz yang umum, sehingga ketika disebutkan, tidak diposisikan sebagai pentakhsis atau pentaqyid. Karena itu perkara yang umum ini tetap dalam keumumannya, dan ayat tersebut tetap memerintahkan menggunakan as-sha'id dengan keumumannya, dan hadits-hadits tersebut juga tetap memerintahkan menggunakan as-sha'id atau al-ardhu dengan keumumannya. Tidak ada takhsis (pengkhususan) atau taqyid (penetapan batasan) di sana.

Nash-nash ini telah membolehkan tayamum menggunakan al-ardhu (bumi), permukaannya, tanahnya, dan dinding yang dibangun di atasnya. Semua nash tersebut bisa diamalkan.
Benar, jika ada nash yang membatasi tayamum hanya boleh dilakukan menggunakan at-turab (tanah), maka kami akan menyatakan adanya pentakhsisan. Seandainya ada nash yang melarang bertayamum selain dengan at-turab, maka kami akan menyatakan adanya pentakhsisan. Karena faktanya tidak ada nash yang seperti itu, maka pendapat adanya pentakhsisan itu tidak bisa dibenarkan. Syafi’i dan Ahmad, serta mereka yang sependapat dengan keduanya itu telah keliru ketika di sini mereka tidak membedakan antara takhsis dan tanshish (penuturan) satuan benda dari lafadz yang umum, padahal perbedaan di antara keduanya itu sangat jelas. Dengan demikian, pernyataan yang mereka lontarkan bahwa tayamum tidak boleh dilakukan kecuali dengan menggunakan at-turab (tanah) dengan berpegang pada adanya takhsis merupakan pernyataan yang keliru.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf berupaya keras menguraikan persoalan ini, dan meniti jalan yang berbeda dengan yang ditempuh oleh as-Syafi'i dan Ahmad. Walaupun begitu dia sampai pada kesimpulan yang sama dengan kesimpulan yang didapatkan dua imam besar tersebut. Dia mengatakan saat menafsirkan ayat tayamum:

“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”

Kata min dalam ayat tersebut adalah lit-tab'idh, untuk memberi pengertian sebagian, dan tidak ada seorang Arab pun yang memahami ucapan seseorang masahtu bi ra'sihi minad dahni wa minat turabi (aku mengusapkan tanah atau lemak ke atas kepalanya) kecuali dengan pengertian “sebagian” tersebut. Dari ayat tersebut dia mengambil pemahaman bahwa ayat ini memberi pengertian tayamum dengan tanah (at-turab) saja, turab itu merupakan bagian yang dimaksud, dan inilah pendapat sama dengan yang dipegang oleh dua imam, walaupun berbeda dalam cara istinbathnya.

Sebenarnya az-Zamakhsyari mengesampingkan kompromi dalam istinbathnya sebagaimana hal itu dilakukan dua imam, walaupun mereka berbeda dalam arah istdilalnya. Karena itu, kata min dalam ayat ini mengandung pengertian lit tab’idh (untuk sebagian), tetapi sebagian apa yang diwajibkan dalam tayamum itu? Apakah maksud sebagian itu adalah yang ditepuk dengan tangan, ataukah jenis tanahnya (as-sha’id)?
Artinya, apakah maksudnya itu sesuatu yang melekat di tangan, yakni sebagian dari yang ditepuk oleh tangan, ataukah artinya itu adalah salah satu jenis as-sha'id seperti pasir, tanah dan batu cadas? Jika dia mengatakan kemungkinan yang kedua, maka kami katakan kemungkinan yang pertama, karena ketika kemungkinan kedua bisa berlaku, maka begitu pula dengan kemungkinan yang pertama.
Bagaimana pendapat Anda seandainya ayat ini menyatakan:

“Bertayamumlah dengan tanah yang baik.”

Apakah menurut bahasa tidak dibolehkan jika setelah itu dikatakan:

“Sapulah mukamu dan tanganmu dengannya.”

Tentu saja jawabannya boleh, bahkan di sini menjadi makna paling tepat untuk menunjukkan sebagian, sehingga kemungkinan pertama lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah bahasa Arab dibandingkan dengan kemungkinan kedua.

Tetapi semua itu -di mana berbagai arah istidlalnya tidak benar dan tidak bisa diaplikasikan- adalah satu hal, dan pernyataan bahwa tanah itu cukup untuk bertayamum adalah hal yang lain. Sehingga walaupun saya tidak sepakat dengan as-Syafi’i, Ahmad dan az-Zamakhsyari dalam arah istidlalnya, tetapi hal itu tidak menghalangi saya untuk berpegang pada kesimpulan akhir yang mereka ambil, yakni at-turab atau lebih tepatnya benda lembut dari permukaan bumi itu cukup untuk bertayamum. Mengapa demikian? Jawabannya adalah sebagai berikut:

Dalam ayat tayamum, Allah Swt. menjelaskan kepada kita agar menepukkan telapak tangan ke atas bumi atau ke atas tanah, sehingga telapak tangan kita bisa membawa “sesuatu” darinya yang bisa kita usapkan ke wajah dan dua telapak tangan. Allah Swt. mengisyaratkan “sesuatu” ini dengan dua ungkapan -walaupun sebenarnya sudah cukup dengan satu ungkapan- sebagai sesuatu yang harus diperhatikan.
Allah Swt. mengatakan: famsahuu bi wujuuhikum, bukan famsahuu wujuuhakum, kemudian disisipkan huruf ba pada kata wujuuhikum tiada lain untuk menunjukkan “sesuatu” yang digunakan dalam mengusap (wajah dan dua telapak tangan).
Tidak cukup sampai di situ, Allah Swt. malah menambahkan lafadz minhu untuk mengisyaratkan “sesuatu” yang menempel pada tangan, di mana mengusap wajah dan telapak tangan itu semata-mata dengan “sesuatu” yang menempel pada tangan yakni as-sha’id (tanah). Inilah pengertian yang dimaksud ayat tersebut, dan inilah kunci pembuka pendapat ini, sehingga tanah apapun dan bumi bagian manapun, bagian luar ataupun dalam, ketika kita tepukkan tangan ke atasnya sehingga (tangan itu) bisa membawa sesuatu darinya, maka saat itu bolehlah kita bertayamum, sehingga ketika tangan tidak bisa membawa sesuatu, maka tidak akan bisa mengusap, sehingga tidak bisa bertayamum karenanya.
Inilah kriteria akurat untuk menetapkan bagian tanah dan bumi yang layak digunakan dalam bertayamum.

Sebagai implementasinya kami katakan, ketika tangan ditepukkan ke atas tanah lempung, pasir dan kapur, maka akan ada sesuatu yang bisa terbawa oleh tangan, sehingga tayamum itu boleh dengan pasir sebagaimana dibolehkan dengan tanah dan kapur. Tetapi ketika kita menepukkan tangan di atas batu cadas, bebatuan dan kerikil, maka tidak ada sesuatu yang terbawa darinya sehingga tidak bisa bertayamum dengannya.
Ini sesuai dengan hadits Abu Juhaim yang menyebutkan dinding (al-jidar), di mana dinding itu dipastikan berasal dari tanah sehingga ketika tangan ditepukkan ke atasnya maka akan ada sesuatu yang bisa terbawa olehnya. Perkara yang bisa menguatkan dan menegaskan pemahaman ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam as-Syafi’i yang di dalamnya ada tambahan:

“Lalu dia menggoresnya dengan tongkat yang dibawanya.”

Tambahan tersebut bisa menghilangkan ambiguitas sama sekali, dan menjadikan hadits ini selaras dengan kaidah tadi. Supaya bisa digunakan untuk bertayamum, maka dari dinding itu harus ada sesuatu yang bisa terbawa oleh tangan, dan itu tidak akan terjadi kecuali dengan cara digores, atau dinding tersebut sudah lama (lapuk) sehingga layak untuk bertayamum.
Dengan demikian, semua hadits yang menggunakan lafadz al-ardh, as-sha'id dan at-turab bisa dipahami, dan karenanya kita bisa memahami bahwa at-turab yang disebutkan dalam beberapa hadits semata-mata menjelaskan as-sha’id yang layak digunakan untuk bertayamum, bukan sebagai batasan (limitasi) sama sekali. Digunakannya lafadz at-turab semata-mata sebagai sesuatu yang paling umum dan paling galib serta contoh saja, tidak lebih dari itu.

Inilah pendapatnya dan inilah arah istidlalnya, di mana hal ini selaras dengan hadits keempat:

“Lalu aku pun bertayamum, dan kemudian shalat.”

Yang tidak menyebutkan kata as-sha’id atau at-turab, karena seandainya at-turab itu yang diperintahkan untuk digunakan, bukan ar-raml (pasir), niscaya dia akan bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang benda yang harus digunakannya untuk bertayamum. Ketika sahabat tersebut tidak menanyakannya, maka ini menunjukkan tidak adanya perbedaan di antara at-turab (tanah), ar-raml (pasir) dan semisalnya.
Begitu pula pemahaman dari hadits Ammar bin yasir yang tercantum dalam Shahih Muslim, dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku terkena junub, padahal aku tidak menemukan air. Aku pun berguling-guling di tanah seperti berguling-gulingnya binatang ternak. Kemudian aku menemui Nabi Saw. dan menceritakan hal itu padanya. Maka beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup meletakkan tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak tangannya dan wajahnya.” (HR. Muslim)

Ketika Rasulullah Saw. tidak menanyainya tentang jenis tanah tempat dia berguling-guling, maka ini menunjukan tidak ada perbedaan antara satu jenis tanah dengan tanah yang lain, selama ada sesuatu darinya yang bisa terbawa oleh tangan. Inilah pengertian tamarrugh (berguling-guling), karena batu cadas itu tidak bisa digunakan sebagai tempat berguling-guling.

Sekarang kita perhatikan Jazirah Arab, yang menjadi buaian Islam dan tempat tinggal Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagian besar tanahnya adalah pasir. Al-Qur’an yang mulia diturunkan dan Sunnah Nabi Saw. didatangkan di Jazirah Arab yang ditutupi pasir ini. Tidak ada diriwayatkan ada satupun sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hukum tayamum dengan pasir. Peristiwa seperti itu tidak dinukil kecuali dalam satu hadits saja yang diriwayatkan Ahmad, Said bin Manshur, dan Abdurrazaq dari Abu Hurairah, dia berkata:

“Seorang Arab dusun menemui Nabi Saw., lalu dia bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berada di padang pasir selama empat atau lima bulan, kemudian di antara kami ada wanita nifas, haid dan orang junub, bagaimana menurutmu? Beliau Saw. bersabda: “Engkau harus menggunakan tanah.”
Tetapi sayangnya hadits ini dhaif karena kedhaifan al-Mutsanna bin as-Shabbah. Ini disebutkan oleh Ibnu Ma'in. Al-Haitsami berkata: “Sebagian besar ahli hadits mendhaifkannya.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata: “Seringkali Rasulullah Saw. bertayamum di bumi yang digunakannya untuk shalat, baik berupa tanah ataupun berupa pasir. Adalah benar telah diriwayatkan dari beliau Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:

“Bagaimanapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat sujud dan memiliki sesuatu untuk bersuci.”

Ini merupakan nash yang sharih bahwa orang yang didatangi waktu shalat di padang pasir, maka pasir menjadi alat bersuci baginya. Ketika beliau Saw. dan para sahabat melakukan perjalanan (safar) dalam Perang Tabuk, mereka menempuh padang pasir dalam perjalanan tersebut, padahal air yang mereka bawa sangat sedikit. Tidak diriwayatkan sedikitpun bahwa beliau Saw. membawa serta tanah, memerintahkan membawanya atau ada sahabat yang melakukannya, padahal mereka tahu betul bahwa di padang pasir itu lebih banyak pasirnya dibandingkan tanahnya. Begitu pula bumi Hijaz dan sebagainya. Siapa saja yang merenungkan hal ini, maka dia bisa memastikan bahwa beliau Saw. bertayamum dengan pasir. Wallahu a’lam, dan ini merupakan pendapat jumhur.

Dari paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa permukaan bumi, atau tanah di manapun di bumi ini, layak digunakan untuk bertayamum jika memang tangan bisa membawa sedikit darinya ketika ditepukkan di atas. Dengan ungkapan lain, tanah pasir, tanah lempung hitam dan merah, tanah yang putih, tanah bersulfur, dan tanah bergaram, semua itu layak digunakan untuk tayamum, tidak keluar dari permukaan bumi selain tempat yang dipenuhi cadas dan batu.
Seandainya kita berpegang pada penjelasan al-Qamus al-Wasith tentang at-turab, bahwa at-turab itu adalah maa na'uma min adiim al-ardh (bagian yang lembut dari permukaan bumi), niscaya kita bisa menyatakan bahwa tayamum itu hanya dengan at-turab saja, karena istilah tersebut mencakup semua jenis tanah selain cadas dan batu saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam