Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 10 September 2017

Darah Haid Dan Jangka Waktunya



Darah Haid Dan Jangka Waktunya

Dalam menetapkan batasan minimal dan maksimal haid, pendapat para ulama sangat beragam dan bercabang-cabang. Saya hanya akan membahas pendapat para imam yang empat, tidak akan membahas selainnya, terlebih lagi ketika sebagian besar pernyataan yang ada tersebut tidak berdalil:

1. Abu Hanifah berkata: batas minimal haid itu tiga hari, dan batas maksimalnya sepuluh hari.
2. Malik berkata: tidak ada batasan waktu minimal dan maksimal haid, yang menjadi patokan adalah kebiasaan wanita tersebut.
3. As-Syafi’i dan Ahmad berkata: batas waktu minimalnya adalah satu hari satu malam, batas waktu maksimalnya adalah lima belas hari.

Pendapat yang tepat adalah: syariat tidak menetapkan patokan batas waktu minimal dan maksimal haid. Syara hanya menetapkan hal itu merujuk kepada kebiasaan setiap wanita. Setiap wanita memiliki kebiasaan tertentu yang mengikat dirinya. Ketika kita mencermati nash-nash yang ada, kita akan mendapati nash-nash tersebut menyebutkan bahwa haid pada wanita itu biasanya enam atau tujuh hari. Dari Hamnah binti Jahsy bahwasanya Rasulullah Saw. berkata kepadanya:

“Jalanilah haidmu selama enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad)

Hadits ini akan kita bahas lebih jauh dengan ijin Allah dalam pembahasan “wanita mustahadhah.”

Tentang warna darah, terdapat beberapa hadits berikut yang menyebutkannya:

1. Dari Fathimah binti Abu Hubaisy:

“Bahwasanya dia mengeluarkan darah istihadhah, maka Nabi Saw. berkata padanya: “Jika yang keluar itu darah haid, maka darahnya berwarna hitam dan bisa diketahui. Jika darahnya seperti itu maka janganlah engkau shalat. Jika darah yang keluar berwarna lain (tidak seperti itu), maka berwudhulah dan shalatlah, karena darah tersebut adalah darah yang keluar karena pecahnya pembuluh darah (darah penyakit).” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban)

Hadits ini diriwayatkan pula dan dishahihkan oleh al-Hakim.

2. Dari Ummu Athiyyah -seorang wanita yang dahulu ikut membaiat Nabi Saw.- dia berkata:

“Kami tidak memandang cairan yang keruh dan cairan yang berwarna kekuningan (seperti nanah) yang keluar setelah suci itu sebagai sesuatu.” (HR. Abu Dawud)

3. Dari Alqamah bin Abi ‘Alqamah dari ibunya, pelayan Aisyah Ummul Mukminin, bahwasanya dia berkata:

“Kaum wanita mengirim kotak berisi kapas kepada Aisyah Ummul Mukminin, pada kapas tersebut ada cairan berwarna kekuningan dari darah haid. Mereka bertanya kepada Aisyah tentang shalat, maka Aisyah berkata pada mereka: Janganlah kalian tergesa-gesa melakukan shalat hingga kalian melihat kapas tersebut putih bersih. Yang dimaksud oleh Aisyah adalah suci dari haid.” (HR. Malik)

Bukhari menyebutkan hadits tersebut secara mu’allaq.

Ad-Durjah artinya kotak, sedangkan al-qashshah artinya adalah sepotong kapas yang diletakkan di kemaluan untuk mengetahui bekas darah.

Hadits yang pertama mengandung arti bahwa darah haid itu berwarna hitam. Lafadz yu'rafu artinya adalah bahwa cairan tersebut diketahui oleh kaum wanita.
Hadits kedua walaupun diriwayatkan secara mauquf sampai pada Ummu Athiyyah, tetapi bisa dihukumi marfu’ sampai pada Rasulullah Saw., karena ucapan Ummu Athiyyah: “Kami tidak menganggap” tidak mungkin berasal dari ijtihad kaum wanita tanpa sepengetahuan Rasulullah Saw.
Manthuq hadits ini menyebutkan bahwa cairan berwarna kekuningan seperti nanah (as-shufrah) dan cairan yang berwarna keruh (al-kudrah) yang keluar setelah suci (berhentinya darah) itu tidak dianggap sebagai darah haid. Mafhumnya adalah bahwa kedua cairan tersebut dipandang sebagai haid ketika keluar selama masa haid.
Alqamah mengisyaratkan mafhumnya bahwa sesuatu yang keluar sebelum berhentinya cairan yang berwarna itu merupakan haid, dan ini lebih umum daripada sebelumnya. Karena itu cairan yang berwarna hitam, merah, kuning dan keruh ketika keluar selama masa haid, dipandang sebagai haid.
Selama hadits-hadits tersebut menyebutkan bahwa darah haid berwarna seperti itu, maka seorang wanita yang memiliki kebiasaan berulang ketika terus mengeluarkan cairan darinya dengan satu warna tertentu selama masa haid yang biasa dialaminya, maka cairan tersebut dipandang darah haid, dan masa tersebut dipandang sebagai masa haidnya.
Ketika hilang warnanya, dan cairan yang keluar dari kemaluan wanita itu berwarna bening tanpa warna, maka ini mengandung arti bahwa haid tersebut sudah selesai, dan berakhir pula masa haidnya. Dan saat itu dia wajib untuk mandi, shalat dan puasa.

Wanita yang haid pasti berada dalam salah satu kategori berikut:
a. Pemula (al-mubtadi'ah), yakni wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haid. Ini memiliki beberapa kondisi:

1. Darah yang pertama kali keluar dari seorang wanita pada usia yang biasanya seorang wanita mengalami haid. Ketika darah tersebut berwarna hitam, maka dia harus meninggalkan puasa dan shalat. Hendaknya dia mencermati hari-hari keluarnya darah tersebut. Dia tetap menunggu selama darah keluar. Ketika pada bulan berikutnya darah kembali keluar seperti yang terjadi pada bulan sebelumnya, maka si wanita bisa mengetahui bahwa itulah masa haidnya dan kebiasaannya, sehingga dia beralih pada masa dan kebiasaannya itu, dan berhukum sesuai dengannya.
Darah akan berhenti keluar terkadang selama dua minggu, sepuluh hari, tujuh hari, tiga hari atau kurang. Sehingga masa keluarnya darah untuk kali pertama, yang kemudian berulang pada bulan berikutnya itu menjadi kebiasaan haidnya, sehingga saat itu dia beralih dari kondisi pemula ke kondisi wanita yang sudah memiliki kebiasaan.

2. Kemudian jika setelah itu darah tetap keluar melewati masa haid dan kebiasaannya, dan darah tersebut berwarna merah, maka si wanita mengetahui bahwa itu adalah darah istihadhah, maka dia harus mandi dan mengqadha shalat dan puasa yang luput selama beberapa hari setelah (melewati) masa haidnya itu.
Tetapi jika darah tersebut keluar, kemudian berulang keluar di bulan berikutnya dan berwarna hitam setelah selesai masa haid dan kebiasaannya, maka si wanita harus menunggu sampai darah hitam itu saja yang berhenti keluar. Kemudian dia mandi dan shalat walaupun darah yang merah atau kuning terus-menerus keluar. Saat itu si wanita beralih pada kebiasaannya yang baru. Tindakan yang harus dilakukan di masa haid berbeda dengan yang harus dilakukannya di masa mengeluarkan darah istihadhah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:

“Bahwasanya Fathimah binti Abu Hubaisy mengeluarkan darah istihadhah, lalu dia bertanya pada Nabi saw. Maka beliau Saw. bersabda: “Itu hanyalah pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang waktu haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)

Waktu haid datang ketika darah yang keluar berwarna hitam dan berbau busuk. Sedangkan waktu haid dipandang selesai ketika darah yang keluar itu berwarna merah segar.

3. Semua ini berlaku jika si wanita tersebut mampu membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah, maka si wanita harus menjalani, misalnya selama enam atau tujuh hari, kemudian mandi dan shalat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Hamnah binti Jahsy bahwasanya Rasulullah Saw. berkata padanya setelah dia bertanya pada beliau Saw. perihal dirinya yang banyak mengeluarkan darah istihadhah:

“Sesungguhnya itu hanyalah salah satu hentakan setan, maka jalanilah haidmu enam atau tujuh hari berdasar ilmu Allah, kemudian mandilah, hingga ketika engkau tahu bahwa engkau benar-benar telah suci dan bersuci, maka shalatlah dua puluh tiga malam atau dua puluh empat malam dan siang, dan berpuasalah. Hal itu sudah memadai bagimu. Seperti itulah yang harus engkau lakukan setiap bulan sebagaimana wanita lain menjalani masa haid dan masa suci.” (HR. Abu Dawud)

Tirmidzi dan Ahmad meriwayatkan dan menshahihkan hadits ini.

b. Wanita yang sudah biasa (al-mu'tadah), yakni seorang wanita yang sudah biasa mengeluarkan darah haid secara konstan dan dalam jangka waktu tertentu dari setiap bulannya. Warna darah yang dilihatnya selama masa haidnya itu dipandang sebagai darah haid. Tidak ada perbedaan apakah berwarna hitam, merah ataupun kuning, tidak ada perbedaan apakah padat ataukah lembut, selama keluar pada waktu haidnya yang sudah tetap dan konstan itu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Alqamah bin Abi Alqamah dari ibunya yang menjadi pelayan Aisyah Ummul Mukminin bahwasanya dia berkata:

“Kaum wanita mengirim kotak berisi kapas kepada Aisyah Ummul Mukminin. Pada kapas tersebut ada cairan berwarna kekuningan dari darah haid. Mereka bertanya kepada Aisyah tentang shalat, maka Aisyah berkata pada mereka: Janganlah kalian tergesa-gesa melakukan shalat hingga kalian melihat kapas tersebut putih bersih. Yang dimaksud oleh Aisyah adalah suci dari haid.” (HR. Malik)

Ketika cairan tersebut berwarna kuning atau keruh, dan keluar setelah masa haidnya yang biasa, maka itu bukan darah haid. Wanita tersebut tetap suci berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ummu Athiyah -seorang wanita yang ikut membaiat Nabi Saw.- dia berkata:

“Kami tidak memandang cairan yang keruh dan cairan yang berwarna kekuningan (seperti nanah) yang keluar setelah suci (berhentinya darah) itu sebagai sesuatu.” (HR. Abu Dawud)

Ketika kebiasaan wanita mu'tadah ini berubah, maka dia tidak akan keluar dari tiga kondisi berikut:

1. Dia melihat darah berhenti sama sekali -menemui masa suci- sebelum selesai masa haid yang biasa dijalaninya, maka dalam kondisi ini dia harus mandi dan shalat karena dia sudah suci dengan berhentinya darah. Dia tidak boleh tetap menunggu tidak perlu mandi dan shalat.
Jika darah kembali keluar masih di dalam masa haid yang biasa dijalaninya, maka dia dipastikan haid, karena itu merupakan darah yang keluar bertepatan dengan kebiasaan haidnya, sehingga dia dipandang sedang haid dan harus duduk menunggu hingga darah berhenti, lalu dia mandi kedua kalinya dan kemudian shalat.

Namun jika darah kembali keluar setelah selesai masa haid yang biasa dijalaninya, maka itu merupakan darah istihadhah, sehingga dia hanya menunggu selama masa haid yang biasa dijalaninya saja, lalu dia mandi dan shalat walaupun darah terus keluar selama waktu selebihnya itu (waktu setelah masa haidnya).
Jika darah terus-menerus keluar dan berwarna hitam selama tiga hari yang lain (hari setelah masa haidnya-pen.), dan kemudian berulang pada bulan berikutnya, maka itu merupakan darah haid, sehingga si wanita harus beralih pada kebiasaan barunya.
Tetapi jika tidak berulang pada bulan berikutnya maka itu bukanlah darah haid, sehingga si wanita harus mengqadha puasa dan shalat yang luput (yang tidak dilakukannya) dari tiga hari tersebut.

2. Si wanita melihat darah yang bukan pada waktu biasanya, bisa sebelum atau sesudah masa haid yang biasanya, maka dia harus menunggu. Jika pada beberapa hari di waktu kemudian darah kembali keluar walaupun hanya satu kali, maka itu menjadi kebiasaan yang baru baginya. Tetapi jika tidak berulang maka dia harus mengqadha shalat dan puasa yang luput darinya.

3. Hendaknya disatukan pada kebiasaan haidnya darah yang jika dihimpunkan dengan kebiasaannya secara keseluruhan akan melebihi masa haid yang paling banyak padanya. Ketika si wanita mengetahui kebiasaannya maka dia harus menunggu selama waktu kebiasaannya itu, kemudian dia mandi dan shalat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw. berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

“Akan tetapi tinggalkan shalat sesuai hari-harimu menjalani haid, kemudian mandilah dan shalatlah.”

Hadits ini telah kami sebutkan dengan lengkap dalam pembahasan hukum wanita haid. Sedangkan ketika dia tidak bisa mengingat kebiasaannya kembali -dalam arti lupa- maka ia disebut wanita mutahayyirah (bingung). Dalam kondisi ini dia harus menunggu selama tujuh hari, kemudian mandi dan shalat. Dia harus terus seperti itu, kecuali jika wanita yang lupa itu bisa mengingat kembali kebiasaannya, maka dalam kondisi terakhir ini dia harus menunggu sesuai kebiasaannya yang sudah diingatnya itu.

c. Tinggallah kini kondisi yang jarang terjadi yang disebut dengan kondisi talfiq. Artinya adalah menggabungkan darah haid dengan darah haid berikutnya, yang terpisah oleh kondisi suci. Kondisi ini bisa dijelaskan berikut:

Ketika seorang wanita melihat darah selama satu hari dan mengalami suci selama satu hari, atau melihat darah selama dua hari dan suci selama satu atau dua hari, kemudian dia melihat darah selama dua hari berikutnya dan suci pada satu atau dua hari berikutnya, dan begitu seterusnya, maka dalam kondisi tersebut si wanita harus mandi setelah setiap kali haid atau dalam setiap kali mengalami suci yang datang disela-sela masa haidnya, dia kemudian shalat dan puasa. Jika itu terus berlangsung selama masa haidnya atau selama kebiasaan haidnya, maka itu semua dipandang sebagai darah haid, dia harus mandi setelah satu atau dua hari keluar darahnya.
Namun jika darah itu terus keluar melebihi masa haidnya atau melebihi kebiasaan haidnya, maka wanita tersebut dipandang mengeluarkan darah istihadhah, sehingga dia harus dikembalikan pada kebiasaannya yaitu jika kebiasaan haidnya itu lima hari misalnya, maka dia harus menunggu selama lima hari keluarnya darah itu, lalu dia mandi dan shalat selama hari-hari sucinya.
Dan jika dia bisa membedakan di mana suatu waktu dia melihat darah hitam, dan waktu yang lain melihat darah yang merah atau cairan kekuningan, maka dia dikembalikan pada pembedaan tersebut, sehingga haidnya itu disandarkan pada masa keluarnya darah hitam saja, di mana dia harus menunggu selama masa tersebut, dan dia harus mandi dan shalat di masa selainnya, yakni masa keluarnya darah merah dan kekuningan.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam