Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 27 Agustus 2018

Kita Bakal Mati



LENTERA KEBANGKITAN

Kita Bakal Mati

Oleh: Zakariya al-Bantany

Allah lah yang telah menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini. Allah SWT berfirman:

"Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. As-Sajadah: 4)

Dan Allah pun menciptakan kita di dunia ini, melainkan hanya untuk beribadah dan menyembah kepada Allah SWT semata sekaligus menjadi Khalifahnya Allah SWT dalam mengelola dan mengurusi bumi ini dengan hanya menjalankan Syariah Allah atau hukum-hukum Allah saja di muka bumi ini . Allah SWT berfirman:

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (mengabdi) kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al-Baqarah: 30)

Dan kita pun sebagai manusia adalah makhluk dan hamba-Nya ini yang sangatlah lemah, tidak kekal dan tiada abadi. Sebab kita semua bakal mati, sedangkan Allah SWT Maha Kekal nan Abadi. Kita ini adalah camat alias calon mati dan calon mayat. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’: 78).

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al-Anbiya’: 34).

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Kemudian setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Allah SWT pun berfirman:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian.” (QS. Ali Imran: 185).

Dan tentunya seluruh perkataan dan perbuatan kita bahkan letupan isi hati kita, komentar kita, postingan kita, tulisan kita, browsing kita, chattingan kita, dan pilihan hidup kita baik ataupun buruknya pastilah akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di Yaumil Hisab kelak dan akan mendapatkan balasannya dari Allah SWT di Akhirat nanti. Allah SWT berfirman:

"Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Al-Zalzalah: 6-8).

Di Yaumil Hisab kelak kita dihisab atau diadili oleh Allah hanya pakai cara hukum-hukum Allah atau Syariahnya semata bukan pakai cara hukum demokrasi ataupun hukum jahiliyah lainnya.

Setelah dihisab di Yaumil Hisab kelak balasannya hanya ada dua pilihan di Akhirat nanti yakni surga atau di neraka. Jika ditimbang lebih banyak amal shalihnya, maka positif ia bakal ke surga. Allah SWT berfirman:

“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia), (yaitu) surga-surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (QS. Thaha: 75-76)

Rasulullah Saw. bersabda:

“Surga itu ada 100 tingkatan, yang dipersiapkan oleh Allah untuk para Mujahid di jalan Allah. Jarak antara dua surga yang berdekatan sejauh jarak langit dan bumi. Dan jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena itulah surga yang paling tengah dan paling tinggi yang di atasnya terdapat Arsy milik Ar-Rahman, darinya pula (Firdaus) bercabang sungai-sungai surga.” (HR. Al-Bukhari, No. 2790)

Sebaliknya bila ia ditimbang ternyata lebih banyak amal salah dan amal thalih (buruk) nya, maka positif ia bakal ke neraka minimal berabad-abad lamanya bagi muslim yang banyak maksiatnya dan maksimal kekal selama-lamanya di neraka bagi orang-orang kafir dan munafik. Allah SWT berfirman:

"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal." (QS. At-Taubah: 68)

Nabi Saw. pun bersabda:

“Adapun ahli neraka yang mereka merupakan penduduknya, maka sesungguhnya mereka tidak akan mati di dalam neraka dan tidak akan hidup. Tetapi orang-orang yang dibakar oleh neraka dengan sebab dosa-dosa mereka, maka Dia (Allah) mematikan mereka. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, diberi izin mendapatkan syafa’at. Maka mereka didatangkan dalam keadaan kelompok-kelompok yang berserakan. Lalu mereka ditebarkan di sungai-sungai surga, kemudian dikatakan: “Wahai penduduk surga tuangkan (air) kepada mereka!” Maka mereka pun tumbuh sebagaimana tumbuhnya bijian yang ada pada aliran air." (HR. Muslim, No. 185)

Semoga kita tidak salah pilih, tidak salah kata, dan tidak salah langkah dalam kehidupan ini khususnya di zaman now era akhir zaman ini yang penuh fitnah.

Sebab, fitnah besar akhir zaman menjelang fitnah sangat besar dajjal adalah fitnah duhaima' yakni bercokolnya penguasa ruwaibidhah dan bercokolnya sistem kufur demokrasi kapitalisme sekuler dan sosialisme komunisme.

Fitnah duhaima' berupa bercokolnya penguasa ruwaibidhah dan sistem kufur demokrasi kapitalisme sekulerisme dan sosialisme komunisme dapat menggerus bahkan melenyapkan akidah atau iman kita dan amal shalih kita tanpa kita sadari.

Dan ini sangat membahayakan akhir kehidupan kita dan nasib kita kelak di akhirat nanti.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya, menjelang terjadinya Kiamat ada fitnah-fitnah seperti sepotong malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, tetapi pada sore hari ia menjadi kafir, sebaliknya pada sore hari seseorang dalam keadaan beriman, namun di pagi hari ia dalam keadaan kafir. Orang yang duduk pada masa itu lebih baik daripada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berjalan cepat. Maka, patahkan busur kalian, putus-putuslah tali kalian, dan pukullah pedang kalian dengan batu, jika salah seorang dari kalian kedatangan fitnah-fitnah ini, hendaklah ia bersikap seperti anak terbaik di antara dua anak Adam (yakni bersikap seperti Habil, jangan seperti Qabil–pent).” (HR. Abu Dawud (4259), Ibnu Majah (3961) Al-Fitan, Ahmad (19231), dan Hakim)

Dalam sebuah hadits disebutkan pula: “Ketahuilah, sesungguhnya fitnah itu dari sini, fitnah itu dari sini, dari arah terbitnya tanduk setan.” (HR. Bukhari (3279) Bad’ul-Khalqi, Muslim Al-Fitan wa Asyrathu’s-Sa’ah)

Secara bahasa fitnah bisa bermakna ujian, cobaan, bala’, bencana dan siksaan. Pada riwayat di atas Rasulullah Saw. memberikan peringatan kepada umatnya agar mewaspadai adanya fitnah yang bisa menggoncang keimanan mereka.

Penggambaran fitnah laksana potongan malam yang amat pekat itu menunjukkan betapa berat dan berbahayanya fitnah itu. Ini merupakan peringatan penting bagi setiap Muslim, bahwa banyaknya fitnah yang menyebabkan seseorang murtad baik secara lahiriah maupun secara ideologis merupakan tanda dekatnya akhir zaman.

Tentang fitnah yang bisa membuat kaum Muslimin terperosok pada kekufuran setelah keimanannya diperkuat dalam riwayat yang menjelaskan tentang kemunculan fitnah duhaima’. Riwayat tentang fitnah duhaima’ bercerita tentang masa-masa yang akan dihadapi oleh kaum Muslimin menjelang keluarnya Dajjal untuk menebar fitnah dan huru-hara.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Setelah itu akan terjadi fitnah Duhaima’, yang tidak membiarkan seorang pun dari umat ini kecuali akan ditamparnya dengan tamparan yang keras. Ketika orang-orang mengatakan, “Fitnah telah selesai”, ternyata fitnah itu masih saja terjadi. Di waktu pagi seseorang dalam keadaan beriman, namun di waktu sore ia telah menjadi orang kafir. Akhirnya manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan beriman yang tidak ada kemunafikan sedikit pun di antara mereka, dan golongan munafik yang tidak ada keimanan sedikit pun di antara mereka. Jika hal itu telah terjadi, maka tunggulah munculnya Dajjal pada hari itu atau keesokan harinya.” (HR. Abu Dawud no. 3704, Ahmad no. 5892, dan Al-Hakim no. 8574. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi)

Hadits di atas mengisyaratkan hakikat fitnah Duhaima’ akan meluas mengenai seluruh umat ini. Meskipun manusia menyatakan fitnah tersebut telah berhenti, ia akan terus berlangsung dan bahkan mencapai puncaknya.

Beliau Saw. menerangkan tentang efek yang ditimbulkan oleh fitnah ini, yaitu munculnya sekelompok manusia yang di waktu pagi masih memiliki iman, namun di sore hari telah menjadi kafir. Ini merupakan sebuah gambaran tentang kedahsyatan fitnah tersebut. Fitnah ini akan mencabut keimanan seseorang hanya dalam bilangan hari, dan ini juga merupakan sebuah gambaran betapa cepatnya kondisi seseorang itu berubah.

Tentang hakikat dari fitnah ini, ada tiga gambaran yang paling mendekati bentuknya, yaitu fitnah demokrasi kapitalisme sekuler liberal dan fitnah perang global melawan terorisme serta bermunculannya penguasa ruwaibidhah jabriyatan. Ketiga fenomena ini adalah wujud yang paling mendekati semua ciri yang termuat pada fitnah Duhaima’.

Ketiga fitnah ini pula yang paling berpotensi menjadikan seorang masih beriman di pagi hari namun tanpa sadar menjadi kafir di sore hari.

Karena itulah, kita berlindung kepada Allah dari dahsyatnya fitnah duhaima' dan fitnah dajjal tersebut, sebab sungguh kita pun tidak tahu pasti kapan tiba masanya ajal kita datang menjemput. Karena maut sendiri adalah perkara ghaib dan rahasia Allah dan hanya Allah SWT yang Maha Tahu kepastiannya.

Dan juga sungguh nyawa kita ini pun benar-benar dalam genggaman Allah SWT, dan Allah Maha Menyaksikan lagi Maha Mengetahui atas setiap perkataan, perbuatan dan letupan isi hati kita ini. Dan Malaikat Mautnya Allah SWT pun selalu setiap saat mengintai kita dan menunggu perintah Allah untuk mencabut nyawa kita, manakala tibanya ajal kita yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Oleh sebab itu, sebaik-baik harta dan bekal dalam menghadapi kematian atau maut yang selalu mengintai kita tersebut dalam kehidupan di dunia ini adalah hanyalah iman dan takwa semata. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18)

Semoga Allah SWT menjaga dan melindungi kita semua dari fitnah duhaima' dan fitnah dajjal serta dari kematian su'ul khatimah dan dari siksa api neraka.

Dan semoga dengan iman dan takwa kita yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT, Allah SWT pun semoga berkenan mematikan kita dalam keadaan husnul khatimah yaitu mati dalam keadaan beriman dan bertakwa serta mati dalam dakwah dan jihad di jalan Allah.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahanam, dan siksa kubur, dan fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah Dajjal."
(HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Nasa’i, dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa [27])

Aaamiin.

Wallahu a'lam bish shawab. []

#2019TumbangkanDemokrasi
#2019TegakkanKhilafah

@Zakariya al-Bantany
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Kamis, 16 Agustus 2018

Memperhatikan Tanda Kekuasaan Allah SWT - TAFSIR al-Furqan: 45-46



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan oleh) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan al-zhill; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikannya tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu, kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (TQS. al-Furqan [25]: 45-46).

Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT amat banyak. Tak terhitung banyaknya. Bahkan di setiap obyek yang kita lihat dan kita dengar, di situ terdapat tanda kekuasaan Allah SWT. Maka, sungguh aneh jika ada manusia yang mengingkari keberadaan-Nya, atau salah memahami siapa tuhan sebenarnya yang menjadi Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Ayat ini adalah di antara ayat yang menunjukkan kepada manusia di antara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.

Memanjangkan Al-Zhill

Allah SWT berfirman: Alam tara ilaa Rabbika kayfa madda al-zhill (apakah kamu tidak memperhatikan [penciptaan] Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan al-zhill). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang orang-orang yang tidak menggunakan pendengaran dan akalnya, sehingga perilaku hidup mereka seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat daripada binatang tersebut. Ayat sebelumnya lagi diberitakan tentang adanya orang-orang yang menjadikan tuhan atas dasar hawa nafsunya, atau menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.

Kemudian dalam ayat ini ditunjukkan tentang salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tanda tersebut dapat diindera oleh siapapun, sehingga orang yang menggunakan akal dan pendengarannya dengan benar akan menghasilkan keimanan tentang Allah SWT. Ayat ini diawali dengan frasa: Alam tara (tidakkah kamu melihat).

Huruf hamzah merupakan istifhaam (kalimat tanya), memberikan makna li al-taqriir (untuk mengukuhkan). Sedangkan tara merupakan al-fi'l al-mudhaari' yang berasal dari kata al-ru'yah. Menurut al-Qurthubi, kata al-ru‘yah di sini bisa jadi merupakan al-ru‘yah dengan al-'ayn (melihat dengan penglihatan mata); bisa juga dengan al-‘ilm (pengetahuan). Kedua makna tersebut dapat digunakan.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, mukhaathab atau pihak yang diseru oleh ayat ini, adalah Rasulullah . Meskipun demikian, itu berlaku umum. Sebab, maksud ayat ini adalah memberikan penjelasan tentang nikmat Allah yang berupa al-zhill. Seluruh mukallaf termasuk dalam cakupannya karena mereka wajib diingatkan dengan kenikmatan tersebut, dan mengokohkan mereka dengan bukti-buki tersebut tentang adanya pencipta.

Perkara yang diminta untuk dilihat dan dipikirkan adalah tentang al-zhill. Menurut al-Razi, makna al-zhill adalah keadaan pertengahan antara terang-benderang dan gelap-gulita. Keadaan tersebut terjadi pada waktu di antara terbitnya fajar hingga terbitnya matahari.

Bahwa al-zhill yang dimaksudkan ayat ini terjadi antara terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, dikemukakan oleh banyak mufassir. Menurut Ibnu Katsir, mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu al-Aliyah, Malik, Masruq, Mujahid, Said bin Jubair, Ibrahim al-Nakhai, al-Dhahhak, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, al-Sudi, dan lain-lain.

Beberapa mufassir mengatakan bahwa al-zhill merupakan keadaan yang paling bagus. Tidak terlalu gelap, namun juga tidak terlalu panas. Tentu ini merupakan kenikmatan yang luar biasa bagi manusia sekaligus menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.

Kemudian Allah SWT berfirman: Walaw syaa‘a laja'alahu saakin[an] (dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu). Kata saakin[an] dalam ayat ini bermakna daaim[an] mustaqarr[an] (tetap), tidak dihapuskan oleh matahari. Demikian menurut Imam al-Qurthubi.

Penafsiran yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir, yakni: daaim[an] laa yazuulu (tetap, tidak menghilang). Menurut mufassir tersebut, ayat ini sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus-menerus sampai hari kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 71) dan firman-Nya: “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus sampai hari kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 72).

Ini mengingatkan kepada manusia tentang kekuasaan Allah SWT. Bahwa keadaan antara gelap-gulita dan terang-benderang yang amat disenangi manusia itu sesungguhnya terjadi karena kekuasaan Allah SWT. Seandainya Dia menghendaki, niscaya keadaan itu akan terus berlangsung. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki lain. Keadaan itu akan berakhir, ketika Allah SWT menjadikan matahari terbit. Kejadian itu terus berulang seiring dengan pergantian siang dan malam. Semua itu jelas menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.

Lalu Allah SWT berfirman: Tsumma ja'alnaa al-syams 'alayhi daliil[an] (kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu). Kata daliil berasal dari kata dalalah. Menurut al-Asfahani, al-dalalah berarti segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan terhadap sesuatu. Kata al-daliil merupakan bentuk mubaalaghah (penyangatan) dari kata al-daali (bentuk faa’il-nya, artinya: yang menunjukkan), sebagaimana kata ‘aalim dengan 'aliim.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah SWT menjadikan matahari sebagai daliil. Menurut al-Qurthubi, itu berarti matahari menjadi hujjah wa burhaan (argumentasi dan bukti yang nyata).

Masih menurut al-Qurthubi, ayat ini memberikan makna: "Kami jadikan matahari menghilangkan bayang-bayang tatkala kedatangannya menunjukkan bahwa bayangan merupakan sesuatu dan bermakna. Sebab, sesuatu itu diketahui karena ada lawannya. Seandainya tidak ada matahari, maka tidak ada bayangan. Dan seandainya tidak ada cahaya, kegelapan tidak diketahui."

Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman: Tsumma qabadhnaahu ilaynaa qabadh[an] yasiir[an] (kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan). Dhamiir al-ghaaib (kata ganti pihak ketiga, dia) dalam ayat ini merujuk kembali kepada al-zhill. Demikian menurut al-Syaukani, dan para mufassir lainnya.

Menurut Ibnu Katsir, kata yasiir[an] bermakna sahl[an] (mudah). Ayyub bin Musa juga memaknainya: qaliil[an] faqaliil[an] (sedikit demi sedikit, perlahan-lahan). Penafsiran senada juga dikemukakan al-Zamakhsyari, yang menafsirkannya 'alaa mahl (perlahan). Menurut al-Alusi, bermakna al-tadarruj wa al-mahl (bertahap dan perlahan) untuk mengetahui waktu. Ini serupa dengan makna firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” (TQS. al-Baqarah [2]: 189).

Oleh karena itu, ayat ini memberikan makna bahwa Allah SWT menarik al-zhill perlahan-lahan, hingga matahari terbit. Hingga akhirnya, al-zhill tersebut lenyap sama sekali.

Demikianlah. Pergantian siang dan malam merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Siapakah yang bisa membuatnya terus berjalan ribuan, bahkan jutaan tahun. Jelas tidak ada yang bisa melakukan kecuali Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Patung-patung yang disembah orang kafir dan dijadikan sebagai tuhan, jelas mustahil. Di samping itu, pergantian siang dan malam juga merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Bayangkan jika kehidupan hanya dilalui dengan malam yang gelap-gulita, atau siang yang dipenuhi dengan terik matahari yang panas.

Sungguh, siapapun yang memperhatikan semua itu dengan benar, pasti akan berkesimpulan tentang adanya Sang Pencipta dan Pengatur alam raya. Dialah Allah SWT, yang wajib disembah oleh seluruh manusia. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Keadaan pertengahan antara gelap-gulita pada malam hari dengan terik panas oleh matahari merupakan tanda kebesaran Allah SWT sekaligus kenikmatan bagi manusia.
2. Orang yang menggunakan akal dan penglihatannya dengan benar akan menghasilkan keimanan.

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 153

Selasa, 07 Agustus 2018

Keadaan Ahli Surga Di Akhirat - Tafsir al-Furqan: 24



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (TQS. al-Furqan [25]: 24).

Berkebalikan dengan orang kafir yang dipastikan sengsara dan menderita di Akhirat, orang Mukmin justru mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan. Mereka diberikan tempat tinggal paling baik dan paling indah, yakni Surga. Dibandingkan dengan tempat tinggal orang kafir di dunia yang paling baik dan paling bagus jelas amat jauh, terlebih dengan tempat tinggal mereka di Akhirat.

Inilah di antara perkara penting yang diberitakan oleh ayat ini.

Tempat Tinggal Terbaik

Allah SWT berfirman: Ashhaab al-jannah yawmaidz[in] khayr[un] mustaqarr[an] wa ahsanu maqiil[an] (penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang nasib yang menimpa orang kafir di Akhirat. Semua amalnya terhapus sia-sia.

Ayat ini kemudian memberitakan tentang balasan yang akan diterima oleh ashhaab al-jannah (para penghuni Surga). Dikemukakan Abdurrahman al-Sa'di dalam tafsirnya, Taysiir al-Kariim al-Rahmaan fii Tafsiir al-Kalaam al-Mannaan, yang dimaksud dengan ash-haab al-jannah di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, beramal shalih, dan bertakwa kepada Tuhan mereka. Tak berbeda, al-Alusi juga mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Mukmin. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh ayat sebelumnya: “Katakanlah, "Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik, atau Surga yang kekal yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa?" (TQS. al-Furqan [25]: 15). Dalam ayat tersebut jelas disebutkan jannah al-khudi (Surga yang kekal) dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.

Kata yawmaidz[in] merupakan al-zharf (kata keterangan) yang menunjukkan waktu terjadinya kejadian tersebut. Diterangkan al-Alusi, hari yang dimaksud adalah hari ketika terjadi apa yang diberitakan dalam ayat sebelumnya, yakni tatkala disodorkan amal mereka (orang kafir) dan dijadikannya laksana debu-debu beterbangan; atau ketika tidak ada kabar gembira buat mereka, dan mereka berkata: Hijr[an] mahjuur[an].

Dalam ayat ini diberitakan bahwa para penghuni Surga itu memperoleh: khayr[un] mustaqarr[an] (sebaik-baik tempat tinggal). Menurut al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan al-Alusi, al-mustaqarr adalah tempat menetap yang di dalamnya sebagian besar waktunya digunakan untuk duduk-duduk dan berbincang-blncang.

Selain itu, mereka mendapatkan: Wa ahsan maqiil[an] (tempat paling indah untuk beristirahat). Diterangkan al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan al-Alusi, al-maqiil adalah tempat berlindung yang digunakan untuk beristirahat dan bersenang-senang bersama para istri dengan bercengkerama bersama mereka.

Sebagian mufassir memahami maqiil di sini sebagai tempat tidur atau istirahat sebentar pada pertengahan hari. Menurut Imam al-Qurthubi, makna ini dikaitkan dengan hadits marfu' dari al-Mahdawi: ”Sesungguhnya Allah SWT menyelesaikan hisab makhluk dalam setengah hari dan menempatkan penghuni Surga di Surga dan menempatkan penghuni Neraka di Neraka.”

Dalam ayat ini, Surga disifati dengan dua kata, yakni: khayr (paling baik) dan ahsan (paling bagus). Menurut al-Alusi, ditambahkannya sifat al-hasan padahal telah disebutkan khayr mengisyaratkan bahwa mereka mendapatkan berbagai gambaran indah dan perkakas yang bagus. Pasalnya, tempat tinggal yang indah dikembalikan kepada penghuninya sehingga memberikan kegembiraan yang sempuma.

Berkenaan dengan bentuk al-tafhiil pada kata khayr dan ahsan, ada dua penjelasan yang dikemukakan para ulama. Sebagian menganggap bermakna komparatif (perbandingan). Dalam hal ini dibandingkan dengan keadaan orang-orang kafir. Al-Khazin dalam tafsirnya mengatakan: “lebih baik daripada orang-orang musyrik yang sombong.” Dikemukakan Ibnu Athiyah dalam tafsirnya: ”Tempat tinggal ahli Surga lebih baik daripada tempat tinggal ahli Neraka.” Menurutnya, khayr di sini li tafdhiil (untuk melebihkan) antara dua hal, tidak ada kesamaan di antara keduanya.

Dijelaskan pula oleh Ibnu Jarir al-Thabari dalam Jaami' al-Bayaan fii Ta‘wiil al-Qur'aan, pengertian frasa khayr[un] mustaqarr[an] adalah tempat menetap yang mereka tinggali di Surga lebih baik daripada tempat tinggal orang-orang musyrik yang mereka banggakan beserta harta mereka dan seluruh perhiasan dunia yang diberikan keadaan mereka. Juga lebih indah daripada tempat istirahat mereka.

Jika ada pertanyaan, bagaimana dikatakan lebih baik dan lebih bagus dibandingkan Neraka padahal tidak ada kebaikan dan kebagusan di Neraka? Jawabannya adalah firman Allah SWT sebelumnya: “Katakanlah: "Apakah (adzab) yang demikian itukah yang lebih baik atau Surga yang kekal” (TQS. al-Furqan [25]: 15). Demikian menurut Fakhruddin al-Razi.

Bisa juga dimaknai superlatif (paling). Artinya, menunjukkan bahwa mereka berada dalam tempat tinggal yang paling baik dan tempat istirahat yang paling indah. Dikatakan juga oleh Fakhruddin al-Razi, ini menunjukkan ghaayah al-khayr (puncak kebaikan). Menurut Imam al-Qurthubi, maknanya adalah bagi mereka sebaik-baik tempat tinggal. Menurut al-Alusi kedua makna tersebut bisa terkandung dalam ayat tersebut.

Penjelasan Lain

Keadaan penghuni Surga dan penghuni Neraka memang tidak sama. Perbedaan tersebut juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: “Tiada sama penghuni-penghuni Neraka dengan penghuni-penghuni Surga; penghuni-penghuni Surga itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. al-Hasyr [59]: 20). Menurut Ibnu Katsir, hal itu disebabkan karena penghuni Surga menempati derajat yang tinggi dan kamar-kamar yang aman. Mereka dalam posisi yang aman, pemandangan yang indah, dan kedududukan yang bagus: Mereka kekal di dalamnya; Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (TQS. al-Furqan [25]: 76).

Masih menurut Ibnu Katsir, penghuni Neraka menempati tingkatan bagian bawah, kesedihan dan penyesalan yang terus-menerus, dan berbagai macam azab dan hukuman: Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (TQS. al-Furqan [25]: 66). Yakni tempat tinggal yang paling buruk pemandangannya dan tempat istirahat yang paling buruk posisinya. Oleh karena itu dikatakan: Penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.

Di muka telah dipaparkan makna mustaqarr[an] adalah tempat menetap yang di dalamnya sebagian besar waktunya digunakan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang. Kajian terhadap ayat-ayat lain, menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para penghuni Surga memang dipenuhi dengan kesenangan dan ketentraman. Mereka duduk-duduk sambil bercengkerama. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya penghuni Surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan” (TQS. Yasin [36]: 55-56).

Allah SWT juga berfirman: “Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan” (TQS. al-Waqiah [56]:15-16).

Keindahan Surga digambarkan sebagai tempat tinggal yang di bawahnya mengalir berbagai sungai, terdapat aneka buah yang tak kenal musim, bermacam makanan yang lezat, dan para istri yang jelita, senantiasa muda, dan selalu suci.

Demikianlah keadaan ahli Surga. Mereka medapatkan balasan atas apa yang mereka lakukan selama di dunia. Sebagaimana diterangkan para mufassir, mereka adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Maka siapapun yang ingin menjadi ahli Surga, mendapatkan tempat kediaman yang paling baik, dan tempat istirahat yang paling bagus nan indah, mereka harus menjadikan tauhid sebagai akidahnya dan syariah-Nya sebagai tatanan kehidupannya. Semoga kita termasuk di antara mereka. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
.
Ikhtisar:
1. Orang beriman dan bertakwa akan menjadi ahli Surga.
2. Ahli Surga mendapatkan tempat tinggal yang paling baik dan tempat istirahat paling indah.
3. Kehidupan Surga dipenuhi dengan kesenangan dan kenikmatan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 138

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam