Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 21 Juli 2017

Perbuatan dan Keadaan yang Dilarang Dalam Shalat



Ada beberapa perbuatan yang dilarang oleh syariat dilakukan di dalam shalat dan disebutkan dalam nash. Di antara larangan tersebut ada yang bersifat tidak pasti (ghair jazim), sehingga dikategorikan sebagai perbuatan yang dimakruhkan dalam shalat. Tetapi ada juga yang bersifat pasti (jazim) sehingga dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan dalam shalat. Selain itu, ada beberapa keadaan -yang disebutkan oleh nash- di mana syariat melarang shalat dilakukan saat keadaan tersebut terjadi, dengan larangan yang tidak pasti. Artinya, ada kondisi-kondisi dimakruhkannya shalat saat itu.

Pertama-tama saya akan memaparkan dan merinci perbuatan yang dimakruhkan dalam shalat, kemudian penjelasan tentang kondisi-kondisi dimakruhkannya shalat saat itu, dan akhirnya saya akan menjelaskan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.

1. Perbuatan yang dimakruhkan dalam shalat

Pada pembahasan sebelumnya, kami telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan, dan kami akan menyebutkan kembali di sini tanpa mengulang lagi pembahasannya, kemudian kami akan menceritakan beberapa perbuatan yang dimakruhkan yang masih tersisa dengan maksud menghimpun semua perbuatan yang dimakruhkan tersebut dalam satu tempat, agar lebih mudah mempelajari dan memahaminya.

Perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan -dan telah kami sebutkan sebelumnya- adalah:

1) Bertolak pinggang: yakni meletakkan dua tangan pada dua pinggang. Lihat kembali pembahasan “meletakkan dua tangan dalam shalat” pada bab “sifat shalat.”

2) Isytimalus shima, yaitu si mushalli menyelimuti tubuhnya dengan suatu kain, di mana dia tidak mengangkat satu sisi pun darinya, dan tidak menyisakan lubang pada kain tersebut untuk mengeluarkan dua tangannya. Lihat kembali pembahasan “pakaian dalam shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.”

3) Menutup mulut dengan kain atau semisalnya. Lihat kembali pembahasan “pakaian dalam shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.”

4) Bertopang pada dua tangan. Lihat kembali pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya” pada bab “sifat shalat.”

5) Menahan kain, yaitu menyatukan dan menghimpun seluruh ujungnya dengan dua tangan untuk menahannya agar tidak jatuh ke tanah ketika bersujud. Lihat pembahasan “pakaian dalam shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.”

6) Menahan rambut yang panjang, yaitu menjalin dan diikat untuk mencegahnya agar tidak jatuh ke tanah ketika bersujud. Lihat pembahasan “pakaian dalam shalat” pada bab “hal-ihwal orang shalat.” Saya ingin menambahkan beberapa dalil atas pembahasan sebelumnya, berupa hadits yang diriwayatkan Abu Said al-Maqbari ra.:

“Bahwa dia melihat Abu Rafi, pelayan Nabi Saw., melewati Hasan bin Ali. Saat itu Hasan sedang shalat dengan mengikatkan kedua jalinan rambutnya di tengkuknya, lalu Abu Rafi mengurainya. Maka Hasan menoleh kepadanya dalam keadaan marah. Kemudian Abu Rafi berkata: “Tetaplah dalam shalatmu dan jangan marah, karena aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Inilah boncengan setan” -tempat duduk setan. Yang dia maksud adalah ikatan dua jalinan rambut tersebut.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Ad-Dhafr dan al-‘aqishah adalah rambut yang dijalin atau dipintal. Ada lagi hadits yang diriwayatkan Kuraib, pelayan Ibnu Abbas:

“Bahwa Abdullah bin Abbas melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat, dan rambutnya dipintal di bagian belakangnya. Lalu Ibnu Abbas berdiri di belakangnya dan mengurainya. Orang-orang selainnya menyetujui tindakan Ibnu Abbas tersebut. Ketika selesai, Abdullah bin al-Harits mendatangi Ibnu Abbas dan bertanya: Apa yang engkau lakukan dengan rambutku? Ibnu Abbas berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya hal seperti ini adalah seperti orang yang shalat sedangkan kedua tangannya terikat di belakang pundak.” (HR. Abu Dawud, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

7) Menjalinkan jari jemari. Seorang yang shalat dimakruhkan menjalinkan jari-jemarinya sepanjang shalatnya, sejak dia keluar dari rumahnya hingga dia selesai dari shalatnya. Makruh baginya menjalin jari-jemarinya ketika dia berangkat ke masjid, dan begitu pula ketika dia berdiam di masjid (sedang shalat atau menunggu shalat), dan tentu saja ketika dia sedang melaksanakan shalat itu sendiri. Dalam ketiga kondisi ini dimakruhkan menjalinkan jari-jemari. Dari Abu Umamah al-Khayyat:

“Bahwa Kaab bin Ujrah bertemu dengannya. Ketika itu dia hendak berangkat ke masjid, dia berkata: Lalu dia mendapatiku dalam keadaan menjalinkan tanganku satu sama lain. Dia ( peraawi) berkata: maka dia melepaskan dua tanganku dan melarangku berbuat itu. Dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian dia keluar dengan sengaja hendak pergi ke masjid, maka janganlah dia menjalinkan tangannya, karena dia dalam keadaan shalat.” (HR. Ibnu Hibban)

Ahmad dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan bagian akhir hadits ini saja, tetapi keduanya menyebutkan nama Abu Tsumamah. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Abul Qasim Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berwudhu di rumahnya, kemudian dia pergi ke masjid, sungguh dia dalam keadaan shalat hingga dia pulang, maka janganlah dia melakukan seperti ini. Abu Hurairah kemudian menjalinkan jari-jemarinya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah)

Sebelumnya, dalam pembahasan “adab masjid” pada bab “masjid dan tempat-tempat shalat”, kedua hadits ini telah disebutkan sebagai dalil makruhnya menjalinkan jari-jemari sepanjang perjalanan berangkat ke masjid.

Dari Kaab bin ‘Ujrah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. masuk dan bertemu denganku, dan aku saat itu sedang menjalinkan jari-jemariku. Maka beliau Saw. berkata kepadaku: “Wahai Kaab, jika engkau berada di masjid, maka janganlah engkau menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat sepanjang engkau menunggu shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berada di masjid, maka janganlah dia menjalinkan jari-jemarinya, karena tasybik (menjalinkan jari-jemari itu) berasal dari setan, dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam keadaan shalat selama dia berada di masjid hingga keluar darinya.” (HR. Ahmad)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “adab masjid” pada bab “masjid dan tempat-tempat shalat.” Dua hadits ini menjadi dalil makruhnya menjalinkan jari-jemari selama berdiam di dalam masjid.

Ibnu Majah meriwayatkan dari jalur Kaab bin 'Ujrah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat seseorang menjalinkan jari-jemarinya dalam shalat, maka beliau Saw. melepaskan jalinan jari-jemari itu.”

Ini menjadi dalil makruhnya menjalinkan jari-jemari ketika melaksanakan shalat, selain nash-nash sebelumnya yang menyebutkan bahwa orang yang: “pergi ke masjid, sungguh dia dalam keadaan shalat”, “dan kalian senantiasa dalam keadaan shalat selama dia berada di masjid”, “jika engkau berada di masjid, maka janganlah engkau menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat sepanjang engkau menunggu shalat.”

8) Menyapu tempat sujud lebih dari satu kali. Ini bisa terjadi jika seorang Muslim melaksanakan shalat di tempat yang tanahnya kasar (tidak rata), berkerikil, dan sebagainya, kemudian dia hendak bersujud, maka boleh baginya untuk menyapu atau meratakan tempat dahinya itu dengan tangannya satu kali saja, dan dimakruhkan bila lebih dari itu. Dari Muaiqib ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Janganlah engkau menyapu ketika engkau sedang shalat, dan jika engkau terpaksa melakukannya, maka ratakanlah kerikil itu satu kali.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini juga. Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Bahwa Rasulullah Saw. berkata pada seseorang yang meratakan tanah ketika bersujud, beliau bersabda: “Jika engkau terpaksa melakukannya, maka lakukan satu kali saja.”

Muslim memiliki riwayat yang lain:

“Nabi Saw. menjelaskan tentang meratakan kerikil di masjid, beliau Saw. bersabda: “Jika engkau terpaksa melakukannya, hendaklah engkau melakukannya satu kali saja.”

Seluruh riwayat ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “perbuatan kecil” sebelumnya.

9) Memandang sesuatu yang bisa melalaikan mushalli dari shalatnya. Seorang Muslim diperintahkan untuk menghadirkan di dalam benak hati dan menyibukkan diri hanya dengan shalat saja, tidak dengan yang lain. Sabda Rasulullah Saw.: “sesungguhnya di dalam shalat itu niscaya terdapat kesibukan”, ini adalah ujung hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan hadits ini telah disebutkan secara lengkap dalam pembahasan “qunut dalam shalat.” Berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Uqbah bin Amir al-Juhani ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah salah seorang berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu dia bershalat dua rakaat sambil menghadapkan hati dan wajahnya pada dua rakaat tersebut kecuali wajib baginya untuk memasuki Surga.” (HR. Abu Dawud)

Jika seorang mushalli melihat dan memandang suatu benda atau suatu perkara, lalu pandangannya itu menyibukkan dirinya dari shalatnya, maka pandangannya ini menjadi makruh. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berdiri shalat dengan mengenakan satu baju yang bergambar lalu beliau Saw. memandang gambar-gambar tersebut. Ketika beliau Saw. telah menyelesaikan shalatnya beliau bersabda: “Kembalikanlah baju ini pada Abu Jaham bin Hudzaifah, dan tukarlah dengan pakaian bulu kasar yang tidak bergambar karena baju ini telah melalaikan aku dari shalatku tadi.” (HR. Muslim)

Sebelumnya hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan “tempat-tempat yang diharamkan shalat di dalamnya” pada bab “masjid dan tempat-tempat shalat.” Karena itu, pada zaman modern sekarang ini, dimakruhkan si mushalli memandang layar televisi, atau mendengar suara radio, karena melihat televisi dan mendengar suara radio bisa sangat menyibukkan benak hati kita dari shalat.

2. Beberapa keadaan yang dimakruhkan shalat di dalamnya

1) Shalat di depan makanan itu dimakruhkan. Jika seorang Muslim akan melakukan shalat apapun, lalu dihidangkan padanya makanan, maka hendaknya dia mendahulukan makan dan menunaikan kebutuhannya dengan tenang, kemudian setelah itu dia shalat, bukan sebaliknya. Anas bin Malik ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw.:

“Apabila makanan telah dihidangkan dan panggilan shalat telah dikumandangkan, maka hendaklah kalian mendahulukan makan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dari jalur Aisyah. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Jika makanan salah seorang dari kalian telah dihidangkan dan iqamat shalat telah dikumandangkan, maka hendaklah kalian mendahulukan makan, dan jangan terburu-buru hingga selesai darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika salah seorang dari kalian telah dihidangi makanan, maka janganlah terburu-buru hingga dia bisa menunaikan keperluan makannya, walaupun iqamat shalat telah dikumandangkan.”

2) Shalat sambil menahan kencing atau buang air besar, itu dimakruhkan. Orang yang menahan kencing disebut haqin, dan orang yang menahan buang air besar disebut haqib. Seorang Muslim disunatkan untuk terlebih dahulu menyelesaikan keperluannya di kamar kecil, kemudian baru pergi shalat. Dari Aisyah ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak ada shalat bila dia ditahan oleh buang air besar atau kecil.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Abdullah bin al-Arqam ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika waktu shalat telah tiba dan ingin buang air besar, maka dahulukan membuang air besar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika salah seorang dari kalian ingin pergi ke kamar kecil (buang air besar atau kecil) dan iqamat shalat telah dikumandangkan, maka dahulukan pergi ke kamar kecil.”

Tsauban ra. meriwayatkan dari Rasulullah Saw., berkata:

“Seseorang dari kalangan kaum Muslim tidak boleh berdiri shalat sambil menahan kencing, hingga dia membuangnya.” (HR. Ibnu Majah)

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Salah seorang dari kalian tidak boleh berdiri untuk shalat jika dia merasa kesakitan (karena menahan buang air besar atau kecil).”

Kalimat yang ada dalam hadits Aisyah: “Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak ada shalat bila dia ditahan oleh buang air besar atau kecil”, tidak memiliki pengertian menafikan shalat atau menafikan keabsahan shalat, tetapi pengertiannya adalah janganlah kalian shalat, karena huruf lam di sini berfungsi sebagai la nahiyah (larangan) bukan nafiyah (menafikan), dengan melihat dilalah hadits-hadits yang lain.

3) Shalat ketika badan terasa sangat lelah karena kerja berat, atau ketika lemah dan mengantuk itu dimakruhkan. Seorang Muslim disunahkan untuk shalat dalam keadaan kuat dan memiliki vitalitas, hal ini agar dia melaksanakan shalat dalam bentuk yang paling sempurna dan utama. Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian mengantuk dan dia sedang shalat maka hendaklah dia tidur, agar hilang rasa kantuknya, karena jika salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk maka dia tidak akan menyadari (apa yang dibacanya). Mungkin saja dia bermaksud meminta ampunan tetapi malah mencaci dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan Tirmidzi)

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Nabi Saw. masuk, dan ternyata ada tali yang terbentang di antara dua tiang, maka beliau bertanya: ‘Tali apakah ini?” Mereka berkata: "Tali ini milik Zainab, jika dia merasa lemah maka dia mengikatkan diri dengannya.” Maka Nabi Saw. berkata: “Tidak, lepaskanlah oleh kalian. Hendaknya salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan kuat, dan jika merasa lemah maka duduklah.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

3. Perbuatan yang diharamkan dalam shalat

Dalam pembahasan sebelumnya kami telah menyebutkan sejumlah perbuatan yang diharamkan dalam shalat, maka di sini kami ingin menunjukkan kembali perbuatan-perbuatan tersebut tanpa perlu mengulang pembahasannya, kemudian kami akan membahas sejumlah perbuatan yang diharamkan lainnya, dengan maksud menghimpun seluruh perbuatan yang diharamkan dalam shalat dalam satu tempat pembahasan. Berikut ini beberapa perbuatan yang diharamkan yang telah kami bahas sebelumnya:

1) Menengok (iltifat) dalam shalat. Yang kami maksud adalah memutar leher dan pandangan ke belakang, di mana pandangan si mushalli melewati arah kiblat. Lihat pembahasan “melihat dalam shalat” pada bab “sifat shalat.”

2) Mengangkat pandangan ke langit. Lihat pembahasan “melihat dalam shalat” pada bab “sifat shalat”, dan lihat pula pembahasan “khusyu dalam shalat” pada bab “qunut dan khusyu dalam shalat.”

3) Banyak melakukan sesuatu dan mempermainkan sesuatu yang tidak perlu dalam shalat. Yang kami maksud perbuatan yang banyak adalah segala sesuatu yang tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan kecil. Yang kami maksud dengan memain-mainkan sesuatu yang sia-sia adalah gerakan-gerakan dan perbuatan-perbuatan yang tidak perlu dilakukan oleh si mushalli. Gerakan dan perbuatan tersebut dilakukan si mushalli semata sebagai hiburan/permainan dan sebagai sikap tidak mengindahkan ketenangan dan kekhusyuan shalat. Lihat pembahasan “perbuatan kecil” yang telah kami bahas sebelumnya.

Sekarang kami ingin membahas beberapa perbuatan yang diharamkan lainnya:

4) Tertawa tergelak. Yaitu tertawa dengan suara yang terdengar (nyaring). Perbuatan perbuatan ini diharamkan dalam shalat dan bisa menafikan sifat khusyu. Tindakan ini serupa dengan perbuatan yang banyak atau memainkan sesuatu yang sia-sia. Ketiga perbuatan ini haram hukumnya. Telah diriwayatkan dari Jabir ra. dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. bersabda:

“Tersenyum itu tidak memutuskan shalat, tetapi tertawa keraslah (yang bisa memutuskan shalat).” (HR. Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Thabrani telah meriwayatkan dengan kalimat:

“Seringai itu tidak memutuskan shalat, tetapi tertawa dengan suara keras bisa memutuskan shalat.”

Kata al-kasyaru, artinya adalah menampakkan gigi dengan senyuman (seringai). Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abdur Razaq secara mauquf pada Jabir, dan al-Baihaqi telah merajihkan kemauqufannya pada Jabir juga, tetapi Thabrani berkata ketika meriwayatkan hadits ini: “Tidak ada yang meriwayatkan secara marfu dari Sufyan kecuali Tsabit.” Dengan demikian, maka Thabrani telah menetapkan bahwa hadits ini merupakan riwayat yang marfu sehingga bisa diterima. Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “perbuatan kecil” pada paparan sebelumnya.

5) Meludah dan membuang dahak ke arah kiblat atau ke sebelah kanan. Barangsiapa yang meludah ke depannya dalam shalat, yakni ke arah kiblat, atau membuang dahak ke arah kiblatnya, atau melakukan hal itu ke sebelah kanannya, maka dia telah melakukan kesalahan dan mengerjakan satu perbuatan yang diharamkan. Tetapi jika ia meludah atau membuang dahak ke arah kiri atau di bawah kaki kirinya, maka dia telah melakukan suatu perbuatan yang dibolehkan, sehingga tidak menjadi masalah baginya (dengan kafarat membersihkan bekas dahaknya di masjid). Abdullah bin Umar ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat ludah di tembok arah kiblat, maka beliau Saw. menggosoknya, kemudian beliau menghadap ke arah orang-orang dan berkata: “Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, maka janganlah ia meludah ke arah depannya (kiblat), karena sesungguhnya Allah Swt. ada di depannya ketika dia shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Malik)

Darimi meriwayatkan dengan redaksi:

“Ketika Nabi Saw. berkhutbah, beliau melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau Saw. marah kepada para penghuni masjid dan berkata: “Sesungguhnya Allah Swt. ada di depan setiap diri kalian ketika orang itu melakukan shalat, maka janganlah dia meludah.” Atau beliau Saw. bersabda: “Maka janganlah dia meludah.” Kemudian beliau memerintahkan untuk menggosok tempatnya, atau memerintahkan untuk melumurinya dengan zafran atau kunyit.”

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya seorang mukmin jika ia berada dalam shalatnya maka semata-mata ia sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah ia membuang dahak ke depannya atau ke sebelah kanannya, tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau ke bawah kakinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian sedang shalat, maka sesungguhnya ia sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah salah seorang dari kalian meludah ke sebelah kanannya.” Ibnu Ja'far berkata: Janganlah dia meludah ke depan atau sebelah kanannya, tetapi hendaklah dia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya.”

Sahlah as-Saib bin Khallad ra. berkata:

“Bahwa seseorang telah mengimami orang-orang dan ia meludah ke arah kiblat. Rasulullah Saw. melihatnya, maka Rasulullah Saw. berkata ketika orang itu selesai dari shalatnya: “Janganlah dia shalat mengimami kalian.” Setelah itu orang tersebut hendak shalat mengimami mereka lagi, maka mereka mencegahnya dan memberitahukannya tentang ucapan Rasulullah Saw. Orang tersebut menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. berkata: “Ya”. Dan aku (perawi) mengira bahwa beliau Saw. berkata: “Engkau telah menyakiti Allah azza wa jalla.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Sesungguhnya engkau telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”

Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Bahwa Nabi Saw. menyukai al-arajin ( kayu-kayu dari pohon kurma), dan salah satu dari keduanya senantiasa ada di tangannya, lalu beliau Saw. masuk ke dalam masjid dan melihat dahak di kiblat masjid. Maka beliau Saw. menggosoknya. Kemudian beliau menghadapkan wajah pada orang-orang dalam keadaan marah, seraya berkata: “Apakah salah seorang dari kalian merasa senang jika wajahnya diludahi? Jika salah seorang dari kalian sedang menghadap kiblat sesungguhnya dia sedang menghadap pada Allah Swt., dan malaikat ada di sebelah kanannya, maka janganlah dia meludah ke sebelah kanannya dan ke arah kiblatnya, dan hendaknya dia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya. Jika dia terburu-buru, maka hendaklah dia melakukannya seperti ini.” Ibnu 'Ajlan menggambarkan kepada kami tentang hal itu: yakni dia meludah ke bajunya, kemudian ditutupi satu sama lain.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Kata al-‘arajin: artinya kayu-kayu dari pohon kurma. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Orang yang membuang dahaknya ke arah kiblat, maka dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan dahak di wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan dari jalur Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat, maka dia datang pada Hari Kiamat dengan ludah berada di antara dua matanya.”

Dalam hadits pertama disebutkan: “Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, maka janganlah ia meludah ke arah depannya (kiblat), karena sesungguhnya Allah Swt. ada di depannya ketika dia shalat", dan dalam hadits kedua disebutkan: “Sesungguhnya seorang mukmin jika ia berada dalam shalatnya maka semata-mata ia sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah ia membuang dahak ke depannya atau ke sebelah kanannya”, dan dalam hadits ketiga disebutkan: “maka sesungguhnya ia sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah salah seorang dari kalian meludah ke sebelah kanannya. Ibnu Ja'far berkata: Janganlah dia meludah ke depan atau sebelah kanannya", dan dalam hadits keempat disebutkan. “Dan ia meludah ke arah kiblat,… Engkau telah menyakiti Allah azza wa jalla", dan dalam hadits kelima disebutkan: “kemudian beliau menghadapkan wajah pada orang-orang dalam keadaan marah, seraya berkata: Apakah salah seorang dari kalian merasa senang jika wajahnya diludahi? Jika salah seorang dari kalian sedang menghadap kiblat sesungguhnya dia sedang menghadap pada Allah Swt., dan malaikat ada di sebelah kanannya," dan dalam hadits keenam disebutkan: “orang yang membuang dahaknya ke arah kiblat, maka dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan dahak di wajahnya”, dan dalam hadits ketujuh disebutkan: “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat, maka dia datang pada Hari Kiamat dengan ludah itu di antara dua matanya.” Apakah ada perbuatan selainnya yang diharamkan dalam shalat yang begitu keras larangannya dan lebih pasti melebihi larangan meludah dan membuang dahak ke arah kiblat dan ke sebelah kanan?

Ini semua berlaku bagi orang yang tidak membawa sapu tangan atau kertas tissue. Namun, jika dia membawa sapu tangan atau kertas tissue, maka hendaklah dia meludah dan membuang dahaknya ke dalamnya dan dia tetap dalam shalatnya, tanpa perlu memutar dan menundukkan lehernya ke kanan atau ke depan.

Inilah perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam shalat yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi Saw. yang mulia, di mana kami cukupkan pembahasannya sampai di sini, tanpa perlu membahas beberapa perbuatan yang dipandang sebagian ahli fikih sebagai perbuatan yang dimakruhkan atau diharamkan -tanpa mereka mampu menyebutkan dalilnya dan nash-nashnya-, seperti: pengharaman makan dan minum, makruhnya shalat di mihrab, makruhnya memejamkan kedua mata, dan sebagainya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam