Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 20 Juli 2017

Tindakan/Perbuatan Kecil yang Dibolehkan Dalam Shalat



Tindakan/Perbuatan Kecil Dalam Shalat

Sesungguhnya syariat yang mulia, walaupun telah mewajibkan khusyu, tetapi syariat itu bersifat luas dengan memberi izin si mushalli melakukan sejumlah tindakan/perbuatan dalam shalat, dengan syarat perbuatan tersebut bersifat ringan atau kecil, tanpa memandangnya sebagai sesuatu yang merusak kehusyuan atau menafikannya. Kami akan menyebutkan sejumlah perbuatan tersebut, di antaranya:

1) Berjalan untuk satu keperluan menghadang (oleh) si mushalli

Seseorang yang shalat (al-mushalli) jika ada satu halangan yang menghadangnya sehingga dia perlu untuk maju sedikit ke depan, atau mundur sedikit ke belakang, atau bergeser sedikit ke kanan dan ke kiri di mana hal itu mesti dilakukannya dengan tenang dan penuh ketundukan, dan dia tetap berada dalam shalatnya, sementara itu, seluruh anggota tubuhnya tetap menghadap kiblat. Dari Abu Hazim ia berkata:

“Mereka bertanya kepada Sahal bin Saad: ”Dari apakah mimbar itu dibuat?” Ia berkata: “Tidak ada lagi yang lebih mengetahui hal itu daripada aku. Mimbar itu dibuat dari kayu murni dari hutan, dikerjakan oleh si fulan pelayan Rasulullah Saw., dan beliau Saw. berdiri di atasnya ketika dikerjakan dan diletakkan, lalu beliau Saw. menghadap kiblat, bertakbir dan berdirilah orang-orang di belakangnya. Kemudian beliau Saw. membaca, dan ruku', maka orang-orang yang ada di belakangnya ikut ruku'. Setelah itu beliau Saw. mengangkat kepalanya, kemudian mundur ke belakang lalu bersujud di atas tanah. Beliau Saw. kembali ke mimbar, kemudian ruku', lalu beliau Saw. mengangkat kepalanya, dan kembali mundur ke belakang hingga sujud di atas tanah. Begitulah keadaannya.” (HR. Bukhari)

Rasulullah Saw. telah menaiki mimbar dan shalat di atasnya, tetapi ketika beliau Saw. ingin bersujud beliau mundur ke belakang, lalu turun ke tanah dan bersujud di atas tanah. Setelah itu beliau maju dan kembali naik ke atas mimbar. Hal itu dilakukannya dalam setiap rakaat. Beliau Saw. melakukan hal itu untuk mengajarkan shalat pada orang-orang. Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari jalur Sahl bin Saad al-Anshari ra., di dalamnya disebutkan:

“...Lalu beliau Saw. bersujud di bagian bawah mimbar, kemudian beliau Saw. kembali. Ketika selesai, beliau Saw. menghadap pada orang-orang seraya berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti dan mempelajari shalatku.”

Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. sedang shalat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu aku datang, maka beliau berjalan hingga membukakan (pintu) untukku, setelah itu beliau Saw. kembali ke tempatnya. Dan Aisyah menyebutkan bahwa pintu itu ada di kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaiqi)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini, di dalamnya disebutkan bahwa beliau Saw. sedang shalat tathawwu'. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Aku meminta pintu dibukakan, dan Rasulullah Saw. dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat. Lalu beliau berjalan ke kiblat, bisa dari sebelah kanannya dan bisa juga dari sebelah kirinya, hingga beliau membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau Saw. kembali ke tempat shalatnya.” (HR. Ahmad)

Tirmidzi, at-Thayalisi dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda, dan an-Nasai meriwayatkan dengan lafadz:

“Aku meminta dibukakan pintu, dan Rasulullah Saw. sedang shalat tathawwu'. Pintu itu ada di arah kiblat, maka beliau Saw. berjalan dari sebelah kanannya atau sebelah kirinya, dan beliau membukakan pintu. Kemudian beliau Saw. kembali ke tempat shalatnya.”

Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Adalah Rasulullah Saw. sedang shalat, kemudian seseorang meminta pintu dibukakan. Maka beliau Saw. membukakan untuknya pintu yang berada di kiblatnya, dari sebelah kanannya atau dari sebelah kirinya. Dan beliau Saw. tidak membelakangi kiblat.”

2) Isyarat dua tangan dan menggerakkannya

Seorang mushalli boleh untuk membalas salam penghormatan dengan isyarat tangannya atau jarinya, atau bisa juga dengan isyarat kepalanya, dan mengambil dengan tangannya sesuatu yang perlu diambilnya, atau menggerakkan kedua tangannya untuk sesuatu yang perlu disingkirkan. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar menuju Quba dan shalat di sana. Dia (perawi) berkata: Lalu datanglah orang-orang Anshar menemuinya dan mereka mengucap salam padanya, padahal ketika itu beliau Saw. sedang shalat. Dia (perawi) berkata: aku bertanya pada Bilal: “Bagaimana engkau melihat Raslullah Saw. membalasnya ketika mereka mengucap salam padanya, padahal beliau Saw. sedang shalat?” Dia berkata: “dia (Bilal) berkata: Beliau mengatakan begini, dan dia membentangkan telapak tangannya.” Dan Ja’far bin Aun membentangkan telapak tangannya, di mana perut telapak tangan tersebut berada di bawah dan punggung telapak tangan tersebut menghadap ke atas.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Nabi Saw. memasuki masjid Bani Amr bin Auf -yakni masjid Quba- lalu masuklah orang-orang dari kalangan Anshar memberi salam kepadanya, Ibnu Umar berkata: Lalu aku bertanya pada Shuhaib yang berada bersama beliau Saw.: Apa yang Rasulullah Saw. lakukan jika beliau diberi salam, padahal beliau Saw. sedang shalat?” Maka dia berkata: “Beliau memberi isyarat dengan tangannya.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, ad-Darimi dan an-Nasai)

Dari Nafi,

“Bahwa Ibnu Umar melewati seseorang, dan orang itu sedang shalat. Ibnu Umar mengucapkan salam kepadanya, lalu orang itu membalasnya dengan omongan. Maka Ibnu Umar kembali kepadanya dan berkata kepadanya: “Jika salah seorang dari kalian diberi salam padahal dia sedang shalat, maka janganlah dia berbicara, hendaklah dia memberi isyarat dengan tangannya.” (Riwayat Malik)

Dari Abu Hurairah dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:

“Ketika aku datang dari Habsyah aku menemui Nabi Saw., dan beliau Saw. sedang shalat. Maka aku mengucap salam kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan kepalanya.” (HR. al-Baihaqi)

Dari Shuhaib ra., ia berkata:

“Aku melewati Rasulullah Saw. dan beliau Saw. sedang shalat. Aku mengucap salam kepadanya, dan beliau membalasnya dengan isyarat.”

Dia (perawi) berkata: aku tidak mengetahuinya kecuali dia berkata: “isyarat dengan jarinya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Hibban)

Dari Abdullah bin Abbas ra., ia berkata:

“Terjadi peristiwa gerhana matahari di masa Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. shalat. Beliau berdiri lama ... kemudian beliau Saw. selesai (dari shalatnya), sedangkan matahari telah tampak terang kembali. Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allah.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat engkau mengambil sesuatu di tempatku, kemudian kami melihat engkau kembali ke belakang.” Nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya aku melihat Surga, lalu aku mengambil darinya setandan, dan seandainya aku mendapatkannya niscaya kalian memakannya yang disisakan dunia.” (HR. Bukhari)

Dari Jabir bin Samurah:

“Rasulullah Saw. shalat fajar mengimami kami, kemudian beliau Saw. mengulurkan tangannya. Maka orang-orang bertanya kepadanya ketika beliau selesai dari shalatnya. Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya setan melemparkan kepadaku percikan Neraka untuk memalingkanku dari shalatku, maka aku pun memungutnya. Seandainya aku (mau) menangkapnya, niscaya tidak akan lepas dariku hingga (bisa) diikat pada salah satu tiang masjid untuk dilihat oleh anak-anak dari penduduk Madinah.” (HR. Ahmad)

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku tidur di rumah Maimunah, dan Nabi Saw. berada di sampingnya pada malam itu. Lalu beliau Saw. berwudhu dan berdiri shalat. Aku berdiri di sebelah kirinya, kemudian beliau Saw. memegangku dan menempatkanku berdiri di sebelah kanannya. Beliau Saw. shalat tiga belas rakaat, kemudian tidur hingga nyenyak. Beliau Saw. jika tidur (mulutnya berbunyi). Kemudian datanglah muadzin menemuinya, dan beliau Saw. keluar, lalu shalat. Dan beliau Saw. tidak berwudhu.” (HR. Bukhari)

Maimunah adalah istri Rasulullah Saw. sekaligus bibi Ibnu Abbas. Tentang hal itu ada penjelasan yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku tidur di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Nabi Saw. berdiri dan shalat pada sebagian malam. Aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau Saw. memegang tanganku dan menempatkanku berdiri di sebelah kanannya.”

Dari Aisyah Ummul Mukminin ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat di rumahnya dan beliau Saw. dalam keadaan sakit. Orang-orang shalat di belakangnya dalam keadaan berdiri. Beliau Saw. memberi isyarat kepada mereka agar mereka duduk. Ketika selesai, beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jika dia ruku' maka ruku’lah kalian, dan jika dia bangkit maka bangkitlah kalian, dan jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk.” (HR. Bukhari)

Al-Baihaqi meriwayatkan hadits yang mirip dengan itu. Dari Asma bin Abu Bakar ra., ia berkata:

“Aku mengunjungi Aisyah istri Nabi Saw. ketika matahari mengalami gerhana, dan ternyata orang-orang sedang berdiri melaksanakan shalat. Aisyah juga sedang berdiri shalat, maka aku bertanya: “Ada apa dengan orang-orang itu?” Aisyah memberi isyarat dengan tangannya ke langit, dan dia berkata: “Subhanallah” (Maha Suci Allah), maka aku bertanya: “Apakah ini tanda?” Maka Aisyah memberi isyarat mengiyakan...” (HR. Bukhari)

Perbuatan shahabiyah seperti Aisyah ra. ini yang telah diakui pemahaman agamanya, tentu telah diketahui oleh beliau Saw.

3) Membunuh ular dan kalajengking

Apabila seseorang sedang shalat, lalu di hadapannya ada seekor ular, kalajengking, atau binatang liar yang buas dan menyakitkan, maka dia boleh membunuhnya dan tetap berada dalam shalatnya. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat di rumah, lalu datang Ali bin Abi Thalib semoga Allah memuliakan wajahnya, kemudian dia masuk. Ketika dia melihat Rasulullah Saw. sedang shalat, dia berdiri di sampingnya dan ikut shalat. Dia (perawi) berkata: Lalu datanglah kalajengking hingga berhenti di dekat Rasulullah Saw., kemudian kalajengking itu meninggalkan beliau Saw. dan mengarah pada Ali. Tatkala Ali melihat hal itu maka ia memukulnya dengan sandalnya, dan Rasulullah Saw. tidak memandang perbuatannya (membunuh kalajengking itu) sebagai satu masalah.” (HR. al-Baihaqi dan at-Thabrani)

Abu Hurairah ra. meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam dalam shalat: kalajengking dan ular.”

Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini juga. Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam…”

4) Menggendong anak kecil

Orang yang shalat (al-mushalli) boleh untuk menggendong anak kecil, laki-laki atau perempuan, pada punggungnya atau pada dua lengannya, atau membawanya di depannya dan dia sedang melaksanakan shalat. Abu Qatadah meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri dari Zainab binti Rasulullah Saw. dan Abul Ash bin Rabi’ah. Jika beliau Saw. berdiri, beliau menggendongnya, dan jika sujud, beliau meletakkannya. Dan jika berdiri, beliau Saw. kembali menggendongnya.” (HR. Bukhari)

Dari Syaddad al-Laitsi ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar menemui kami dalam salah satu shalat sore hari, dhuhur atau ashar, padahal beliau Saw. sedang menggendong Hasan atau Husain. Kemudian Nabi Saw. maju ke depan dan meletakkannya. Lalu beliau bertakbir dan melaksanakan shalat. Beliau Saw. melakukan salah satu sujud di dalam shalatnya dan beliau memanjangkannya. Dia (perawi) berkata: Sesungguhnya aku mengangkat kepalaku, ternyata anak kecil itu ada di atas punggung Rasulullah Saw. dan beliau dalam keadaan bersujud, lalu aku kembali bersujud. Tatkala Rasulullah Saw. selesai dari shalatnya, orang-orang bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi engkau bersujud dalam shalat dan memanjangkannya hingga kami menyangka telah terjadi sesuatu, atau bahwasanya telah turun wahyu kepadamu.” Beliau berkata: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja anakku ini telah menunggangi punggungku dan aku tidak ingin bersegera menghentikannya hingga dia merasa puas.” (HR. Ahmad)

An-Nasai dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini juga.

5) Menoleh

Bagi mushalli boleh untuk melakukan perbuatan kecil dan ringan yang tidak mempengaruhi dan mengganggu kekhusyu’an, di antaranya adalah menoleh dalam shalat ke kiri atau ke kanan, asalkan tidak sampai pada batasan melihat ke belakang. Sebelumnya, dalam bab “sifat shalat” pembahasan “pandangan dalam shalat,” kami telah menyebutkan hadits al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah yang berbunyi:

“Adalah Rasulullah Saw. melirik ke kanan dan ke kiri dalam shalatnya, dan beliau tidak memutar lehernya ke belakang.”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Ibnu Hibban.

6) Menahan sesuatu yang lewat di depan orang shalat

Di antara perbuatan yang dibolehkan adalah menahan sesuatu yang lewat di depan orang shalat, baik manusia atau binatang, di mana sebelumnya dalam bab “qiblat dan sutrah” telah kami sebutkan satu hadits Muslim yang berbunyi:

“Bahwa Rasulullah Saw. berkata: “Jika salah seorang dari kalian shalat maka janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya, dan hendaknya dia menahannya sebisa mungkin. Jika enggan, maka hendaklah dia melawannya karena dia (yang lewat) itu adalah setan.”

Hadits Bukhari yang berbunyi:

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap ke suatu yang (berguna) untuk menghalanginya dari orang, sehingga jika ada seseorang yang lewat di depannya maka hendaklah dia menahannya. Jika dia (yang lewat) itu enggan, maka hendaklah dia melawannya karena sesungguhnya dia (yang lewat) itu adalah setan.”

Ini berkaitan dengan manusia, dan dalam pembahasan “sutrah bagi imam” pasal “qiblat dan sutrah” telah disebutkan hadits Abu Dawud yang berbunyi:

“Kami singgah bersama Rasulullah Saw. di jalan sebuah gunung di daerah Adzakhir (suatu tempat di antara dua tanah suci), kemudian tiba waktu shalat -dan beliau Saw. shalat menghadap dinding-, lalu beliau Saw. menjadikannya sebagai kiblat dan kami berada di belakangnya. Tiba-tiba datang seekor binatang ternak dan lewat di depan beliau saw. Beliau Saw. terus-menerus menahannya hingga perutnya menempel di dinding, dan hewan itu kemudian lewat di belakangnya, atau sebagaimana yang dikatakan Musaddad.”

7) Meratakan tempat sujud

Di antara perbuatan yang ringan dan dibolehkan adalah meratakan tempat sujud dan menyiapkannya untuk bersujud. Muaiqib ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. bersabda: “Janganlah engkau mengusap tanah ketika engkau sedang shalat, tapi kalau terpaksa maka hendaklah engkau melakukannya satu kali saja, untuk meratakan kerikil.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah serta Muslim meriwayatkan hadits ini dengan kalimat:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata kepada seseorang yang meratakan tanah ketika dia bersujud dengan sabdanya: “Jika engkau memang terpaksa melakukannya, maka lakukanlah satu kali saja.”

Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan:

“Nabi Saw. menjelaskan tentang menyapu di tempat sujud, yakni untuk meratakan kerikil. Beliau Saw. bersabda: “Jika engkau terpaksa melakukannya, hendaklah engkau melakukannya satu kali saja.”

Menyapu atau meratakan kerikil satu kali saja dalam shalat, itu diperbolehkan dan tidak menjadi masalah.

8) Tersenyum

Di antara perbuatan yang diperbolehkan adalah tersenyum, tetapi tidak sampai pada batasan tertawa tergelak dan terbahak-bahak. Dari Jabir ra. dari Nabi Saw. bersabda:

“Tersenyum itu tidak memutuskan shalat, tetapi tertawa terbahak-bahaklah (yang memutuskan shalat).” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Thabrani meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Seringai itu tidak memutuskan shalat, tetapi diputuskan oleh tertawa yang terbahak-bahak.”

9) Meludah dan membuang dahak

Dibolehkan juga membuang ludah dan membuang dahak, asalkan dilakukan ke arah kiri atau ke bawah kaki kiri saja. Abu Said al-Khudri ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa beliau Saw. melihat dahak di kiblat masjid, lalu beliau Saw. menggosoknya dengan kerikil. Kemudian beliau Saw. melarang orang membuang dahak ke sebelah kanan atau ke arah depan, hendaknya dia membuang dahaknya ke arah kiri atau ke bawah kakinya yang sebelah kiri.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan Bukhari)


(secara umum adalah diharamkan membuang dahak di lantai masjid maupun dindingnya. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Orang yang membuang dahak di dalam masjid itu sungguh telah melakukan kesalahan, dan kaffarahnya adalah ia harus mengubur dahaknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Abu Dawud)
Maka kafarahnya adalah membersihkan bekas dahaknya di masjid) 
10) Membetulkan pakaian

Membetulkan baju dengan gerakan yang sedikit merupakan salah satu perbuatan yang dibolehkan. Dari Wail bin Hujr ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika memasuki (memulai) shalat, beliau Saw. mengangkat kedua tangannya, kemudian bertakbir dan berselimut. Dan memasukkan kedua tangannya ke dalam bajunya. Lalu beliau mengambil bagian bajunya yang sebelah kanan dengan tangan kanannya. Dia (perawi) menyebutkan lanjutan hadits ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

”...Ketika beliau Saw. akan ruku', beliau Saw. mengeluarkan kedua tangannya dari bajunya…”

11) Membawa mushaf

Yang termasuk perbuatan yang dibolehkan dalam shalat adalah membawa dan membaca mushaf. Ibnu Abi Mulaikah telah meriwayatkan dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:

“Bahwa Aisyah telah diimami oleh pembantunya yang bernama Dzakwan dengan membaca mushaf pada bulan Ramadlan.” (Riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Bukhari menyebutkan hadits ini secara mu'allaq. Ibnu at-Taimi meriwayatkan dari ayahnya:

“Bahwa Aisyah suka membaca mushaf, dan dia sedang shalat.” (Riwayat Abdurrazaq)

Dalam kedua hadits ini, walaupun merupakan perbuatan sahabat, dan perbuatan sahabat itu bukan merupakan dalil syariat, tetapi boleh dan sah-sah saja untuk diikuti dan diamalkan sebagai satu hukum syara. Ingatlah bahwa Aisyah itu dikenal kepiawaiannya dalam pemahaman agama, selain itu, dia telah melakukan hal ini di rumah Rasulullah Saw., sehingga sangat jauh kemungkinan hal itu terjadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan Rasulullah Saw.

12) Memisahkan antara dua orang yang bertikai

Di antaranya adalah memisahkan antara dua orang yang bertikai. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. sedang shalat mengimami orang-orang, lalu datang dua orang sahaya dari Bani Abdul Muthalib berkelahi. Rasulullah Saw. menahan keduanya dan memisahkan salah satu dari yang lainnya...” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah yang lain dari jalur Ibnu Abbas juga:

”...Dan datanglah dua orang sahaya dari Bani Abdul Muthalib, keduanya memegang dua lutut Rasulullah Saw., lalu beliau memisahkan di antara keduanya, dan beliau Saw. tidak memutuskan shalatnya.” (HR. an-Nasai)

Dua belas perbuatan tersebut dan yang semisalnya tidak menghilangkan kekhusyuan dan tidak merusak shalat. Karena itu, harus diketahui bahwa khusyuk itu bukan berarti beku kaku tidak bergerak sama sekali, tetapi khusyu’ itu memiliki pengertian diam tenang. Kalaupun dia harus bergerak, itu pun dengan kadar seperlunya saja, tanpa memain-mainkan atau banyak melakukan sesuatu sehingga sesuatu yang tidak perlu itu menjadi dominan pada shalat. Dan si mushalli tetap dalam keadaan tunduk sepenuhnya pada perintah Allah Swt. Seandainya dia harus melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dilakukan seperlunya, atau menggerakkan sesuatu sekedarnya dan seharusnya.

Ketenangan itu merupakan satu tuntutan pada seorang Muslim yang harus diwujudkan dalam shalatnya, serta sepanjang dia berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika shalat telah diserukan maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari. Datangilah shalat itu dalam keadaan tenang, sehingga apa yang kalian dapatkan maka shalatlah dengannya, dan apa yang luput darinya maka kalian sempurnakan. Karena salah seorang dari kalian jika berjalan menuju shalat, maka dia berada dalam (keadaan) shalat.” (HR. Muslim)

Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: “Jika iqamat shalat telah dikumandangkan,” tanpa kalimat “karena salah seorang dari kalian jika berjalan menuju shalat maka dia berada dalam (keadaan) shalat.” Tambahan dalam hadits ini, kalau diriwayatkan dari jalur yang shahih, maka tambahan tersebut bisa diterima. Dalam riwayat Muslim lainnya yang berasal dari jalur Abu Hurairah ra.:

“Jika seruan untuk shalat telah dikumandangkan maka janganlah salah seorang dari kalian berlari menujunya, tetapi hendaklah dia berjalan, dan harus dalam keadaan tenang dan khusyu. Shalatlah apa yang engkau dapati, dan tunaikanlah apa yang luput darimu.”

Berjalan itu tidak meniadakan ketenangan itu sendiri, walaupun berupa gerakan yang banyak dan bersambung. Sedangkan berlari yakni bergerak terburu-buru dalam berjalan, dan yang semisalnya seperti berpacu berlari dan berbagai gerakan tambahan yang menyertainya, maka hal itu meniadakan ketenangan. Dari Abu Qatadah ra. ia berkata:

“Ketika kami shalat bersama Nabi Saw., tiba-tiba beliau Saw. mendengar kegaduhan langkah kaki. Tatkala beliau Saw. selesai shalat, beliau Saw. bertanya: “Ada apa dengan kalian ini.” Mereka berkata: “Kami terburu-buru untuk shalat.” Maka beliau Saw. berkata: “Janganlah kalian lakukan hal itu. Jika kalian berangkat untuk shalat, maka kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah, dan apa yang luput terlewati maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika orang-orang tergesa-gesa dan terburu-buru maka perbuatan mereka menimbulkan kegaduhan. Rasulullah Saw. melarang perbuatan seperti itu dan memerintahkan mereka untuk tetap tenang, walaupun mereka belum memasuki shalat.

Berjalan untuk shalat harus dilakukan dengan khusyuk dan tenang, tidak perlu berlari dan terburu-buru, sehingga menimbulkan kegaduhan dan berbagai gerakan tambahan yang tidak perlu, karena dia berada dalam keadaan shalat. Kaab bin 'Ujrah telah meriwayatkan bahwa Raslullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berwudhu lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian keluar menuju masjid, maka janganlah dia menyilangkan jari-jemarinya, karena sesungguhnya dia dalam keadaan shalat.” (HR. Tirmidzi)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dan di dalamnya dinyatakan: “janganlah dia menyilangkan tangannya.” Abu Dawud meriwayatkan hadits dan di dalamnya dinyatakan: “janganlah dia menyilangkan kedua tangannya.” Berjalan tidak bertentangan dengan ketenangan, maka gerakan kecil dalam shalat pun tidak bertentangan dengan ketenangan. Yang berlawanan dengan ketenangan itu adalah (seperti) mempermainkan sesuatu, bersenda-gurau, dan berbagai gerakan sia-sia serta perbuatan yang tidak seharusnya. Jadi, khusyu’ itu adalah wajib dalam shalat. Meskipun khusyu diwajibkan dan diharuskan untuk ditetapi, seorang mushalli bisa melakukan berbagai perbuatan kecil atau ringan dengan pelan dan tenang, serta dilakukan seperlunya saja, sehingga tidak ada dosa dalam hal itu. Semua ini berkaitan dengan khusyu dalam gerak anggota badan.

Adapun khusyuk dalam hati, maka sibuknya hati di dalam shalat karena salah satu urusan, dan terbersitnya berbagai pemikiran ke dalam benaknya, hal itu tidak menafikan kekhusyuan dalam hati. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla membiarkan apa yang terbersit dalam hati-hati umatku ini, selama dia tidak melakukan atau mengucapkannya.” (HR. Muslim)

Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

”...Selama dia tidak mengucapkannya dan tidak melakukannya.”

Dari Uqbah ra. ia berkata:

“Aku shalat ashar di belakang Rasulullah Saw. di Madinah, lalu beliau bersalam, kemudian berdiri dengan cepat dan melangkahi pundak orang-orang menuju salah satu kamar istrinya. Orang-orang merasa kaget melihat beliau bergegas pergi seperti itu, lalu beliau Saw. keluar menemui mereka dan melihat mereka masih heran karena tindakannya itu. Maka beliau Saw. berkata: “Aku ingat ada bijih emas yang ada pada kami, dan aku tidak suku benda itu membuatku gelisah, maka aku memerintahkan untuk segera membagikannya.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan an-Nasai)

Perkara ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dan terang sehingga tidak perlu dalil tambahan lainnya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam