Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 29 Juli 2017

Dalil Cara Jamak Shalat



Tatacara Jamak Di Antara Dua Shalat

Menjamak di antara dua shalat tidak memerlukan pengucapan niat terlebih dahulu. Seorang Muslim dianggap sah apabila dia telah melaksanakan shalat dhuhur tanpa berniat menjamaknya dengan shalat ashar, lalu dia berdiri dan melaksanakan shalat ashar dengan menjamaknya bersama shalat dhuhur, baik shalat ashar itu dilakukan dengan segera ataupun tidak (yakni dengan sedikit dimundurkan), baik disela dengan perbuatan yang lain atau tidak. Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya. Aku berkata kepadanya: shalat, maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah, beliau Saw. turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Setelah itu dikumandangkan iqamat shalat. Beliau Saw. shalat maghrib. Orang-orang menderumkan untanya pada tempatnya, lalu iqamat shalat dikumandangkan dan beliau Saw. shalat (isya), dan beliau Saw. tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seluruh sahabat Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat maghrib, kemudian mereka pergi menuju hewan tunggangannya untuk melihat kondisinya. Mereka menderumkan unta-unta tersebut pada tempatnya, dan ketika mereka mendengar iqamat shalat isya, maka mereka pergi melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah bersama Rasulullah Saw. Hadits ini menunjukkan tidak adanya niat menjamak pada sahabat Rasulullah saw. Jika mereka berniat menjamak, maka mereka tidak akan pergi ke tempat unta-unta mereka dan rumah-rumah mereka. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjamak di antara dua shalat secara tarakhi (tidak secara langsung atau tidak bersegera), sama seperti menunjukkan bolehnya melakukan beberapa perbuatan antara dua shalat tersebut.

Tatkala menjamak dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan adzan satu kali dan iqamat dua kali. Apabila adzan dikumandangkan sebanyak dua kali, itu juga tidak apa-apa. Akan tetapi saya tidak sependapat dengan sebagian orang yang mengatakan bolehnya iqamat satu kali untuk dua shalat. Dalil yang pertama adalah apa yang disebutkan dalam hadits pada pembahasan sebelumnya:

“Kemudian adzan dan iqamat dikumandangkan, lalu beliau shalat dhuhur. Setelah itu iqamat dikumandangkan (lagi), dan beliau Saw. shalat ashar.”

Disebutkan pula dalam hadits pada pembahasan sebelumnya:

“Dan beliau Saw. shalat maghrib dan isya di sana dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat.”

Mengenai dalil bolehnya dua kali adzan adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid, ia berkata:

“Abdullah ra. berhaji. Kami tiba di Muzdalifah ketika adzan untuk shalat isya dikumandangkan, atau di satu tempat dekat Muzdalifah. Lalu dia memerintahkan seseorang, maka (orang itu pun) mengumandangkan adzan dan iqamat. Kemudian ia shalat maghrib dan shalat dua rakaat setelahnya. Setelah itu dia memanggil orang menghidangkan makan malam. Dia pun makan malam. Setelah itu dia memerintahkan seseorang yang nampaknya seorang laki-laki (dan orang itu pun) lalu mengumandangkan adzan dan iqamat. Amr berkata: aku tidak mengetahui keraguan itu kecuali dari Zuhair. Kemudian dia shalat isya dua rakaat. Ketika terbit fajar ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw. tidak shalat pada saat ini kecuali shalat ini, di tempat ini, dan di hari ini.” Abdullah berkata: “Keduanya adalah dua shalat yang diganti dari waktunya, yakni shalat maghrib setelah orang-orang datang di Muzdalifah, dan shalat fajar ketika fajar telah terbit.” Ia berkata: Aku melihat Nabi Saw. melakukannya.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Perbuatan tersebut -walaupun berasal dari sahabat yakni Abdullah bin Mas’ud- tetapi para sahabat yang bersamanya menyetujui apa yang dilakukannya itu, dan ini merupakan ijma dari mereka tentang bolehnya dua kali adzan. Terlebih lagi ada tambahan bahwa Abdullah bin Mas’ud telah melihat Nabi Saw. melakukannya.

Adapun dalil dari mereka yang membolehkan satu iqamat untuk dua shalat adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.:

“Bahwa dia melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. di Jama’ dengan satu kali iqamat.” (HR. an-Nasai, Bukhari, Abu Dawud dan Muslim)

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan redaksi:

“Bahwa Nabi Saw. menjamak shalat antara maghrib dan isya di Jama’. Beliau shalat maghrib tiga rakaat dan isya dua rakaat dengan satu iqamat.”

Ucapan di Jama’ artinya di Muzdalifah. Jama’ adalah salah satu nama dari Muzdalifah. Hadits ini walaupun shahih tetapi menyalahi hadits-hadits lain yang shahih dan jumlahnya lebih banyak, yang menunjukkan bahwa di Muzdalifah itu dikumandangkan dua iqamat. Peristiwa dalam hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, sehingga dalam hal ini harus dilakukan tarjih atas salah satunya. Dan saya merajihkan (menguatkan) hadits-hadits yang menyatakan dengan dua iqamat. Ibnu Umar sendiri telah meriwayatkan:

“Nabi Saw. menjamak antara maghrib dan isya di Jama', di mana untuk setiap shalat tersebut ada satu iqamat. Beliau tidak melakukan shalat nafilah di antara keduanya, dan tidak pada akhir setiap shalatnya.” (HR. Bukhari dan an-Nasai)

Riwayat ini menyalahi riwayat yang pertama tadi, dan menunjukkan disyariatkannya dua iqamat.

Jika si mushalli telah menyelesaikan dua shalat tersebut dalam waktu yang pertama dari keduanya kemudian ‘udzurnya hilang, seperti dia shalat jamak karena ada hujan, kemudian awan mulai sirna dan langit terang, maka shalatnya itu tetap sah dan jamaknya juga tetap sah, serta tidak perlu mengulangi lagi shalatnya (i’adah), asalkan shalatnya itu telah selesai dilaksanakan dan ‘udzurnya memang ada. Shalatnya tetap sah dan diterima, dan keabsahannya tidak dipengaruhi oleh hilangnya ‘udzur setelahnya.

Termasuk sunah dalam menjamak shalat karena adanya ‘udzur safar, di mana seorang musafir jika tiba waktu dhuhur -sebelum dia melanjutkan perjalanannya- dianjurkan dia menjamak shalat dhuhur dan ashar dengan jamak taqdim. Begitu juga terkait dengan shalat maghrib dan isya.
Apabila dia telah melakukan perjalanan kemudian tiba waktu shalat dhuhur, maka sunahnya adalah dia melanjutkan perjalanan hingga tiba waktu ashar, dan dia singgah di suatu tempat untuk melaksanakan dua shalat tersebut secara jamak ta’khir. Hal yang sama juga dilakukan terkait shalat maghrib dan isya. Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Nabi Saw. jika berada dalam perjalanan, lalu matahari tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau shalat dhuhur dan ashar seluruhnya. Dan jika beliau telah berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menjamak keduanya di awal waktu ashar. Dan beliau melakukan hal serupa untuk shalat maghrib dan isya.” (HR. at-Thabrani)

Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur Muadz bin Jabal.

Dari Anas ra.:

“Jika beliau (Saw.) bergegas dalam melakukan perjalanan, maka beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke awal waktu shalat ashar, dan menjamak di antara keduanya, dan mengakhirkan maghrib hingga menjamaknya dengan shalat isya ketika syafaq mulai hilang.” (HR. Muslim)

Seorang musafir bisa mengqashar shalat, sekaligus menjamak antara dua shalat, selama sifat musafir cocok dengannya, baik dia singgah di suatu tempat lalu bermukim di sana beberapa saat, atau dia berada di atas hewan tunggangan, mobil atau pesawatnya, baik mukimnya di perjalanan tersebut dalam jangka waktu lama atau sebentar. Rasulullah Saw. telah melakukan perjalanan ke Tabuk, dan bermukim di sana selama dua puluh hari. Di sana beliau mengqashar shalat. Abu Dawud telah menceritakan hal itu melalui Jabir. Rasulullah Saw. melakukan perjalanan ke Makkah, dan bermukim di sana selama sembilan belas hari dengan mengqashar shalat. Hal ini diceritakan oleh Bukhari dan Tirmidzi yang berasal dari hadits Ibnu Abbas. Dan tentu saja, jika shalatnya itu diqashar maka sekaligus juga telah dijamak. Dari Muadz bin Jabal ra.:

“Bahwa mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. pada Perang Tabuk, dan Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dan ashar; maghrib dan isya. Ia berkata: maka beliau Saw. mengakhirkan shalat pada suatu hari, kemudian keluar dan shalat dhuhur dan ashar seluruhnya, kemudian masuk dan keluar dan melaksanakan shalat maghrib dan isya seluruhnya...” (HR. Malik, al-Baihaqi, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah)

Arah istidlal hadits ini adalah bahwa Rasulullah Saw. bermukim dan singgah di Tabuk, dan beliau tidak berada di atas tunggangannya, tetapi beliau Saw. berada di kemahnya. Beliau keluar-masuk di dalamnya, walaupun begitu beliau Saw. tetap menjamak di antara dua shalat.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam