Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 11 November 2017

SAKIT DAN WAFATNYA RASULULLAH SAW


https://m.facebook.com/kepompong.edustore/photos/a.968677356521108.1073741829.874083975980447/1292021267520047/?type=3

BAB VII

SAKIT DAN WAFATNYA RASULULLAH SAW.

A. Mulai sakit

Ketika kaum muslimin sedang bersiap-siap untuk berangkat bersama Usamah bin Zaid menuju front peperangan melawan Romawi, Rasulullah Saw. jatuh sakit. Peristiwa itu terjadi pada akhir bulan Shafar atau awal bulan Rabi’ul Awal. Peristiwa itu diawali dengan perginya Rasulullah Saw. ke Baqi’ al-Gharqad pada waktu tengah malam, lalu beliau memintakan ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan di sana, kemudian beliau kembali ke rumahnya (Baqi’ al-Gharqad adalah pemakaman penduduk Madinah. Baqi’ al-Gharqad berada di dalam Madinah). Paginya, di hari itu juga, beliau mulai jatuh sakit.
Abu Muwaihibah, pelayan Rasulullah Saw. bercerita kepada kami bagaimana peristiwa itu terjadi. Abu Muwaihibah berkata, “Pada tengah malam, Rasulullah Saw. membangunkan aku.” Lalu, beliau bersabda, “Wahai Abu Muwaihibah, aka diperintahkan agar memintakan ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan di pemakaman Baqi'. Untuk itu, ikutlah denganku.” Setelah itu, aku pun pergi bersamanya. Ketika beliau telah berdiri di tengah-tengah mereka, beliau bersabda, “Assalamu 'Alaikum wahai para penghuni pemakaman ini. Hendaklah kalian senang dengan keberadaan kalian daripada keberadaan orang-orang (yang masih hidup). Sebab, berbagai fitnah telah datang, bagaikan potongan malam yang gelap gulita. Fitnah-fitnah itu datang silih berganti, fitnah pertama belum berakhir datang lagi fitnah yang baru, di mana keburukannya tidak kurang dari fitnah yang pertama.” Kemudian, beliau menghadap kepadaku, lalu bersabda, “Wahai Abu Muwaihibah, aku diberi kunci-kunci kekayaan dunia, kekal di dunia, lalu Surga. Kemudian, aku disuruh memilih antara semua itu dengan bertemu Tuhanku dan Surga.” Aku berkata, “Demi ayah dan ibumu, ambillah kunci-kunci kekayaan dunia, kekal di dunia, dan Surga.” Beliau bersabda, “Tidak, demi Allah, wahai Abu Muwaihibah, sungguh aku telah memilih bertemu Tuhanku dan Surga.” Kemudian, beliau memintakan ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan di pemakaman Baqi’. Setelah itu beliau kembali. Kemudian beliau mulai jatuh sakit yang dideritanya hingga beliau wafat.

B. Dirawat Di Rumah Aisyah

Ketika Rasulullah Saw. pulang dari pemakaman Baqi’, tiba-tiba beliau mendapati Aisyah menjerit karena kepalanya sakit. Aisyah berkata, “Aduh! Kepalaku rakit. Aduh! Kepalaku sakit!” Rasulullah Saw. bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, demi Allah, justru kepalakulah yang sakit.” Akan tetapi, meski beliau dalam kondisi sakit, namun hal itu tidak menghalangi beliau untuk tetap memenuhi hak-hak para istri beliau, yaitu bermalam di rumahnya.
Meski dalam kondisi sakit beliau tetap menggilir di antara rumah-rumah para istri beliau, sebab dalam kondisi apapun beliau tetap dituntut agar berlaku adil di antara mereka. Setelah sakitnya semakin parah, dan beliau sudah tidak kuat lagi untuk berpindah-pindah tempat, ketika itu beliau sedang berada di rumah Maimunah, maka beliau memanggil semua istrinya, lalu kepada mereka beliau meminta izin untuk dirawat di rumah Aisyah, mereka pun mengizinkannya.
Sikap beliau ini menunjukkan bahwa beliau tidak ingin menzalimi hak salah seorang istrinya, yaitu bermalam di rumahnya, meski ketika itu beliau dalam kondisi sulit, kecuali salah seorang istrinya itu mau melepaskan haknya dengan senang hati. Tindakan beliau ini mengandung makna yang sangat besar sekali, tentang komitmen beliau dalam memenuhi hak-hak orang lain.
Beliau pergi dengan berjalan kaki sambil dipapah dua orang di antara keluarganya. Kedua orang tersebut adalah Fadhl bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Beliau terus berjalan dengan kepala diikat dan kedua kakinya diseret hingga akhirnya beliau masuk ke dalam rumah Aisyah. Kemudian, beliau tidak sadarkan diri dan sakitnya semakin parah. Setelah itu beliau bersabda, “Siramlah kepalaku dengan tujuh kantong air dari sumur yang berbeda-beda agar aku dapat keluar menemui orang-orang, sehingga aku dapat memberi wasiat kepada mereka.”

Kemudian, beliau didudukkan di tempat air milik Hafshah bintu Umar bin Khaththab, lalu air pun dituangkan kepadanya hingga beliau bersabda, “Cukup-cukup.”

C. Wasiat Politik Beliau yang Terakhir

Kemudian, beliau keluar menemui orang-orang dengan kepala diikat, lalu beliau duduk di atas mimbar. Sedang ungkapan yang pertama kali terlontar dari beliau adalah do’a beliau terhadap para syuhada' perang Uhud. Beliau memintakan ampunan untuk mereka, dan banyak mendoakan mereka. Setelah itu beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah disuruh memilih antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya, ternyata hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah.” Sabda beliau ini dipahami oleh Abu Bakar, dan Abu Bakar mengerti bahwa yang dimaksud dengan hamba dalam sabda beliau itu adalah dirinya, lalu ia menangis. Abu Bakar berkata, “Kami akan menebusmu dengan jiwa kami dan anak-anak kami.” Rasulullah Saw. bersabda, “Pelan-pelan, wahai Abu Bakar.” Kemudian, beliau bersabda, “Lihatlah pintu-pintu menuju masjid ini, tutuplah pintu-pintu itu semuanya, kecuali pintu rumah Abu Bakar, sebab aku tidak mengetahui orang yang lebih baik persahabatannya denganku daripada Abu Bakar... Seandainya aku menjadikan di antara hamba-hamba itu seorang kekasih, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih, namun yang ada adalah persahabatan, persaudaraan, dan keimanan hingga Allah mengumpulkan aku dengannya.”

Rasulullah Saw. mendirikan shalat bersama kaum muslimin, lalu beliau memintakan ampunan untuk para syuhada’ perang Uhud, dan beliau menyebutkan kemuliaan mereka, serta karya besar mereka.

Setelah itu beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, aku ingin kalian berbuat baik kepada kaum Anshar. Sebab, manusia keadaannya terus bertambah, sedang kaum Anshar keadaannya tetap tidak bertambah. Sesungguhnya kaum Anshar adalah orang-orang dekatku di mana aku berlindung kepada mereka. Untuk itu, berbuat baiklah sebagai balasan atas kebaikan-kebaikan mereka, dan lupakanlah keburukan-keburukannya.” Ini adalah isyarat dari beliau bahwa pemimpin negara itu (setelah beliau wafat) berasal dari kaum Muhajirin bukan dari kaum Anshar. Kemudian, beliau masuk ke dalam rumahnya, dan sakitnya semakin parah, beliau tidak berbicara sedikitpun tentang urusan politik kecuali beliau bersabda, “Jangan biarkan di Jazirah Arab hidup dua agama.”

Dengan demikian, ini merupakan wasiat politik Rasulullah Saw. yang terakhir.

D. Perintah Rasulullah Saw. Agar Memberangkatkan Pasukan Usamah

Pasukan Usamah yang telah disiapkan oleh Rasulullah Saw. untuk memerangi Romawi -seperti yang telah kami bicarakan sebelumnya- persiapannya telah matang, namun kegelisahan tampak jelas di mata para sahabat senior, sebab bagaimana mereka akan berangkat, sedang Rasulullah berbaring sakit di tempat tidurnya.
Mayoritas mereka kelihatan berat sekali untuk pergi, sedang orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya justru menjadikan keadaan ini sebagai alasan untuk menyerang dan mempermasalahkan kepemimpinan Usamah, dan menunda keberangkatan diri mereka untuk berperang, dengan meragukan kapabilitas Usamah. Mereka mulai menyebarkan keraguan ini di tengah-tengah barisan kaum muslimin.
Akhirnya, isu yang mereka sebarkan itu sampai kepada Rasulullah Saw. Kemudian, beliau keluar menemui mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, sebab hanya Dia yang berhak dipuji dan disanjung. Setelah itu beliau bersabda, “Wahai manusia, laksanakan pengiriman pasukan Usamah. Aku bersumpah, jika kalian mempermasalahkan kepemimpinan Usamah, berarti kalian juga mempermasalahkan kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Sungguh, ia layak menerima kepemimpinan ini, sebagaimana ayahnya yang juga layak menerimanya.”
Kaum muslimin segera menyiapkan diri mereka untuk berperang setelah mereka mendengar apa yang didengarnya dari Rasulullah Saw. Sedang sakit Rasulullah Saw. semakin kritis. Usamah dan pasukannya pergi. Setelah mereka sampai di al-Jurf -yaitu tempat yang jaraknya dengan Madinah al-Munawwarah tidak lebih dari dua farsakh- Usamah membuat perkemahan di tempat ini. Orang-orang yang berangkat belakangan menyusul ke sana.
Sakit Rasulullah Saw. bukannya membaik malah bertambah kritis. Usamah dan pasukannya belum mau meneruskan perjalanan, mereka menunggu apa keputusan Allah terhadap Rasulullah Saw. Ketika sakit Rasulullah Saw. semakin dan semakin kritis, Usamah kembali ke Madinah al-Munawwarah, dan kaum muslimin juga kembali bersamanya. Usamah menemui Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. diam, tidak berkata-kata, beliau sudah tidak kuat lagi berbicara. Kemudian, beliau mengangkat tangannya ke langit, lalu meletakkannya pada Usamah sambil mendo’akannya.

E. Perintah Rasulullah Saw. Agar Abu Bakar Shalat Bersama Kaum Muslimin

Telah tiba waktu shalat, sedang Rasulullah Saw. berbaring sakit di tempat tidurnya, beliau sudah tidak mampu lagi berdiri untuk menjadi imam pada saat kaum muslimin mendirikan shalat. Bilal ra. menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, tiba waktunya shalat.” Rasulullah Saw. bersabda, “Suruhlah seseorang shalat bersama kaum muslimin.” Bilal keluar, ia melihat Umar ada bersama kaum muslimin, sedang Abu Bakar tidak kelihatan. Bilal berkata, “Wahai Umar, berdirilah, lalu shalatlah bersama kaum muslimin.” Lalu, Umar pun berdiri. Ketika Umar bertakbir, Rasulullah Saw. mendengar suara Umar -sedang Umar adalah orang yang bersuara tinggi. Rasulullah Saw. bersabda, “Mana Abu Bakar? Allah dan kaum muslimin tidak menghendaki ini semua. Allah dan kaum muslimin tidak menghendaki ini semua.” Lalu, Abu Bakar pun dicari. Setelah Umar selesai mendirikan shalat, Abu Bakar datang, kemudian ia shalat bersama kaum muslimin.

Dalam sabda Rasulullah Saw., “Allah Swt. dan kaum muslimin tidak menghendaki ini semua”, terdapat isyarat bahwa yang akan mengurusi urusan kaum muslimin dan yang akan menyatukan mereka setelah wafatnya Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dan sejak itulah Abu Bakar menjadi imam shalat kaum muslimin.
Pada hari Senin, yaitu hari di mana Rasulullah Saw. wafat, kondisi kesehatan beliau agak baik, sehingga beliau ingin bertemu para sahabatnya yang siap menukar nyawanya dengan nyawa beliau.
Beliau mendatangi mereka ketika mereka sedang shalat Shubuh. Beliau mengangkat tabir dan membuka pintu, lalu beliau berdiri di pintu rumah Aisyah. Ketika itu Abu Bakar sedang shalat bersama kaum muslimin. Melihat Rasulullah Saw. tampak sehat, kaum muslimin sangat gembira, bahkan hampir saja mereka membatalkan shalat mereka, namun Rasulullah Saw. memberi isyarat “Teruskan shalat kalian.” Rasulullah Saw. tersenyum sebagai bentuk kegembiraan ketika beliau melihat keberadaan kaum muslimin yang sedang shalat.
Anas bin Malik berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah yang keadaannya lebih baik daripada waktu itu.” Abu Bakar mundur dari tempat shalatnya untuk memberi jalan bagi Rasulullah agar beliau maju, lalu shalat bersama kaum muslimin, namun Rasulullah Saw. mendorong punggung Abu Bakar, dan berkata, “Shalatlah bersama kaum muslimin.” Rasulullah Saw. duduk di samping Abu Bakar, lalu beliau shalat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Setelah shalat, Rasulullah Saw. menghadap kaum muslimin, lalu beliau berbicara kepada mereka dengan suara tinggi hingga suaranya terdengar sampai ke luar masjid. Beliau bersabda, “Wahai manusia, api telah dikobarkan, berbagai fitnah telah berdatangan seperti potongan malam yang gelap gulita. Demi Allah, mereka tidak berpegang teguh dengan sesuatu apapun. Sungguh, aku tidak menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan al-Qur'an, dan aku tidak mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan al-Qur’an.”
Setelah itu, Rasulullah Saw. masuk ke dalam kamarnya, dan Ali bin Abi Thalib ikut masuk bersama beliau. Ali bin Abi Thalib hanya sebentar berada di dalam, lalu ia keluar menemui para sahabat yang berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Saw. Mereka berkata, “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah pagi ini?” Ali berkata, “Alhamdulillah, beliau pagi ini sehat.” Kaum muslimin pun pergi setelah mereka merasa puas dengan kondisi Rasulullah Saw. Mereka percaya bahwa Rasulullah Saw. benar-benar telah sembuh dari sakitnya.

F. Tidak Ada Penunjukkan Khalifah Sesudah Beliau

Abbas memegang tangan Ali, lalu berkata, “Wahai Ali, demi Allah, engkau adalah budak tongkat berdimensi tiga. Aku bersumpah demi Allah, sungguh aku telah melihat kematian di wajah Rasulullah Saw. seperti yang pernah aku lihat pada wajah Bani Abdul Muththalib. Mari kita menghadap Rasulullah Saw. Jika perkara ini (kepemimpinan setelah wafatnya beliau) berada di tangan kita, maka kita mengetahuinya, namun jika perkara ini diberikan kepada orang lain selain kita, maka kita minta beliau berwasiat untuk kita di hadapan manusia.” Ali berkata kepada Abbas, “Demi Allah, aku tidak mau melakukannya. Demi Allah, jika perkara ini tidak diberikan kepada kita, maka perkara tersebut juga tidak akan diberikan kepada siapapun sepeninggal beliau.” Perkataan Ali ini menunjukkan bahwa tidak ada penyerahan kekhilafahan kepada siapapun setelah beliau.

G. Wafatnya Rasulullah

Sayyidah Aisyah bercerita kepada kami tentang peristiwa wafatnya Rasulullah Saw. Aisyah berkata, “Pada hari itu, Rasulullah Saw. pulang ke rumahku setelah beliau masuk masjid, lalu beliau berbaring di pangkuanku. Setelah itu, masuklah Ali bersama seorang dari keluarga Abu Bakar yang membawa siwak berwarna hijau. Rasulullah Saw. memandangi siwak yang ada di tangan orang tersebut dengan pandangan yang menunjukkan bahwa beliau sangat menginginkannya. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar aku memberimu siwak ini?” Beliau bersabda, “Ya.” Lalu, aku ambil siwak tersebut, mengunyahnya hingga lembek, kemudian memberikannya kepada Rasulullah Saw. Setelah itu, beliau bersiwak dengan siwak tersebut, dan aku belum pernah melihat beliau bersiwak seperti ini sebelumnya. Kemudian beliau meletakkan siwak tersebut. Aku mendapati Rasulullah Saw. terasa berat di pangkuanku, lalu aku mulai memandangi wajahnya, tiba-tiba beliau mengangkat pandangannya, dan bersabda, “Ke tempat tertinggi di Surga.” Aku berkata, “Engkau disuruh memilih, lalu engkau pun memilih, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran.”
Kemudian, Rasulullah Saw. wafat pada waktu sore ((pendapat lain mengatakan pada waktu dhuha)), Senin, dua belas Rabi’ul Akhir, tahun kesebelas Hijriyah. Keluarga beliau menutup pintu hingga kaum muslimin berhasil menetapkan urusan kekhilafahan, dan mereka mengangkat orang yang akan mengganti beliau dalam mengurusi urusan dan kepemimpinan kaum muslimin.

Para sahabat Rasulullah Saw. merasa sangat sedih setelah mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah Saw. Bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak lagi menggunakan akal sehatnya. Ketika Umar mendengar berita bahwa Rasulullah Saw. telah wafat, Umar berdiri, lalu berkata, “Sesungguhnya orang-orang munafik mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah wafat. Padahal Rasulullah tidak wafat, namun beliau hanya pergi kepada Tuhannya, sebagaimana Musa bin Imran yang meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari, setelah itu Musa pun kembali kepada kaumnya, sesudah Musa dikatakan wafat. Demi Allah, Rasulullah Saw. akan kembali, sebagaimana Musa kembali. Sungguh, aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah wafat.”

Abu Bakar datang, kemudian ia berhenti di pintu masjid -ketika berita tentang wafatnya Rasulullah Saw. sampai kepadanya. Pada saat itu, Umar sedang berbicara di depan manusia. Abu Bakar tidak menoleh kepada sesuatu apapun, Abu Bakar segera masuk ke tempat Rasulullah Saw. di rumah Aisyah. Ketika itu wajah Rasulullah Saw. ditutupi dengan pakaian burdah buatan Yaman di sudut rumah. Abu Bakar mendekat pada Rasulullah Saw., membuka wajah beliau, dan menciumnya. Abu Bakar berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, kematian yang telah ditetapkan Allah kepadamu sekarang telah engkau rasakan, dan setelah kematian ini engkau tidak akan merasakannya lagi selamanya.” Kemudian Abu Bakar menutup kembali wajah beliau dengan pakaian burdah buatan Yaman tersebut.
Abu Bakar keluar, sedang Umar masih berbicara. Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, pelan-pelan, diam.” Umar menolak untuk diam. Ketika Abu Bakar melihat Umar tidak mau diam, Abu Bakar pun menghadap orang-orang. Ketika mereka mendengar ucapan Abu Bakar, mereka datang kepada Abu Bakar dan meninggalkan Umar sendirian. Abu Bakar memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu berkata, “Wahai manusia, siapa saja yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau sudah wafat, dan siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah itu hidup dan tidak akan mati.” Setelah itu beliau membaca firman Allah swt:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa saja yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (TQS. Ali Imran [3]: 144)

Demi Allah, sepertinya orang-orang tidah tahu kalau ayat di atas telah diturunkan, dan seolah-olah mereka baru mengetahuinya ketika dibacakan Abu Bakar. Orang-orang mengutip ayat tersebut dari Abu Bakar, dan lalu mereka mengucapkannya. Umar berkata, “Demi Allah, ketika Abu Bakar membaca ayat di atas aku kaget tidak tahu apa yang harus saya kerjakan, hingga akhirnya aku terjatuh sebab kedua kakiku sudah tidak mampu lagi menopang tubuhku. Ketika itulah, aku mulai menyadari Rasulullah Saw. telah wafat. ”

H. Pelantikan Khalifah Rasulullah Saw.

Setelah Rasulullah Saw. wafat, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah, mereka bermaksud menyerahkan kekhilafahan kepada pemimpin mereka, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sedang Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah Fatimah. Namun, sebagian kaum Muhajirin yang lain bergabung kepada Abu Bakar. Usaid bin Hudair dari Bani Abdul Asyhal turut bergabung dengan mereka.
Seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar, lalu ia berkata, “Sungguh kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka sepakat menyerahkan kekhilafahan kepada Sa'ad bin Ubadah. Jika kalian masih berkepentingan dengan urusan mereka, maka temuilah sebelum masalahnya menjadi lebih gawat lagi.” Umar berkata kepada Abu Bakar, “Ikutlah bersama kami menemui saudara kita kaum Anshar, sehingga diketahui dengan persis apa yang mereka inginkan.”
Abu Bakar, Umar, dan rombongan kaum Muhajirin mendatangi mereka. Ketika mereka telah duduk, maka berdirilah orator kaum Anshar. Lalu, ia memuji dan menyanjung Allah, sebab Dia yang layak untuk dipuji. Kemudian berkata, “Amma Ba’du. Kami penolong Allah, dan tentara Islam, sedang kalian, wahai kaum Muhajirin adalah keluaga besar kami. Kalian terusir dari kaum kalian. Sekarang enak saja mereka (kaum Muhajirin) hendak lepas dari kami (kaum Anshar) dan merampas masalah (kekuasaan) kami.” Sepertinya, orator kaum Anshar itu hendak mengatakan: bahwa kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah, dan di daerah mereka Negara Islam didirikan, serta dengan kekuatan mereka Negara Islam dilindungi. Sedang, kaum Muhajirin adalah kaum pendatang, maka secara otomatis yang menjadi pemimpin negara adalah orang yang berasal dari penduduk asli, bukan pendatang.

Abu Bakar berdiri, lalu menjawab apa yang dikemukan orator kaum Anshar, ia berkata, “Apa yang kalian sebutkan tentang kebaikan kalian, maka itu hak kalian. Semua orang-orang Arab tidak mengingkari hal ini kecuali golongan orang-orang Quraisy. Sebab, mereka mempunyai nasab dan keturunan terbaik di antara orang-orang Arab. Karena itu, apabila kalian rela untuk memilih, maka pilihlah salah satu di antara dua orang ini.” Abu Bakar mengambil tangan Umar bin Khaththab dan tangan Abu Ubaidah bin Jarrah yang duduk di antara keduanya.
Salah seorang dari kaum Anshar berkata, “Kamilah yang menjadi tenpat pelindungnya dan tempat melindungi kemuliaannya. Wahai orang-orang Quraisy, kami punya pemimpin dan kalian juga punya pemimpin.”

Suasana menjadi gaduh dan suara-suara terdengar semakin tinggi, sehingga dikhawatirkan perselisihan ini semakin menjadi-jadi. Tidak ada yang menyelamatkan kondisi ini, mengubur hidung syetan ke dalam tanah kecuali tingginya suara Umar bin Khaththab. Umar berkata, “Wahai Abu Bakar, ulurkan tanganmu.” Abu Bakar pun mengulurkan tangannya. Lalu Umar bin Khaththab membaiatnya, kaum Muhajirin pun membaiatnya, dan seluruh kaum Anshar juga turut membaiatnya.
Sungguh, pelaksanaan baiat ini dianggap sebagai pencalonan secara resmi oleh Ahlu al-Halli wa al-Aqdi (orang atau kelompok yang mampu mewakili aspirasi umat) dalam Negara Islam terhadap khalifah yang baru. Oleh karena itu, besoknya, Abu Bakar naik ke atas mimbar, lalu duduk di atasnya. Kemudian, Umar berdiri dan berbicara sebelum Abu Bakar sendiri berbicara. Umar bin Khaththab memuji Allah dan menyanjung-Nya, sebab Dia yang berhak dipuji, kemudian berkata, “Wahai manusia, sungguh aku kemarin telah berkata kepada kalian dengan ucapan yang tidak ada sebelumnya, dan tidak aku temukan dalam Kitabullah, serta bukan wasiat yang diwasiatkan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Namun, aku diberitahu bahwa Rasulullah Saw. akan mengatur segala urusan kita. Sesungguhnya Allah Swt. telah menyisakan kepada kalian Kitab-Nya yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada Rasul-Nya. jika kalian berpegang teguh kepada Kitabullah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada kalian sebagaimana dia memberi petunjuk Rasulullah Saw. Sesungguhnya Allah telah menyatukan urusan kalian kepada orang terbaik kalian, sahabat Rasulullah Saw., dan salah satu dari dua orang ketika keduanya berada di gua Hira. Oleh karena itu, berbaiatlah kalian kepadanya.”

Mengumumkan Landasan Politik

Kaum muslimin membaiat Abu Bakar dengan baiat yang sifatnya umum atas kekhilafahan setelah dibaiat Ahlu al-Halli wa al-Aqdi di Saqifah. Abu Bakar berdiri lalu mengumumkan lima dasar (landasan) untuk aktivitas politiknya ke depan. Lima dasar tersebut adalah:

  1. Memelihara syariat Allah dan mewujudkan kedaulatannya.
  2. Membangun oposisi yang konstruktif.
  3. Memperhatikan kaum lemah hingga kuat.
  4. Melakukan jihad fi sabilillah secara kontinyu.
  5. Memerangi ketidakadilan.

Abu Bakar menyebutkan lima dasar itu dalam khutbahnya.

Amma Ba'du. Wahai manusia, aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Untuk itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku berbuat salah, maka ingatkanlah aku. Jujur itu amanah, sedang dusta itu khianat. Orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya, insya Allah, dan orang kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan; tidaklah perbuatan zina meiyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Untuk itu, taatlah kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka bagi kalian tidak ada ketaatan kepadaku. Dirikanlah shalat kalian, semoga Allah merahmati kalian.”

Penyiapan Dan Pemakaman Rasulullah Saw.

Setelah Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, kaum muslimin menyiapkan jenazah Rasulullah Saw. pada hari Selasa. Rasulullah Saw. dimandikan dengan tidak dilepas pakaiannya. Sedang para sahabat yang memandikan jenazah Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syuqran mantan budak Rasulullah Saw.
Aus bin Khauli salah seorang dari Bani Auf dari Khazraj berkata kepada Ali, “Aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu, kami juga berhak terhadap Rasulullah Saw.” Aus bin Khauli adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. dan ikut serta ketika perang Badar. Ali berkata, “Silakan masuk.” Aus bin Khauli pun masuk, kemudian ia duduk dan ikut memandikan jenazah Rasululah Saw.
Ali bin Abi Thalib menyandarkan jenazah Rasulullah Saw. di dadanya, sedang Abbas bin Abdul Muththalib dan Fadhl bin Abbas membolak-balik jenazah Rasulullah Saw. Usamah bin Zaid dan Syuqran keduanya mantan budak Rasulullah saw, yang menyiramkan air, kemudian Ali bin Abi Thalib memandikan jenazah Rasululah Saw. yang telah disandarkan di dadanya. Ali bin Abi thalib memandikan Rasulullah dengan mengenakan semacam sarung tangan sehingga tangannya tidak menyentuh langsung jasad Rasulullah Saw. Ali bin Abu Thalib berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah Saw. betapa wanginya engkau semasa hidupmu dan ketika telah wafat.” Anehnya, apa-apa yang biasa terlihat pada jenazah umumnya, tidak terlihat ada pada jenazah Rasulullah Saw.

J. Pengkafanan Rasulullah Saw.

Setelah jenazah Rasulullah selesai dimandikan, beliau dikafani dengan tiga kain: dua kain Shuhari dan satunya kain burdah yang dilipat (Kain Shuhari dinisbatkan kepada Shuhar. Shuhar adalah daerah di antara daerah-daerah di Yaman. Dan ada yang mengatakan Amman). Setelah jenazah beliau dikafani, kaum muslimin berbeda pendapat tentang di mana beliau akan dimakamkan. Sebagian dari mereka berkata, “Kita makamkan saja beliau di masjid beliau.” Yang lain berkata, “Kita makamkan beliau bersama para sahabatnya.” Akhirnya, Abu Bakar mengakhiri perselisihan mereka dengan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang Nabi meninggal dunia, melainkan ia dimakamkan di tempat di mana ia meninggal dunia.”

Akhirnya semuanya sepakat untuk memakamkan beliau di rumah Aisyah, sebab di tempat inilah beliau meninggal dunia. Kemudian, diangkatlah ranjang Rasulullah Saw. yang di atas ranjang itu beliau meninggal dunia, lalu di bawah tempat ranjang beliau itu digali lubang kubur (untuk pemakaman beliau). Sedang yang menggali lubang kubur beliau adalah Abu Thalhah, dan dia juga yang menggali lubang lahadnya, yakni membuat galian lubang agak ke dalam di sisi lubang kubur, dan di situlah nanti Rasulullah Saw. diletakkan.
Ketika proses penyiapan jenazah beliau telah rampung pada hari Selasa, jenazah beliau diletakkan di atas ranjang di rumah beliau (rumah Aisyah) tempat beliau meninggal dunia. Setelah itu, kaum muslimin masuk menyalati Rasulullah Saw. secara bergelombang. Dalam pelaksanaan shalat mereka itu tidak ada satupun orang yang menjadi imam bagi kaum muslimin. Gelombang pertama yang menyalati beliau adalah kaum laki-laki, lalu disusul oleh gelombang kaum wanita, dan gelombang terakhir yang menyalati beliau adalah anak-anak. Mengingat yang menyalati beliau banyak sekali dan baru selesai setelah malam hari.

Akhirnya, beliau dimakamkan pada tengah malam, yakni pada malam Rabu. Para sahabat yang ikut turun ke dalam kuburan Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, dan Syuqran mantan budak Rasulullah Saw. Aus bin Khauli berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu, kami juga berhak terhadap Rasulullah Saw.” Ali berkata, “Silakan masuk.” Lalu ia pun turun bersama mereka. Syuqran, mantan budak beliau -ketika meletakkan Rasulullah Saw. dalam kuburnya- mengambil kain yang biasa dipakai dan digelar oleh beliau, kemudian Syuqran menguburnya bersama Rasulullah Saw. Syuqran berkata, “Demi Allah, kain tersebut tidak boleh dipakai siapapun untuk selama-lamanya.”

Semoga Allah memberkati engkau
Wahai pemimpinku
Wahai Rasulullah
Dan kami mengakhiri dakwah ini dengan ucapan
Segala puji hanya untuk Tuhan semesta alam.


(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam