Resensi
Buku: Persepsi-persepsi Berbahaya untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan
Peradaban Barat
Judul
Asli: Mafahim Khathirah li Dharb al- Islam wa
Tarkiz al-Hadharah al-Gharbiyyah
Penulis:
Abdul Qadim Zallum
Dikeluarkan
oleh: Hizbut Tahrir
Penerbit
Pustaka Thariqul Izzah Jakarta
Cetakan I,
Nopember 1999
73 Halaman
“Kebenaran adalah kesalahan yang
dipropagandakan”, demikian sesumbar Adolf Hitler, Tokoh Nazi Jerman,
suatu ketika. Hitler tentu tidak sedang berseloroh. Ia bukan saja serius dengan
sesumbarnya, tetapi sekaligus sukses mempraktekkannya. Dengan ‘mesin’
propaganda, baik melalui berbagai media maupun tindakan langsung secara
konsisten dan berulang-ulang, Hitler mampu menyulap “kesalahan-kesalahan”-nya
—berupa sikap otoriter dan tindakan represif- menjadi sebuah “kebenaran”,
minimal di mata para pendukungnya.
Dalam kurun selanjutnya, Barat tampaknya paling menyadari efek
dahsyat dari propaganda ini. Dengan propaganda pula, Barat telah lama menebar
berbagai virus pemikiran ke Dunia Islam. Akibatnya, kaum Muslim bukan saja
termakan oleh propaganda pemikiran Barat sehingga memandang benar
kekeliruan-kekeliruan pemikiran mereka, tetapi sekaligus telah menjadi bagian
dari para propagandis pemikiran itu sendiri. Alih-alih mampu meng-counter berbagai serangan pemikiran Barat yang
beracun, kaum Muslim malah larut di dalamnya. Kenyataan demikian merupakan
akibat langsung dari tidak adanya kesadaran ideologis di dalam diri kaum Muslim
sehingga mereka tidak mampu, secara kritis, menyingkap hakikat bahaya pemikiran
Barat yang selama ini telah demikian mendominasi mereka.
Buku kecil ini tampaknya akan menjadi sebuah buku yang sangat
berharga bagi kaum Muslim di tengah langkanya buku-buku yang berusaha
membongkar berbagai kekeliruan pemikiran Barat yang demikian gencar
dipropagandakan. Secara cermat dan kritis, penulis buku ini mencoba membeberkan
borok-borok sebagian pemikiran Barat yang selama ini telah dianggap sebagai
kebenaran dan keniscayaan sejarah.
Ada lima jenis gagasan pemikiran Barat yang destruktif -baik hanya
sekadar sebagai sebuah stigma (noda) politik yang dilekatkan kepada kaum Muslim
ataupun agar dijadikan wacana yang mendominasi pemikiran mereka- yang dicoba
dikritisi di dalam buku ini. Kelima jenis pemikiran tersebut adalah terorisme,
dialog antar agama, sikap moderat, fundamentalisme, dan globalisasi.
Sebagai sebuah stigma politik, istilah terorisme yang dimunculkan
Barat -yang mereka definisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk melawan
kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis- lebih
merupakan bentuk arogansi mereka vis a vis
Dunia lslam. Penisbatan label terorisme adalah cara ampuh Barat, khususnya
Amerika, dalam membungkam berbagai gerakan Islam yang dianggap mengancam
kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karena itu, sebagaimana halnya HAM dan
demokrasi yang mereka gembar-gemborkan, istilah terorisme dilekatkan secara
sepihak dan cenderung mendua. Dalam konteks terorisme, buku ini bukan saja
mengungkap fakta tentang bagaimana sikap hipokrit Barat dan Amerika dalam
menyikapi berbagai tindakan kekerasan, tetapi juga memuat fakta keterlibatan
Barat dan Amerika yang justru mensponsori gerakan-gerakan terorisme dalam
rangka meraih target-target politik mereka.
Dalam wacana dialog antaragama, buku ini juga berhasil menyingkap
bahaya laten gagasan tersebut yang jarang sekali disadari oleh kebanyakan kaum
Muslim. Penyebabnya, bukan saja karena gagasan tersebut terkesan humanis dan
tampak mulia, tetapi juga karena ia dipandang sebagai cara ampuh untuk meredam
konflik antaragama -yang sebetulnya lebih sering dipicu oleh kalangan
non-Muslim- dan mengurangi jurang perbedaan di antara masing-masing agama.
Dengan itu, kaum Muslim digiring untuk menanggalkan keyakinan beragama yang
dipandang “kaku”, "eksklusif”, “puritan”, “sektarian”, dan “intoleran”
menuju cara beragama yang lebih “moderat”, “inklusif”, “terbuka”, “toleran”,
dan “non-sektarian.” Namun demikian, dialog antaragama sebetulnya lebih
merupakan cara Barat dan Amerika untuk mereduksi Islam sebagai sebuah ideologi
sehingga ia terlempar ke level yang paling rendah yakni sekadar agama ritual.
Dengan dialog antar-agama, Barat berupaya untuk mendudukkan Islam hanya sekadar
sebagai sebuah entitas yang disejajarkan dengan agama-agama lain. Artinya,
dialog antar-agama, sebagaimana diungkap buku ini, tidak lain merupakan cara
halus Barat dan Amerika untuk melakukan sekularisasi Islam dalam rangka
mengeliminasi sekaligus memandulkan kekuatan Islam dan kaum Muslim. Sebab,
sebagian besar kalangan Barat dan Amerika sendiri -sebagaimana
direpresentasikan antara lain oleh Samuel P. Huntington- pada dasarnya
menyadari sepenuhnya bahwa Islam, dari sisi manapun, bukan saja
bertolak-belakang secara diametral dengan peradaban mereka, tetapi juga
merupakan ancaman bagi eksistensi mereka.
Oleh karena itu, yang seharusnya terjadi dan dilakukan oleh kaum
Muslim bukanlah dialog antar-agama atau antar-peradaban, tetapi perang
antar-pemikiran dan antar-peradaban.
Sementara itu, sikap moderat atau jalan tengah yang juga
dipropagandakan oleh Barat dan Amerika, sesungguhnya merupakan gagasan absurd yang juga menyimpan racun yang
mematikan. Gagasan tersebut lebih merupakan strategi halus Barat dan Amerika
untuk meredam sikap “keras-kepala" kaum Muslim dalam penentangannya
terhadap Barat dan Amerika. Sebab, sikap moderat atau jalan tengah yang dipropagandakan
-yang merupakan jiwa dan sekaligus inti dari akidah kapitalisme-sekular- tidak
lain bertujuan agar kaum Muslim bersedia untuk menanggalkan dan sekaligus
meninggalkan aqidah siyasah (ideologi
politik) mereka. Dengan itu diharapkan, yang tersisa di tengah-tengah kaum
Muslim hanyalah Islam sebagai 'aqidah ruhiyah
(keyakinan spiritual) semata. Dari sinilah kemudian, kaum Muslim
“dibimbing" untuk melakukan reinterpretasi dan sekaligus rekonstruksi
terhadap berbagai fikih (pemahaman) Islam tradisional yang dianggap terlalu
“kaku" dan tidak sesuai dengan watak dunia modem.
Stigma lain yang dicoba dipropagandakan oleh Barat dan Amerika
adalah istilah fundamentalisme. Istilah tersebut bukan saia terkesan peyoratif
(miring), tetapi juga provokatif, la sengaia dipropagandakan untuk membentuk
opini internasional agar dunia seluruhnya, secara bersama-sama melawan berbagai
gerakan fundamentalis, khususnya gerakan Islam. Sebab, dalam pandangan mereka,
fundamentalisme adalah cermin dari watak keterbelakangan, anti-dialog, kaku,
kolot, anti-modernitas dan sekaligus anti-Barat.
Sedangkan dalam konteks globalisasi, target yang hendak dibidik
adalah bagaimana agar dunia global senantiasa berada dalam dominasi dan
hegemoni Barat sebagai pemegang kendali peradaban kapitalis-sekuler.
Walhasil, tidak berlebihan jika dikatakan buku kecil ini
sesungguhnya menyimpan energi besar bagi mereka yang senantiasa concern untuk tetap melibatkan diri dalam
kancah pergulatan pemikiran maupun perjuangan politik melawan hegemoni kaum
kafir imperialis Barat. Dengan itu, mereka tidak saja akan menyadari secara
kritis setiap propaganda pemikiran yang dilontarkan musuh-musuh tetapi juga
mampu melakukan counter yang seimbang
terhadap mereka. Dengan itu pula, kebenaran tidak akan lagi merupakan kesalahan
yang dipropagandakan. Kebenaran akan tetap merupakan kebenaran.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar