Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 03 Oktober 2017

Cara Mengusap Sepatu Dalam Wudhu



Sesuatu yang Dipakai Di Kaki

Contohnya adalah sepatu, sandal, khuff, jurmuq (overshoe), dan kaus kaki. Fakta sepatu sudah dipastikan bisa diketahui, sedangkan khuff adalah sandal dari kulit yang menutupi dua mata kaki, jurmuq lebih besar dari khuff dan dipakai di atasnya, sedangkan mengenai jaurab (kaus kaki) disebutkan oleh penyusun kitab al-Qamus: yaitu penutup kaki. Ibnul Arabiy berkata: Jaurab adalah sesuatu yang dipakai penduduk negeri yang sangat dingin, yang berasal dari tenunan wol. Dari Khalida bin Said, dia berkata:

“Abu Mas’ud al-Anshari mengusap dua jaurab miliknya yang berasal dari bulu domba, dan mengusap kedua sandalnya.” (HR. Abdurrazaq)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan: “Dari Uqbah bin Amr, bahwasanya dia mengusap dua jaurabnya yang berasal dari bulu domba.”

Nama-nama ini mencakup sesuatu yang digunakan seseorang pada kakinya, berupa sepatu dan sebagainya, yang digunakan untuk menutupi dan menghangatkan kaki serta memudahkannya berjalan, tanpa perbedaan apakah bahannya berasal dari kulit, wol, rami, atau bahan sintetis modern lainnya, tidak ada perbedaan apakah keras ataukah lembut, selama menutupi dan menghangatkan kaki serta memudahkannya berjalan.
Kami menyebutkan “menutupi”, “menghangatkan, dan “memudahkan berjalan” karena biasanya karakter seperti ini terdapat pada sesuatu yang dipakai oleh kaki. Benda-benda tersebut ada yang keras yang bisa menahan kasar dan kerasnya tanah selama berjalan seperti sandal, ada juga yang lebih lembut yang terbuat dari kulit yang lembut, atau bulu domba, bulu unta, bulu kambing, atau kain, ada yang lebar dan ada yang sempit; semua ini tercakup dalam pembahasan mengusap sesuatu yang dipakai kaki.

Legalitas mengusap sepatu sudah disampaikan dalam Sunnah Nabi Saw., dinukil dari mayoritas sahabat, serta sangat populer di kalangan umat ini.
An-Nawawi berkata: Tak terhitung banyaknya jumlah sahabat yang meriwayatkan mengusap dua khuff.
Ibrahim an-Nakha’iy berkata: “Di antara sahabat Rasulullah Saw. yang mengusap dua khuff adalah Umar bin Khaththab, Saad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al-Anshari, Hudzaifah, al-Mughirah bin Syu'bah, dan al-Barra bin Azib.” Ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.
Ibnu Hajar berkata: Sejumlah al-Hafidz (orang yang hafal minimal seratus ribu hadits) menyatakan bahwa mengusap dua khuf itu mutawatir, sebagian mereka mengumpulkan para perawinya, ternyata jumlahnya lebih dari delapan puluh perawi. Di antara mereka adalah perawi yang sepuluh.
Ahmad berkata: Dalam masalah mengusap khuff ada empat puluh hadits dari sahabat yang berstatus marfu’.
Ibnu al-Mubarak berkata: Dalam masalah bolehnya mengusap dua khuff tidak ada perbedaan pendapat. Dia berkata lagi: “Terdapat beberapa sahabat yang konon diriwayatkan darinya bahwa dia enggan mengusap dua khuff, ternyata kemudian diriwayatkan darinya hal sebaliknya.” Pernyataan Ibnul Mubarak ini dituturkan oleh Ibnul Mundzir.
Ibnu Abdil Barr berkata: Aku tidak mengetahui ada riwayat dari fuqaha yang mengingkari kebolehan mengusap khuff selain Malik, walaupun begitu, riwayat-riwayat yang shahih justru menegaskan kebolehannya.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Abu Hurairah yang mengandung pengingkaran terhadap kebolehan mengusap khuff, maka kedua riwayat tersebut telah dikomentari oleh Ibnu Abdil Barr: Tidak terbukti keshahihannya.
Ahmad berkata: Hadits Abu Hurairah yang mengingkari kebolehan mengusap khuff tidak shahih, hadits ini batil.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa Ali ra. menyatakan tidak boleh mengusap dua khuff, maka hadits tersebut telah dibatalkan oleh hadits yang diriwayatkan dari jalur yang shahih dari Ali, juga yang menyatakan bolehnya mengusap khuff.

Dari Syuraih bin Hani, dia berkata:

“Aku pernah menemui Aisyah dan bertanya kepadanya tentang mengusap dua khuff, maka beliau berkata: Datanglah kepada Ibnu Abi Thalib, lalu tanyakanlah perihal itu kepadanya, karena dia pernah bepergian bersama Rasulullah Saw. Maka kami bertanya kepada Ali, dia berkata: Rasulullah Saw. menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari satu malam bagi orang yang mukim.” (HR. Muslim dan an-Nasai)

Walaupun paparan di atas begitu jelas, tetapi Abu Bakar bin Dawud ad-Dzahiri dan yang lainnya mengingkari kebolehan mengusap dua khuff. Untuk menopang pendapatnya, mereka berargumentasi dengan ayat al-Maidah yang membahas wudhu dan di dalamnya ada perintah membasuh dua kaki, juga berargumentasi dengan perintah Rasulullah Saw. untuk membasuh:

“Dan basuhlah kakimu.”

Dan sabda beliau Saw. setelah membasuh dua kaki:

“Allah Swt. tidak menerima shalat tanpanya (membasuh kaki).”

Dan sabda beliau Saw.:

“Lembah Neraka Wail dari Neraka diperuntukkan untuk tumit-tumit (yang tidak terbasuh air).”

Mereka menolak hadits-hadits mengusap khuff dengan alasan hadits-hadits tersebut telah dinasakh oleh ayat al-Maidah. Mereka keliru besar dan sewenang-wenang dalam istinbath dan pengambilan kesimpulan.

As-Syaukani memberikan bantahan yang sangat tepat kepada mereka dengan menyatakan: “Perihal ayat ini maka telah terbukti kabar dari Rasulullah bahwa beliau Saw. mengusap dua khuff setelah ayat al-Maidah ini turun, sebagaimana tercantum dalam hadits Jarir yang kami sebutkan dalam bab ini. Sedangkan hadits “cucilah kakimu”, maka tujuannya adalah perintah mencuci tetapi di dalamnya tidak ada sesuatupun yang mengesankan adanya pembatasan. Seandainya ada sesuatu yang menunjukkan pembatasan pastinya hadits tersebut sudah ditakhsis oleh hadits-hadits ”mengusap khuff” yang mutawatir, sedangkan hadits “Allah Swt. tidak menerima shalat tanpanya” tidak bisa digunakan sebagai hujjah sama sekali. Jadi, bagaimana mungkin bisa melawan hadits-hadits mutawatir karena kita tidak menemukan lafadz seperti ini dari jalur yang cukup diperhitungkan. Sedangkan hadits “lembah Neraka Wail untuk tumit yang tidak terbasuh air,” maka ini merupakan ancaman bagi orang yang mengusap kakinya dan tidak membasuhnya. Hadits ini tidak terkait sama sekali dengan mengusap dua khuff. Kalau boleh aku katakan, hadits ini bersifat umum, sehingga tidak bisa membatasi sebabnya. Aku katakan: Kami tidak bisa menerima pernyataan bahwa hadits ini mencakup orang yang mengusap dua khuff, karena dia membiarkan kakinya seluruhnya, bukan hanya membiarkan tumitnya (tidak terbasuh). Hadits-hadits mengusap dua khuff itu dikhususkan orang yang mengusapnya dari ancaman tadi. Adapun klaim adanya nasakh, maka jawabannya adalah ayat ini bersifat umum dan muthlaq ketika dikaitkan dengan persoalan memakai atau tidak memakai khuff, sehingga hadits-hadits mengusap khuff itu menjadi pentakhsis atau pentaqyidnya. Dengan demikian klaim nasakh dalam masalah ini tidak benar adanya.”

Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Baari: “Ayat al-Maidah itu turun dalam Perang al-Muraisi', sedangkan hadits al-Mughirah terjadi dalam Perang Tabuk. Telah disepakati bahwa Perang Tabuk itu terjadi belakangan.”
Abu Dawud dan Malik secara jelas menyebutkan hadits al-Mughirah terjadi dalam Perang Tabuk, begitu pula as-Syafi’i dalam kitab Musnad-nya.
Al-Bazzar, at-Thabrani, dan Ahmad telah meriwayatkan dari Auf bin Malik, dia berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan kami dalam Perang Tabuk untuk mengusap dua khuff, tiga hari tiga malam untuk orang musafir, dan sehari semalam untuk orang yang mukim.”

Hadits Jarir dan hadits al-Mughirah yang disinggung dalam pernyataan as-Syaukani dan Ibnu Hajar akan kami sampaikan dengan ijin Allah dengan hadits lainnya, untuk menunjukkan legalitas mengusap dua khuff.

1. Dari Hammam, dia berkata:

“Jarir buang air kecil (kencing), kemudian dia berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Setelah itu dia ditanya: Benarkah yang engkau lakukan? Dia menjawab: Iya, aku melihat Rasulullah Saw. buang air kecil, kemudian beliau Saw. berwudhu dan mengusap dua khuffnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi)

2. Dari Abdurrahman bin Abi Nu’m dari al-Mughirah bin Syu’bah:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. mengusap dua khuffnya, maka aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa. Beliau Saw. berkata: “Sebaliknya, justru engkau yang lupa. Seperti inilah yang diperintahkan Allah azza wa jalla kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

Sanad hadits ini shahih.

3. Dari al-Mughirah bin Syu’bah:

“Lalu beliau Saw. membasuh kedua lengannya, mengusap kepalanya, kemudian aku jongkok untuk membuka dua khuffnya, maka beliau Saw. berkata: “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku ke dalamnya dalam keadaan suci. Lalu beliau Saw. mengusap kedua khuffnya.” (HR. Muslim)

4. Dari Abdullah bin Umar, dari Saad bin Abi Waqqash, dari Nabi Saw.:

“Bahwasanya beliau Saw. mengusap dua khuffnya. Abdullah bin Umar menanyakan hal itu kepada Umar, maka Umar berkata: Iya. Jika Saad menceritakan hadits Nabi Saw. kepadamu, maka janganlah engkau bertanya lagi kepada orang lain.” (HR. Bukhari, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Malik)

5. Dari al-Mughirah, dia berkata:

“Nabi Saw. berwudhu, beliau Saw. mengusap kedua kaus kaki dan dua sandalnya. (HR. Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah.

6. Hadits Bilal, Tsauban, Amr bin Umayyah yang kami sebutkan dalam pembahasan sesuatu yang dipakai di atas kepala.

Hadits-hadits shahih ini menunjukkan legalitas mengusap sepasang khuff, sepasang sandal, dan sepasang kaus kaki. Ini telah dimaklumi di kalangan para fuqaha, baik salaf ataupun khalaf, sehingga pernyataan yang menyalahinya tidak perlu kita hiraukan.
Hadits Jarir cukup menjadi dalil bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya nasakh, karena Jarir masuk Islam belakangan.
Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Jarir dan menambahkan:

“Mereka berkata: Sesungguhnya ini terjadi sebelum turunnya al-Maidah. Dia berkata: Aku tidak masuk Islam melainkan setelah turunnya al-Maidah.”

At-Thabrani meriwayatkan dari Jarir, dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. mengusap dua khuffnya setelah turun al-Maidah.”

Dengan demikian, hadits ini datang belakangan setelah turunnya ayat al-Maidah yang memerintahkan membasuh kaki, sehingga ayat tersebut tentu saja tidak menasakhnya.
Begitu pula hadits al-Mughirah datang belakangan setelah turunnya ayat al-Maidah, karena konteks hadits tersebut terjadi saat Perang Tabuk. Hal ini diceritakan oleh Abu Dawud.

Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik yang ditakhrij oleh al-Bazzar, at-Thabrani dan Ahmad:

“Rasulullah Saw. memerintahkan kami dalam Perang Tabuk untuk mengusap dua khuff.”

Secara lengkap hadits ini telah kami sebutkan sebelumnya.

Ahmad berkata: Ini merupakan hadits yang paling bagus dalam masalah mengusap dua khuff. Hadits ini dihasankan oleh Bukhari. Al-Haitsami berkata: Para perawinya adalah perawi hadits shahih.
Ini merupakan nash yang menyatakan bahwa mengusap dua khuff itu terjadi pada Perang Tabuk.
Kemudian Malik meriwayatkan hadits al-Mughirah dalam kitab al-Muwaththa:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. pergi untuk buang hajat pada Perang Tabuk… lalu beliau Saw. membasuh dua tangannya, mengusap kepalanya, dan mengusap dua khuffnya.”

Ini juga merupakan nash yang sharih (jelas), sehingga sangat tidak tepat bila dikatakan ayat al-Maidah telah menasakh hadits-hadits ini. Karena sesuatu yang datang lebih dahulu itu (yakni ayat al-Maidah) tidak akan bisa menasakh nash yang datang belakangan (yakni hadits mengusap dua khuff ini).

Mengenai mengusap kaus kaki secara khusus, sebagian ulama dan fuqaha merasa bimbang tentangnya. Di antara mereka ada Abu Hanifah, yang sepanjang hayatnya mentawaqufi masalah ini, kecuali satu minggu terakhir beliau melontarkan pendapat mengenai bolehnya mengusap dua kaus kaki. Dan beliau berkata tiga hari atau tujuh hari sebelum wafatnya kepada para tamunya: “Aku melakukan sesuatu yang sebelumnya aku larang.” Tetapi mayoritas ulama dan imam membolehkan mengusap dua kaus kaki. Kebolehan ini dinukil dari mayoritas sahabat.
Abu Dawud berkata: Mereka yang membolehkan mengusap dua kaus kaki adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, al-Barra bin Azib, Anas bin Malik, Abu Umamah, Sahl bin Saad, Amr bin Harits, juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dan Ibnu Abbas.
Mengusap dua kaus kaki juga diriwayatkan dari Ammar, Bilal bin Abdullah dan Ibnu Umar.
at-Tirmidzi berkata: “Pendapat ini disampaikan pula oleh Sufyan at-Tsauri, Ibnul Mubarak, as-Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Boleh mengusap dua kaus kaki walaupun tidak ada sandal jika memang kedua kaus kaki itu tebal.”

Adapun terkait limitasi (pembatasan waktu) mengusap sepatu dan sandal maka kami menyebutkan beberapa hadits berikut:

1. Hadits Auf bin Malik yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Di dalamnya disebutkan:

“Tiga hari tiga malam untuk orang yang sedang dalam perjalanan, dan satu hari satu malam untuk orang yang sedang mukim.”

2. Dari al-Qasim bin Mukhaimirah, dari Syuraih bin Hani, dia berkata:

“Aku pernah menemui Aisyah dan bertanya kepadanya tentang mengusap dua khuff, maka beliau berkata: Datanglah kepada Ibnu Abi Thalib, lalu tanyakanlah hal itu kepadanya, karena dia pernah bepergian bersama Rasulullah Saw. Maka kami bertanya kepada Ali, dia berkata: Rasulullah Saw. menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari satu malam bagi orang yang mukim.” (HR. Muslim, Ahmad, at-Titmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasai)

3. Dari Shafwan bin Assal, dia berkata:

“Kemudian beliau Saw. memerintahkan kami untuk mengusap dua khuff, jika memang saat kami memakainya dalam keadaan suci, selama tiga hari ketika kami sedang melakukan perjalanan, dan selama sehari semalam ketika kami sedang bermukim, dan kami tidak melepas keduanya kecuali karena junub.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

Dan dalam riwayat Ahmad, Tirmidzi dan an-Nasai disebutkan:

“Kecuali karena junub, tetapi (kami dibolehkan melepasnya) saat buang air besar, kencing atau karena tidur.”

Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan shahih. Dan dia berkata: Muhammad bin Ismail berkata: hadits yang paling baik dalam persoalan ini adalah hadits Shafwan.

4. Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari ayahnya, dari Nabi Saw.:

“Bahwasanya beliau Saw. memberi rukhshah untuk mengusap dua khufnya kepada musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) selama tiga hari tiga malam, dan bagi orang yang mukim selama sehari semalam jika memang dia dalam keadaan suci saat memakai dua khuffnya.” (HR. ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, at-Thabrani, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh as-Syafi’i, al-Khattabiy, dan Ibnu Khuzaimah. Bukhari berkata: Hadits Abu Bakrah ini adalah hadits hasan.

5. Dari Khuzaimah bin Tsabit, dari Nabi Saw.:

“Mengusap dua khuff untuk musafir itu tiga hari tiga malam, dan bagi orang yang sedang mukim adalah sehari semalam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan pula oleh at-Tirmidzi, begitu pula dishahihkan oleh Yahya bin Ma’in.

Lima hadits yang shahih ini menjelaskan bahwa jangka waktu usapan sepatu bagi seorang mukim (yang tidak sedang dalam perjalanan) itu sehari semalam, sedangkan untuk musafir (yang sedang dalam perjalanan) adalah tiga hari tiga malam.
Walaupun begitu, para ulama dan imam berbeda pendapat tentang penetapan waktu usapan. Malik dan al-Laits berpendapat bahwa usapan dua khuff itu tidak ditetapkan waktunya, dan seorang Muslim berhak mengusap kapan saja, baik dia seorang musafir ataupun seorang mukim. Pendapat serupa dalam satu riwayat diriwayatkan berasal dari Umar, juga berasal dari Abdullah bin Umar, Uqbah bin Amir, dan al-Hasan al-Bashri.
Sedangkan Abu Hanifah, at-Tsauri, al-Auza’iy, as-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, Dawud, dan at-Thabari berpendapat adanya penetapan waktu usapan. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzaifah, al-Mughirah, Abu Zaid al-Anshari, dan Umar dalam satu riwayat darinya, dari kalangan tabi’in ada Syuraih al-Qadhi, Atha, as-Sya'biy, dan Umar bin Abdul Aziz.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Sebagian besar tabiin dan fuqaha berpendapat seperti ini.” Dalil-dalil mereka adalah dalil-dalil yang kami sebutkan di atas.
Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang membantah adanya penetapan waktu, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ubay bin Imarah, dia berkata:

“Wahai Rasulullah, apakah aku boleh mengusap dua khuff? Beliau Saw. menjawab: Boleh. Dia bertanya lagi: Satu hari? Beliau Saw. menjawab: Iya satu hari. Dia bertanya lagi: Dua hari? Beliau Saw. menjawab: Iya dua hari. Dia bertanya lagi: Tiga hari? Beliau Saw. menjawab: Iya, sesukamu.”
Ini hadits dhaif.

Dalam satu riwayat dari Abu Dawud:

“Hingga tujuh hari, Rasulullah Saw. menjawab: “Iya sekehendakmu.”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Khuzaimah bin Tsabit bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. memberikan rukhshah kepada kami mengusap (khuff) selama tiga hari, dan seandainya kami meminta tambah waktu, niscaya beliau Saw. memberikan tambahan kepada kami.”

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan Ibnu Majah:

“Seandainya si penanya itu terus-menerus bertanya, niscaya beliau Saw. menetapkannya hingga lima hari.”

Hadits Abu Dawud dari jalur Ibnu Imarah ini adalah hadits dhaif. Ahmad berkata: Para perawinya tidak dikenal.
Ad-Daruquthni berkata: Sanad hadits ini tidak terbukti keshahihannya, selain itu di dalam sanadnya ada beberapa perawi yang tidak dikenal.
Ibnu Abdil Barr berkata: Tidak terbukti keshahihannya dan tidak memiliki sanad yang bisa dijadikan landasan.
Abu Dawud berkata: Sanadnya tidak kuat.
Bahkan ad-Daruquthni menyebutkannya dalam kitab al-Maudhu'at (kumpulan hadits maudhu).

Hadits Khuzaimah bin Tsabit dengan tambahan yang disebutkan itu tidak bisa dijadikan hujjah, karena tambahan pembatasan waktu itu bersifat dugaan.

Kalimat:

“Dan seandainya kami meminta tambah waktu, niscaya beliau Saw. memberikan tambahan kepada kami.”

Dan kalimat:

“Seandainya si penanya itu terus menerus bertanya.”

Jelas menunjukkan bahwa mereka tidak meminta tambahan sehingga mereka tidak diberi tambahan. Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan tidak adanya pembatasan waktu.
Nash-nash dhaif ini tidak akan mampu bertahan di hadapan banyaknya hadits-hadits shahih yang menyebutkan penetapan waktu. Dengan demikian, gugurlah pendapat mereka yang mengatakan tidak adanya pembatasan waktu.

Mengenai awal jangka waktu usapan, adalah sejak dia berhadats dan dia dalam keadaan memakai khuff, bukan sejak mengusap, karena mengusap itu ibadah yang temporal, sehingga awal waktunya dipandang sejak berlakunya kebolehan melakukan usapan, bukan sejak mengusap itu sendiri. Pernyataan yang lain bersifat muhtamal (mengandung beberapa kemungkinan). Selain itu kami tidak memiliki nash yang bisa menetapkan manakah di antara dua pendapat ini yang paling tepat.

Ketika mengusap sandal dan khuff, seseorang diwajibkan untuk memakainya dalam keadaan sudah bersuci, yakni telah berwudhu. Dalilnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal di atas, di dalamnya disebutkan:

“(Beliau Saw. memerintahkan) kami untuk mengusap dua khuff jika memang saat kami memakainya dalam keadaan suci.”

Dan hadits al-Mughirah sebelumnya, di dalamnya disebutkan:

“Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.”

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Biarkanlah dua khuff itu, sesungguhnya aku memasukkan kedua kakiku ke dalamnya dan keduanya dalam keadaan suci. Beliau Saw. kemudian mengusap kedua khuffnya itu.”

Nash-nash ini menunjukkan adanya syarat “sudah bersuci” ketika memakainya. Artinya, ketika dimasukkan dalam keadaan tidak suci, maka khuff tersebut tidak boleh diusap. Ini adalah pendapat Malik, as-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.

Pendapat ini ditentang oleh Abu Hanifah, Sufyan at-Tsauri, Yahya bin Adam, al-Muzani, Abu Tsur dan Dawud. Mereka menyatakan boleh memakainya dalam keadaan berhadats, kemudian setelah itu baru bersuci. Mereka memahami hadis-hadits di atas dalam pengertian suci dari najis, bukan suci dari hadats. Betul bahwa lafadz thaharah (bersuci) itu mencakup menghilangkan hadats, menghilangkan najis, dan mencakup selain keduanya, sehingga qarinah-lah yang menentukan pengertian manakah yang dimaksud.
Di sini qarinahnya adalah nash-nash tersebut disampaikan dalam persoalan wudhu dan mengusap khuff saat wudhu, bukan dalam persoalan bersuci dari najis dan selainnya, sehingga ketika nash-nash tersebut datang terkait persoalan wudhu maka ini menjadi qarinah bahwa makna yang dimaksud dengan thaharah (bersuci) di sini adalah thaharah (bersuci) dari hadats, bukan dari yang lain.
Mereka sendiri tidak memiliki qarinah yang bisa mengarahkan makna thaharah itu pada bersuci menghilangkan najis. Yang mereka lakukan hanyalah melakukan penentuan tanpa qarinah yang menentukan, dan melakukan pembatasan tanpa qarinah yang bisa membatasi.

Para imam berbeda pendapat tentang membasuh kaki kanan dalam wudhu dan memakai khuff sebelum kaki kiri dibasuh, dan sebelum khuff sebelah kiri dipakai, apakah orang yang melakukan seperti itu di waktu kemudian boleh mengusap dua khuffnya? Mereka terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat yang paling tepat adalah tidak boleh, karena dengan melakukan seperti itu berarti dia telah memakai khuff sebelah kanan sebelum selesai bersuci (berwudhu). Sedangkan seorang yang mengusap dua khuff diwajibkan memasukkan dua kakinya ke dalam dua khuff dalam keadaan suci, dan kondisi suci itu tidak terwujud sebelum sempurnanya wudhu. Ibnu Hajar dan an-Nawawi mendukung pendapat ini, berbeda dengan at-Tsauri, al-Muzani dan Ibnul Mundzir.

Usapan khuff menjadi batal sehingga wudhunya pun menjadi batal, disebabkan oleh tiga perkara:

Pertama: menanggalkan dua khuff atau salah satunya, walaupun hanya sebentar, termasuk ketika khuff itu robek sehingga biasanya tidak layak dipakai lagi.
Al-Muzani dan Abu Tsaur tidak sependapat dengan ini. Mereka berdua mengatakan, jika khuff ditanggalkan, maka kedua kakinya dibasuh dan wudhunya tetap sah. Pendapat ini sama dengan yang dilontarkan Malik dan al-Laits kecuali jika menanggalkannya telah terlalu lama. Al-Hasan dan Ibnu Abi Laila berkata: Kedua kakinya tidak perlu dibasuh dan wudhunya tetap sah. Mereka menganalogikan dengan mengusap rambut kepala, kemudian rambut tersebut dicukur, maka orang tersebut tidak wajib mengusap kembali, dan wudhunya tetap sah. Ini merupakan qiyas (analogi) yang tidak benar.
Hal ini karena rambut itu tidak dipakai, tidak bisa ditanggalkan untuk dipakai kembali, berbeda halnya dengan khuff yang bisa dipakai dan ditanggalkan. Selain itu, rambut merupakan bagian dari kepala, berbeda halnya dengan khuff, dua fakta ini berbeda.
Terlebih lagi qiyas dalam persoalan ibadah itu tidak bisa dibenarkan kecuali jika ada ‘illat yang nyata. Ibnu Hajar mengkritisi qiyas yang mereka lakukan ini dengan mengatakan: qiyas seperti ini bisa dibantah.

Kedua: berakhirnya masa berlaku usapan yang telah kami sebutkan di atas.

Ketiga: janabah. Ini berdasarkan hadits Shafwan di atas, di dalamnya disebutkan:

“Dan kami tidak melepas keduanya kecuali karena junub.”

Jika seorang Muslim memakai khuff yang di atasnya ada hidza (sepatu), lalu dia mengusap sepatu itu, kemudian menanggalkannya (sedang khuffnya tidak ditanggalkan), maka batallah wudhunya, karena syarat langgengnya wudhu itu adalah langgengnya sesuatu yang diusapnya.
Ketika dia memakai khuff dan mengusap khuff, kemudian di atasnya dia memakai khuff yang lain atau sepatu, maka wudhunya tetap berlaku.
Ketika khuffnya sangat rusak karena robek berat sehingga tidak bisa diusap lagi, lalu dia memakai khuff lain di atasnya yang juga sangat rusak karena robek berat, di mana dua khuff yang rusak itu dipakai dan bisa menutupi, maka keduanya boleh diusap, tetapi wudhu menjadi batal ketika salah satunya ditanggalkan. Kami katakan sangat rusak karena robek berat sebagai batasannya, agar bisa mengeliminasi sepatu yang robek sedikit dan wajar. Jika ada robek atau retak dengan kadar yang wajar pada khuff, sepatu, kaus kaki ataupun sandal, maka tetap boleh diusap selama dipakai seperti biasa.
At-Tsauri berkata: “Khuff kaum Muhajirin dan Anshar tidak luput dari robek seperti kebanyakan khuff orang-orang.”
Seandainya hal seperti itu dilarang, niscaya akan disampaikan dan dinukilkan pada kita. Tetapi ketika khuffnya tidak menutupi bagian yang fardhu dibasuh, seperti sepatu yang tidak menutupi dua mata kaki, maka tidak sah diusap karena bagian kaki yang terbuka itu wajib dibasuh dalam wudhu, sedangkan khuff hanya diusap, padahal basuhan dan usapan tidak bisa dipadukan untuk satu anggota wudhu. Yang seharusnya dilakukan saat itu adalah menanggalkan sepatu, lalu membasuh kaki.

Adapun tata cara mengusap dua khuff, maka kami sebutkan beberapa hadits yang menjadi landasannya, kemudian dengan pertolongan Allah akan kami jelaskan hukum yang shahih yang bisa digali dari hadits-hadits tersebut:

1. Dari Ali ra., dia berkata:

“Seandainya agama itu didasarkan pada akal pikiran, niscaya bagian bawah khuff itu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Saw. mengusap punggung kedua khuffnya.” (Riwayat Abu Dawud dan ad-Daruquthni)

2. Dari Urwah bin Zubair, dari al-Mughirah bin Syu'bah:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. suka mengusap punggung dua khuffnya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Tirmidzi meriwayatkan dan menghasankan hadits ini dengan lafadz:

“Aku melihat Nabi Saw. mengusap kedua khuffnya itu pada bagian atasnya.”

3. Dari Tsaur bin Yazid, dari Raja bin Haywah, dari Warrad, sekretaris al-Mughirah bin Syu’bah:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. mengusap bagian atas khuffnya dan bagian bawahnya. (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, dan ad-Daruquthni)
Ini hadits dhaif.

Hadits yang pertama dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram, dan dishahihkannya dalam kitab at-Talkhish.
Hadits kedua dikomentari oleh Bukhari dalam kitab at-Tarikh yang disusunnya: “Hadits dengan lafadz ini lebih shahih dibandingkan hadits Raja bin Haywah,” yakni hadits ketiga.
Mengenai hadits ketiga, al-Atsram menuturkan bahwa Ahmad mendhaifkannya. Nuaim bin Hammad berkata: Buanglah hadits ini. Abu Dawud berkata: “Aku mendengar kabar bahwa Tsaur bin Yazid tidak mendengar hadits ini dari Raja.” Dengan demikian hadits ini adalah hadits munqathi, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Tinggallah kini hadits pertama dan kedua saja, dua hadits ini memberi pengertian bahwa mengusap itu dilakukan pada punggung khuff, tidak pada bagian dalam khuff. Di antara mereka yang berpendapat bahwa usapan yang disyariatkan itu adalah mengusap punggung khuff, bukan pada bagian dalam atau bagian bawah khuff adalah: at-Tsauri, Abu Hanifah, al-Auza" iy, dan Ahmad bin Hanbal.

Malik, as-Syafi'i, az-Zuhri, dan Ibnul Mubarak berpendapat mengusap punggung dan bagian dalam khuff. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash dan Umar bin Abdul Aziz.
Tetapi as-Syafi’i dan Malik berkata: Mengusap punggung khuff itu sudah cukup tanpa perlu mengusap bagian dalamnya. Keduanya berkata pula: Mengusap bagian dalam khuff tanpa mengusap punggungnya itu tidak cukup, dia harus mengulang usapannya itu karena dia dipandang belum mengusap khuffnya. Malik dan as-Syafi’i sepakat dengan pendapat Abu Hanifah dan Ahmad, yakni mengusap khuff yang disyariatkan dan cukup itu adalah mengusap punggung dua khuff saja.
Yang berbeda hanya dalam persoalan mengusap bagian dalam khuff. Menurut Ahmad dan Abu Hanifah tidak perlu diusap, sedangkan menurut Malik dan as-Syafi'i dianjurkan untuk diusap, sehingga perbedaan di antara keduanya sangat tipis.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits-hadits yang ada dan layak digunakan sebagai hujjah tidak memberi pengertian selain mengusap punggung khuff saja, tanpa perlu mengusap bagian dalamnya. Dan mengusap bagian dalam khuff itu tidak disebutkan dalam hadits yang dipandang shahih.
Adapun hadits yang diriwayatkan as-Syafi'i dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar bahwasanya dia seringkali mengusap punggung dan telapak khuff, maka ini merupakan perbuatan seorang sahabat, bukan dalil, sehingga tidak layak kecuali bagi orang yang ingin mengikuti ijtihad Ibnu Umar dalam persoalan ini, padahal prinsipnya kita harus berpegang pada dalil.

Adapun bagaimana mengusap punggung khuff, maka Abu Hanifah mewajibkan mengusap seukuran tiga jari tangan.
Ahmad mewajibkan mengusap khuff terbanyak, sedangkan as-Syafi’i tidak menetapkan batasan apapun. Dia mengatakan: Yang wajib itu adalah apa yang disebut dengan mengusap saja.
Ibnu Aqil berkata: Sunah mengusap itu adalah mengusap dengan kedua tangannya, khuff yang kanan diusap oleh tangan kanan, sedangkan yang kiri oleh tangan kiri. Dan saya sependapat dengan pernyataan ini. Dalilnya adalah hadits al-Mughirah yang menceritakan wudhu Nabi Saw., dia berkata:

“Kemudian beliau berwudhu dan mengusap dua khuffnya, beliau Saw. meletakkan tangan kanannya di atas khuffnya yang sebelah kanan, dan meletakkan tangan kirinya di atas khuffnya yang sebelah kiri, kemudian beliau mengusap bagian atas khuf itu satu kali, hingga seolah-olah aku melihat bekas jari-jemarinya ada di atas dua khuff tersebut.” (HR. al-Khallal)

Hadits ini diceritakan oleh penyusun kitab al-Mughni.

Mengenai ukuran punggung khuff yang diusap itu tidak ditetapkan batasannya oleh hadits-hadits yang ada. Karena itu, pendapat as-Syafi’i dalam persoalan ini merupakan pendapat yang paling tepat, yakni mengusap sekadar punggung khuff, yang dengannya bisa disebut sebagai usapan terhadap punggung khuff, tetapi lebih utama dan lebih sempurna mengusap seluruh punggung khuff agar terhindar dari konflik dan dalam rangka kehati-hatian.

Masalah

Mengusap dua khuff, kaus kaki, dan sandal itu berkaitan dengan berwudhu saja, tidak dilakukan saat mandi. Dalam arti, dalam mandi janabah tidak sah mengusap dua khuff secara mutlak. Saya tidak mengetahui ada seorangpun yang menyalahi pendapat ini. Ibnu Hajar mengklaim hal ini sudah menjadi kesepakatan (ijma).
Sama halnya dengan mengusap surban dan sesuatu yang disamakan dengan surban, seperti kopiah, thaqiyah (kudung penutup kepala), tarbus (sejenis pakaian besar yang bersambung dengan penutup kepala).
Adapun mengusap belat (bilah pembalut tulang yang patah) dan pembalut luka, itu berlaku umum, alias bisa dilakukan saat mandi dan saat berwudhu.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam