BAB
VII
SAKIT DAN WAFATNYA RASULULLAH
SAW.
A. Mulai sakit
Ketika kaum muslimin
sedang bersiap-siap untuk berangkat bersama Usamah bin Zaid menuju front
peperangan melawan Romawi, Rasulullah Saw. jatuh sakit. Peristiwa itu terjadi
pada akhir bulan Shafar atau awal bulan Rabi’ul Awal. Peristiwa itu diawali
dengan perginya Rasulullah Saw. ke Baqi’ al-Gharqad pada waktu tengah malam,
lalu beliau memintakan ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan di sana,
kemudian beliau kembali ke rumahnya (Baqi’ al-Gharqad adalah pemakaman penduduk
Madinah. Baqi’ al-Gharqad berada di dalam Madinah). Paginya, di hari itu juga,
beliau mulai jatuh sakit.
Abu Muwaihibah,
pelayan Rasulullah Saw. bercerita kepada kami bagaimana peristiwa itu terjadi.
Abu Muwaihibah berkata, “Pada tengah malam, Rasulullah Saw. membangunkan aku.”
Lalu, beliau bersabda, “Wahai Abu Muwaihibah, aka diperintahkan agar memintakan
ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan di pemakaman Baqi'. Untuk itu,
ikutlah denganku.” Setelah itu, aku pun pergi bersamanya. Ketika beliau telah
berdiri di tengah-tengah mereka, beliau bersabda, “Assalamu 'Alaikum wahai para penghuni pemakaman ini. Hendaklah
kalian senang dengan keberadaan kalian daripada keberadaan orang-orang (yang
masih hidup). Sebab, berbagai fitnah telah datang, bagaikan potongan malam yang
gelap gulita. Fitnah-fitnah itu datang silih berganti, fitnah pertama belum
berakhir datang lagi fitnah yang baru, di mana keburukannya tidak kurang dari
fitnah yang pertama.” Kemudian, beliau menghadap kepadaku, lalu bersabda,
“Wahai Abu Muwaihibah, aku diberi kunci-kunci kekayaan dunia, kekal di dunia,
lalu Surga. Kemudian, aku disuruh memilih antara semua itu dengan bertemu
Tuhanku dan Surga.” Aku berkata, “Demi ayah dan ibumu, ambillah kunci-kunci
kekayaan dunia, kekal di dunia, dan Surga.” Beliau bersabda, “Tidak, demi
Allah, wahai Abu Muwaihibah, sungguh aku telah memilih bertemu Tuhanku dan
Surga.” Kemudian, beliau memintakan ampunan untuk orang-orang yang dimakamkan
di pemakaman Baqi’. Setelah itu beliau kembali. Kemudian beliau mulai jatuh
sakit yang dideritanya hingga beliau wafat.
B. Dirawat Di Rumah Aisyah
Ketika Rasulullah Saw.
pulang dari pemakaman Baqi’, tiba-tiba beliau mendapati Aisyah menjerit karena
kepalanya sakit. Aisyah berkata, “Aduh! Kepalaku rakit. Aduh! Kepalaku sakit!”
Rasulullah Saw. bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, demi Allah, justru
kepalakulah yang sakit.” Akan tetapi, meski beliau dalam kondisi sakit, namun
hal itu tidak menghalangi beliau untuk tetap memenuhi hak-hak para istri
beliau, yaitu bermalam di rumahnya.
Meski dalam kondisi
sakit beliau tetap menggilir di antara rumah-rumah para istri beliau, sebab
dalam kondisi apapun beliau tetap dituntut agar berlaku adil di antara mereka.
Setelah sakitnya semakin parah, dan beliau sudah tidak kuat lagi untuk berpindah-pindah
tempat, ketika itu beliau sedang berada di rumah Maimunah, maka beliau
memanggil semua istrinya, lalu kepada mereka beliau meminta izin untuk dirawat
di rumah Aisyah, mereka pun mengizinkannya.
Sikap beliau ini
menunjukkan bahwa beliau tidak ingin menzalimi
hak salah seorang istrinya, yaitu bermalam di rumahnya, meski ketika itu beliau
dalam kondisi sulit, kecuali salah seorang istrinya itu mau melepaskan haknya
dengan senang hati. Tindakan beliau ini mengandung makna yang sangat besar
sekali, tentang komitmen beliau dalam memenuhi hak-hak orang lain.
Beliau pergi dengan
berjalan kaki sambil dipapah dua orang di antara keluarganya. Kedua orang
tersebut adalah Fadhl bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Beliau terus berjalan
dengan kepala diikat dan kedua kakinya diseret hingga akhirnya beliau masuk ke
dalam rumah Aisyah. Kemudian, beliau tidak sadarkan diri dan sakitnya semakin
parah. Setelah itu beliau bersabda, “Siramlah kepalaku dengan tujuh kantong air
dari sumur yang berbeda-beda agar aku dapat keluar menemui orang-orang,
sehingga aku dapat memberi wasiat kepada mereka.”
Kemudian, beliau
didudukkan di tempat air milik Hafshah bintu Umar bin Khaththab, lalu air pun
dituangkan kepadanya hingga beliau bersabda, “Cukup-cukup.”
C. Wasiat Politik Beliau yang
Terakhir
Kemudian, beliau
keluar menemui orang-orang dengan kepala diikat, lalu beliau duduk di atas
mimbar. Sedang ungkapan yang pertama kali terlontar dari beliau adalah do’a
beliau terhadap para syuhada' perang Uhud. Beliau memintakan ampunan untuk
mereka, dan banyak mendoakan mereka. Setelah itu beliau bersabda, “Sesungguhnya
salah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah disuruh memilih antara dunia
dan apa yang ada di sisi-Nya, ternyata hamba tersebut memilih apa yang ada di
sisi Allah.” Sabda beliau ini dipahami oleh Abu Bakar, dan Abu Bakar mengerti
bahwa yang dimaksud dengan hamba dalam sabda beliau itu adalah dirinya, lalu ia
menangis. Abu Bakar berkata, “Kami akan menebusmu dengan jiwa kami dan
anak-anak kami.” Rasulullah Saw. bersabda, “Pelan-pelan, wahai Abu Bakar.”
Kemudian, beliau bersabda, “Lihatlah pintu-pintu menuju masjid ini, tutuplah
pintu-pintu itu semuanya, kecuali pintu rumah Abu Bakar, sebab aku tidak
mengetahui orang yang lebih baik persahabatannya denganku daripada Abu Bakar...
Seandainya aku menjadikan di antara hamba-hamba itu seorang kekasih, niscaya
aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih, namun yang ada adalah persahabatan,
persaudaraan, dan keimanan hingga Allah mengumpulkan aku dengannya.”
Rasulullah Saw.
mendirikan shalat bersama kaum muslimin, lalu beliau memintakan ampunan untuk
para syuhada’ perang Uhud, dan beliau menyebutkan kemuliaan mereka, serta karya
besar mereka.
Setelah itu beliau
bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, aku ingin kalian berbuat baik kepada kaum
Anshar. Sebab, manusia keadaannya terus bertambah, sedang kaum Anshar
keadaannya tetap tidak bertambah. Sesungguhnya kaum Anshar adalah orang-orang
dekatku di mana aku berlindung kepada mereka. Untuk itu, berbuat baiklah
sebagai balasan atas kebaikan-kebaikan mereka, dan lupakanlah
keburukan-keburukannya.” Ini adalah isyarat dari beliau bahwa pemimpin negara
itu (setelah beliau wafat) berasal dari kaum Muhajirin bukan dari kaum Anshar.
Kemudian, beliau masuk ke dalam rumahnya, dan sakitnya semakin parah, beliau
tidak berbicara sedikitpun tentang urusan politik kecuali beliau bersabda,
“Jangan biarkan di Jazirah Arab hidup dua agama.”
Dengan demikian, ini
merupakan wasiat politik Rasulullah Saw. yang terakhir.
D. Perintah Rasulullah Saw. Agar
Memberangkatkan Pasukan Usamah
Pasukan Usamah yang
telah disiapkan oleh Rasulullah Saw. untuk memerangi Romawi -seperti yang telah
kami bicarakan sebelumnya- persiapannya telah matang, namun kegelisahan tampak
jelas di mata para sahabat senior, sebab bagaimana mereka akan berangkat, sedang
Rasulullah berbaring sakit di tempat tidurnya.
Mayoritas mereka
kelihatan berat sekali untuk pergi, sedang orang-orang yang ada penyakit dalam
hatinya justru menjadikan keadaan ini sebagai alasan untuk menyerang dan
mempermasalahkan kepemimpinan Usamah, dan menunda keberangkatan diri mereka
untuk berperang, dengan meragukan kapabilitas Usamah. Mereka mulai menyebarkan
keraguan ini di tengah-tengah barisan kaum muslimin.
Akhirnya, isu yang
mereka sebarkan itu sampai kepada Rasulullah Saw. Kemudian, beliau keluar
menemui mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, sebab hanya Dia yang
berhak dipuji dan disanjung. Setelah itu beliau bersabda, “Wahai manusia,
laksanakan pengiriman pasukan Usamah. Aku bersumpah, jika kalian
mempermasalahkan kepemimpinan Usamah, berarti kalian juga mempermasalahkan
kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Sungguh, ia layak menerima kepemimpinan ini,
sebagaimana ayahnya yang juga layak menerimanya.”
Kaum muslimin segera
menyiapkan diri mereka untuk berperang setelah mereka mendengar apa yang
didengarnya dari Rasulullah Saw. Sedang sakit Rasulullah Saw. semakin kritis.
Usamah dan pasukannya pergi. Setelah mereka sampai di al-Jurf -yaitu tempat
yang jaraknya dengan Madinah al-Munawwarah tidak lebih dari dua farsakh- Usamah
membuat perkemahan di tempat ini. Orang-orang yang berangkat belakangan
menyusul ke sana.
Sakit Rasulullah Saw.
bukannya membaik malah bertambah kritis. Usamah dan pasukannya belum mau
meneruskan perjalanan, mereka menunggu apa keputusan Allah terhadap Rasulullah
Saw. Ketika sakit Rasulullah Saw. semakin dan semakin kritis, Usamah kembali ke
Madinah al-Munawwarah, dan kaum muslimin juga kembali bersamanya. Usamah
menemui Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. diam, tidak berkata-kata, beliau sudah
tidak kuat lagi berbicara. Kemudian, beliau mengangkat tangannya ke langit,
lalu meletakkannya pada Usamah sambil mendo’akannya.
E. Perintah Rasulullah Saw. Agar
Abu Bakar Shalat Bersama Kaum Muslimin
Telah tiba waktu
shalat, sedang Rasulullah Saw. berbaring sakit di tempat tidurnya, beliau sudah
tidak mampu lagi berdiri untuk menjadi imam pada saat kaum muslimin mendirikan
shalat. Bilal ra. menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, tiba
waktunya shalat.” Rasulullah Saw. bersabda, “Suruhlah seseorang shalat bersama
kaum muslimin.” Bilal keluar, ia melihat Umar ada bersama kaum muslimin, sedang
Abu Bakar tidak kelihatan. Bilal berkata, “Wahai Umar, berdirilah, lalu
shalatlah bersama kaum muslimin.” Lalu, Umar pun berdiri. Ketika Umar
bertakbir, Rasulullah Saw. mendengar suara Umar -sedang Umar adalah orang yang
bersuara tinggi. Rasulullah Saw. bersabda, “Mana Abu Bakar? Allah dan kaum
muslimin tidak menghendaki ini semua. Allah dan kaum muslimin tidak menghendaki
ini semua.” Lalu, Abu Bakar pun dicari. Setelah Umar selesai mendirikan shalat,
Abu Bakar datang, kemudian ia shalat bersama kaum muslimin.
Dalam sabda Rasulullah
Saw., “Allah Swt. dan kaum muslimin tidak menghendaki ini semua”, terdapat
isyarat bahwa yang akan mengurusi urusan kaum muslimin dan yang akan menyatukan
mereka setelah wafatnya Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dan
sejak itulah Abu Bakar menjadi imam shalat kaum muslimin.
Pada hari Senin, yaitu
hari di mana Rasulullah Saw. wafat, kondisi kesehatan beliau agak baik,
sehingga beliau ingin bertemu para sahabatnya yang siap menukar nyawanya dengan
nyawa beliau.
Beliau mendatangi
mereka ketika mereka sedang shalat Shubuh. Beliau mengangkat tabir dan membuka
pintu, lalu beliau berdiri di pintu rumah Aisyah. Ketika itu Abu Bakar sedang
shalat bersama kaum muslimin. Melihat Rasulullah Saw. tampak sehat, kaum muslimin
sangat gembira, bahkan hampir saja mereka membatalkan shalat mereka, namun
Rasulullah Saw. memberi isyarat “Teruskan shalat kalian.” Rasulullah Saw.
tersenyum sebagai bentuk kegembiraan ketika beliau melihat keberadaan kaum
muslimin yang sedang shalat.
Anas bin Malik
berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah yang keadaannya lebih baik
daripada waktu itu.” Abu Bakar mundur dari tempat shalatnya untuk memberi jalan
bagi Rasulullah agar beliau maju, lalu shalat bersama kaum muslimin, namun
Rasulullah Saw. mendorong punggung Abu Bakar, dan berkata, “Shalatlah bersama
kaum muslimin.” Rasulullah Saw. duduk di samping Abu Bakar, lalu beliau shalat
sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Setelah shalat,
Rasulullah Saw. menghadap kaum muslimin, lalu beliau berbicara kepada mereka
dengan suara tinggi hingga suaranya terdengar sampai ke luar masjid. Beliau
bersabda, “Wahai manusia, api telah dikobarkan, berbagai fitnah telah
berdatangan seperti potongan malam yang gelap gulita. Demi Allah, mereka tidak
berpegang teguh dengan sesuatu apapun. Sungguh, aku tidak menghalalkan sesuatu,
kecuali yang dihalalkan al-Qur'an, dan aku tidak mengharamkan sesuatu, kecuali
yang diharamkan al-Qur’an.”
Setelah itu,
Rasulullah Saw. masuk ke dalam kamarnya, dan Ali bin Abi Thalib ikut masuk
bersama beliau. Ali bin Abi Thalib hanya sebentar berada di dalam, lalu ia
keluar menemui para sahabat yang berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Saw.
Mereka berkata, “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah pagi ini?” Ali
berkata, “Alhamdulillah, beliau pagi ini
sehat.” Kaum muslimin pun pergi setelah mereka merasa puas dengan kondisi
Rasulullah Saw. Mereka percaya bahwa Rasulullah Saw. benar-benar telah sembuh
dari sakitnya.
F. Tidak Ada Penunjukkan
Khalifah Sesudah Beliau
Abbas memegang tangan
Ali, lalu berkata, “Wahai Ali, demi Allah, engkau adalah budak tongkat
berdimensi tiga. Aku bersumpah demi Allah, sungguh aku telah melihat kematian
di wajah Rasulullah Saw. seperti yang pernah aku lihat pada wajah Bani Abdul
Muththalib. Mari kita menghadap Rasulullah Saw. Jika perkara ini (kepemimpinan
setelah wafatnya beliau) berada di tangan kita, maka kita mengetahuinya, namun
jika perkara ini diberikan kepada orang lain selain kita, maka kita minta
beliau berwasiat untuk kita di hadapan manusia.” Ali berkata kepada Abbas,
“Demi Allah, aku tidak mau melakukannya. Demi Allah, jika perkara ini tidak
diberikan kepada kita, maka perkara tersebut juga tidak akan diberikan kepada
siapapun sepeninggal beliau.” Perkataan Ali ini menunjukkan bahwa tidak ada
penyerahan kekhilafahan kepada siapapun setelah beliau.
G. Wafatnya Rasulullah
Sayyidah Aisyah
bercerita kepada kami tentang peristiwa wafatnya Rasulullah Saw. Aisyah
berkata, “Pada hari itu, Rasulullah Saw. pulang ke rumahku setelah beliau masuk
masjid, lalu beliau berbaring di pangkuanku. Setelah itu, masuklah Ali bersama
seorang dari keluarga Abu Bakar yang membawa siwak berwarna hijau. Rasulullah
Saw. memandangi siwak yang ada di tangan orang tersebut dengan pandangan yang
menunjukkan bahwa beliau sangat menginginkannya. Aku bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau ingin agar aku memberimu siwak ini?” Beliau bersabda,
“Ya.” Lalu, aku ambil siwak tersebut, mengunyahnya hingga lembek, kemudian
memberikannya kepada Rasulullah Saw. Setelah itu, beliau bersiwak dengan siwak
tersebut, dan aku belum pernah melihat beliau bersiwak seperti ini sebelumnya.
Kemudian beliau meletakkan siwak tersebut. Aku mendapati Rasulullah Saw. terasa
berat di pangkuanku, lalu aku mulai memandangi wajahnya, tiba-tiba beliau
mengangkat pandangannya, dan bersabda, “Ke tempat tertinggi di Surga.” Aku berkata,
“Engkau disuruh memilih, lalu engkau pun memilih, demi Dzat yang mengutusmu
dengan membawa kebenaran.”
Kemudian, Rasulullah
Saw. wafat pada waktu sore ((pendapat lain mengatakan pada waktu dhuha)),
Senin, dua belas Rabi’ul Akhir, tahun kesebelas Hijriyah. Keluarga beliau
menutup pintu hingga kaum muslimin berhasil menetapkan urusan kekhilafahan, dan
mereka mengangkat orang yang akan mengganti beliau dalam mengurusi urusan dan
kepemimpinan kaum muslimin.
Para sahabat
Rasulullah Saw. merasa sangat sedih setelah mendengar berita tentang wafatnya
Rasulullah Saw. Bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak lagi menggunakan
akal sehatnya. Ketika Umar mendengar berita bahwa Rasulullah Saw. telah wafat,
Umar berdiri, lalu berkata, “Sesungguhnya orang-orang munafik mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. telah wafat. Padahal Rasulullah tidak wafat, namun beliau hanya
pergi kepada Tuhannya, sebagaimana Musa bin Imran yang meninggalkan kaumnya
selama empat puluh hari, setelah itu Musa pun kembali kepada kaumnya, sesudah
Musa dikatakan wafat. Demi Allah, Rasulullah Saw. akan kembali, sebagaimana
Musa kembali. Sungguh, aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah wafat.”
Abu Bakar datang,
kemudian ia berhenti di pintu masjid -ketika berita tentang wafatnya Rasulullah
Saw. sampai kepadanya. Pada saat itu, Umar sedang berbicara di depan manusia.
Abu Bakar tidak menoleh kepada sesuatu apapun, Abu Bakar segera masuk ke tempat
Rasulullah Saw. di rumah Aisyah. Ketika itu wajah Rasulullah Saw. ditutupi
dengan pakaian burdah buatan Yaman di sudut rumah. Abu Bakar mendekat pada
Rasulullah Saw., membuka wajah beliau, dan menciumnya. Abu Bakar berkata, “Ayah
dan ibuku sebagai tebusanmu, kematian yang telah ditetapkan Allah kepadamu
sekarang telah engkau rasakan, dan setelah kematian ini engkau tidak akan
merasakannya lagi selamanya.” Kemudian Abu Bakar menutup kembali wajah beliau
dengan pakaian burdah buatan Yaman tersebut.
Abu Bakar keluar,
sedang Umar masih berbicara. Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, pelan-pelan,
diam.” Umar menolak untuk diam. Ketika Abu Bakar melihat Umar tidak mau diam,
Abu Bakar pun menghadap orang-orang. Ketika mereka mendengar ucapan Abu Bakar,
mereka datang kepada Abu Bakar dan meninggalkan Umar sendirian. Abu Bakar
memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu berkata, “Wahai manusia, siapa saja yang
menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau sudah wafat, dan siapa saja yang
menyembah Allah, maka Allah itu hidup dan tidak akan mati.” Setelah itu beliau
membaca firman Allah swt:
“Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Siapa saja yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (TQS. Ali Imran [3]: 144)
Demi Allah, sepertinya
orang-orang tidah tahu kalau ayat di atas telah diturunkan, dan seolah-olah
mereka baru mengetahuinya ketika dibacakan Abu Bakar. Orang-orang mengutip ayat
tersebut dari Abu Bakar, dan lalu mereka mengucapkannya. Umar berkata, “Demi
Allah, ketika Abu Bakar membaca ayat di atas aku kaget tidak tahu apa yang
harus saya kerjakan, hingga akhirnya aku terjatuh sebab kedua kakiku sudah
tidak mampu lagi menopang tubuhku. Ketika itulah, aku mulai menyadari
Rasulullah Saw. telah wafat. ”
H. Pelantikan Khalifah
Rasulullah Saw.
Setelah Rasulullah
Saw. wafat, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah, mereka bermaksud
menyerahkan kekhilafahan kepada pemimpin mereka, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sedang
Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah
Fatimah. Namun, sebagian kaum Muhajirin yang lain bergabung kepada Abu Bakar.
Usaid bin Hudair dari Bani Abdul Asyhal turut bergabung dengan mereka.
Seseorang datang
kepada Abu Bakar dan Umar, lalu ia berkata, “Sungguh kaum Anshar telah
berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka sepakat menyerahkan kekhilafahan
kepada Sa'ad bin Ubadah. Jika kalian masih berkepentingan dengan urusan mereka,
maka temuilah sebelum masalahnya menjadi lebih gawat lagi.” Umar berkata kepada
Abu Bakar, “Ikutlah bersama kami menemui saudara kita kaum Anshar, sehingga
diketahui dengan persis apa yang mereka inginkan.”
Abu Bakar, Umar, dan
rombongan kaum Muhajirin mendatangi mereka. Ketika mereka telah duduk, maka
berdirilah orator kaum Anshar. Lalu, ia memuji dan menyanjung Allah, sebab Dia
yang layak untuk dipuji. Kemudian berkata, “Amma
Ba’du. Kami penolong Allah, dan tentara Islam, sedang kalian, wahai kaum
Muhajirin adalah keluaga besar kami. Kalian terusir dari kaum kalian. Sekarang
enak saja mereka (kaum Muhajirin) hendak lepas dari kami (kaum Anshar) dan
merampas masalah (kekuasaan) kami.” Sepertinya, orator kaum Anshar itu hendak
mengatakan: bahwa kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah, dan di daerah
mereka Negara Islam didirikan, serta dengan kekuatan mereka Negara Islam
dilindungi. Sedang, kaum Muhajirin adalah kaum pendatang, maka secara otomatis
yang menjadi pemimpin negara adalah orang yang berasal dari penduduk asli,
bukan pendatang.
Abu Bakar berdiri,
lalu menjawab apa yang dikemukan orator kaum Anshar, ia berkata, “Apa yang
kalian sebutkan tentang kebaikan kalian, maka itu hak kalian. Semua orang-orang
Arab tidak mengingkari hal ini kecuali golongan orang-orang Quraisy. Sebab,
mereka mempunyai nasab dan keturunan terbaik di antara orang-orang Arab. Karena
itu, apabila kalian rela untuk memilih, maka pilihlah salah satu di antara dua
orang ini.” Abu Bakar mengambil tangan Umar bin Khaththab dan tangan Abu
Ubaidah bin Jarrah yang duduk di antara keduanya.
Salah seorang dari
kaum Anshar berkata, “Kamilah yang menjadi tenpat pelindungnya dan tempat
melindungi kemuliaannya. Wahai orang-orang Quraisy, kami punya pemimpin dan
kalian juga punya pemimpin.”
Suasana menjadi gaduh
dan suara-suara terdengar semakin tinggi, sehingga dikhawatirkan perselisihan
ini semakin menjadi-jadi. Tidak ada yang menyelamatkan kondisi ini, mengubur
hidung syetan ke dalam tanah kecuali tingginya suara Umar bin Khaththab. Umar
berkata, “Wahai Abu Bakar, ulurkan tanganmu.” Abu Bakar pun mengulurkan
tangannya. Lalu Umar bin Khaththab membaiatnya, kaum Muhajirin pun membaiatnya,
dan seluruh kaum Anshar juga turut membaiatnya.
Sungguh, pelaksanaan
baiat ini dianggap sebagai pencalonan secara resmi oleh Ahlu al-Halli wa al-Aqdi (orang atau kelompok yang mampu
mewakili aspirasi umat) dalam Negara Islam terhadap khalifah yang baru. Oleh
karena itu, besoknya, Abu Bakar naik ke atas mimbar, lalu duduk di atasnya.
Kemudian, Umar berdiri dan berbicara sebelum Abu Bakar sendiri berbicara. Umar
bin Khaththab memuji Allah dan menyanjung-Nya, sebab Dia yang berhak dipuji,
kemudian berkata, “Wahai manusia, sungguh aku kemarin telah berkata kepada
kalian dengan ucapan yang tidak ada sebelumnya, dan tidak aku temukan dalam
Kitabullah, serta bukan wasiat yang diwasiatkan oleh Rasulullah Saw. kepadaku.
Namun, aku diberitahu bahwa Rasulullah Saw. akan mengatur segala urusan kita.
Sesungguhnya Allah Swt. telah menyisakan kepada kalian Kitab-Nya yang dengannya
Dia memberi petunjuk kepada Rasul-Nya. jika kalian berpegang teguh kepada
Kitabullah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada kalian sebagaimana dia
memberi petunjuk Rasulullah Saw. Sesungguhnya Allah telah menyatukan urusan
kalian kepada orang terbaik kalian, sahabat Rasulullah Saw., dan salah satu
dari dua orang ketika keduanya berada di gua Hira.
Oleh karena itu, berbaiatlah kalian kepadanya.”
Mengumumkan Landasan Politik
Kaum muslimin membaiat
Abu Bakar dengan baiat yang sifatnya umum atas kekhilafahan
setelah dibaiat Ahlu al-Halli wa al-Aqdi
di Saqifah. Abu Bakar berdiri lalu mengumumkan lima dasar (landasan) untuk
aktivitas politiknya ke depan. Lima dasar tersebut adalah:
- Memelihara syariat Allah dan mewujudkan kedaulatannya.
- Membangun oposisi yang konstruktif.
- Memperhatikan kaum lemah hingga kuat.
- Melakukan jihad fi sabilillah secara kontinyu.
- Memerangi ketidakadilan.
Abu Bakar menyebutkan
lima dasar itu dalam khutbahnya.
“Amma Ba'du. Wahai manusia, aku telah diserahi
kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang terbaik dari
kalian. Untuk itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku
berbuat salah, maka ingatkanlah aku. Jujur itu amanah, sedang dusta itu
khianat. Orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku
berikan haknya, insya Allah, dan orang
kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya
darinya, insya Allah. Tidaklah suatu
kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah menjadikan hidup mereka
hina dan dihinakan; tidaklah perbuatan zina meiyebar di suatu kaum, melainkan
Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Untuk itu, taatlah kalian
kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka bagi kalian tidak ada ketaatan kepadaku.
Dirikanlah shalat kalian, semoga Allah merahmati kalian.”
Penyiapan Dan Pemakaman
Rasulullah Saw.
Setelah Abu Bakar
dibaiat menjadi khalifah, kaum muslimin menyiapkan jenazah Rasulullah Saw. pada
hari Selasa. Rasulullah Saw. dimandikan dengan tidak dilepas pakaiannya. Sedang
para sahabat yang memandikan jenazah Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib,
Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid,
dan Syuqran mantan budak Rasulullah Saw.
Aus bin Khauli salah
seorang dari Bani Auf dari Khazraj berkata kepada Ali, “Aku bersumpah dengan
nama Allah kepadamu, kami juga berhak terhadap Rasulullah Saw.” Aus bin Khauli
adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. dan ikut serta ketika perang Badar.
Ali berkata, “Silakan masuk.” Aus bin Khauli pun masuk, kemudian ia duduk dan
ikut memandikan jenazah Rasululah Saw.
Ali bin Abi Thalib
menyandarkan jenazah Rasulullah Saw. di dadanya, sedang Abbas bin Abdul
Muththalib dan Fadhl bin Abbas membolak-balik jenazah Rasulullah Saw. Usamah
bin Zaid dan Syuqran keduanya mantan budak Rasulullah saw, yang menyiramkan
air, kemudian Ali bin Abi Thalib memandikan jenazah Rasululah Saw. yang telah
disandarkan di dadanya. Ali bin Abi thalib memandikan Rasulullah dengan
mengenakan semacam sarung tangan sehingga tangannya tidak menyentuh langsung
jasad Rasulullah Saw. Ali bin Abu Thalib berkata, “Ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu, wahai Rasulullah Saw. betapa wanginya engkau semasa hidupmu dan
ketika telah wafat.” Anehnya, apa-apa yang biasa terlihat pada jenazah umumnya,
tidak terlihat ada pada jenazah Rasulullah Saw.
J. Pengkafanan Rasulullah Saw.
Setelah jenazah
Rasulullah selesai dimandikan, beliau dikafani dengan tiga kain: dua kain
Shuhari dan satunya kain burdah yang dilipat (Kain Shuhari dinisbatkan kepada
Shuhar. Shuhar adalah daerah di antara daerah-daerah di Yaman. Dan ada yang
mengatakan Amman). Setelah jenazah beliau dikafani, kaum muslimin berbeda
pendapat tentang di mana beliau akan dimakamkan. Sebagian dari mereka berkata,
“Kita makamkan saja beliau di masjid beliau.” Yang lain berkata, “Kita makamkan
beliau bersama para sahabatnya.” Akhirnya, Abu Bakar mengakhiri perselisihan
mereka dengan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang Nabi
meninggal dunia, melainkan ia dimakamkan di tempat di mana ia meninggal dunia.”
Akhirnya semuanya
sepakat untuk memakamkan beliau di rumah Aisyah, sebab di tempat inilah beliau
meninggal dunia. Kemudian, diangkatlah ranjang Rasulullah Saw. yang di atas
ranjang itu beliau meninggal dunia, lalu di bawah tempat ranjang beliau itu
digali lubang kubur (untuk pemakaman beliau). Sedang yang menggali lubang kubur
beliau adalah Abu Thalhah, dan dia juga yang menggali lubang lahadnya, yakni
membuat galian lubang agak ke dalam di sisi lubang kubur, dan di situlah nanti
Rasulullah Saw. diletakkan.
Ketika proses
penyiapan jenazah beliau telah rampung pada hari Selasa, jenazah beliau
diletakkan di atas ranjang di rumah beliau (rumah Aisyah) tempat beliau
meninggal dunia. Setelah itu, kaum muslimin masuk menyalati Rasulullah Saw.
secara bergelombang. Dalam pelaksanaan shalat mereka itu tidak ada satupun
orang yang menjadi imam bagi kaum muslimin. Gelombang pertama yang menyalati
beliau adalah kaum laki-laki, lalu disusul oleh gelombang kaum wanita, dan
gelombang terakhir yang menyalati beliau adalah anak-anak. Mengingat yang
menyalati beliau banyak sekali dan baru selesai setelah malam hari.
Akhirnya, beliau
dimakamkan pada tengah malam, yakni pada malam Rabu. Para sahabat yang ikut
turun ke dalam kuburan Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl bin
Abbas, Qutsam bin Abbas, dan Syuqran mantan budak Rasulullah Saw. Aus bin
Khauli berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Aku bersumpah dengan nama Allah
kepadamu, kami juga berhak terhadap Rasulullah Saw.” Ali berkata, “Silakan
masuk.” Lalu ia pun turun bersama mereka. Syuqran, mantan budak beliau -ketika
meletakkan Rasulullah Saw. dalam kuburnya- mengambil kain yang biasa dipakai
dan digelar oleh beliau, kemudian Syuqran menguburnya bersama Rasulullah Saw.
Syuqran berkata, “Demi Allah, kain tersebut tidak boleh dipakai siapapun untuk
selama-lamanya.”
Semoga Allah
memberkati engkau
Wahai pemimpinku
Wahai Rasulullah
Dan kami mengakhiri
dakwah ini dengan ucapan
Segala puji hanya
untuk Tuhan semesta alam.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar