Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 12 September 2017

Wanita Mustahadhah Wajib Wudhu Untuk Setiap Waktu Shalat



2. Wudhu

Jumhur ulama berpendapat, seorang wanita mustahadhah (bukan haid) itu wajib berwudhu untuk setiap kali shalat. Hanya Malik seorang diri yang mengatakan: wudhu untuk setiap kali shalat itu sunah saja hukumnya, dan tidak wajib, kecuali dengan adanya hadats yang lain. Pendapat yang benar adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur, karena nash-nash yang ada menunjukkan hal itu. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits hasan shahih dari at-Tirmidzi:

“Berwudhulah engkau untuk setiap kali shalat hingga datang waktu itu.”

Ini merupakan nash yang jelas tentang kewajiban berwudhu untuk setiap kali shalat, sehingga pendapat inilah yang harus dipegang dan diamalkan.

Bahwasanya berwudhu tersebut dihukumi fardhu, bukan sunah, tiada lain karena keluarnya darah dari farji (kemaluan wanita) itu akan membatalkan wudhu, di mana sepanjang pengetahuan saya tidak ada perbedaan pendapat di dalam persoalan itu.
Seorang wanita mustahadhah akan mengeluarkan darahnya secara terus-menerus, sehingga dia dalam kondisi terus-menerus batal wudhu dan tidak bisa suci darinya, yang akibatnya dia tidak bisa melaksanakan shalat.
Lalu datanglah syariat yang memeritahkannya untuk shalat, dan berwudhu untuk setiap kali shalat, walaupun bisa jadi darahnya terus menetes keluar selama dia melaksanakan shalat. Ketika dia diperintahkan berwudhu untuk setiap kali shalat semata-mata dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat, sehingga tidak mungkin wudhu tersebut dihukumi sunah, karena sesuatu yang sunah itu boleh ditinggalkan. Padahal dalam hal ini wudhu tersebut tidak boleh ditinggalkan, karena jika ditinggalkan niscaya dia dalam keadaan terus-menerus batal, sehingga tidak boleh shalat dalam kondisi seperti itu.
Kondisi ini disebut sebagai kondisi darurat dan kondisi udzur, persis sama dengan orang yang tidak bisa mengendalikan air kencing atau buang angin, dan ini menjadi qarinah bahwa perintah di sini menunjukkan hukum wajib.

Malik berpendapat, yang kemudian diikuti oleh Ikrimah dan Rabi’ah, bahwa wudhu bagi wanita mustahadhah itu sunah saja hukumnya. Mereka berargumentasi dengan hadits Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra. bahwasanya Nabi Saw. berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

“(Dan jika waktu haid selesai) maka mandilah dan shalatlah.”

Mereka berkata bahwasanya Rasulullah Saw. tidak memerintahkannya berwudhu untuk setiap kali shalat, dan perintah wudhu tersebut tidak dinyatakan dalam nash dengan jelas. Untuk membantahnya kami katakan bahwa hadits Aisyah di atas menyebutkan:

“Berwudhulah engkau untuk setiap kali shalat.”

Ini merupakan tambahan kalimat yang harus diterima, di mana kalimat tersebut membantah pernyataan mereka: Perintah wudhu tersebut tidak dinyatakan dalam nash dengan jelas. Ketika hadits mereka layak dijadikan hujjah karena diriwayatkan oleh Bukhari, maka hadits yang kami sodorkan ini pun layak dijadikan hujjah, karena diriwayatkan oleh Tirmidzi, di mana Tirmidzi mengatakan: hadits ini hasan shahih. Selain itu hadits Bukhari tidak menyebutkan wudhu, sedangkan hadits Tirmidzi ini terang menyebutkannya. Hadits yang terang menyebutkan (an-nuthqu) lebih didahulukan daripada yang tidak menyebutkan (as-sukut).

Jika ada orang yang membantah bahwa bagi wanita mustahadhah keluarnya darah tidaklah menjadi masalah dan tidak pula membatalkan wudhunya sehingga tidak wajib wudhu karenanya, maka kami katakan: bagaimana Anda menjelaskan perintah Rasulullah Saw. kepada Hamnah binti Jahsy:

“Aku sarankan engkau memakai kapas.”

Yakni letakkanlah kapas untuk mencegah keluarnya darah. Ketika Hamnah berkata: darahnya itu lebih banyak keluar, -yakni kapas tidak tidak bisa mencegah keluarnya darah- maka Rasulullah Saw. berkata:

“Maka balutlah.”

Yakni perbanyaklah sesuatu yang bisa menghalangi keluarnya darah, karena itu, bagaimana Anda akan menjelaskan dua perintah Rasulullah Saw. ini jika Anda memang berpendapat bahwa keluarnya darah dari kemaluan itu tidak membatalkan wudhu? Ketika wudhu di sini diijinkan karena ada udzur dan darurat, maka wudhu tersebut harus dibatasi sesuai dengan kedua hal tersebut, sehingga wudhu yang dibolehkan untuk setiap shalat fardhu tersebut sah sepanjang waktu shalat fardhu tersebut, di mana dengan satu kali wudhu dia boleh melakukan shalat apapun yang dikehendakinya di waktu shalat tersebut, dan ketika habis waktu shalatnya maka batal pula wudhunya. Sehingga ketika dia ingin melakukan shalat fardhu yang baru, maka dia harus berwudhu kembali, begitu seterusnya.

Selain itu, wanita mustahadhah tersebut harus berwudhu setelah masuk waktu shalat, bukan sebelumnya, hingga bisa dikatakan bahwa dia berwudhu pada waktu setiap kali shalat. Seandainya dia boleh berwudhu sebelum masuk waktu, niscaya wudhunya itu boleh digunakan untuk dua waktu, padahal ini tidak boleh, karena menyalahi fakta wudhu tersebut sebagai wudhu di waktu udzur dan darurat yang harus dilakukan sesuai kadar keduanya. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut Imam Hanafi dan Ibnu Qudamah dari pengikut Imam Hanbali, dan inilah pendapat yang shahih.
Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Baari: Menurut ulama Hanafiyah, wudhu tersebut berkaitan dengan waktu shalat, sehingga pada waktu itu si wanita mustahadhah berhak melakukan shalat fardhu yang ada dan shalat yang luput darinya selama tidak keluar dari waktu shalat fardhu yang sedang berlangsung tersebut. Berdasarkan pendapat mereka ini bisa dipahami bahwa maksud ucapan beliau Saw.: “Berwudhulah engkau untuk setiap kali shalat,” itu maksudnya adalah pada waktu setiap shalat.

Sedangkan yang lain menyatakan, wudhu tersebut untuk setiap shalat fardhu dan setiap shalat yang harus diqadha, karena berpegang pada dzahir hadits. Hal seperti ini merupakan bentuk kekakuan akibat berpegang pada dzahir hadits, karena seandainya kita hendak seiring dengan pernyataan mereka, niscaya kami katakan kepada mereka: bagaimana Anda sekalian dengan satu wudhu bisa membolehkan melaksanakan shalat dhuhur misalnya, dua rakaat sebelumnya atau dua rakaat setelahnya? Ini adalah tiga shalat, bukan satu shalat? Jika mereka mengatakan: ini tercakup dalam satu sebutan yakni shalat dhuhur, maka kami katakan: mana nash yang menunjukkan hal itu? Apakah perbedaan yang ada di antara tiga shalat ini, shalat dhuhur, dan qadha shalat fajar dalam satu waktu? Tidak, dalam persoalan yang ini ada nash, sedangkan dalam persoalan yang itu tidak ada nash. Jika kalian memperlebar pemahaman kalian terhadap nash, maka kami katakan: perluasan pemahaman seperti itu niscaya akan mencakup beberapa shalat mu'addah yang dilaksanakan dalam satu waktu shalat.

Kemudian di dalam hadits Hamnah ini terdapat perintah untuk menjama' (jamak shuwariy) dua shalat, antara shalat dhuhur dengan shalat ashar, antara shalat maghrib dengan shalat isya. Dan Rasulullah Saw. tidak memerintahkannya berwudhu, Rasulullah Saw. cukup memerintahkannya mandi untuk melaksanakan dua shalat. Seandainya Rasulullah Saw. memerintahkan Hamnah berwudhu untuk shalat yang kedua, niscaya peristiwa tersebut akan dinukilkan kepada kita. Tetapi ketika tidak ada kabar atau riwayatnya, maka ini menunjukkan bahwa wudhu tersebut tidak wajib hukumnya, dan hadits ini menunjukkan bahwa mandi atau wudhu tersebut dilaksanakan untuk dua shalat.
Ini menjadi dalil lainnya bahwa wudhu itu cukup untuk melaksanakan lebih dari satu shalat dalam satu waktu, sehingga batallah pernyataan mereka yang telah disebutkan di atas itu.

Kami tidak ingin bersikap kaku, sehingga harus kami katakan bahwa hadits ini menunjukkan wudhu tersebut cukup untuk dua waktu dan dua shalat fardhu, karena shalat jama’ yang diperintahkan pada Hamnah ini adalah jama’ shuwariy, di mana dia harus shalat dhuhur di akhir waktu dhuhur lalu segera shalat ashar di awal waktu ashar. Semua ini dengan satu kali basuhan, yakni satu kali wudhu.

Dari Hamnah binti Jahsy, dia berkata:

“…Beliau Saw. berkata padanya: “Darah seperti ini (istihadhah) hanyalah salah satu hentakan dari setan, maka tetapkanlah masa haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau mandi, hingga jika engkau melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk membersihkan diri, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan siang, dan berpuasalah, karena hal itu sah bagimu. Seperti itulah yang harus engkau lakukan di setiap bulan, seperti halnya kaum wanita mengalami haid dan mengalami masa suci dengan waktu-waktu haid dan suci mereka. Jika engkau mampu untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka hendaknya engkau mandi, kemudian laksanakanlah shalat dhuhur dan ashar secara digabungkan, kemudian hendaknya kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya, lalu mandilah dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan kerjakanlah. Dan hendaknya engkau mandi untuk shalat subuh dan shalatlah. Seperti itulah yang harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika engkau mampu untuk itu.” Dan dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Mandi setiap sebelum shalat dalam hadits ini sunah saja, lengkapnya di pembahasan hadits-hadits mandi bagi wanita mustahadhah.

Dengan satu kali wudhu saja seorang wanita mustahadhah bisa melaksanakan shalat fardhu, shalat sunat, shalat yang harus diqadha-nya, dan shalat-shalat nawafil lainnya, juga bisa membaca al-Qur'an dan menyentuh mushaf, selama itu semua dilakukan dalam waktu shalat fardhu.
Ketika muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat berikutnya maka batallah wudhunya. Wanita tersebut harus berwudhu kembali (kecuali dalam shalat jama’ shuwariy), dan dengan wudhu yang baru itu dia bisa melakukan apapun seperti yang dilakukannya dengan wudhu sebelumnya. Selain itu dia juga harus membersihkan kemaluannya dari darah yang ada, kemudian berusaha keras agar darah tidak menetes lagi. Dan ketika dia sudah berupaya sedemikian rupa tetapi darahnya tetap keluar juga, maka hal itu tidak mengapa.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam