Bersiwak
Abu Hanifah, Malik dan
asy-Syafi’i berpendapat bolehnya bersiwak bagi seseorang yang berpuasa, di awal
dan akhir hari, atau katakanlah sebelum zhuhur dan sesudahnya. Ahmad dan Ishaq
berpendapat boleh bersiwak di awal hari, dan makruh kalau dilakukan setelah
tergelincirnya matahari, yakni ba'da zhuhur. Pendapat terakhir ini yang populer
di kalangan ulama as-Syafi'iyah yang sebenarnya bertentangan dengan pendapat
yang diriwayatkan dari as-Syafi’i sendiri.
Terdapat perbedaan
pendapat di antara beberapa riwayat tentang bersiwak menggunakan kayu siwak
yang basah, termasuk sikat gigi dengan pasta gigi di atasnya. Pendapat yang
memakruhkan telah diriwayatkan berasal dari Ahmad, Qatadah, Amir as-Syaibi,
al-Hakam dan Ishaq, serta Malik dalam satu riwayat. Diriwayatkan juga ada
pendapat yang membolehkan berasal dari Imam Malik dalam riwayat kedua, dari
Mujahid, ats-Tsauri, al-Auza'i, Abu Hanifah dan Urwah, hal itu diriwayatkan
pula berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar ra.
Mereka yang
membolehkan bersiwak berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:
1. Dari Amir bin
Rabi'ah ra., ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. bersiwak padahal beliau Saw. sedang berpuasa -Musaddad
menambahkan yang tidak bisa aku hitung-.” (HR. Abu Dawud [2364] dan Tirmidzi,
Tirmidzi telah menghasankan hadits ini)
Ahmad, Ibnu Khuzaimah,
al-Baihaqi, Abu Dawud at-Thayyalisi, ad-Daruquthni dan al-Bazzar telah
meriwayatkan hadits ini. Bukhari berkata: dan diceritakan dari Nabi Saw. bahwa
beliau Saw. bersiwak ketika beliau Saw. dalam keadaan berpuasa. Ibnu Umar
berkata: beliau Saw. bersiwak di awal hari dan di penghujung hari, dan beliau
tidak menelan air liurnya, beliau Saw. juga tidak menelan air liurnya.
2. Dari Mujalid, dari
as-Syalbi, dari Masruq, dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Ciri terbaik
seseorang yang berpuasa adalah siwak.” (HR. Ibnu Majah [1677], ad-Daruquthni,
dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath)
Ini hadits dhaif.
3. Dengan
hadits-hadits shahih lain yang
menceritakan tentang siwak secara mutlak tanpa ada taqyid apapun, seperti
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Seandainya tidak akan
memberatkan umatku -atau seandainya tidak akan memberatkan manusia- niscaya aku
memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali shalat.” (HR. Bukhari
[887], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Maka saya katakan
sebagai berikut:
Hadits yang pertama,
walaupun didhaifkan oleh sejumlah orang,
tetapi telah dihasankan oleh Tirmidzi,
dan disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq. Bukhari dikenal sebagai orang yang
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan atau mengatakan sesuatu, sehingga hadits
ini layak untuk dijadikan dalil.
Adapun hadits kedua
dipandang dhaif karena kedhaifan Mujalid. Bukhari berkata: Yahya bin
Said telah mendhaifkannya, Ibnu Mahdi
tidak meriwayatkan darinya, dan Ahmad tidak menganggapnya sebagai orang
berarti. Ibnu Ma’in berkata: haditsnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Abu
Hatim mengatakan hal serupa, sehingga hadits ini harus ditinggalkan.
Hadits ketiga yang shahih menjadi satu-satunya yang layak
digunakan sebagai dalil, bahwa orang berpuasa itu boleh bersiwak, karena
perintah bersiwak dalam setiap shalat mencakup shalat di bulan Ramadhan, yang
juga mencakup selainnya.
Dengan demikian hadits
ini adalah hadits umum yang belum ditakhsis,
hadits mutlaq yang belum ditaqyid
sehingga layak digunakan sebagai dalil dalam masalah kita ini.
Bukhari berkata: Abu
Hurairah berkata dari Nabi Saw.: seandainya tidak memberatkan umatku niscaya
aku akan memerintahkan mereka bersiwak pada setiap kali wudhu. Hadits semisal
diriwayatkan dari Jabir dan Zaid bin Khalid dari Nabi Saw., dan tidak mengkhususkan
puasa dari selainnya.
Oleh karena itu, siwak disunahkan bagi orang yang
berpuasa dan tidak berpuasa, di setiap saat, sebelum atau sesudah
tergelincir. Orang yang mengkhususkan bersiwak hanya untuk sebelum
tergelincirnya matahari, atau memakruhkannya secara umum bagi orang yang
berpuasa, hendaknya dia membawakan dalil syariatnya kepada kami, dan kami pastikan
mereka tidak menemukan dalil itu. Mengenai klaim mereka bahwa bau mulut
-berubahnya bau mulut ketika berpuasa- itu makruh dihilangkan dengan bersiwak
di penghujung hari, karena bau mulut itu -sebagaimana disebutkan dalam beberapa
hadits- lebih harum di sisi Allah daripada wangi kesturi, sehingga disunahkan
agar bau tersebut tetap ada di penghujung hari dan makruh untuk dihilangkan.
Pendapat seperti ini bukan dalil makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa.
Terkait dengan siwak
dari segi basah dan keringnya, pendapat mereka yang memakruhkan siwak jika
dalam kondisi basah adalah pendapat yang tidak berdalil. Hal ini merupakan
pembedaan yang tidak mesti dari segi realita dan hakikatnya, sebab siwak yang
kering jika dipakai bersiwak oleh seseorang maka akan basah juga oleh ludah,
sehingga siwak itu pun menjadi basah yang memiliki rasa dalam mulut, serupa
dengan siwak basah. Dua kondisi tersebut (basah dan kering) adalah sama saja,
dan hukumnya pun sama. Tetapi penggunaan siwak dalam dua kondisi tersebut tetap
mengharuskan orangnya untuk meludahkan semua yang terurai dari benda siwak dan
terkumpul di mulut, dan dia tidak boleh menelannya. Dan sesuatu yang sedikit
yang memang tidak bisa dijaga akan dimaafkan.
Memasukkan sesuatu
benda ke dalam mulut itu dibolehkan bagi orang yang berpuasa, baik benda itu
bisa dimakan atau tidak bisa dimakan, dengan syarat tidak menelannya atau
menelan bagian yang terlepas darinya, seperti memasukkan air ke dalam mulut
ketika wudhu.
Permasalahan
Yang berlaku pada
sesuatu yang terlepas dari benda siwak, berlaku pula pada sesuatu yang terurai
dari benda lengket (karet), jika dikunyah oleh orang yang berpuasa. Seseorang
yang berpuasa boleh mengunyah karet, dengan syarat harus mengeluarkan semua materi
yang dikunyahnya yang terkumpul di mulutnya. Ini berlaku ketika materi karet
itu terurai. Namun, jika tidak terurai dan tidak menetes sesuatu pun darinya
maka tidak menjadi masalah mengunyahnya. Orang yang berpendapat bolehnya
mengunyah karet adalah Aisyah Ummul Mukminin ra., Ibrahim an-Nakha'i, Amir
as-Sya'bi, Atha bin Abi Rabbah, hal itu diceritakan oleh Ibnu Abi Syaibah
[2/453].
Mengunyah karet telah
diringankan oleh sebagian besar ulama, jika tidak ada sesuatu yang mengucur
darinya. Tetapi, jika ada yang mengucur darinya lalu tertelan, maka jumhur
ulama berpendapat hal itu membatalkan puasa. Inilah pendapat yang shahih.
Di sisi lain, ahlu ra'yi dan as-Syafi’i memakruhkan
mengunyah karet. Al-Baihaqi [4/269] telah meriwayatkan dari Ummu Habibah,
isteri Nabi Saw. bahwa dia berkata: seseorang yang berpuasa tidak boleh
mengunyah karet. Ibnu Abi Syaibah [2/454] dan Abdurrazaq meriwayatkan dari
sejumlah tabi'in bahwa mereka memakruhkan mengunyah karet, di antara mereka
yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah ada yang membolehkannya. Saya tidak melihat
seorangpun yang mengharamkan mengunyah karet, dan mengatakan bahwa hal itu
membatalkan puasa.
Tentang pendapat yang
memakruhkan, karena mereka melihat kemungkinan sesuatu dari benda karet itu
bisa tertelan. Karena itu, kami membantah pendapat mereka bahwa kemungkinan
(al-ihtimaliyah) itu, seandainya layak dijadikan dalil atau menjadi sandaran
pendapat yang memakruhkannya, niscaya kami katakan hal serupa untuk bersiwak
dan berkumur dengan air. Karena bersiwak, berkumur dengan air dan mengunyah
karet adalah sebuah keadaan yang sama.
Permasalahan
Seperti yang sudah
saya katakan, bahwa memasukkan sesuatu ke dalam mulut itu tidak membatalkan
puasa, dan memasukkan air ke dalam mulut ketika berkumur dan bersiwak itu
dibolehkan. Untuk memperkuat pendapat tersebut, maka kaidah umum menyatakan:
sesungguhnya memasukkan benda apapun ke dalam mulut tidak membatalkan puasa,
kecuali jika dia menelan sesuatu yang terlepas dari benda itu padahal dia mampu
menjaganya.
Dengan mengakui kaidah
ini kami katakan bahwa mencicipi makanan itu dibolehkan, dan memasukkan
pengukur suhu (thermometer) ke dalam mulut untuk memeriksa tingkat suhu tubuh
adalah dibolehkan, mencabut dan memasang gigi juga dibolehkan dan tidak
membatalkan seseorang yang berpuasa, kecuali jika sesuatu dari benda-benda yang
dimasukkan ke dalam mulut itu masuk ke dalam kerongkongan dan kemudian
tertelan.
Adapun sisa makanan
disela-sela gigi, jika tetap di tempatnya maka tidak ada perselisihan bahwa hal
itu tidak membatalkan puasa, termasuk jika orang yang berpuasa menelan sedikit
dari sisa makanan tersebut, karena syariat memaafkan sesuatu yang sedikit (al-yasir)
yang tidak bisa dijaga. Tetapi jika berkumpul dalam mulutnya dengan jumlah
banyak dan membentuk benda materil yang bisa ditelan, yakni materi yang jika
hendak dimasukkan ke dalam perut perlu melalui proses menelan, yang tidak
berjalan begitu saja bersama air liur dan tanpa terasa, maka yang wajib saat
itu adalah mengeluarkannya, karena menelan benda seperti itu membatalkan puasa,
kondisinya seperti kondisi menelan biji kacang adas misalnya.
Muhammad bin
al-Mundzir berkata: para ulama bersepakat bahwa tidak apa-apa bagi seseorang
yang berpuasa ketika ada benda yang tertelan yang berjalan masuk bersama air
liur dari sela-sela giginya, yang tidak mampu dikeluarkan olehnya. Abu Hanifah
berkata: jika ada sisa daging di sela-sela giginya, lalu dimakannya dengan
sengaja, maka tidak wajib qadha atasnya.
Jumhur ulama menyelisihi pendapat Abu Hanifah ini, bahwa perbuatan seperti itu
bisa dikategorikan sebagai makan. Yang benar adalah pendapat yang dipegang
jumhur, karena kesengajaan memakan daging yang terselip di sela-sela gigi,
padahal ada peluang untuk mengeluarkannya, maka hal itu dipandang membatalkan
puasa.
Mengenai tablet yang
diletakkan orang sakit di bawah lidah, yang dibolak-balik dan dikupas, agar
secara perlahan/bertahap bisa terserap sebagai obat ketika sedang dalam kondisi
gawat, maka hal itu jelas membatalkan puasa. Karena tidak ada perbedaan antara
menelan tablet sekaligus, dengan menelannya secara perlahan/bertahap. Serupa
dengan hal itu adalah tetesan obat yang dimasukkan ke mulut untuk diminum,
sebagaimana yang terjadi dalam proses vaksinasi/ imunisasi melawan kelumpuhan,
maka hal ini membatalkan puasa.
Sesuatu yang masuk ke dalam
mulut tidak akan membatalkan puasa, kecuali jika sesuatu itu masuk ke
kerongkongan, yakni tertelan. Hendaknya seseorang
yang berpuasa menjaga puasanya, berhati-hati agar puasanya tidak batal.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar