Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

Gosok Gigi Puasa Tidak Batal (Bersiwak)



Bersiwak

Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i berpendapat bolehnya bersiwak bagi seseorang yang berpuasa, di awal dan akhir hari, atau katakanlah sebelum zhuhur dan sesudahnya. Ahmad dan Ishaq berpendapat boleh bersiwak di awal hari, dan makruh kalau dilakukan setelah tergelincirnya matahari, yakni ba'da zhuhur. Pendapat terakhir ini yang populer di kalangan ulama as-Syafi'iyah yang sebenarnya bertentangan dengan pendapat yang diriwayatkan dari as-Syafi’i sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat di antara beberapa riwayat tentang bersiwak menggunakan kayu siwak yang basah, termasuk sikat gigi dengan pasta gigi di atasnya. Pendapat yang memakruhkan telah diriwayatkan berasal dari Ahmad, Qatadah, Amir as-Syaibi, al-Hakam dan Ishaq, serta Malik dalam satu riwayat. Diriwayatkan juga ada pendapat yang membolehkan berasal dari Imam Malik dalam riwayat kedua, dari Mujahid, ats-Tsauri, al-Auza'i, Abu Hanifah dan Urwah, hal itu diriwayatkan pula berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar ra.

Mereka yang membolehkan bersiwak berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:

1. Dari Amir bin Rabi'ah ra., ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. bersiwak padahal beliau Saw. sedang berpuasa -Musaddad menambahkan yang tidak bisa aku hitung-.” (HR. Abu Dawud [2364] dan Tirmidzi, Tirmidzi telah menghasankan hadits ini)

Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, Abu Dawud at-Thayyalisi, ad-Daruquthni dan al-Bazzar telah meriwayatkan hadits ini. Bukhari berkata: dan diceritakan dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. bersiwak ketika beliau Saw. dalam keadaan berpuasa. Ibnu Umar berkata: beliau Saw. bersiwak di awal hari dan di penghujung hari, dan beliau tidak menelan air liurnya, beliau Saw. juga tidak menelan air liurnya.

2. Dari Mujalid, dari as-Syalbi, dari Masruq, dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Ciri terbaik seseorang yang berpuasa adalah siwak.” (HR. Ibnu Majah [1677], ad-Daruquthni, dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath)
Ini hadits dhaif.

3. Dengan hadits-hadits shahih lain yang menceritakan tentang siwak secara mutlak tanpa ada taqyid apapun, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Seandainya tidak akan memberatkan umatku -atau seandainya tidak akan memberatkan manusia- niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali shalat.” (HR. Bukhari [887], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ahmad)

Maka saya katakan sebagai berikut:

Hadits yang pertama, walaupun didhaifkan oleh sejumlah orang, tetapi telah dihasankan oleh Tirmidzi, dan disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq. Bukhari dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan atau mengatakan sesuatu, sehingga hadits ini layak untuk dijadikan dalil.

Adapun hadits kedua dipandang dhaif karena kedhaifan Mujalid. Bukhari berkata: Yahya bin Said telah mendhaifkannya, Ibnu Mahdi tidak meriwayatkan darinya, dan Ahmad tidak menganggapnya sebagai orang berarti. Ibnu Ma’in berkata: haditsnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Abu Hatim mengatakan hal serupa, sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Hadits ketiga yang shahih menjadi satu-satunya yang layak digunakan sebagai dalil, bahwa orang berpuasa itu boleh bersiwak, karena perintah bersiwak dalam setiap shalat mencakup shalat di bulan Ramadhan, yang juga mencakup selainnya.
Dengan demikian hadits ini adalah hadits umum yang belum ditakhsis, hadits mutlaq yang belum ditaqyid sehingga layak digunakan sebagai dalil dalam masalah kita ini.
Bukhari berkata: Abu Hurairah berkata dari Nabi Saw.: seandainya tidak memberatkan umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka bersiwak pada setiap kali wudhu. Hadits semisal diriwayatkan dari Jabir dan Zaid bin Khalid dari Nabi Saw., dan tidak mengkhususkan puasa dari selainnya.

Oleh karena itu, siwak disunahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak berpuasa, di setiap saat, sebelum atau sesudah tergelincir. Orang yang mengkhususkan bersiwak hanya untuk sebelum tergelincirnya matahari, atau memakruhkannya secara umum bagi orang yang berpuasa, hendaknya dia membawakan dalil syariatnya kepada kami, dan kami pastikan mereka tidak menemukan dalil itu. Mengenai klaim mereka bahwa bau mulut -berubahnya bau mulut ketika berpuasa- itu makruh dihilangkan dengan bersiwak di penghujung hari, karena bau mulut itu -sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits- lebih harum di sisi Allah daripada wangi kesturi, sehingga disunahkan agar bau tersebut tetap ada di penghujung hari dan makruh untuk dihilangkan. Pendapat seperti ini bukan dalil makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa.

Terkait dengan siwak dari segi basah dan keringnya, pendapat mereka yang memakruhkan siwak jika dalam kondisi basah adalah pendapat yang tidak berdalil. Hal ini merupakan pembedaan yang tidak mesti dari segi realita dan hakikatnya, sebab siwak yang kering jika dipakai bersiwak oleh seseorang maka akan basah juga oleh ludah, sehingga siwak itu pun menjadi basah yang memiliki rasa dalam mulut, serupa dengan siwak basah. Dua kondisi tersebut (basah dan kering) adalah sama saja, dan hukumnya pun sama. Tetapi penggunaan siwak dalam dua kondisi tersebut tetap mengharuskan orangnya untuk meludahkan semua yang terurai dari benda siwak dan terkumpul di mulut, dan dia tidak boleh menelannya. Dan sesuatu yang sedikit yang memang tidak bisa dijaga akan dimaafkan.

Memasukkan sesuatu benda ke dalam mulut itu dibolehkan bagi orang yang berpuasa, baik benda itu bisa dimakan atau tidak bisa dimakan, dengan syarat tidak menelannya atau menelan bagian yang terlepas darinya, seperti memasukkan air ke dalam mulut ketika wudhu.

Permasalahan

Yang berlaku pada sesuatu yang terlepas dari benda siwak, berlaku pula pada sesuatu yang terurai dari benda lengket (karet), jika dikunyah oleh orang yang berpuasa. Seseorang yang berpuasa boleh mengunyah karet, dengan syarat harus mengeluarkan semua materi yang dikunyahnya yang terkumpul di mulutnya. Ini berlaku ketika materi karet itu terurai. Namun, jika tidak terurai dan tidak menetes sesuatu pun darinya maka tidak menjadi masalah mengunyahnya. Orang yang berpendapat bolehnya mengunyah karet adalah Aisyah Ummul Mukminin ra., Ibrahim an-Nakha'i, Amir as-Sya'bi, Atha bin Abi Rabbah, hal itu diceritakan oleh Ibnu Abi Syaibah [2/453].
Mengunyah karet telah diringankan oleh sebagian besar ulama, jika tidak ada sesuatu yang mengucur darinya. Tetapi, jika ada yang mengucur darinya lalu tertelan, maka jumhur ulama berpendapat hal itu membatalkan puasa. Inilah pendapat yang shahih.
Di sisi lain, ahlu ra'yi dan as-Syafi’i memakruhkan mengunyah karet. Al-Baihaqi [4/269] telah meriwayatkan dari Ummu Habibah, isteri Nabi Saw. bahwa dia berkata: seseorang yang berpuasa tidak boleh mengunyah karet. Ibnu Abi Syaibah [2/454] dan Abdurrazaq meriwayatkan dari sejumlah tabi'in bahwa mereka memakruhkan mengunyah karet, di antara mereka yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah ada yang membolehkannya. Saya tidak melihat seorangpun yang mengharamkan mengunyah karet, dan mengatakan bahwa hal itu membatalkan puasa.

Tentang pendapat yang memakruhkan, karena mereka melihat kemungkinan sesuatu dari benda karet itu bisa tertelan. Karena itu, kami membantah pendapat mereka bahwa kemungkinan (al-ihtimaliyah) itu, seandainya layak dijadikan dalil atau menjadi sandaran pendapat yang memakruhkannya, niscaya kami katakan hal serupa untuk bersiwak dan berkumur dengan air. Karena bersiwak, berkumur dengan air dan mengunyah karet adalah sebuah keadaan yang sama.

Permasalahan

Seperti yang sudah saya katakan, bahwa memasukkan sesuatu ke dalam mulut itu tidak membatalkan puasa, dan memasukkan air ke dalam mulut ketika berkumur dan bersiwak itu dibolehkan. Untuk memperkuat pendapat tersebut, maka kaidah umum menyatakan: sesungguhnya memasukkan benda apapun ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, kecuali jika dia menelan sesuatu yang terlepas dari benda itu padahal dia mampu menjaganya.

Dengan mengakui kaidah ini kami katakan bahwa mencicipi makanan itu dibolehkan, dan memasukkan pengukur suhu (thermometer) ke dalam mulut untuk memeriksa tingkat suhu tubuh adalah dibolehkan, mencabut dan memasang gigi juga dibolehkan dan tidak membatalkan seseorang yang berpuasa, kecuali jika sesuatu dari benda-benda yang dimasukkan ke dalam mulut itu masuk ke dalam kerongkongan dan kemudian tertelan.

Adapun sisa makanan disela-sela gigi, jika tetap di tempatnya maka tidak ada perselisihan bahwa hal itu tidak membatalkan puasa, termasuk jika orang yang berpuasa menelan sedikit dari sisa makanan tersebut, karena syariat memaafkan sesuatu yang sedikit (al-yasir) yang tidak bisa dijaga. Tetapi jika berkumpul dalam mulutnya dengan jumlah banyak dan membentuk benda materil yang bisa ditelan, yakni materi yang jika hendak dimasukkan ke dalam perut perlu melalui proses menelan, yang tidak berjalan begitu saja bersama air liur dan tanpa terasa, maka yang wajib saat itu adalah mengeluarkannya, karena menelan benda seperti itu membatalkan puasa, kondisinya seperti kondisi menelan biji kacang adas misalnya.

Muhammad bin al-Mundzir berkata: para ulama bersepakat bahwa tidak apa-apa bagi seseorang yang berpuasa ketika ada benda yang tertelan yang berjalan masuk bersama air liur dari sela-sela giginya, yang tidak mampu dikeluarkan olehnya. Abu Hanifah berkata: jika ada sisa daging di sela-sela giginya, lalu dimakannya dengan sengaja, maka tidak wajib qadha atasnya. Jumhur ulama menyelisihi pendapat Abu Hanifah ini, bahwa perbuatan seperti itu bisa dikategorikan sebagai makan. Yang benar adalah pendapat yang dipegang jumhur, karena kesengajaan memakan daging yang terselip di sela-sela gigi, padahal ada peluang untuk mengeluarkannya, maka hal itu dipandang membatalkan puasa.

Mengenai tablet yang diletakkan orang sakit di bawah lidah, yang dibolak-balik dan dikupas, agar secara perlahan/bertahap bisa terserap sebagai obat ketika sedang dalam kondisi gawat, maka hal itu jelas membatalkan puasa. Karena tidak ada perbedaan antara menelan tablet sekaligus, dengan menelannya secara perlahan/bertahap. Serupa dengan hal itu adalah tetesan obat yang dimasukkan ke mulut untuk diminum, sebagaimana yang terjadi dalam proses vaksinasi/ imunisasi melawan kelumpuhan, maka hal ini membatalkan puasa.

Sesuatu yang masuk ke dalam mulut tidak akan membatalkan puasa, kecuali jika sesuatu itu masuk ke kerongkongan, yakni tertelan. Hendaknya seseorang yang berpuasa menjaga puasanya, berhati-hati agar puasanya tidak batal.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam