Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 28 Agustus 2017

Hukum Dan Adab Membuang Hajat Di Luar Rumah



BAB EMPAT

HUKUM DAN ADAB MEMBUANG HAJAT

Ada hukum dan adab yang berkaitan dengan membuang hajat di dataran dan tempat terbuka di luar rumah (al-khala). Ada pula hukum dan adab yang berkaitan dengan membuang hajat di dalam rumah dan bangunan. Dahulu para fuqaha menyebut pasal ini dengan istilah adab at-takhalla (adab buang hajat), maksudnya adalah hukum beberapa perbuatan yang seharusnya dilakukan ketika buang air kecil dan buang air besar.

Hukum Dan Adab Membuang Hajat Di Luar Rumah

1. Bagi orang yang ingin buang air kecil atau buang air besar di al-khala (tempat di luar rumah), disunahkan untuk pergi menjauh agar tidak terlihat oleh manusia, khususnya jika ingin buang air besar, agar orang lain tidak melihat auratnya, tidak mendengar suaranya, dan tidak mencium baunya. Hal ini berdasarkan hadits melalui Jabir, dia berkata:

“Kami berangkat dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. tidak akan buang air besar hingga beliau Saw. menjauh, sampai tidak terlihat.” (HR. Ibnu Majah)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini pula, dengan redaksi:

“Beliau Saw. pergi (menjauh) hingga tidak terlihat oleh seorangpun.”

Para perawi hadits ini adalah perawi yang shahih, kecuali Ismail bin Abdul Malik, ia dikomentari Bukhari dengan pernyataan “haditsnya layak dicatat.”

Sedangkan an-Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah ra., bahwasanya Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. jika ingin buang air besar, beliau Saw. menjauh.”

Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih.

2. Disunahkan untuk menjadikan sesuatu sebagai penutup dan mencari tempat yang rendah -tempat seperti ini secara bahasa disebut al-gha'ith, karena al-gha'ith itu artinya adalah tempat yang rendah (al-makan al-munkhafidh)- agar tidak terlihat. Kata al-gha'ith mengalami perluasan makna hingga digunakan untuk menyebut al-barraz (tinja) itu sendiri dan proses buang air besar.
Untuk buang air kecil, Rasulullah Saw. seringkali mencari tempat yang rendah agar tidak terlihat, dan untuk buang air besar, beliau Saw. menggunakan penutup. Dari Abdullah bin Ja’far ra., dia berkata:

“Sesuatu yang suka digunakan Rasulullah Saw. agar beliau tersembunyi ketika buang hajat adalah bukit kecil, atau lebatnya kebun kurma.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ibnu Hibban)

Al-Hadfu artinya sesuatu yang tinggi, baik berupa gundukan pasir, gundukan tanah atau bukit. Al-Ha'isy artinya kumpulan pohon yang saling berdekatan (jaraknya rapat) sehingga menutupi orang yang ada di belakangnya. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa buang air besar, maka hendaklah dia menutupi dirinya. Jika dia tidak menemukan sesuatupun untuk digunakan sebagai penutup kecuali gundukan pasir, hendaklah dia pergi ke belakangnya, karena sesungguhnya setan itu bemain-main di atas tempat duduk (tempat buang air) anak Adam. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah berbuat baik, dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka tidak apa-apa.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

Satu bagian hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnu Hajar berkata: sanad hadits tersebut berpredikat hasan.

3. Jika seseorang tidak memiliki air, maka hendaklah dia membawa tiga buah batu atau lebih, kecuali jika tanah tempat buang hajatnya berbatu maka hendaknya dia mengambil bebatuan dari sana. Benda keras, suci dan halus (tidak kasar) yang layak untuk membersihkan sisa kotoran itu bisa menggantikan bebatuan. Dinyatakan harus benda keras, karena tanah lempung ketika basah bisa remuk/pecah sehingga tidak bisa menghilangkan najisnya. Adapun harus suci, maka ini jelas, karena benda najis tidak layak digunakan untuk bersuci. Perihal permukaannya harus halus, layak untuk membersihkan, tiada lain karena batu yang kasar tidak layak digunakan untuk menghilangkan najis, bahkan bisa jadi bagian tubuh yang akan dibersihkan tersebut menjadi terluka.

Kadang dikatakan bahwa bersuci (dengan menggunakan batu) itu harus menggunakan batu saja, tidak boleh menggunakan benda lainnya, karena Rasulullah Saw. tidak menyebutkan selainnya, juga tidak ada riwayat yang sampai pada kita bahwa Nabi Saw. menggunakan selain batu, sehingga batu itulah satu-satunya yang harus digunakan dalam bersuci. Untuk membantah pernyataan seperti ini, kami sampaikan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, dari Nabi Saw.:

“Sesungguhnya aku bagi kalian semisal dengan orang tua, di mana aku mengajari kalian. Jika salah seorang dari kalian pergi buang air besar, maka hendaknya dia tidak menghadap kiblat, tidak membelakangi kiblat, tidak bersuci dengan menggunakan tangan kanannya.” Dan beliau Saw. memerintahkan menggunakan tiga buah batu, dan melarang bersuci menggunakan kotoran hewan yang sudah kering dan rimmah.” (HR. an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqi)

Ar-Rimmah itu maksudnya adalah tulang yang sudah usang, tapi maksudnya di sini adalah tulang secara umum.

Hadits ini mengecualikan kotoran dan tulang dari semua benda yang layak digunakan untuk beristijmar (bersuci menggunakan batu), mentakhsis keduanya dengan larangan, mengandung arti benda selain keduanya itu layak digunakan untuk beristijmar, karena jika perintah beristijmar itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan batu saja, niscaya Rasulullah Saw. melarang beristijmar menggunakan selain batu secara mutlak, dan beliau Saw. tidak akan mentakhsisnya, sehingga akhirnya pentakhsisan kotoran dan tulang itu dengan larangan tentu tidak memiliki arti sama sekali.

Dengan demikian, jelas bahwa setiap benda yang layak untuk menghilangkan najis itu boleh digunakan untuk beristijmar (bersuci), seperti kayu, daun, kain lap, logam, di mana penyebutan batu dalam hadits-hadits tersebut tiada lain hanya untuk menunjukkan benda yang paling umum dan dominan digunakan beristijmar saja.
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa tujuan mandi, apapun kategorinya, adalah membersihkan diri, maka kami katakan di sini bahwa bukan tiga buah batu itu sendiri yang diperintahkan, melainkan kadar kebersihan yang semestinya direalisasikan, sehingga ketika membersihkan najis bisa terpenuhi dengan tiga buah batu, lebih atau kurang dari tiga buah batu, maka tuntutan tersebut dipandang telah terlaksana, sehingga bilangan atau jumlah tertentu itu tidak wajib hukumnya.

4. Disunahkan bagi orang yang ingin buang air besar untuk mencari tempat yang lembek agar tidak terkena cipratan air kencing. Ini berdasarkan hadits yang kami sebutkan sebelumnya yang di dalamnya disebutkan:

“Salah seorang dari keduanya tidak menjaga dirinya dari air kencing.”

Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa orang yang kencing di tempat yang padat tidaklah aman dari cipratan air kencing, sehingga tindakan seperti itu termasuk perbuatan yang dilarang hadits ini. Karena itu, kita harus buang air kecil ke tempat yang tanahnya lembek, kecuali jika dilakukan di atas permukaan yang keras tapi miring, yang bisa menghalangi cipratan air kencing, maka hal itu tidak apa-apa. Perkara yang harus dijadikan patokan adalah menjaga diri dari cipratan air kencing. Inilah 'illatnya, sehingga segala sesuatu yang bisa mewujudkan ‘illat tersebut hukumnya menjadi wajib.

5. Seorang Muslim tidak boleh buang air besar ataupun buang air kecil di bawah naungan yang biasa digunakan bernaung oleh orang-orang, atau di jalan yang biasa dilalui mereka, atau di tempat yang biasa digunakan duduk oleh mereka, karena hal itu bisa mengganggu orang-orang, dan ini jelas tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jagalah diri kalian dari dua perkara yang dilaknat.” Mereka bertanya: Apa dua perkara yang dilaknat itu wahai Rasulullah? Beliau Saw. menjawab: “Orang yang buang hajat di jalan (yang biasa dilalui orang) atau di bawah naungan (yang suka digunakan) mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini juga, dengan redaksi:

“Jagalah diri kalian dari dua perkara yang dilaknat.” Mereka bertanya: Apa dua perkara yang dilaknat?”

Al-Khaththabi berkata: Yang dimaksud dengan al-la'inain itu adalah dua perkara yang bisa mendatangkan laknat, sehingga menyebabkan manusia melaknat dan terdorong untuk melaknat, dan pelakunya akan dilaknat dan dicaci, yakni biasanya orang-orang akan melaknatnya ketika kedua perkara tersebut menjadi sebab yang dikaitkan dengan laknat. Dan ini merupakan ungkapan metafora yang masuk akal.
Adapun naungan yang tidak biasa digunakan oleh orang-orang, maka tidak mengapa buang air kecil (kencing) di sana.

6. Seorang Muslim dimakruhkan buang hajat (buang air besar ataupun buang air kecil) di dalam lubang dan celah, karena merupakan tempat makhluk hidup lain yang bisa merasa terganggu oleh air seni, sehingga kemudian makhluk yang dikencingi tersebut akan merasa terganggu. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Qatadah dari Abdullah bin Sarjis, bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil di dalam lubang.” Mereka bertanya kepada Qatadah: Mengapa buang air kecil di dalam lubang dimakruhkan? Qatadah berkata: Dikatakan bahwa lubang itu tempat tinggal jin.” (HR. an-Nasai, Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

7. Disyariatkan agar seorang Muslim menggunakan tangan kirinya -bukan tangan kanannya- dalam beristinja (bersuci menggunakan air) dan beristijmar (bersuci menggunakan batu). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Salman ra., bahwasanya dia berkata:

“Orang-orang musyrik bertanya kepada kami: Sesungguhnya aku melihat sahabat kalian itu mengajari kalian, hingga mengajari kalian tata cara buang hajat sekalipun. Salman berkata: Benar, sesungguhnya beliau Saw. melarang setiap orang di antara kami beristinja dengan tangan kanannya, melarang buang hajat dengan menghadap kiblat, dan melarang kami bersuci menggunakan kotoran (yang sudah kering) dan tulang. Beliau Saw. berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian bersuci tanpa tiga buah batu.” (HR. Muslim dan al-Baihaqi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini pula dan berkata: Status hadits ini hasan shahih.

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah dari ayahnya:

“Sesungguhnya Nabi Saw. melarang seseorang memegang kemaluannya dengan tangan kanannya.” (HR. Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: status hadits ini hasan shahih.

8. Dimakruhkan berbicara dengan orang lain atau berbicara dengan dirinya sendiri dengan suara yang bisa terdengar orang lain. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.

“Bahwasanya seseorang lewat, dan Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam, tetapi Rasulullah Saw. tidak menjawab salamnya itu.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, an-Nasai, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Bisa jadi seseorang bertanya-tanya: Mengapa hukum berbicara ketika buang air besar itu bukan haram, malah makruh, padahal ada hadits yang diriwayatkan Abu Said, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah dua orang lelaki keluar, lalu buang hajat dalam keadaan terbuka auratnya dan bercakap-cakap, karena sesungguhnya Alah Swt. murka terhadap hal itu.” (HR. Ahmad, Baihaqi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Maka saya katakan: Hadits ini menunjukkan bahwa kemurkaan itu tidak ditujukan pada tindakan bercakap-cakap ketika sedang buang air besar. Seandainya ditujukan terhadap tindakan bercakap-cakap, tentu saja layak menjadi dilalah diharamkannya tindakan bercakap-cakap. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kemurkaan Allah Swt. itu ditujukan pada kondisi terbukanya aurat seseorang pada orang lain sambil bercakap-cakap dengannya, di mana keduanya dalam keadaan terbuka aurat. Hal ini tidak ragu lagi hukumnya adalah haram. Ibnu Hibban telah meriwayatkan sebuah hadits dengan lafadz yang mengandung pengertian seperti itu:

“Janganlah dua orang duduk buang air besar sambil bercakap-cakap, satu sama lain saling melihat aurat masing-masing, karena Allah Swt. murka terhadap hal seperti itu.”

Kemurkaan yang menunjukkan pengharaman itu ditujukan pada kondisi saling melihat aurat, bukan ditujukan pada aktivitas berbincang dan bercakap-cakap semata.

Riwayat lain yang menunjukkan kemakruhan berbincang itu adalah hadits Ibnu Umar di atas yang diriwayatkan Abu Dawud, di mana kemudian Abu Dawud berkata: dan diriwayatkan dari Ibnu Umar dan selainnya:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. bertayammum, kemudian beliau Saw. membalas salam seseorang.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah.

Begitu pula hadits yang diriwayatkan dari al-Muhajir bin Qunfudz:

“Bahwasanya dia mendatangi Nabi Saw. yang waktu itu sedang buang air kecil. Dia mengucapkan salam kepadanya, tetapi beliau Saw. tidak membalasnya hingga beliau berwudhu. Kemudian beliau Saw. mengemukakan alasan kepadanya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah azza wa jalla kecuali dalam keadaan suci.” Atau beliau berkata: Dalam keadaan suci.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Kedua hadits ini menerangkan alasan (‘illat) tidak berbicara, yakni ketidaksukaan/keengganan menyebut nama Allah, kecuali dalam keadaan suci, dan ini menjadi qarinah yang layak untuk mengalihkan hukum berbincang/bercakap menjadi makruh saja. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian besar ahli fiqih, baik dulu ataupun sekarang.

9. Dimakruhkan menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat, kecuali jika menggunakan sesuatu sebagai penutup maka tidak apa-apa (menghadap atau membelakangi kiblat). Kemakruhan ini berlaku jika buang hajat dilakukan di tempat terbuka di luar rumah (al-khala). Namun jika buang hajat tersebut dilakukan di kamar mandi yang dibuat di dalam rumah maka tidak apa-apa menghadap atau membelakangi kiblat, karena dinding kamar mandi menutupi orang yang ada di dalamnya. Terdapat beberapa hadits yang membahas persoalan ini, dan kita akan mengkajinya lebih jauh dalam rangka menggali beberapa hukum darinya:

1) Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. beliau Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian duduk buang hajat maka janganlah menghadap kiblat, dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Muslim, Ahmad dan ad-Darimi)

2) Dari Abu Ayub al-Anshari bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Jika kalian buang hajat, maka janganlah menghadap dan membelakangi kiblat, baik buang air kecil ataupun buang air besar, tetapi hendaknya kalian menghadap ke timur atau ke barat.” Abu Ayub berkata: Lalu kami tiba di Syam, di sana kami melihat kakus dibangun menghadap kiblat. Maka kami berpaling menjauh darinya dan meminta ampunan kepada Allah. Dia berkata: Ya.” (HR. Muslim, Ahmad, Bukhari, Ibnu Majah dan Abu Dawud)

3) Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Aku naik ke atas rumah saudariku, Hafshah, lalu aku melihat Rasulullah Saw. sedang duduk buang hajat dalam keadaan menghadap ke arah Syam, membelakangi kiblat.” (HR. Muslim dan Bukhari)

4) Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Lalu aku melirik, maka aku melihat tempat buang hajat Rasulullah Saw. menghadap kiblat.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah dengan status sanad yang layyin)

5) Dari Ibnu Umar ra., dia berkata:

“Lalu aku melihat Rasulullah Saw. berada di atas dua batu bata menghadap Baitul Maqdis, sedang membuang hajatnya.” (HR. Ibnu Hibban, ad-Daruquthni, an-Nasai dan Ibnu Majah)

6) Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Di sisi Nabi diceritakan suatu kaum yang tidak suka menghadapkan kemaluan mereka ke arah kiblat, maka Nabi Saw. berkata: “Aku melihat mereka telah melakukannya, maka hadapkanlah tempat dudukku (tempat buang hajat) ini oleh kalian ke arah kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini pula dan berkata: ini merupakan sanad yang paling dhabit. Hadits ini pun dihasankan oleh an-Nawawi.

7) Dari Marwan al-Ashfar, dia berkata:

“Aku melihat Ibnu Umar menderumkan untanya menghadap kiblat, kemudian dia duduk untuk buang air kecil ke arah kiblat. Maka aku bertanya: Wahai Abu Abdirrahman, bukankah ini dilarang? Ibnu Umar berkata: Benar, tetapi sesungguhnya (buang air kecil menghadap kiblat) yang dilarang itu adalah ketika dilakukan di ruang terbuka, jika di antara kamu dengan kiblat ada sesuatu yang menghalangimu, maka tidak apa-apa.” (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Hajar berkata: Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang tidak bercacat.

8) Dari Jabir bin Abdillah:

“Nabiyullah Saw. melarang kami menghadap kiblat ketika buang air kecil, lalu aku melihat beliau Saw. (buang air kecil) menghadap kiblat satu tahun sebelum beliau Saw. wafat.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan dan dihasankan oleh Tirmidzi, dishahihkan oleh Bukhari dan Ibnu Khuzaimah.

9) Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.:

“Barangsiapa buang air besar, maka hendaklah dia menutupi dirinya. Jika dia tidak menemukan sesuatupun untuk digunakan sebagai penutup kecuali gundukan pasir, hendaklah dia pergi ke belakangnya, karena setan itu bermain-main di atas tempat duduk (tempat buang air) anak Adam. Barangsiapa yang melakukannya maka dia telah berbuat baik, dan barangsiapa yang tidak melakukannya maka tidak apa-apa.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan satu bagian dari hadits ini.

Hadits yang pertama menunjukkan keumuman larangan menghadap dan membelakangi kiblat. Begitupula hadits yang kedua dan bagian pertama hadits yang kedelapan, tanpa adanya pengkhususan apakah dilakukan di ruang terbuka (al-fadha/al-khala) ataukah di dalam bangunan.
Hadits yang ketiga, keempat, kelima dan keenam, serta bagian kedua hadits yang kedelapan, semuanya menunjukkan menghadap dan membelakangi kiblat berdasarkan perbuatan dan perkataan Rasulullah Saw. Kemudian muncullah hadits kedelapan terkait penetapan waktu menghadap kiblat tersebut, yakni setahun sebelum wafatnya Nabi saw.

Orang yang menelaah nash-nash ini pertama kali akan menduga, bahwa terdapat kontradiksi di antara nash-nash tersebut, sehingga dia akan berpendapat adanya nasakh (penghapusan), seraya mengatakan bahwa hadits-hadits menghadap kiblat telah menasakh hadits-hadits yang melarang menghadap kiblat. Terlebih lagi ketika terbukti bahwa hadits yang kedelapan ini merupakan hadits yang terakhir, di mana yang terakhir akan menghapus yang datang sebelumnya. Tetapi mengingat kaidah mengamalkan dalil-dalil itu lebih diprioritaskan daripada mengabaikan sebagiannya, dan mengingat pula kesimpulan adanya nasakh itu tidak diambil kecuali ketika pengkompromian di antara dalil-dalil tersebut tidak bisa dilakukan, dan dengan mengkaji lebih dalam nash-nash tersebut, maka akan kita temukan adanya peluang mengkompromikan dalil-dalil tersebut, di mana hadits-hadits yang melarang kencing menghadap kiblat itu ditujukan untuk buang hajat yang dilakukan di ruang terbuka dan sahara, dan hadits yang menunjukkan bolehnya menghadap dan membelakangi kiblat tetap bisa diamalkan ketika buang hajatnya dilakukan di dalam rumah atau bangunan.
Hal ini karena hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya menghadap dan membelakangi kiblat layak untuk mentakhsis keumuman larangan yang disebutkan dalam sejumlah hadits yang memang tidak dinasakh.
Kesimpulan adanya takhsis ini lebih diprioritaskan daripada kesimpulan adanya nasakh. Pemahaman ini diperkuat oleh dua perkara:

a. Sesungguhnya hadits-hadits yang menyebutkan menghadap dan membelakangi kiblat itu berdasarkan beberapa qarinah, jelas menunjukkan bahwa hal itu dilakukan di dalam rumah atau bangunan, dengan dilalah:

“Lalu aku melihat tempat buang hajat Rasulullah Saw.”

Dan:

“Di atas dua bata menghadap Baitul Maqdis, sedang membuang hajat.”

Dan:

“Dan hadapkanlah tempat dudukku (tempat buang hajat) oleh kalian ke arah kiblat.”

Nash-nash ini membahas masalah menghadap dan membelakangi kiblat di dalam rumah, karena kakus dan batu bata itu adanya di dalam rumah dan bangunan.
Hadits Ibnu Umar yang ketiga menunjukkan pengertian yang sama, ketika dia berkata:

“Aku naik ke atas rumah saudariku, Hafshah, lalu aku melihat Rasulullah Saw. sedang duduk buang hajat.”

Telah diketahui bahwa rumah Hafshah, isteri Rasulullah Saw., terletak di tengah-tengah perumahan Madinah di samping masjid. Sulit dipahami Ibnu Umar yang sedang berada di atas rumah saudarinya bisa melihat beliau Saw. sedang buang air kecil ataupun buang air besar, melainkan pastinya beliau Saw. berada dekat dengannya di dalam salah satu rumah, bukan sedang berada di tengah padang pasir.
Terlebih lagi kebiasaan Rasulullah Saw. yang suka menjauh dan menyembunyikan diri agar tidak nampak ketika buang hajat.

b. Hadits yang ketujuh merupakan nash yang sharih, yang membedakan antara padang pasir dengan bangunan. Pernyataan Ibnu Umar:

“Sesungguhnya (buang air kecil menghadap kiblat) yang dilarang itu adalah ketika dilakukan di ruang terbuka.”

Walaupun ini merupakan pernyataan seorang sahabat, tetapi bisa dihukumi marfu' dengan dilalah lafadz “dilarang.” Lafadz ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. itulah yang melarang buang hajat di ruang terbuka.
Mafhum yang bisa didapat dari nash ini adalah bahwa larangan tersebut tidak mencakup rumah dan bangunan, yakni dengan dilalah mafhum mukhalafah. Dua perkara ini menunjukkan bahwa larangan menghadap dan membelakangi kiblat itu hanya berlaku di ruang terbuka, seperti dataran misalnya, bukan di rumah.
Hadits kedelapan pun dipahami seperti ini, yakni bahwa Jabir tentu melihat beliau Saw. di rumah, bukan di gurun pasir. Dalam arti hadits yang umum dibawa pada pengertian hadits yang telah ditakhsis.

Tinggalah kini dua syubhat yang harus diperhatikan, yakni:

a. Alasan apa yang mendasari kesimpulan bahwa batu bata dan kakus itu berada di dalam bangunan?
b. Bagaimana kita menafsirkan pernyataan Abu Ayub al-Anshari:

“Lalu kami dapati kakus dibangun menghadap kiblat, maka kami berpaling menjauh darinya dan meminta ampunan kepada Allah.”

Mengenai syubhat (kesamaran) yang pertama, walaupun bisa disingkap oleh fakta, tetapi kita memiliki satu nash yang bisa menghilangkan syubhat tersebut, yakni ucapan yang disampaikan Aisyah dalam hadits ifki yang cukup panjang.

“Lalu aku keluar bersama Ummu Misthah menuju al-manashi', tempat kami buang hajat. Kami tidak keluar kecuali di suatu malam hingga malam berikutnya. Ini dilakukan sebelum kami membuat kakus dekat rumah kami.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Dilalah hadits ini sangat jelas.

Syubhat yang kedua bisa dijelaskan bahwa pernyataan dan perbuatan Abu Ayub al-Anshari dan sejumlah sahabat lainnya bisa jadi mereka belum mendengar nash pentakhsis tersebut, sehingga mereka berpegang pada keumuman larangan tersebut. Bagaimanapun juga, hal tersebut tidak keluar dari fakta sebagai pemahaman seorang sahabat, ini tidak bisa menjadi dalil yang kokoh ketika dihadapkan pada hadits-hadits yang marfu’.

Tinggallah kini hadits yang kesembilan:

“Barangsiapa yang melakukannya maka dia telah berbuat baik, dan barangsiapa yang tidak melakukannya maka tidak apa-apa.”

Nash ini menjadi qarinah yang mengalihkan hadits-hadits larangan tersebut pada kemakruhan saja, bukan pengharaman sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik dan as-Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Ishaq dan as-Sya'biy.

Ringkasnya, yang dimakruhkan itu adalah menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat di ruang terbuka tanpa penutup apapun. Namun ketika seseorang menjadikan sesuatu sebagai penutup (ketika dia buang hajat) lalu dia menghadap atau membelakangi kiblat, maka hal itu tidak apa-apa baginya, sebagaimana tidak menjadi masalah menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat di rumah.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam