Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

Puasa Tidak Batal Dengan Bohong, Ghibah, Berbuat Bodoh Terhadap Orang



Perkataan Bohong, Ghibah, dan Bertindak Bodoh Terhadap Orang Lain

Jumhur ulama berpendapat bahwa ghibah itu tidak membatalkan seseorang yang berpuasa. Ahmad bin Hanbal berkata: siapa yang bisa selamat dari ghibah? Seandainya ghibah itu membatalkan puasa, maka tidak ada puasa sama sekali yang telah kita lakukan. As-Syafi’i berpendapat bahwa batalnya puasa karena ghibah itu mesti dipahami sebagai gugurnya pahala puasa, dan ini persis dengan ucapan Rasulullah Saw. pada orang yang berbicara ketika khatib Jumat sedang berkhutbah: tidak ada Jumat bagimu. Namun beliau Saw. tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.

Ini menunjukkan bahwa yang beliau Saw. maksudkan adalah gugurnya pahala. Hal ini dikatakan oleh as-Shan’ani penulis kitab Subulu as-Salam.
Sedangkan al-Auza’i, Ibnu Hazm dan satu riwayat dari Aisyah ra., mereka berpendapat bahwa ghibah itu membatalkan seseorang yang berpuasa.

Agar titik kebenaran masalah ini nampak jelas, maka kita harus meneliti sejumlah nash terkait:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan yang dituntut dustanya, maka Allah Swt. tidak memerlukan perbuatannya meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari [1903], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah [1689] dengan lafadz:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, kebodohan dan perbuatan bodohnya, maka Allah Swt. tidak memerlukan perbuatannya meninggalkan makan dan minumnya.”

2. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan perkataan dusta, maka Allah Swt. tidak memerlukan perbuatannya meninggalkan makan dan minum.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam as-Shagir [472] dan al-Mu’jam al-Ausath)

Ibnu Hajar berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah.

Di sisi lain, al-Haitsami berkata: dalam hadits ini ada orang yang tidak aku kenal.

3. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Puasa itu perisai, maka janganlah berkata keji dan janganlah bertindak bodoh. Dan jika seseorang mengajaknya berkelahi atau mencercanya, maka katakanlah: Sesungguhnya aku sedang berpuasa, dua kali.” (HR. Bukhari [1894], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Falaa yarfuts artinya janganlah melontarkan perkataan keji, yaitu sama dengan kata al-khanaa yang disebutkan dalam hadits sebelumnya.

4. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Janganlah kamu saling menghina padahal engkau sedang berpuasa, dan jika seseorang menghinamu maka katakan sesungguhnya aku sedang berpuasa, dan jika engkau sedang berdiri maka duduklah.” (HR. an-Nasai [3246] dalam kitab as-Sunan al-Kubra)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah. Sanad haditsnya shahih.

5. Dari Abu Ubaidah al-Jarrah ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Puasa itu perisai selama dia belum melubanginya.” Abu Muhammad berkata: yaitu dengan ghibah.” (HR. ad-Darimi [1733], an-Nasai dan Ahmad)

Diriwayatkan pula oleh at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath [4533] dari jalur Abu Hurairah dengan lafadz:

“Puasa itu perisai selama dia tidak melubanginya.” Dia ditanya: Dengan apa perisai itu dilubangi? Dia berkata: Dengan dusta atau ghibah.”

6. Dari Anas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada puasa bagi orang yang senantiasa memakan daging-daging manusia.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/4231)
Diriwayatkan oleh Abu Dawud at-Thayalisi [2107] sebagai bagian dari sebuah hadits yang panjang dengan lafadz:

“Dan bagaimana bisa disebut berpuasa, seseorang yang masih saja memakan daging-daging manusia?”
Hadits terakhir ini sangat dhaif, diriwayatkan oleh Yazid bin Aban ar-Raqasyi, yang didhaifkan oleh Ibnu Saad dan Yahya bin Ma'in. Syu'bah mengomentarinya dengan buruk. An-Nasai, al-Hakim dan Abu Ahmad berkata: haditsnya ditinggalkan. Ahmad berkata: haditsnya ditinggalkan. Sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Hadits keempat tidak memiliki dilalah yang menunjuk pada masalah kita ini, tidak lebih sebagai larangan dari saling menghina, dan menunjukkan tata cara menangani orang yang menghina orang yang berpuasa.

Hampir mirip dengan hadits ketiga adalah hadits keempat, sehingga keduanya tidak terkait objek pembahasan apakah ghibah dan bertindak bodoh itu termasuk perkara yang membatalkan puasa atau tidak.

Kini tinggal hadits nomor 1, 2 dan 5. Dengan menyatukan pengertian yang terkandung dalam hadits 1 dan 2, kami katakan: berkata bohong, bertindak bodoh, berkata keji dan berdusta harus ditinggalkan seseorang yang berpuasa, jika tidak, maka Allah Swt. tidak memerlukan perbuatannya meninggalkan makan dan minum, seolah-olah dua hadits ini adalah satu. Setiap haditsnya menyebutkan beberapa perbuatan yang dilarang dalam berpuasa. Dengan menelaah dua hadits tersebut, berdasarkan dasar tinjauan ini, maka kami katakan sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan orang yang berpuasa untuk meninggalkan sejumlah larangan, seraya menjelaskan bahwa jika tidak meninggalkan larangan ini maka dia (sebenarnya) tidak perlu lagi meninggalkan makan dan minum. Dengan ungkapan lain: orang yang belum meninggalkan larangan ini maka dia tidak perlu berpuasa. Karena itu, dua hadits ini mengibaratkan puasa dengan meninggalkan makan dan minum.

Dua hadits ini menetapkan bahwa puasa itu adalah meninggalkan makan dan minum, dan meminta orang yang meninggalkan keduanya -yakni orang yang berpuasa- untuk meninggalkan perkataan bohong dan selainnya. Barangsiapa yang berpuasa maka dia harus meninggalkan perbuatan yang dilarang ini. Dan ini berarti bahwa meninggalkan larangan itu berbeda dengan puasa, di mana puasa itu terlaksana karena meninggalkan makan dan minum, dan ketika puasa terlaksana maka yang diminta bersamanya adalah meninggalkan larangan-larangan ini (al-manhiyyat).

Dengan demikian, jelas terdapat perbedaan antara meninggalkan makanan dan minuman dengan meninggalkan perkataan bohong dan selainnya. Meninggalkan makanan dan minuman berarti mewujudkan puasa, sedangkan meninggalkan perkataan bohong dan selainnya hanya sekedar perbuatan yang dilarang saja selama berpuasa. Jadi, jelas, bahwa perkataan bohong dan selainnya itu tidak seperti memakan makanan dan meminum minuman. Berdasarkan perbedaan ini kami simpulkan hukum: bahwa perkataan bohong dan selainnya tidak menggugurkan puasa dan tidak membatalkannya. Hanya perbuatannya yang diharamkan, yang harus ditinggalkan oleh seseorang yang sedang berpuasa. Perbedaan ini sangat jelas, antara perkara yang membatalkan (al-mubthilat) dengan perkara yang diharamkan (al-mahdzurat).

Adapun hadits kelima yang mengatakan puasa itu perisai selama belum dilubangi, lalu menyebutkan bahwa ghibah dan dusta bisa melubangi perisai itu, justeru menunjukkan pendapat yang kami pegang. Hal ini karena melubangi perisai tidak berarti menghancurkan perisai itu seluruhnya, hanya menyebabkan kekurangan dan kerusakan padanya. Ini artinya, ghibah dan dusta menyebabkan satu kekurangan, sama seperti lubang yang ada pada perisai sebagai satu kekurangan dan tanda adanya kerusakan. Hal itu tidak sampai pada batasan membatalkan dan menghancurkan seluruhnya.

Dari sini, nampak kebenaran pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur, yaitu bahwa ghibah dan sesuatu yang disebut bersamanya tidak membatalkan seseorang yang berpuasa. Dalam pernyataan ini saya tambahkan, bahwa ghibah dan sesuatu yang disebut bersamanya itu mengurangi pahala dan ganjaran seseorang yang berpuasa, tidak menggugurkan sama sekali (tidak membatalkan puasanya) -sebagaimana pendapat yang dipegang oleh as-Syafi'i-, dan pahala seseorang yang berpuasa akan dikurangi sesuai kemaksiatan yang dilakukannya.

Adapun mengapa hadits-hadits ini dituturkan dengan redaksi kalimat, “Maka Allah Swt. tidak membutuhkan sama sekali atas perbuatannya meninggalkan makanan dan minuman.” Untuk menjawab hal ini, perlu dijelaskan tujuan dari redaksi kalimat seperti itu, bahwa Allah Swt. lebih mengetahui perkara tersebut, yaitu mencegah keras dan memperingatkan dengan amat sangat kepada seseorang yang berpuasa agar tidak melakukan kemaksiatan ghibah dan dosa-dosa yang disebutkan bersamanya di sepanjang puasanya. Ini adalah sesuatu yang jelas harus dipahami dan disadari oleh setiap Muslim.

Yang jelas, ketika syariat memerintahkan suatu ibadah, hal itu semata-mata memerintahkan seorang Muslim untuk memanen pahala saja, sehingga ketika seorang Muslim justru melakukan kemaksiatan selama pelaksanaan ibadah tersebut, maka perbuatan seperti itu menunjukkan bahwa dia tidak menyadari, dan malah kebingungan dengan tujuan ibadah tersebut. Alih-alih mendapatkan pahala ibadah, dia malah menuai dosa dan keburukan, sehingga dengan perbuatannya itu dia telah melalaikan dan membatalkan tujuan ibadahnya. Karena itulah, nash syara datang memperingatkan seorang Muslim agar tidak menuai dosa dan kemaksiatan pada musim panen pahala dan ganjaran, agar musim pahala dan ganjaran bisa tetap berbuah pahala.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam