Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 25 Agustus 2017

HUKUM BENDA NAJIS



BAB TIGA

HUKUM BENDA NAJIS

Bab ketiga ini memuat lima persoalan berikut pengantarnya. Kelima persoalan tersebut adalah:

5. Istihalah (transformasi).

Pengantar

Telah kami katakan dalam pembahasan benda-benda najis bahwa benda najis itu wajib dijauhi. Syariat tidak membuat pengecualian apapun untuk benda-benda najis yang harus dijauhi itu melainkan hanya anjing pemburu, anjing penjaga, dan kulit hewan yang sudah menjadi bangkai ketika sudah disamak. Benda-benda najis selain yang tiga tadi hukumnya bersifat tetap, yakni harus dijauhi.
Menjauhi najis berikut tata caranya yakni yang disebut dengan menghilangkan najis (izalatun najasah) itu tidak memerlukan niat, hanya cukup dilakukan dengan menghilangkan najisnya saja. Ketika najis itu hilang dengan atau tanpa disertai niat, dan ketika najis itu hilang karena tindakan yang berasal dari kita atau dari selain kita, maka itu semua sama saja, sehingga tuntutan untuk menghilangkannya dianggap telah sempurna dilaksanakan, dan persoalannya dianggap telah selesai dilakukan.

Benda najis (an-najis) itu kebalikan dari benda yang suci (at-thahir), sehingga selain benda-benda najis yang sebelumnya telah kami jelaskan spesifikasinya dipandang sebagai benda yang suci (at-thahir), yang tidak membutuhkan dalil yang menunjukkan kesuciannya.
Artinya, ketika kita tidak menemukan dalil yang menunjukkan najisnya suatu benda, maka bisa kita tetapkan benda tersebut sebagai benda yang suci. Hal ini karena Allah Swt. telah menundukkan segala sesuatu bagi kita semua; artinya bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan langit dan benda-benda yang ada di sana, telah ditundukkan oleh Allah Swt. untuk manusia. Allah Swt. berfirman:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (TQS. al-Jatsyiyah [45]: 13)

Taskhir (menundukkan) itu menghendaki bolehnya menggunakan dan memanfaatkan sesuatu yang ditundukkan, dan penggunaan sesuatu itu tidak ditujukan untuk benda-benda najis. Karena itu, maka segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi telah ditundukkan dan statusnya suci, kecuali benda yang dikecualikan oleh nash.
Sucinya suatu benda merupakan hukum asal, sedangkan najisnya sesuatu itu merupakan pengecualian (yakni keluar dari hukum asal), di mana syariat menuntut agar benda yang najis itu dibuang dan tidak boleh ditransaksikan. Kemudian Allah Swt. menciptakan alam semesta, lalu menawarkan amanat taklif (beban-beban hukum keagamaan) kepadanya, tetapi alam semesta enggan dan khawatir akan mengkhianatinya, kecuali manusia yang mendzalimi dirinya dan bodoh, yang memang dirancang untuk menanggung beban tersebut. Manusia siap dan setuju untuk memikulnya.
Karena itu, segala sesuatu yang wujud itu berjalan dalam ketaatan kepada Allah, dan manusia yang beriman serta saleh itu berjalan bersama alam semesta dalam ketaatan kepada Allah. Tidak ada yang keluar dan menyimpang dari jalur ketaatan ini dan merasa sulit berada di dalamnya selain mereka yang kafir dari kalangan manusia. Orang seperti ini dikatakan tidak normal dan telah keluar (menyimpang) dari karakter asal makhluk-Nya, yakni taat kepada Allah Swt. Makhluk lainnya yang disamakan dengan orang kafir itu adalah jin dan setan.
Karenanya tidak heran ketika syariat menyematkan istilah “najis” pada orang-orang kafir -karena menyerupakan mereka dengan benda-benda najis- yang telah menyimpang dari karakter asal benda sebagai sesuatu yang suci. Ketika benda-benda najis telah keluar dari kesucian sebagai karakter asal benda dan disebut sebagai sesuatu yang najis, maka begitu pula dengan orang-rang kafir yang telah keluar dari ketaatan sebagai karakter asal segala sesuatu, sehingga mereka pun disebut najis. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (TQS. at-Taubah [9]: 28)

Al-Qur'an tidak pernah menggunakan kata “najis” kecuali hanya sekali ini saja, yakni ketika menyebut karakter orang kafir musyrik. Karena itu pada dasarnya orang kafir musyrik itu harus “dibuang/diasingkan” sebagaimana halnya benda-benda najis yang dibuang, walaupun cara yang harus dilakukan (terhadap orang kafir dan benda najis) itu tentu berbeda adanya. Masalah yang akan dibahas saat ini adalah terkait tindakan memperlakukan benda najis, bukan terkait interaksi dan transaksi dengan orang kafir.

Ada benda yang najis (an-najisu), ada pula benda yang terkena najis (al-mutanajjis). Benda-benda najis yang sebelumnya telah dibahas dan dispesifikasikan adalah yang termasuk kategori an-najisu (benda yang najis). Ketika benda yang najis ini bercampur dengan benda yang lain, maka benda yang lain ini menjadi mutanajjis (benda yang terkena najis).
Hukum menjauhi dan menghilangkan itu terkait dengan benda yang najis, bukan benda yang terkena najis. Al-Mutanajjis (benda yang terkena najis) itu berpeluang untuk dikembalikan pada status awalnya sebagai benda yang suci, dengan cara menghilangkan najisnya, kecuali segelintir benda saja dan jarang ada. Sedangkan an-najis (benda yang najis) itu memang asalnya adalah najis, sehingga akan tetap najis dan tidak bisa menjadi suci, kecuali dalam satu kondisi dan ini pun jarang pula.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam