Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 13 Desember 2017

Peristiwa Dan Hasil Politik Perjanjian Hudaibiyah



e. Shulhu al-Hudaibiyyah (Penjanjian Damai Hudaibiyah)

1. Sebab-sebab Diadakannya Perjanjian ini

Telah sampai berita kepada Rasulullah Saw. bahwa persekutuan militer telah diadakan antara kaum kafir Quraisy di wilayah selatan Madinah al-Munawwarah dan Khaibar di wilayah utaranya. Tujuan dari diadakannya persekutuan ini adalah untuk menjadikan Negara Islam di Madinah al-Munawwarah berada di antara dua ujung catut (penjepit), kemudian secara bersamaan kedua kekuatan ujung catut menjepit (menyerang) Negara Islam di Madinah al-Munawwarah, sehingga berakhirlah keberadaan Islam di Madinah.
Setelah Rasulullah Saw. merasa tidak mampu menghancurkan persekutuan militer itu dengan konfrontasi bersenjata, Rasulullah Saw. berpikir untuk menghancurkannya melalui politik. Untuk itu, Rasulullah Saw. harus memperhatikan hal berikut:

Dalam pandangan bangsa Arab seluruhnya bahwa Ka’bah bukanlah milik kaum kafir Quraisy, tetapi ia merupakan peninggalan nenek moyang mereka, Ismail. Dengan demikian kaum kafir Quraisy tidak berhak sekehendaknya mencegah dan membolehkan siapa saja yang berkeinginan mengunjungi Ka’bah. Inilah kebenaran yang tidak diperselisihkan lagi di kalangan bangsa Arab dan di kalangan kaum kafir Quraisy itu sendiri. Sehingga izin mengunjungi Ka’bah termasuk hak yang dimiliki oleh Muhammad dan para sahabatnya. Rasulullah Saw. berpikir, jika beliau bertekad untuk melakukan kunjungan ini dan pergi menuju Ka'bah, maka tidak bisa tidak pasti menghadapi salah satu dari tiga kemungkinan:

Kemungkinan pertama: Kaum kafir Quraisy akan mencegah beliau dengan kekuatan agar beliau tidak memasuki Makkah dan tidak mengunjungi Ka’bah. Mengingat telah terjadi pertumpahan darah antara keduanya (kaum kafir Quraisy dan kaum Yahudi Khaibar) dengan pihak Rasulullah Saw. Akan tetapi, kaum kafir Quraisy sekali-kali tidak akan berani melakukan tindakan karena dua hal:
Pertama, tindakan seperti itu akan membangkitkan keturunan bangsa Arab untuk melawan kaum kafir Quraisy, sebab kaum kafir Quraisy telah menghalangi orang yang ingin mengagungkan Ka’bah yang mereka agungkan. Jika kaum kafir Quraisy berani melakukan tindakan ini, maka pasti menguntungkan Negara Islam, sebab barisan bangsa Arab yang memusuhi Negara Islam akan terpecah-belah. Sehingga untuk melakukan tindakan seperti itu kaum kafir Quraisy harus berpikir panjang terlebih dahulu.
Kedua, keberadaan Negara Islam di Jazirah Arab telah kuat, sehingga ditakuti oleh suku-suku bangsa Arab, sedang kaum kafir Quraisy tahu persis tentang kenyataan ini. Untuk itu, kaum kafir Quraisy sekali-kali tidak akan bertindak sembrono yang akan menyeretnya masuk ke dalam peperangan dengan Negara Islam.

Kemungkinan kedua: Kaum kafir Quraisy membolehkan Rasulullah dan para sahabatnya memasuki Makkah, namun harga diri dan kehormatan bangsa Arab pasti menolak hal itu, sebab bagaimana mungkin membiarkan sang pembunuh dengan bebas dan aman menginjakkan kakinya di wilayah orang yang dibunuhnya, apalagi memberinya perlindungan?! Atas dasar dugaan belaka bahwa kaum kafir Quraisy akan mengabaikan itu semua, dan membolehkan Muhammad dan para sahabatnya memasuki Makkah, namun siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (pembunuhan) ketika orang yang membunuh ayah dan saudaranya terlihat aman dan bebas melangkah di hadapannya?!
Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (pembunuhan), maka hal itu sekali-kali tidak akan menguntungkan kaum kafir Quraisy, sebab akan tersebar di antara bangsa Arab bahwa kaum kafir Quraisy membunuh di tanah haram orang yang datang untuk mengagungkan Ka’bah, sehingga itu akan menjadi isu yang dampak buruknya sangat besar bagi kaum kafir Quraisy.

Kemungkinan ketiga: Kaum kafir Quraisy akan menawarkan kepada Rasulullah Saw. untuk kembali dan tidak memasuki Makkah. Dalam kondisi yang demikian, beliau sekali-kali tidak akan kembali, kecuali dipenuhinya beberapa syarat yang beliau tentukan. Sedang kaum kafir Quraisy pasti setuju dengan apa yang diinginkan Rasulullah, sebab mereka khawatir dan tidak ingin terjadi salah satu dari dua kemungkinan di atas. Sehingga, apapun yang terjadi, yakni yang manapun dari ketiga kemungkinan itu yang terjadi, maka Negara Islamlah yang tetap diuntungkan jika dilihat dari sudut pandang politik.

2. Pergi Umrah

Untuk itu, Rasulullah Saw. mengumumkan bahwa beliau hendak pergi Umrah. Orang-orang pun berkumpul dan beliau pergi bersama mereka ke Hudaibiyyah. Sehingga terjadilah kemungkinan ketiga. Perjanjian genjatan senjata (damai) Hudaibiyyah yang diadakan antara kaum kafir Quraisy dan Negara Islam telah selesai, sedang bentuknya sudah dikenal dalam sirah (sejarah hidup Rasulullah saw). Sedang rinciannya adalah sebagai berikut:

Memasuki bulan Dzul Qa'dah -salah satu di antara al-asyhuru al-haram (bulan-bulan haram/ yang dimuliakan), di mana pada bulan-bulan ini bangsa Arab tidak melakukan peperangan. Rasulullah Saw. mengumumkan bahwa beliau hendak pergi ke Makkah untuk melakukan umrah dan untuk mengagungkan Ka’bah, kepergian beliau bukan untuk berperang, untuk itu beliau tidak membawa senjata. Orang-orang yang ada di sekitar beliau di antara orang-orang Arab Badui bersiap-siap untuk pergi bersama Rasulullah Saw. tanpa membedakan antara mereka yang muslim dan musyrik. Alasan membiarkan orang-orang musyrik pergi bersama Rasulullah Saw. tidak lain agar hal itu membantu beliau dalam melaksanakan rencananya. Banyak di antara bangsa Arab yang ketinggalan. Rasulullah Saw. pergi bersama kaum Muhajirin dan kaum Anshar serta orang-orang Arab yang menyusulnya.
Beliau membawa binatang korban, dan berihram untuk umrah, agar orang-orang aman dari peperangan, dan agar mereka tahu bahwa tujuan beliau pergi hanya semata-mata untuk mengunjungi Baitullah saja, dan untuk mengagungkannya. Rasulullah Saw. terus berjalan, sehingga ketika beliau berada di 'Usfan, beliau bertemu dengan Bisyir bin Sufyan al-Kalbiy. Bisyir berkata: “Wahai Rasulullah, kaum kafir Quraisy telah mendengar perjalananmu ini. Mereka telah pergi, untuk bekalnya, mereka membawa unta yang subur air susunya. Mereka telah berada di Dzu Thawa yang akan mengadakan perjanjian kepada Allah agar kamu tidak memasuki wilayah mereka selamanya. Itu, Khalid bin Walid memimpin pasukan berkuda mereka telah datang ke Karra’ al-Ghamim.
('Usfan adalah sumber mata air yang berada dua hari perjalanan dari Makkah. Dzu Thawa adalah tempat dekat Makkah. Karra’ al-Ghamim adalah lembah berada delapan mil di depan'Usfan.)
Rasulullah Saw. bersabda: “Alangkah celakanya kaum kafir Quraiys! Sungguh, peperangan telah membinasakannya. Kalau aku dan bangsa Arab yang lain sedang berkumpul, apa yang dapat mereka perbuat, jika mereka dapat mengalahkan aku, maka itulah yang mereka inginkan; dan jika Allah memenangkan aku atas mereka, maka mereka akan berbondong-bondong masuk Islam; jika mereka tidak melakukan, maka perangilah, meski mereka dalam kondisi kuat, apa yang menjadi pertimbangan kaum kafir Quraisy? Demi Allah, aku akan terus berjihad demi memperjuangkan agama yang karena agama itu aku diutus hingga Allah memenangkan agama itu atau hingga leherku ini yang terpisah.”

Statemen politik Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa analisa politik kami terhadap perjanjian gencatan senjata (damai) Hudaibiyyah adalah benar. Sungguh Rasulullah Saw. sebenarnya tidak bermaksud menunaikan haji, meski beliau kelihatannya hendak menunaikan haji, tujuan beliau sebenarnya tidak lain adalah untuk mendapatkan perjanjian gencatan senjata (damai) antara beliau dan kaum kafir Quraisy, sehingga dengan adanya perjanjian itu memungkinkan beliau melakukan gerakan secara militer dengan aman. Dan kami tidak meragukan lagi bahwa statemen politik ini benar-benar telah sampai pada kaum kafir Quraisy. Untuk itu, kaum kafir Quraisy berusaha melakukan genjatan senjata, sehingga secara riil genjatan senjata itu mulai dilakukan perundingannya.

Kemudian, Bisyir berkata: “Di antara seseorang yang pergi bersama kami mengetahui bahwa mereka menempuh jalan yang tidak biasa mereka lewati?” Tiba-tiba seseorang di antara Bani Aslam berkata: “Akulah orang yang mengetahui itu, wahai Rasulullah. Mereka menempuh jalan yang tidak rata, penuh bebatuan di antara bebukitan. Mereka menuju Hudaibiyyah.”
Setelah pasukan berkuda kaum musyrikin melihat bahwa kaum muslimin memutar balik arah perjalanannya, mereka cepat-cepat memberitahukan kaum kafir Quraisy tentang hal itu. Sedang Rasulullah Saw., maka setelah beliau sampai di Hudaibiyyah, beliau mengistirahatkan untanya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Cegahlah kaum kafir Quraisy dengan mencegah gajah dari Makkah. Saat ini kaum kafir Quraisy tidak mengundangku untuk suatu rencana, jika di tempat ini mereka meminta kepadaku mengadakan silaturrahmi, maka pasti aku memberikannya.” Kemudian beliau bersabda kepada mereka: “Turunlah kalian!” Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, apakah di lembah yang akan kami turuni itu ada airnya?” Lalu beliau mengeluarkan anak panah dari tabungnya, selanjutnya memberikan anak panah itu kepada seseorang di antara para sahabatnya. Sahabat itu turun dengan membawa anak panah itu ke dalam sumur di antara sumur-sumur itu, lalu ia menusukkan anak panah itu persis di tengah-tengah sumur, maka memancarlah air di sumur itu sehingga unta dan mereka yang ada semua puas minum, dan mereka juga mengambil air dari sumur itu untuk dijadikan bekal.

3. Utusan kedua belah pihak bergantian mengunjungi

Setelah Rasulullah Saw. merasa tenang, datang menemui beliau Badil bin Warqa' al-Khuza’iy dengan ditemani beberapa orang dari Khuza’ah. Mereka berbicara dengan Rasulullah dan menanyakan beliau tentang apa tujuan sebenarnya beliau datang.

Kemudian Rasulullah Saw. memberitahukan mereka bahwa beliau datang tidak untuk berperang, kedatangan beliau tidak lain kecuali untuk berkunjung ke Baitullah, dan mengagungkan kehormatannya. Lalu beliau berkata kepada mereka seperti yang beliau katakan kepada Bisyir bin Sufyan. Setelah mereka kembali kepada kaum kafir Quraisy, mereka berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, tangguh kalian telah tergesa-gesa dalam menyimpulkan tentang tujuan kedatangan Muhammad. Sesungguhnya Muhammad datang tidak untuk berperang, namun kedatangannya tidak lain kecuali untuk berkunjung ke Baitullah. Dengan demikian, kalian telah menuduh mereka, dan membicarakan mereka tentang sesuatu yang tidak mereka sukai.” Kaum kafir Quraisy berkata: “Jika kedatangan Muhammad tidak hendak berperang, maka demi Allah, selamanya Muhammad tidak akan memasuki Makkah tempat kami berada dengan kekerasan, dan dengan demikian bangsa Arab tidak lagi membicarakan tentang kami.”
Tuduhan kaum kafir Quraisy tidak lain karena kaum kafir Quraisy menyadari betul bahwa kematian adalah aib yang menguntungkan Rasulullah Saw., baik kematian itu di pihak orang muslim maupun di pihak orang musyrik, sebab hal itu sedikitpun tidak dapat disembunyikan di Makkah.

Kemudian kaum kafir Quraisy mengutus kepada Rasulullah Saw. Mukriz bin Hafsh bin al-Akhif. Ketika Rasulullah Saw. melihat Mukriz yang datang berikutnya, beliau bersabda: “Ini seorang pengkhianat.” Setelah Mukriz sampai pada Rasulullah dan berbicara kepada beliau, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya seperti yang beliau katakan kepada Badil dan teman-temannya. Mukriz kembali kepada kaum kafir Quraisy menyampaikan kepada mereka seperti yang disabdakan Rasulullah kepadanya.
Kemudian mereka mengutus lagi kepada Rasululah Saw. al-Hulais bin ‘Alqamah (Ibnu Zabban), ketika itu al-Hulais adalah pemimpin orang-orang Ahabisy. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau bersabda: “Sungguh orang ini termasuk di antara orang-orang yang rajin ibadah dan senantiasa mengagungkan Allah.” Lalu para sahabat melepaskan binatang-binatang korban di hadapan Hulais hingga ia melihatnya.
Setelah ia melihat binatang-binatang korban tersebut sedang berjalan-jalan mengelilingi lembah dengan tali pengikat di lehernya, bahkan bulu-bulu di lehernya banyak yang rontok karena jauhnya perjalanan dari tempat penyembelihan korban di tanah haram.
Hulais kembali kepada kaum kafir Quraisy, padahal ia belum sampai pada Rasulullah, karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Hulais mengatakan pengalamannya itu kepada kaum kafir Quraisy. Mereka berkata kepada Hulais: “Duduklah! Kamu ini orang Arab Badui yang tidak memiliki pengetahuan tentang itu.” Mendengar itu Hulais marah, dan berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, kami bersekutu mengadakan perjanjian dengan kalian bukan untuk itu. Apakah kalian akan mengusir dari Baitullah orang-orang yang datang dengan tujuan mengagungkannya. Demi Dzat yang jiwa Hulais ada dalam kekuasaannya, benar-benar lupakanlah Muhammad dan tujuan kedatangannya, atau aku dan orang-orang Ahabisy akan benar-benar pergi karena satu orang.” Kaum kafir Quraisy berkata: “Tunggu! Tahan wahai Hulais, sehingga kami mengambil keputusan yang kami meridhainya.”
Kemudian kaum kafir Quraisy mengutus lagi kepada Rasulullah Saw. ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. ‘Urwah pergi hingga akhirnya ia pun sampai pada Rasulullah Saw., lalu duduk di dekat Rasulullah Saw., kemudian berkata: “Wahai Muhammad, kamu telah mengumpulkan berbagai suku manusia, kamu mendatangkan mereka untuk menyerang kaum Quraisy!! Sungguh kaum Quraisy telah keluar, sebab mereka melihat adanya permusuhan kepadanya, dan mereka berjanji kepada Allah, bahwa mereka tidak akan membiarkan kamu selamanya memasuki Makkah tempat mereka berada dengan kekerasan.”

Rasulullah Saw. menegaskan kepada ‘Urwah bahwa kedatangannya tidak untuk melakukan peperangan, namun untuk menunaikan haji. Sebelum ia pergi meninggalkan Rasulullah Saw., ia melihat besarnya penghormatan dan kecintaan sahabat terhadap Rasulullah Saw. Setelah ia kembali kepada kaum kafir Quraisy, ia berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, aku telah mendatangi Kisra dalam kekuasaannya, Kaisar dalam kekuasaannya, dan an-Najasyi dalam kekuasaannya, namun demi Allah, aku belum pernah sama rekali melihat kekuasaan dalam suatu kaum seperti kekuasaan Muhammad terhadap para sahabatnya! Aku benar-benar telah menyaksikan suatu kaum yang tidak menyerahkan sesuatu apapun selamanya kecuali hanya kepadanya. Jika demikian, maka apa pendapat kalian.”
Kemudian Rasulullah Saw. memanggil Kharrasy bin Umayyah al-Khuza’iy, lalu beliau mengutusnya kepada kaum kafir Quraisy di Makkah dengan mengendarai unta milik beliau yang bernama “ats-Tsa’lab” untuk menyampaikan pesan beliau kepada para pembesar Quraisy tentang tujuan kedatangannya. Mereka menyembelih unta Rasulullah Saw. yang dibawanya, dan mereka juga hendak membunuhnya, namun orang-orang Ahabisy menyelamatkannya dan melindunginya, lalu menyuruhnya pergi, hingga akhirnya ia kembali kepada Rasulullah Saw.
Selanjutnya Rasulullah Saw. memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Makkah guna menyampaikan pesan beliau kepada para pembesar Quraisy tentang tujuan kedatangannya. Umar berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku mengkhawatirkan kaum kafir Quraisy akan berbuat jahat kepadaku, sebab di Makkah tidak ada di antara Bani Adi bin Ka'ab seseorang yang akan membelaku, padahal kaum kafir Quraisy tahu betul permusuhanku kepada mereka, dan kekasaranku atas mereka, namun aku tunjukkan kepadamu seseorang yang lebih layak untuk tugas ini daripada aku, yaitu Utsman bin ‘Affan.”

Usulan Umar kepada Rasulullah Saw. agar mengirim Utsman bin Affan, sebab Utsman bin Affan termasuk di antara Bani Umayyah, sedang kepemimpinan kaum kafir Quraisy diwakili oleh pribadi Abu Sufyan al-Umawy. Umar menilai bahwa Abu Sufyan sekali-kali tidak akan mencelakakan kerabatnya sendiri, Utsman. Sehingga ketika dalam menjalankan tugasnya dengan sendirinya Utsman akan mendapatkan perlindungan.
Rasulullah Saw. memanggil Utsman bin Affan, lalu beliau mengutusnya kepada Abu Sufyan dan para pembesar kaum kafir Quraisy yang lain guna memberitahu mereka bahwa kedatangan Rasulullah Saw. tidak untuk melakukan peperangan, namun kedatangannya tidak lain hanyalah untuk mengunjungi Baitullah saja dan untuk mengagungkan kehormatannya.
Utsman pergi ke Makkah. Ia bertemu dengan Aban bin Sa’id bin al-‘Ash ketika memasuki Makkah atau sebelumnya. Aban membawanya dan membantunya hingga Utsman dapat menyampaikan pesan Rasulullah Saw. Utsman pergi hingga ia bertemu Abu Sufyan dan pembesar-pembesar kaum kafir Quraisy yang lain. Kemudian Utsman menyampaikan kepada mereka pesan Rasulullah yang karenanya ia diutus.
Ketika Utsman telah selesai menyampaikan pesan Rasulullah Saw. kepada mereka, maka mereka berkata kepada Utsman: “Jika kamu ingin berthawaf di Baitullah, maka thawaflah.” Utsman berkata: “Aku tidak akan melakukannya sampai aku bisa berthawaf bersama Rasulullah Saw.” Kaum kafir Quraisy menahan Utsman, akhirnya sampai berita (yang keliru) kepada Rasulullah Saw. dan kaum muslimin bahwa Utsman bin Affan telah terbunuh.

4. Bai’atur Ridhwan

Setelah sampai berita kepada Rasulullah Saw. bahwa kaum kafir Quraisy telah membunuh Utsman bin Affan, Rasulullah Saw. sangat marah. Beliau bersabda: “Kami tidak akan berhenti memerangi mereka.” Rasulullah Saw. memanggil semua orang yang bersamanya agar berbai’at untuk mati. Beliau berdiri di bawah pohon, dan di bawah pohon inilah beliau mengambil bai'at untuk mati dari para sahabatnya ridhwanullahi ‘alaihim.
Orang-orang pun berbai’at kepada Rasulullah Saw., tidak seorangpun di antara kaum muslimin yang ada yang tidak turut berbai’at, kecuali al-Jad bin Qais, saudara Bani Salamah. Tentang al-Jad bin Qais ini, Jabir Abdullah berkata: “Demi Allah, sepertinya aku melihat al-Jad bin Qais menempel pada ketiak unta betinanya. Ia melakukan itu agar orang-orang tidak melihatnya.” Bai’at ini dinamakan dengan Bai’atur Ridhwan, karena firman Allah terkait dengan bai’at ini.

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon” (TQS. al-Fath [48]: 18)

Kemudian Rasulullah Saw. mengetahui bahwa berita yang didengarnya tentang Utsman ternyata tidak benar. Bagaimanapun juga bai'at yang telah dilakukan ini lebih membuat Rasulullah Saw. merasa puas, sebab para sahabat yang dipimpinnya benar-benar siap untuk membela Negara Islam dan melindungi akidah hingga titik darah penghabisan (mati). Mengingat inilah tujuan ketika membangun kesadaran politik. Sedang Rasulullah Saw. sangat ingin sekali sampai pada tujuan itu, dan sekarang tujuan beliau itu benar-benar telah tercapai.

5. Negosiasi-negosiasi untuk Perdamaian

Kemudian, kaum kafir Quraisy mengutus Suhail bin Amru, saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah Saw. Mereka berkata kepada Suhail: “Datanglah kepada Muhammad, lalu ajaklah ia berdamai, dalam mengajak berdamai kamu harus memintanya agar pada tahun ini ia pulang kembali meninggalkan kami, demi Allah, dengan demikian bangsa Arab tidak lagi membicarakan tentang kami bahwa selamanya Muhammad memasuki negeri kami dengan kekerasan.”
Suhail bin Amru mendatangi Rasulullah Saw., ketika Rasulullah Saw. melihat Suhail telah datang, beliau bersabda: “Kaum kafir Quraisy ingin berdamai ketika mereka mengutus orang ini.” Sabda Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau Saw. benar-benar menguasai karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat tiap-tiap pemimpin di antara para pemimpin musuh. Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah memberi kami pelajaran penting dalam melakukan diplomasi sehubungan dengan kepentingan negara. Setelah Suhail sampai pada Rasulullah Saw., ia berbicara. Suhail berbicara panjang, sehingga keduanya terlibat dalam pembicaraan, lalu keduanya sepakat tentang dasar-dasar perdamaian.

Ketika para sahabat melihat bahwa perdamaian telah disepakati oleh kedua negosiator tersebut, maka mereka merasa tidak puas dengan perdamaian ini, sebab dalam perdamaian ini mereka melihat adanya penghinaan dan pelecehan, sebab mengapa mereka harus kembali ke Madinah, padahal mereka belum menunaikan apa yang menjadi tujuan mereka pergi, yaitu mengagungkan Baitullah, sebab dalam pandangan mereka, kepergiannya bukan untuk tujuan politik, namun murni untuk urusan agama. Umar bin Khaththab melompat, lalu mendatangi Abu Bakar.

Umar berkata: “Wahai Abu Bakar, bukankah dia itu Rasulullah?” “Benar,” jawab Abu Bakar. Umar berkata: “Bukankah kami ini orang-orang Islam?” “Benar,” jawab Abu Bakar. Umar berkata: “Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?” “Benar,” jawab Abu Bakar. Umar berkata: “Jika demikian, maka atas dasar apa kami memberikan penghinaan terhadap agama kami?” Abu Bakar berkata: “Wahai Umar, taatilah perintah Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia itu Rasulullah.” Umar berkata: “Aku pun bersaksi bahwa dia itu Rasulullah.”
Kemudian, Umar bin Khaththab mendatangi Rasulullah Saw. Umar berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah anda ini Rasulullah?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Bukankah kami ini orang-orang Islam?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Jika demikian, maka atas dasar apa kami memberikan penghinaan terhadap agama kami?” Rasulullah Saw. bersabda: “Aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku sekali-kali tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia sekali-kali tidak akan mempersulit aku.” Lalu Umar berkata: “Aku akan senantiasa bershadaqah, berpuasa, mendirikan shalat, dan membebaskan dari apa yang telah aku perbuat, saat ini aku merasa takut dengan perkataanku yang telah aku katakan, sehingga yang aku harapkan sekarang hanyalah kebaikan.”

6. Teks Perjanjian

Kemudian Rasulullah Saw. memanggil Ali bin Abi Thalib ridhwanullah ‘alaihi. Beliau bersabda: “Tulislah Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim.” Suhail berkata: “Aku tidak mengenal kalimat ini, namun tulislah “Bismika Allahumma.” Lalu Ali pun menulisnya.
Kemudian beliau bersabda: “Tulislah ini teks perdamaian yang telah disepakati Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amru.” Suhail berkata: “Kalau aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah, niscaya aku tidak akan memerangi kamu, akan tetapi tulislah nama ibu dan ayahmu.” Rasulullah Saw. bersabda: “Tulislah “Ini teks perdamaian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amru.”
Keduanya sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun ((bukan 20 tahun)). Selama 10 tahun ini orang-orang akan merasa aman, sebab kedua belah pihak saling menghentikan peperangan. Siapa saja yang datang kepada Muhammad di antara kaum Quraisy tanpa mendapatkan izin dari walinya, maka ia harus dikembalikan kepada kaum Quraisy. Dan siapa saja yang datang kepada kaum Quraisy di antara pengikut Muhammad, maka ia tidak boleh dikembalikannya. Sesungguhnya di antara kami benar-benar ikhlas dan rela dengan perjanjian ini. Sehingga tidak akan ada lagi pencurian, penculikan, dan pengkhianatan. Siapa saja yang ingin bergabung ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan kaum Quraisy, maka bergabunglah.
Kemudian teks perjanjian ini diperlihatkan kepada kelompok di antara kaum muslimin dan kelompok di antara kaum musyrikin. Orang-orang Khuza'ah bergabung dengan Rasulullah, sedang Banu Bakar bergabung dengan kaum Quraisy.

7. Rasulullah Melaksanakan Kesepakatan, Sedang Abu Jandal Menolaknya

Ketika Rasulullah Saw. dan Suhail bin Amru sedang menulis surat perjanjian, tiba-tiba beliau didatangi Abu Jandal bin Suhail bin Amru yang berjalan pelan-pelan dengan berpegang pada besi. Ia datang untuk mengharap keselamatan (perlindungan) dari Rasulullah Saw. Sedang para sahabat Rasulullah Saw. benar-benar telah pergi (merasa kecewa), sebab mereka tidak melihat akan terjadinya penaklukan Makkah, seperti yang terlihat oleh Rasulullah Saw. Sehingga ketika mereka melihat dampak dari perdamaian, keharusan mengembalikan, dan beban yang harus dipikul oleh Rasulullah Saw. sendiri, maka para sahabat merasa mendapatkan ujian besar sehingga membuatnya hampir-hampir binasa.
Ketika Suhail melihat Abu Jandal, maka ia mendekatinya memukul wajahnya, dan memegang kerah bajunya. Kemudian Suhail berkata: “Wahai Muhammad, telah selesai kesepakatan atas suatu persoalan antara aku dan kamu sebelum orang ini datang kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda “Kamu benar.” Rasulullah Saw. mulai menarik Abu Jandal untuk dikembalikan kepada kaum kafir Quraisy. Abu Jandal mulai berteriak dengan suara sangat keras: “Wahai orang-orang Islam, apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksaku agar beralih agama?” Kenyataan itu membuat para sahabat bertambah marah yang sebelumnya mereka memang telah marah.
Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Abu Jandal, bersabar dan bertahanlah, sungguh Allah akan membuat kelapangan dan jalan keluar untuk kamu dan orang-orang yang bersamamu di antara orang-orang yang lemah. Sungguh kami telah mengadakan kesepakatan berdamai antara kami dan mereka. Kami akan memberi mereka berdasarkan kesepakatan itu, dan mereka akan memberi kami sumpah atas nama Allah. Sunggah kami tidak akan mengkhianati mereka.”
Umar bin Khaththab melompat menuju Abu Jandal yang sedang berjalan di dekatnya, dan berkata: “Bersabarlah, wahai Abu Jandal. Ingat! Mereka adalah orang-orang musyrik. Sungguh darah salah seorang dari mereka tidak lain adalah darah anjing.” Umar mendekatkan pegangan pedang kepadanya. Umar berkata: “Aku berharap dia mengambil pedang itu, lalu dengan pedang itu ia akan memenggal ayahnya!” Orang itu (Abu Jandal) tidak mau membunuh ayahnya, dan akhirnya urusan (kesepakatan) itu pun dilaksanakan.

8. Kembali ke Madinah

Setelah selesai membuat perjanjian berdamai, Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabatnya agar melakukan tahallul dari ihram mereka dengan mencukur rambutnya, dan menyembelih binatang korban mereka sebagai persiapan untuk kembali ke Madinah, namun para sahabat menunda melaksanakan perintah Rasulullah dengan harapan dalam penundaannya ini turun wahyu yang membatalkan perjanjian berdamai yang telah dilakukan oleh Rasulullah, sebab seperti yang kami sebutkan, para sahabat sangat tidak senang dengan perjanjian damai itu.
Rasulullah Saw. menjadi gelisah dengan kenyataan itu, lalu dengan perasaan berduka-cita beliau menemui istri beliau, dan menceritakan kepada istrinya tentang penundaan para sahabat dalam melaksanakan perintahnya. Rasulullah Saw. memberi isyarat yang akan memulai dahulu melakukan tahallul. Kemudian Rasulullah Saw. pergi, lalu mencukur rambutnya, dan menyembelih binatang korbannya. Ketika para sahabat melihat Rasulullah Saw. melakukan tahallul dari ihramnya, maka merekapun merasa yakin bahwa perjanjian damai yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itulah yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Kalau saja perkara itu tidak dicintai dan diridhai oleh Allah, niscaya turun wahyu yang meluruskan Rasulullah Saw. Untuk itu mereka mulai berebut melakukan tahallul dari ihram mereka dengan menyembelih binatang korban mereka dan mencukur rambut mereka. Setelah mereka selesai melakukan itu semua, maka merekapun segera kembali ke Madinah.
Dan di tengah perjalanan pulang menuju Madinah turunlah kepada Rasulullah Saw. firman Allah:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (TQS. al-Fath [48]: 1-2)

Kemudian Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (TQS. al-Fath [48]: 27)

Yang dimaksud dengan fathan qariba (kemenangan yang dekat) adalah perjanjian damai Hudaibiyyah.

9. Hasil-hasil secara politik dari perjanjian damai Hudaibiyyah

Allah Swt. mensifati perjanjian damai Hudaibiyyah dengan hasil-hasil yang gilang-gemilang untuk kebaikan kaum muslimin dengan al-fathu al-mubin (kemenangan yang nyata). Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”

Dan berikut ini hasil-hasil terpenting dari perjanjian damai Hudaibiyyah ini:

a. Sesungguhnya kaum kafir Quraisy yang sebelumnya menganggap Muhammad Saw. hanyalah seorang yang berada di luar undang-undang, adat istiadat, dan tradisi bangsa Arab, sedang Negara Islam di Madinah al-Munawwarah hanyalah kumpulan manusia yang menempati sebuah negeri tempat berlindungnya. Sehingga penandatangan kaum kafir Quraisy dan orang-orang Arab yang bergabung kepada kaum kafir Quraisy bersama Negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad Saw. terhadap perjanjanjian damai Hudaibiyyah merupakan pengakuan terhadap eksistensi Negara Islam ini, dan pengakuan kepada Muhammad Saw. sebagai kepala negaranya.

b. Hasil-hasil yang diperoleh dari perjanjian damai Hudaibiyyah adalah materi perjanjian tentang penghentian perang antara kaum kafir Quraisy dan Negara Islam. Sungguh materi ini memiliki arti yang sangat penting sekali, sebab materi ini telah memberi Negara Islam kebebasan melakukan gerakan politik dan militer tanpa ada kekhawatiran sedikitpun.
Tentang gerakan yang bersifat militer, maka terlihat jelas dalam dua hal: Pertama, Rasulullah Saw. mulai menyebar pasukannya ke berbagai tempat di seluruh penjuru jazirah Arab, (Lihat Lampiran 12, Mobilisasi pasukan Islam antara penaklukkan Khaibar sampai penaklukkan Makkah). Kedua, Negara Islam -setelah berhasil membekukan permusuhan kaum kafir Quraisy terhadap Negara Islam, dan amannya Negara Islam dari permusuhannya- mampu melakukan pembersihan terhadap institusi Yahudi Khaibar -seperti yang akan kami kemukakan- sebagai pelaksanaan atas rencana yang telah disusun oleh Rasulullah Saw. dalam rangka membersihkan musuh-musuh Negara Islam.
Adapun tentang gerakan yang sifatnya politik, maka terlihat jelas dengan dikirimnya beberapa utusan oleh Negara Islam kepada para penguasa di berbagai daerah untuk meminta mereka mengakui eksistensi Negara Islam, dan mengakui sistem yang dijalankannya.

c. Membangkitkan opini umum bangsa Arab untuk melawan kaum kafir Quraisy, karena mereka telah mencegah orang-orang mengunjungi dan mengagungkan Baitullah.

d. Adapun hasil-hasil yang diperoleh dari perjanjian damai Hudaibiyyah terkait syarat bahwa Negara Islam harus mengembalikan setiap orang Quraisy yang datang pada Negara Islam adalah terbentuknya kelompok orang-orang beriman yang dikembalikan oleh Rasulullah Saw. kepada mereka. Selanjutnya, kelompok ini akan tetap menunjukkan loyalitasnya terhadap Negara Islam di Madinah al-Munawwarah; kelompok ini akan menyerang kaum musyrikin, kafilah-kafilah mereka, dan para pedagang mereka, sedang Negara Islam tidak lagi bertanggung jawab atas apa yang dilakukan kelompok ini.
Kelompok ini terbentuk ketika Abu Bashir -salah seorang di antara orang-orang yang baru beriman- berhasil melarikan diri dari tempat penahanan, setelah membunuh salah seorang dari mereka. Abu Bashir tinggal di jalan antara Makkah dan Syam. Kemudian dia mulai diikuti oleh setiap orang-orang yang baru masuk Islam, yaitu mereka yang berhasil melarikan diri dari Makkah.
Sehingga akhirnya kelompok mereka -yang selanjutnya mendapat bantuan materi dan non-materi dari Negara Islam di Madinah al-Munawwarah- ini menjadi sumber kegelisahan dan kekacauan bagi kaum kafir Quraisy. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy terpaksa mengirim delegasi kepada Rasulullah Saw. -kepala Negara Islam- yang secara khusus meminta kesepakatan pembatalan materi dari perjanjian damai ini kepada Rasulullah Saw., sehingga orang-orang Islam yang datang kepada Rasulullah Saw. dari Makkah tidak perlu dikembalikan.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam