Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 03 Oktober 2017

Cara Bersuci Bagian Balutan Luka



Pembalut Luka dan Belat (Bilah Pembalut Tulang yang Patah)

Pembahasan ini mencakup gumpalan kapas dan kain perban yang biasa digunakan untuk membalut luka, dan kain serta kayu yang disebut jabiirah (belat) yang biasa digunakan untuk membalut tulang yang patah.
Balutan yang digunakan tidak boleh lebih dari tempat luka atau tulang yang patah jika ingin diusap, kecuali bagian yang betul-betul dibutuhkan untuk mengencangkan ikatan dan mengokohkan balutan.
Ikatan dan balutan ini jika terdapat pada salah satu anggota wudhu maka harus diusap seperti kita mengusap khuff, dan jika terdapat pada selain anggota wudhu seperti di dada, betis, atau lengan atas, maka tidak termasuk dalam pembahasan ini.

Tidak ada satu hadits shahih pun terkait persoalan ini selain hadits Jabir, yang membahas persoalan ‘mandi’. Dari Jabir ra., dia berkata:

“Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang lelaki dari kami terkena batu, kepalanya terluka parah, kemudian dia bermimpi (junub). Dia lalu bertanya kepada teman-temannya, seraya berkata: Apakah kalian menemukan adanya keringanan untukku untuk bertayamum saja? Mereka menjawab: Kami tidak menemukan adanya keringanan untukmu, sedangkan engkau mampu untuk menggunakan air. Lalu dia mandi, dan kemudian meninggal. Saat kami tiba di hadapan Nabi Saw., beliau Saw. diberitahu perihal itu, maka beliau Saw. berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat penawar ketidaktahuan itu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum, menekan atau mengikat balutan yang ada di atas lukanya. Musa merasa ragu, lalu dia mengusap lukanya itu, kemudian baru dia membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan.

Sedangkan ucapan Ali ra.:

"Salah satu lengan tanganku retak, lalu aku bertanya pada Nabi Saw. Maka beliau memerintahkan aku untuk mengusap bagian atas pembalut luka.” (HR. Ibnu Majah)
Di dalam sanadnya terdapat nama Amr bin Khalid yang didustakan oleh Ahmad dan Ibnu Ma’in. Bukhari berkata: dia seorang perawi hadits munkar.

Hadits Jabir walaupun membahas persoalan mandi, tetapi tetap layak digunakan sebagai dalil dalam persoalan wudhu, karena mandi dan wudhu itu sama-sama dalam perkara yang berkaitan dengan belat. Hadits ini menyebutkan:

“Untuk bertayamum, menekan atau mengikat balutan yang ada di atas lukanya, lalu dia mengusap lukanya itu.”

Ketika luka ditutup oleh kain pembalut atau oleh belat, maka luka tersebut cukup diusap sebagai pengganti dibasuh, dan wudhunya batal ketika pembalut atau belatnya ditanggalkan.

Mengusap belat ataupun kain pembalut luka berbeda dengan mengusap khuff dari tiga sisi:

Pertama, belat yang akan diusap si pasien tidak harus dipasangkan dalam keadaan sudah bersuci. Ini berbeda ketika hendak mengusap khuff.

Kedua, tidak ada limitasi (pembatasan waktu) dalam mengusap belat. Ini berbeda dengan mengusap khuff yang dibatasi waktu sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi musafir.

Ketiga, dalam mengusap belat harus dengan tayamum. Ini berbeda dengan mengusap khuff yang tidak wajib dengan tayamum.

Bahwa belat tidak wajib dipasang dalam keadaan sudah bersuci. Hal ini karena hadits Jabir tidak mensyaratkannya. Seandainya diharuskan, niscaya akan disebutkan, sebab tidak boleh menunda satu penjelasan ketika dibutuhkan.
Selain itu, tujuan mengusap belat adalah mencegah bahaya (ad-dharar) yang bisa timbul pada tulang yang patah atau luka jika terkena air pada saat mandi dan berwudhu.
Tujuan ini tidak akan tercapai seandainya orang yang dipasangi belat diharuskan membersihkan lukanya dengan air sebelum ditutup perban pembalut, karena seandainya membersihkan luka dengan air itu wajib, tentu luka tersebut tidak perlu diusap, sama saja apakah tujuan pembersihannya untuk menghilangkan darah yang najis ataukah terkena luka ketika dia sudah berwudhu. Semua kondisi ini mengharuskan dalam keadaan sudah bersuci, karena orang yang patah tulangnya atau terluka bisa jadi hal itu menimpa dirinya pada saat dirinya tidak dalam keadaan memiliki wudhu.
Dan seandainya kondisi suci itu diwajibkan, tentu kita wajib memintanya untuk berwudhu dan membasuh lukanya selama berwudhu sebelum dipasang belat ataupun perban pembalut. Ini jelas meniadakan tujuan mengusap itu sendiri.

Karena itu, orang yang tidak dalam keadaan berwudhu ketika terluka, maka dia harus membalut lukanya, mengusapnya, dan bertayamum. Dia tidak wajib mengusapkan air ke atas lukanya, baik dengan alasan untuk membersihkan lukanya atau untuk berwudhu.
Adapun tidak ada batasan waktu padanya adalah untuk tujuan yang sama, karena tidak ada penetapan jangka waktu tertentu untuk menyembuhkan luka atau memperbaiki tulang yang patah. Penetapan jangka waktu bertentangan dengan tujuan mengusap itu sendiri, sehingga selama luka itu masih ada dan selama tulang itu masih patah dan air bisa membahayakan keduanya, maka dia bertayamum dan mengusapnya hingga ‘illat (sebab)-nya hilang dan sakitnya sembuh. Adapun keharusan bertayamum, maka ini jelas disebutkan dalam hadits Jabir.

Telah diriwayatkan bahwa as-Syafi’i mensyaratkan belat ataupun pembalut dipasang dalam keadaan sudah bersuci. Pendapat serupa diriwayatkan dari Abu Hanifah, tetapi kedua imam ini berbeda pendapat dalam persoalan selainnya. Misalnya Imam as-Syafi’i berpendapat ketika belat dipasang dalam keadaan tidak bersuci maka belat tersebut tidak boleh diusap, dan yang diharuskan hanya tayamum saja. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat ketika belat dipasangkan dalam keadaan belum bersuci, maka belat tersebut tidak diusap dan tidak perlu dibuka, melainkan keharusan mengusapnya gugur sebagai ibadah yang sulit dilaksanakan, dan karena belat itu seperti anggota wudhu yang lain, di mana ayat wudhu tidak mencakupnya. Abu Hanifah juga mengemukakan alasan bahwa di dalam hadits Jabir terdapat kelemahan. Maka kami katakan:

Pendapat yang dilontarkan as-Syafi’i bahwa belat tersebut tidak perlu diusap, yang diwajibkan atas orang tersebut hanya tayamum saja, maka pendapat ini dibantah oleh hadits Jabir di atas. Hadits Jabir tidak menyebutkan apakah luka tersebut dibalut setelah ataukah sebelum bersuci, sehingga menunjukkan tidak adanya perbedaan di antara dua kondisi tersebut.
Ternyata Rasulullah Saw. tidak menanyakan hal itu dan tidak menjelaskannya, sehingga tidak ada perbedaan apakah balutan tersebut dipasang sesudah ataukah sebelum bersuci. Sikap membedakan di antara keduanya merupakan sikap menghukumi nash tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
Adapun pendapat Abu Hanifah bahwa itu merupakan ibadah yang sulit sehingga bisa gugur, maka pendapat ini pun dibantah oleh hadits Jabir. Seandainya kewajiban ibadah ini bisa gugur, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memerintahkannya bertayamum dan mengusap lukanya.
Sedangkan alasan bahwa di dalam hadits Jabir ada kelemahan -maksud kelemahan di sini adalah di dalam sanadnya ada Zubair bin Mukhariq- maka harus diketahui bahwa Ibnu as-Sakan telah menshahihkan hadits ini. Ibnu Hibban telah mencantumkan nama az-Zuba'ir dalam kitab at-Tsiqaat, sehingga hadits Jabir ini layak digunakan sebagai dalil.

Ringkas kata, belat itu dipasang pada tempatnya pada waktu dibutuhkan, tanpa ada kewajiban untuk membersihkan bagian yang dipasanginya dengan air, atau tanpa perlu berwudhu dan membasuh bagian yang akan dipasanginya. Ketika belat tersebut sudah dipasang, kemudian orang tersebut hendak wudhu atau mandi, maka dia wajib bertayamum dan mengusap belat tersebut, kemudian mandi (membasuh tubuh) dan berwudhu pada bagian yang lainnya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam