3. Muntah
Muntah itu membatalkan
wudhu. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ma’dan bin Abi Thalhah, dari
Abu Darda:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. muntah, kemudian beliau Saw. berbuka dan berwudhu, lalu aku bertemu
Tsauban di Masjid Damsyiq, kemudian aku ceritakan perkara itu kepadanya, maka
dia berkata: Benar, akulah yang menuangkan air wudhu untuk beliau Saw. saat
itu.” (HR. Tirmidzi dan dia berkata: ini merupakan hadits paling shahih dalam persoalan ini).
Ahmad, Baihaqi dan
Daruquthni telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“...muntah, kemudian
beliau Saw. berbuka. Dia berkata: Benar, dan akulah yang menuangkan air
wudhunya.”
Ibnu Manduh berkata:
sanad haditsnya shahih dan muttashil (bersambung). Ahmad memandang baik
sanad hadits ini.
Ahmad dan Abdurrazaq
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz yang sedikit berbeda:
“Rasulullah Saw.
muntah, kemudian beliau Saw. berbuka, lalu diambilkan air untuk beliau Saw.,
kemudian beliau Saw. pun berwudhu.”
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Ibnu Juraij dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian muntah atau qalas atau
menemukan mani, padahal dia sedang shalat, maka hendaklah dia pergi dari
shalatnya dan berwudhu, lalu kembalilah dan meneruskan shalatnya selama tidak
berbicara.” (HR. ad-Daruquthni)
Ad-Daruquthni berkata:
Abu Bakar berkata kepada kami: Aku mendengar Muhammad bin Yahya berkata: Hadits
ini benar dari Ibnu Juraij, statusnya mursal.
Al-Baihaqi juga
meriwayatkan hadits ini secara mursal dan berkata: hadits ini benar diterima
dari Ibnu Juraij.
Ahmad dan Ad-Dzahli
membenarkan jalur mursal ini.
Hadits mursal, di mana
seorang sahabat gugur dari sanadnya itu
sah-sah saja digunakan sebagai dalil, karena jika sahabat tidak tercantum dalam
sebuah sanad, itu tidak menjadi masalah, sehingga hadits ini layak digunakan
sebagai hujjah.
Hadits yang pertama
itu perbuatan, hadits yang kedua pernyataan (ucapan), keduanya memberi
pengertian bahwa muntah itu membatalkan wudhu. Pendapat inilah yang dipegang
Abu Hanifah, Ahmad, at-Tsauri dan al-Auza'iy.
Ini berbeda dengan
Malik, as-Syafi'i dan para sahabatnya, di mana mereka menyatakan bahwa maksud
berwudhu dalam hadits Abu Darda itu adalah membasuh kedua tangan. Namun
pernyataan mereka ini bisa dibantah dengan ungkapan bahwa wudhu itu merupakan
fakta yang memiliki konotasi syar'i, sehingga tidak boleh dipalingkan dari
konotasi syar'i-nya, kecuali bila ada qarinah
tertentu. Mereka berkata: Qarinah itu
adalah lafadz istaqa'a (berusaha muntah
dengan menggunakan tangan) sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafadz matan
hadits tersebut. Maka bisa dikatakan pada mereka: bahwa qarinah seperti itu tidak cukup, karena apa penghalang yang ada
antara muntah dengan cara dikorek oleh tangan, dengan berwudhu seperti wudhu
untuk shalat? Seandainya muntah yang dikorek oleh tangan itu menghalangi wudhu
syar'i, niscaya qarinah itu sudah cukup.
Tetapi ketika faktanya tidak seperti itu, maka qarinah
tersebut tidak layak untuk menopang pendapat yang mereka lontarkan.
Mereka mengomentari
hadits ini juga dengan menyatakan bahwa hadits ini menceritakan perbuatan
Rasulullah Saw., sehingga tidak bisa dijadikan qarinah
atau tidak kokoh untuk mewajibkan. Maka kami bantah mereka: sebenarnya dengan
ungkapan seperti ini kalian tidak menafikan hadits ini sedang berbicara tentang
wudhu berkonotasi syar'i, sebab jika tidak, niscaya kalian tidak akan
menyampaikan hujjah seperti ini. Benar, bahwa perbuatan dan ucapan itu tidak
serta-merta mewajibkan kecuali dengan adanya qarinah,
satu ucapan saja dan satu perbuatan saja tidak cukup untuk mewajibkan, karena
itu taqyid “itu adalah perbuatan” tidak merubah sesuatupun dari masalah ini.
Adapun dalil wajibnya
berwudhu karena muntah, adalah hadits Ibnu Juraij, karena sabda Rasulullah
Saw.:
“Jika salah seorang
dari kalian muntah atau qalas atau
menemukan mani sedangkan dia sedang shalat, maka hendaklah dia pergi dari
shalatnya, lalu berwudhu.”
Ini merupakan perintah
menghentikan shalat untuk berwudhu. Perintah seperti ini tidak akan muncul
melainkan perkara tersebut hukumnya wajib. Perintah ini tidak benar jika
dipahami sebagai perintah yang mengandung arti sunah.
Artinya, tidak benar
bila dinyatakan bahwa hadits ini meminta siapa saja yang sudah bertakbiratul ihram untuk menghentikan
shalatnya dalam rangka melaksanakan wudhu yang mandub hukumnya. Ini merupakan
dilalah yang jelas, sehingga kami tidak perlu berpanjang lebar memaparkannya.
Hadits ini menjadi qarinah juga bahwa perbuatan yang disebutkan
dalam hadits Abu Darda mengandung arti wajib.
Dengan demikian, kedua
hadits ini cukup untuk membantah pendapat ulama Syafi'iyah dan Malikiyah, serta
orang-orang yang sependapat dengan mereka.
Kembali ke hadits yang
kedua, kami mengatakan: qalas, dengan
memfathahkan huruf qaf dan lam-nya.
Tetapi ada juga riwayat yang mensukunkan
lam-nya. Al-Khalil berkata: Qalas itu adalah sesuatu yang keluar dari
tenggorokan memenuhi mulut atau tidak sampai memenuhi mulut, tetapi bukan
muntah, jika dia keluar lagi maka menjadi muntah. Hadits ini memberi pengertian
bahwa sesuatu yang keluar dari perut sampai ke mulut, itu membatalkan wudhu,
baik keluarnya itu satu kali tumpahan atau beberapa kali tumpahan, baik
keluarnya itu sedikit ataupun banyak.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar