Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 21 Juli 2017

Dalil Duduk Sesaat Setelah Shalat



BAB KEDELAPAN

PERBUATAN DAN PERKATAAN SETELAH SHALAT

Pertama: Perbuatan yang Dilakukan Setelah Shalat

A. Duduk sesaat setelah selesai shalat

Seorang mushalli jika telah menyelesaikan shalatnya dengan mengucapkan salam dianjurkan untuk diam sejenak di tempat shalatnya, karena di dalamnya terdapat pahala. Dan pahalanya ini tidak akan terputus kecuali jika ia bangkit dari tempat duduknya atau batal wudhunya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, kemudian duduk di atas tempat shalatnya, maka malaikat akan terus-menerus berdoa untuknya: Ya Allah, ampunilah dia, Ya Allah, rahmatilah dia, selama dia tidak (belum) berhadats. (HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Bukhari)

Dalam riwayat lain hadits Ibnu Khuzaimah:

“Selama dia belum berhadats atau bangkit.”

Juga berdasarkan hadits lain yang diriwayatkan Abu Abdurrahman -namanya adalah Abdullah bin Hubaib bin Rabiah as-Sulami- ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba jika duduk di tempat shalatnya setelah selesai shalat, maka malaikat akan berdoa untuknya, dan doa mereka untuknya adalah: Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia. Dan jika dia duduk menunggu shalat maka malaikat akan berdoa untuknya: Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.” (HR. Ahmad)

Dengan besarnya kebaikan dan keutamaan karena memperoleh doa dari para malaikat Allah Swt., maka hendaknya seorang Muslim lebih terdorong untuk berusaha memperoleh doa malaikat dengan cara memperbanyak diam di tempat seusai shalat. Dan lebih dianjurkan lagi dilakukan usai shalat fajar. Berdiam di tempat shalat yang terbaik adalah orang yang shalat itu berdiam di tempat shalatnya hingga matahari terbit atau sedikit meninggi. Dari Samak bahwa ia bertanya kepada Jabir bin Samurrah:

“Apa yang dilakukan Rasulullah Saw. jika beliau shalat subuh? Maka ia menjawab: “Beliau seringkali duduk di tempat duduknya jika telah selesai shalat subuh hingga matahari terbit.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menggunakan redaksi:

“Beliau tidak suka bangkit dari tempat shalat yang beliau gunakan untuk shalat subuh atau shalat al-ghadat hingga matahari terbit. Apabila matahari telah terbit maka beliau pun bangkit.”

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Jabir bin Samurah:

“Bahwa Nabi Saw. jika selesai shalat al-fajar beliau duduk di tempat shalatnya hingga matahari benar-benar telah terbit.”

Hasanan maksudnya adalah benar-benar telah terbit, yakni matahari tersebut telah terbit dan meninggi.

Hendaknya seorang Muslim memperpanjang diam di tempat shalat sebisa mungkin, kecuali jika ada keperluan yang menuntutnya untuk pergi. Seandainya ia seorang imam bagi jamaah kaum Muslim, maka hendaknya dia segera pergi tanpa berlama-lama diam di tempat shalat, apalagi jika imam jamaah itu adalah Khalifah kaum Muslim atau seorang wali, di mana adat yang berlaku menunjukkan bahwa orang-orang tidak boleh pergi sebelum sang imam pergi. Karena itu, hendaknya sang imam mempercepat diri untuk bangkit pergi agar tidak menyulitkan orang-orang. Kaum Muslim di zaman Rasulullah Saw. tidak pergi membubarkan diri sebelum mereka melihat beliau Saw. bangkit pergi. Ini sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pada Rasulullah Saw. Begitu pula yang dilakukan para Khalifah Khulafaur Rasyidin. Kadang-kadang Rasulullah Saw. mempercepat diri untuk bangkit pergi, dan begitulah yang dilakukan oleh para Khalifahnya. Ummu Salamah ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. jika mengucapkan salam maka beliau berdiam sejenak di tempat shalatnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Dari Anas ra. ia berkata:

“Aku bershalat di belakang Nabi Saw. Tatkala beliau selesai bersalam sejenak langsung berdiri. Kemudian aku shalat di belakang Abu Bakar, maka jika telah bersalam beliau bangkit melompat, seolah-olah beliau bangkit dari radhafah (tempat yang dipanasi api).” (HR. Abdur Razaq)

Perkataan bangkit dari radhafah, yakni bangkit secara cepat seolah-olah beliau duduk di atas sesuatu yang dipanaskan oleh api. Dalam kondisi seperti ini, seorang imam bisa saja bangkit pergi dari tempat shalatnya agar orang-orang (makmum) segera membubarkan diri, kemudian ia duduk kembali.

Bagi seorang mushalli dianjurkan untuk tidak meninggalkan tempat duduknya sebelum dia berdiam diri sejenak, yang cukup baginya untuk mengucapkan: “Astagfirullah” (aku memohon ampun kepada Allah) sebanyak tiga kali, dan “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarakta ya dzal jalali wal ikram” (ya Allah, Engkaulah sumber kesejahteraan, dari Engkaulah segala kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tsauban ra. ia berkata:


“Adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai dari shalatnya beliau beristighfar sebanyak tiga kali dan mengucapkan: “Ya Allah, Engkaulah sumber kesejahteraan, dari Engkaulah segala kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai dengan redaksi: Ya Dzal jalali wal ikram (wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan), yakni dengan adanya tambahan Ya (wahai). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, tetapi dengan redaksi yang berbeda, di mana beliau tidak mencantumkan kalimat Allahumma (Ya Allah) di awal doa tersebut. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. tidak duduk setelah bersalam kecuali untuk sekedar mengucapkan: Allahumma antas salam (Ya Allah, Engkaulah sumber kesejahteraan).” (HR. Ibnu Hibban)

Begitu pula disyariatkan bagi seorang imam untuk diam sejenak di tempatnya setelah dia shalat, dalam rangka mendapatkan doa malaikat yang mendoakan rahmat dan ampunan. Juga disyariatkan bagi para makmum untuk diam sejenak bersamanya. Duduk sejenak ini disyariatkan pula bagi para imam dan makmum, karena sebab yang kedua, yakni memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk meninggalkan tempat shalat sebelum bubarnya kaum lelaki, sebagai bentuk menjaga dan memelihara kehormatan mereka. Dari Ummu Salamah ra.:

“Bahwa kaum wanita di masa Rasulullah Saw. jika beliau Saw. bersalam menyelesaikan shalat wajib, maka kaum wanita berdiri, sedangkan Rasulullah Saw. tetap dalam posisi duduknya, begitu pula kaum lelaki yang shalat bersamanya. Apa yang dikehendaki Allah, jika Rasulullah Saw. bangkit, maka bangkit pulalah kaum lelaki.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan as-Syafi'i)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ummu Salamah disebutkan dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. jika telah bersalam, maka kaum wanita berdiri ketika beliau selesai mengucapkan salamnya, lalu beliau diam sejenak sebelum bangkit. Ibnu Syihab berkata: lalu ditampakkanlah hikmahnya dan Allah lebih mengetahui, bahwa diamnya beliau itu agar kaum wanita bisa bubar pulang agar tidak berpapasan dengan kaum lelaki yang bubar dari shalat.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari jalur Ummu Salamah:

“Adalah Rasulullah Saw. jika bersalam maka beliau diam sejenak, dan orang-orang memandang bahwa hal itu (dilakukan) agar kaum wanita bisa selesai membubarkan diri sebelum kaum lelaki.”

Hadits ini dan hadits lain sebelumnya terkait dengan pahala dan hikmah berdiam sejenak setelah shalat. Adapun pahala dzikir setelah shalat, maka imam yang bersegera bangkit, bangkitnya yang cepat itu tidak menghalanginya dari dzikir, jika memungkinkannya untuk melakukan dzikir di tempat lain yang ditujunya, atau ia kembali dari shalat menuju ke rumahnya atau ke tempat tujuan lainnya. Sebab, dzikir kepada Allah dianjurkan dalam berbagai kondisi.

Dan jika imam duduk setelah shalat -dengan duduk yang lama atau sebentar-disunahkan baginya untuk menghadapkan diri dan wajahnya kepada para makmum, terutama makmum yang ada di sebelah kanan dirinya, lalu dia menghadapkan diri ke arah mereka. Dari Samurrah bin Jundab ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai melaksanakan suatu shalat, beliau menghadapkan diri ke arah kami.” (HR. Bukhari)

Dari al-Barra ra. ia berkata:


“Jika kami shalat di belakang Rasulullah Saw. kami suka sekali untuk berada di sebelah kanannya, karena beliau akan menghadap ke arah kami (yang berada di sebelah kanan). Ia (perawi) berkata: lalu aku mendengar beliau berkata: “Ya Allah, peliharalah diriku dari siksamu pada hari Engkau bangkitkan, atau Engkau kumpulkan hamba-hamba-Mu.” (HR. Muslim)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud tanpa ada penyebutan doa di ujung haditsnya. Dari Yazid bin al-Aswad ra. ia berkata:

“Aku bershalat di belakang Rasulullah saw. Jika beliau selesai dari shalatnya maka beliau berbalik arah (duduknya).” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasai dengan redaksi:

“Sesungguhnya dia telah shalat subuh bersama Rasulullah Saw. Tatkala selesai shalat, beliau Saw. berbalik arah.”

Ungkapan: insharafa, berarti selesai shalat. Sedangkan kata inharafa, berarti merubah arahnya, ketika shalat menghadap ke arah kiblat, menjadi ke arah orang-orang (para makmum).

B. Pergi ke sebelah kanan dan kiri

Siapa saja yang telah menyelesaikan shalatnya dan duduk sejenak untuk dzikir dan berdoa, kemudian bangkit meninggalkan tempat shalat, maka dia boleh memilih antara pergi ke sebelah kanan atau sebelah kiri. Seorang Muslim boleh pergi ke arah yang dikehendakinya, dan tidak dibatasi harus pergi ke arah tertentu. Dari Aisyah ra. bahwa ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah minum dalam keadaan berdiri dan duduk, dan bershalat dengan telanjang kaki atau mengenakan sandal, lalu pergi ke sebelah kanan atau kirinya.” (HR. al-Nasai dan Thabrani)

Dan Hulb ra. meriwayatkan:

“Adalah Rasulullah Saw. seringkali mengimami kami, lalu beliau pergi ke arah keduanya seluruhnya, ke arah kanan dan juga kiri.” (HR. Tirmidzi)

Abu Dawud dan Ibnu Hibban meriwayatkan dengan redaksi:

“Beliau seringkali pergi ke arah kedua sisinya.”

Tirmidzi berkata: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: “Jika keperluannya dari sebelah kanan, maka beliau pergi ke sebelah kanan, dan jika keperluannya dari sebelah kiri, maka beliau pergi ke arah kirinya.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:

“Janganlah salah seorang dari kalian memberikan bagian dari shalatnya kepada setan dengan (memandang) untuk tidak pergi (meninggalkan tempat shalat) kecuali ke sebelah kanannya, padahal aku sungguh telah melihat Rasulullah Saw. lebih banyak pergi ke sebelah kirinya. Umarah berkata: aku mengunjungi kota Madinah setelahnya, dan aku melihat tempat perginya Nabi adalah ke arah kirinya.”

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

”Janganlah salah seorang dari kalian memberikan satu bagian dirinya kepada setan, di mana dia menganggap bahwa yang wajib atasnya adalah tidak pergi (meninggalkan tempat shalat) kecuali ke sebelah kanannya, padahal yang paling sering kulihat dari Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya. ”

Saya menduga kuat bahwa ungkapan: “padahal yang paling sering kulihat dari Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya.” Maksudnya adalah bahwa beliau Saw. pada umumnya atau biasanya pergi meninggalkan tempat shalat lebih banyak ke sebelah kiri dibandingkan ke sebelah kanan, mengingat ada penjelasan lain bahwa perginya beliau Saw. tidak selalu ke arah kanan, sebagaimana hal itu dinyatakan sejumlah orang. Dalilnya adalah pernyataan Anas ra.:

“Yang paling sering aku lihat dari Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kanannya.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai)

Dalam satu riwayat Bukhari –di mana beliau ada orang yang paling teliti dalam menetapi kata-kata yang ada dalam suatu hadits- disebutkan seperti ini:

“Janganlah kalian menjadikan sesuatu bagian untuk setan dari shalatnya, di mana dia memandang bahwa menjadi satu keharusan atasnya untuk tidak pergi kecuali ke sebelah kanannya, padahal aku melihat Nabi Saw. seringkali pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya.”

Dalam hadits ini jelas disebutkan “seringkali pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya”, dan lafadz ini jelas lebih teliti dibandingkan riwayat Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai; “padahal yang paling sering aku lihat dari Rasulullah Saw. (adalah bahwa beliau) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya. ”

Sebenarnya ada peluang untuk mengkompromikan antara riwayat yang menyebutkan: “yang paling sering kulihat (adalah bahwa beliau Saw.) pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kirinya” dengan riwayat “yang paling sering kulihat adalah bahwa beliau Saw. pergi (meninggalkan tempat shalat) ke sebelah kanannya” dengan menyatakan bahwa perawi riwayat yang pertama menyebutkan apa yang disaksikannya. Hal ini terjadi dalam shalat-shalat yang beliau Saw. lakukan di masjidnya -di Madinah-, di mana kamar-kamar dari isteri-isteri beliau Saw. terletak di sebelah kiri masjid, sehingga beliau Saw. pergi meninggalkan tempat shalat ke sebelah kiri. Ibnu Mas’ud telah menukil persaksiannya mengenai alasan arah kepergian beliau Saw. ke sebelah kiri. Ada satu riwayat dalam Shahih Ibnu Hibban, dengan jelas disebutkan:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. biasanya pergi ke sebelah kirinya, menuju kamar-kamar (para isterinya).”

Perawi dari riwayat yang kedua -yang menyebutkan apa yang disaksikannya-, bahwa dia melihat Rasulullah Saw. seringkali pergi meninggalkan tempat shalat ke sebelah kanannya, maka saya menduga kuat hal itu terjadi ketika beliau Saw. tidak shalat di masjidnya di Madinah, atau ketika beliau Saw. tidak hendak pergi menuju kamar-kamar isterinya setelah shalat, sehingga beliau Saw. pergi meninggalkan tempat shalat ke sebelah kanan. Ini karena beliau Saw. sangat mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh perkaranya. Walaupun begitu, perkara ini jelas dilapangkan.

C. Pemisah antara shalat wajib dan shalat sunat

Dianjurkan bagi seorang mushalli, ketika dia menyelesaikan shalat wajib dan akan melaksanakan beberapa shalat sunah setelah dhuhur, maghrib dan isya, atau shalat nafilah lainnya, agar tidak melakukan shalat-shalat sunat ini di tempat yang digunakannya untuk melakukan shalat wajib. Sebaiknya dia bergeser ke depan atau ke belakang dari posisinya semula, atau menjauh ke arah kanan atau kiri. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Sabith, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat wajib, lalu ingin melakukan shalat sunat, maka hendaklah ia maju ke depan sedikit atau mundur ke belakang sedikit, atau bergeser ke kanan atau ke kiri.” (HR. Abdur Razaq)

Dan jika dia tetap ingin melakukan shalat sunat tersebut di tempat yang digunakannya untuk melakukan shalat wajib, maka hendaklah ia keluar dari tempat shalat tersebut. Setelah keluar dari (tempat tersebut) kemudian dia kembali lagi, atau hendaknya ia berbicara dengan orang lain sebelum melakukan shalat sunat. Dengan salah satu dari keduanya, dia bisa memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunat. Dari Saib bin Yazid, ia berkata:

“Aku shalat Jum'at bersama Muawiyah di dalam rumah yang luas (istana). Ketika beliau bersalam aku berdiri dari tempatku, kemudian melakukan shalat sunat. Saat beliau masuk, beliau memanggilku dan berkata: Jangan lakukan kembali hal seperti itu. Apabila engkau shalat Jumat maka janganlah engkau menyambungnya dengan shalat lain hingga engkau berbicara atau keluar, karena sesungguhnya Nabi Saw. telah memerintahkan hal itu. Janganlah engkau menyambung satu shalat dengan shalat lainnya hingga engkau keluar atau berbicara.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam