BERBUKA
DAN SAHUR
Pertama: Berbuka
Kapan Seseorang yang Berpuasa
Itu Berbuka
Beberapa hadits
berikut membahas tentang berbukanya orang yang berpuasa:
1. Dari Abdullah bin Abi Aufa ra., ia berkata:
“Kami pernah bersama
Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan di bulan Ramadhan. Ketika matahari
terbenam beliau Saw. berkata: “Wahai fulan, aduklah tepung dengan air (sebagai
makanan) untuk kita.” Dia berkata: Wahai Rasulullah, hari masih terang. Beliau
Saw. bersabda: “Aduklah tepung dengan air (sebagai makanan) untuk kita.” Dia
berkata: Orang itu pun turun dan mengaduk tepung dengan air, lalu dia
membawanya kepada Rasulullah Saw. Kemudian Nabi Saw. meminumnya, seraya berkata
sambil memberi isyarat dengan tangannya: “Jika matahari telah terbenam di
sebelah sana dan malam datang dari sebelah sana, sungguh orang yang berpuasa
telah boleh berbuka.” (HR. Muslim [2559], Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai dan
Ahmad)
Lafadz ijdah: al-jadhu, artinya mengaduk sesuatu
dengan sesuatu yang lain yang akan disiapkan untuk dimakan atau diminum.
Istilah ini khusus ditujukan untuk mengaduk tepung, susu, dan semisalnya dengan
air.
2. Dari Umar bin Khattab ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Apabila malam telah
datang dari sebelah sini dan siang telah berlalu dari sebelah sini, serta
matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa sungguh telah boleh berbuka.”
(HR. Bukhari [1954], Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, Tirmidzi dan ad-Darimi)
Muslim [2558]
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Jika malam telah
datang dari sebelah sini dan siang telah berlalu, serta matahari telah
terbenam, maka orang yang berpuasa sungguh telah boleh berbuka.”
3. Dari Sahl bin Saad ra. bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
“Orang-orang
senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka bersegera berbuka.” (HR. Bukhari
[1957], Muslim, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan as-Syafi'i)
4. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Agama ini akan
senantiasa menang selama orang-orang bersegera berbuka, karena sesungguhnya
orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.” (HR. Ahmad [9809], Abu Dawud,
an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Derajat sanadnya hasan. Al-Hakim dan ad-Dzahabi
menetapkan keshahihan sanadnya.
5. Dari Sahl bin Saad ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Umatku akan
senantiasa berada dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu munculnya bintang
dalam berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban [3510], Ahmad, Ibnu Khuzaimah, ad-Darimi
dan al-Hakim dengan sanad yang shahih)
6. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya kami
para Nabi telah diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan
sahur; dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami dalam shalat.”
(HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath
[1905], Ibnu Hibban, dan Abu Dawud at-Thayyalisi)
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih.
At-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath
[3053] telah meriwayatkan hadits ini juga dari jalur Ibnu Umar ra.
7. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya satu
dari tujuh puluh bagian kenabian adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan
berbuka, dan seseorang memberi isyarat dengan jarinya dalam shalat.” (HR.
Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya [7610])
8. Dari Amr bin Maimun al-Azadi, ia berkata:
“Adalah para sahabat
Muhammad Saw. merupakan orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan
paling akhir makan sahur.” (Riwayat al-Baihaqi [4/238])
Diriwayatkan Thabrani
dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf-nya dan
Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya [7591].
Al-Haitsami berkata:
para perawi hadits ini adalah orang-orang shahih.
9. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw.,
beliau Saw. bersabda:
“Allah azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya
hamba-Ku yang paling aku cintai adalah orang yang paling bersegera dalam
berbuka.” (HR. Ahmad [7240], Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini juga dan berkata: hadits ini statusnya hasan
gharib.
Dalam hadits yang
pertama dan kedua, dengan dua periwayatannya, memiliki lafadz yang sama: yakni
menunjukkan bahwa datangnya malam dari sebelah Timur, dan berlalunya siang ke
sebelah Barat, serta terbenamnya
matahari adalah tanda waktu berbuka. Ini berarti bahwa dengan
terbenamnya matahari sudah cukup untuk berbuka, sehingga tidak perlu
mengakhirkan lagi dan tidak dibenarkan menunggu lebih lama ketika seseorang
yang berpuasa hendak berbuka sebagaimana dilakukan salah satu golongan.
Mungkin nash yang
paling jelas dari ketiga nash ini adalah hadits kelima:
“Umatku akan
senantiasa berada dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu munculnya bintang
dalam berbuka puasa.”
Menunggu bintang
(intidzar an-nujum) artinya mengakhirkan berbuka hingga langit menghitam sampai
munculnya bintang-bintang. Ini berarti pula mengakhirkan waktu berbuka sejak
matahari terbenam dalam waktu minimal sekitar 1/4 jam. Tindakan seperti ini
-sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi- telah menyalahi Sunnah Nabi dan
cocok dengan perilaku Yahudi dan Nasrani, sebagaimana disebutkan dalam hadits
keempat, sehingga kita tidak boleh mengakhirkan berbuka dengan alasan atau
halangan apapun.
Pemahaman seperti
inilah yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah Saw., di mana mereka menjadi
orang yang paling bersegera dalam berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits
poin delapan.
Jika bersegera berbuka
termasuk sesuatu yang diperintahkan kepada para Nabi, menjadi salah satu dari
tujuh puluh bagian kenabian, dan bahwasanya hamba yang paling dicintai Allah
Swt. adalah orang yang paling bersegera berbuka, sehingga tidak heran apabila
petunjuk Nabi di atas begitu menekankan untuk bersegera berbuka, tidak boleh
mengakhirkannya.
Saya katakan di sini:
bahwa suatu kebiasaan telah berlaku di masa kita ini, di mana kita memakan
hidangan berbuka jika muadzin telah mengumandangkan adzan shalat Maghrib.
Begitu juga kebiasaan mengumandangkan adzan Maghrib sedikit diundurkan setelah
matahari terbenam. Ini mengakibatkan orang-orang yang berpuasa mengakhirkan
berbuka dari waktunya, padahal perbuatan mengakhirkan berbuka itu menyalahi
Sunnah Nabi Saw. Seharusnya orang-orang yang berpuasa menetapi waktu berbuka
yang sebenarnya, yang diakhirkan oleh (sebagian) para muadzin ketika
mengumandangkan adzan Maghrib, walaupun hal itu menyebabkan mereka berbuka
sebelum adzan Maghrib dikumandangkan, karena Sunnah
Nabi Saw. lebih berhak dan lebih utama diikuti dari pada mengikuti adat
kebiasaan manusia di masa kita ini.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar