Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 05 Oktober 2017

Muntah Batal Wudhu



3. Muntah

Muntah itu membatalkan wudhu. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ma’dan bin Abi Thalhah, dari Abu Darda:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. muntah, kemudian beliau Saw. berbuka dan berwudhu, lalu aku bertemu Tsauban di Masjid Damsyiq, kemudian aku ceritakan perkara itu kepadanya, maka dia berkata: Benar, akulah yang menuangkan air wudhu untuk beliau Saw. saat itu.” (HR. Tirmidzi dan dia berkata: ini merupakan hadits paling shahih dalam persoalan ini).

Ahmad, Baihaqi dan Daruquthni telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“...muntah, kemudian beliau Saw. berbuka. Dia berkata: Benar, dan akulah yang menuangkan air wudhunya.”

Ibnu Manduh berkata: sanad haditsnya shahih dan muttashil (bersambung). Ahmad memandang baik sanad hadits ini.
Ahmad dan Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan lafadz yang sedikit berbeda:

“Rasulullah Saw. muntah, kemudian beliau Saw. berbuka, lalu diambilkan air untuk beliau Saw., kemudian beliau Saw. pun berwudhu.”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Juraij dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian muntah atau qalas atau menemukan mani, padahal dia sedang shalat, maka hendaklah dia pergi dari shalatnya dan berwudhu, lalu kembalilah dan meneruskan shalatnya selama tidak berbicara.” (HR. ad-Daruquthni)

Ad-Daruquthni berkata: Abu Bakar berkata kepada kami: Aku mendengar Muhammad bin Yahya berkata: Hadits ini benar dari Ibnu Juraij, statusnya mursal.
Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini secara mursal dan berkata: hadits ini benar diterima dari Ibnu Juraij.
Ahmad dan Ad-Dzahli membenarkan jalur mursal ini.
Hadits mursal, di mana seorang sahabat gugur dari sanadnya itu sah-sah saja digunakan sebagai dalil, karena jika sahabat tidak tercantum dalam sebuah sanad, itu tidak menjadi masalah, sehingga hadits ini layak digunakan sebagai hujjah.

Hadits yang pertama itu perbuatan, hadits yang kedua pernyataan (ucapan), keduanya memberi pengertian bahwa muntah itu membatalkan wudhu. Pendapat inilah yang dipegang Abu Hanifah, Ahmad, at-Tsauri dan al-Auza'iy.
Ini berbeda dengan Malik, as-Syafi'i dan para sahabatnya, di mana mereka menyatakan bahwa maksud berwudhu dalam hadits Abu Darda itu adalah membasuh kedua tangan. Namun pernyataan mereka ini bisa dibantah dengan ungkapan bahwa wudhu itu merupakan fakta yang memiliki konotasi syar'i, sehingga tidak boleh dipalingkan dari konotasi syar'i-nya, kecuali bila ada qarinah tertentu. Mereka berkata: Qarinah itu adalah lafadz istaqa'a (berusaha muntah dengan menggunakan tangan) sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafadz matan hadits tersebut. Maka bisa dikatakan pada mereka: bahwa qarinah seperti itu tidak cukup, karena apa penghalang yang ada antara muntah dengan cara dikorek oleh tangan, dengan berwudhu seperti wudhu untuk shalat? Seandainya muntah yang dikorek oleh tangan itu menghalangi wudhu syar'i, niscaya qarinah itu sudah cukup. Tetapi ketika faktanya tidak seperti itu, maka qarinah tersebut tidak layak untuk menopang pendapat yang mereka lontarkan.
Mereka mengomentari hadits ini juga dengan menyatakan bahwa hadits ini menceritakan perbuatan Rasulullah Saw., sehingga tidak bisa dijadikan qarinah atau tidak kokoh untuk mewajibkan. Maka kami bantah mereka: sebenarnya dengan ungkapan seperti ini kalian tidak menafikan hadits ini sedang berbicara tentang wudhu berkonotasi syar'i, sebab jika tidak, niscaya kalian tidak akan menyampaikan hujjah seperti ini. Benar, bahwa perbuatan dan ucapan itu tidak serta-merta mewajibkan kecuali dengan adanya qarinah, satu ucapan saja dan satu perbuatan saja tidak cukup untuk mewajibkan, karena itu taqyid “itu adalah perbuatan” tidak merubah sesuatupun dari masalah ini.

Adapun dalil wajibnya berwudhu karena muntah, adalah hadits Ibnu Juraij, karena sabda Rasulullah Saw.:

“Jika salah seorang dari kalian muntah atau qalas atau menemukan mani sedangkan dia sedang shalat, maka hendaklah dia pergi dari shalatnya, lalu berwudhu.”

Ini merupakan perintah menghentikan shalat untuk berwudhu. Perintah seperti ini tidak akan muncul melainkan perkara tersebut hukumnya wajib. Perintah ini tidak benar jika dipahami sebagai perintah yang mengandung arti sunah.
Artinya, tidak benar bila dinyatakan bahwa hadits ini meminta siapa saja yang sudah bertakbiratul ihram untuk menghentikan shalatnya dalam rangka melaksanakan wudhu yang mandub hukumnya. Ini merupakan dilalah yang jelas, sehingga kami tidak perlu berpanjang lebar memaparkannya.
Hadits ini menjadi qarinah juga bahwa perbuatan yang disebutkan dalam hadits Abu Darda mengandung arti wajib.
Dengan demikian, kedua hadits ini cukup untuk membantah pendapat ulama Syafi'iyah dan Malikiyah, serta orang-orang yang sependapat dengan mereka.

Kembali ke hadits yang kedua, kami mengatakan: qalas, dengan memfathahkan huruf qaf dan lam-nya. Tetapi ada juga riwayat yang mensukunkan lam-nya. Al-Khalil berkata: Qalas itu adalah sesuatu yang keluar dari tenggorokan memenuhi mulut atau tidak sampai memenuhi mulut, tetapi bukan muntah, jika dia keluar lagi maka menjadi muntah. Hadits ini memberi pengertian bahwa sesuatu yang keluar dari perut sampai ke mulut, itu membatalkan wudhu, baik keluarnya itu satu kali tumpahan atau beberapa kali tumpahan, baik keluarnya itu sedikit ataupun banyak.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam