Waktu Sahur
Keempat imam dan para
ulama seluruhnya berpendapat bahwa waktu sahur berlangsung hingga terbit fajar Shadiq, atau katakanlah hingga muadzin
mengumandangkan adzan shalat Subuh. Hal ini diriwayatkan dari Umar bin
al-Khattab dan Ibnu Abbas ra. Dinukil dari al-A'masy dan Ishaq, yang
membolehkan makan dan minum hingga terbit matahari, tetapi an-Nawawi meragukan
penukilan ini.
Para ulama berpendapat
bahwa orang yang bersahur boleh meneruskan makan, minum bahkan jima’, selama
belum terbitnya fajar, dan keraguannya (as-syak) terhadap terbitnya fajar tidak
perlu menghalangi dirinya dari makan, minum dan jima'. Orang yang ragu boleh
melakukan semua itu hingga terbukti benar bahwa fajar telah terbit. Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt.:
“Hingga terang bagimu
benang putih.”
Ibnu al-Mundzir dalam
kitab al-Asyraf telah menyebutkan
kebolehan melakukan hal itu bagi orang yang ragu, sebagai riwayat dari Abu
Bakar as-Shidiq, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas ra., begitu juga dari Atha,
al-Auzai, ahlu ra'yi, Ahmad dan Abu
Tsaur.
Hanya Malik seorang
diri yang mengatakan bahwa orang yang ragu diharamkan untuk makan minum, dan ia
mewajibkannya untuk mengqadha. Pendapat
yang benar adalah yang dipegang oleh para imam dan ulama yang membolehkan
makan, minum dan jima', hingga benar-benar terbukti fajar itu telah terbit.
Pendapat Imam Malik dalam masalah ini adalah pendapat yang keliru. Hal ini
berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Allah Swt. berfirman:
“Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)
2. Dari Sahl bin Saad ra., ia berkata:
“Telah diturunkan [dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam], kemudian
turun pula [yakni fajar], adalah orang-orang ketika mereka akan berpuasa salah
seorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya, dan
dia terus saja makan hingga kedua benang itu nampak jelas terlihat olehnya.
Lalu Allah Swt. menurunkan firmannya setelah itu [yakni waktu fajar]. Setelah
itu orang-orang mengetahui bahwa maksudnya adalah malam dan siang.” (Riwayat
Bukhari [1917], Muslim, an-Nasai, al-Baihaqi dan Ibnu al-Mundzir)
3. Dari Adi bin Hatim ra., ia berkata:
“Ketika turun: Hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, aku mengambil benang yang
berwarna hitam dan benang yang berwarna putih, lalu aku tempatkan di bawah
bantalku. Ketika malam hari, aku melihat-lihat tetapi keduanya tidak terlihat
terang olehku. Pagi harinya aku berjalan menemui Rasulullah Saw., aku ceritakan
hal itu kepadanya. Kemudian beliau Saw. berkata: “Maksudnya adalah hitamnya
malam dan putihnya siang.” (HR. Bukhari [1916], Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan
at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)
Bukhari [451O]
meriwayatkan hadits dari jalur yang sama, dengan redaksi:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam itu, apakah
keduanya benar-benar tali? Beliau Saw. bersabda: “Sungguh besar tengkukmu jika
engkau harus melihat dua benang itu.” Kemudian beliau Saw. bersabda: “Bukan,
sebenarnya itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”
Juga ada hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari [4509] dari jalur yang sama:
“Kalau begitu, engkau
sangat dungu seandainya igal putih dan hitam itu engkau letakkan di bawah
bantalmu.”
4. Dari Abu Athiyah, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah, di antara kami ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw.,
salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain
mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur. Aisyah bertanya: Siapa di antara
keduanya itu yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur? Aku berkata:
Abdullah bin Mas'ud. Aisyah berkata: Begitulah yang biasa dilakukan oleh
Rasulullah Saw.” (HR. an-Nasai [2158] dan Ahmad)
5. Dari Aisyah ra.:
“Adalah Bilal
mengumandangkan adzan pada suatu malam, kemudian Rasulullah Saw. berkata:
“Makan dan minumlah, hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia
tidak akan beradzan hingga fajar telah terbit.” (HR. Bukhari [1918-1919],
Muslim, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Al-Bazzar meriwayatkan
hadits ini dari jalur Anas bin Malik.
Sedangkan Thabrani
meriwayatkan hadits yang sama dari jalur Sahl bin Saad.
6. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian mendengar adzan sedangkan wadah masih berada di tangannya, maka
janganlah ia letakkan wadah itu hingga ia selesai menunaikan kebutuhannya.”
(HR. Abu Dawud [2350], Ahmad, dan Daruquthni)
Al-Hakim meriwayatkan
dan menshahihkan hadits ini, ad-Dzahabi
pun mengakuinya.
7. Dari Amr bin Maimun:
“Adalah para sahabat
Muhammad Saw. merupakan orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan
paling mengakhirkan makan sahur.” (HR. al-Baihaqi [4/238], at-Thabrani dalam
kitab al-Mu’jam al-Kabir dan Ibnu Abi
Syaibah)
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih,
dan hadits ini telah kami cantumkan pada pembahasan sebelumnya.
8. Dari Abdullah bin Mas’ud ra., dari Nabi
Saw., beliau Saw. bersabda:
“Salah seorang dari
kalian tidak boleh terhenti dari sahurnya karena mendengar adzan Bilal, karena
Bilal itu mengumandangkan adzan atau menyerukan adzan di waktu malam agar orang
yang sedang melaksanakan qiyam di antara kalian segera pulang dan orang yang
masih tidur di antara kalian segera bangun, bukan untuk mengatakan tibanya
waktu shubuh. Dan beliau Saw. memberi isyarat dengan tangannya dan
mengangkatnya ke atas, lalu membungkukkannya ke bawah hingga berkata seperti
ini. Zuhair memberi isyarat dengan dua jari telunjuknya yang satu di atas yang
lain, kemudian dari sebelah kiri dan kanannya.” (HR. Bukhari [621], Muslim dan
Ahmad)
Liyarji'a qaa’imakum yakni: untuk memberi
waktu istirahat pada orang yang bertahajud sebelum melaksanakan shalat shubuh,
atau untuk memberi kesempatan bagi orang yang bertahajud yang ingin berpuasa
untuk makan sahur.
9. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Sesungguhnya kami para Nabi telah diperintahkan untuk menyegerakan
berbuka dan mengakhirkan sahur; dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan
kiri kami dalam shalat.” (HR. Abu Dawud at-Thayyalisi [2654] dan Thabrani dalam
alMu 'jam al-Ausath)
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih.
Hadits ini dishahihkan pula oleh Ibnu
Hibban. Kami telah mencantumkan hadits ini pada poin enam riwayat Thabrani
dalam pembahasan “Kapan Seseorang yang Berpuasa Boleh Berbuka.”
10. Dari Atha, ia berkata: Ibnu Abbas ra.
berkata:
“Allah menghalalkan
minum bagimu selama engkau ragu hingga engkau tidak ragu.” (Riwayat Abdurrazaq
[7367] dan al-Baihaqi dengan sanad shahih)
11. Dari Salim bin Ubaidillah, ia berkata:
“Aku berada di kamar
Abu Bakar as-Shiddiq, lalu pada satu malam dia shalat (begitu lama) dengan
kehendak Allah, kemudian dia berkata: Keluarlah dan lihatlah, apakah fajar
telah terbit! Dia berkata: Lalu aku keluar, dan kemudian aku kembali, dan aku
berkata: Warna putih di langit sudah tinggi. Lalu dia shalat dengan kehendak
Allah, kemudian dia berkata: Keluarlah dan lihatlah, apakah fajar telah terbit!
Lalu aku keluar, dan kemudian kembali serta berkata kepadanya bahwa warna merah
di langit telah melintang. Maka dia berkata: Sekarang kemarilah engkau, tolong
ambilkan hidangan sahurku.” (Riwayat Daruquthni [2/166])
Ia berkata: sanad
hadits ini shahih.
Daruquthni [2/166]
juga meriwayatkan sebuah hadits dari jalur yang sama dengan redaksi:
“Fajar melintang di
langit dan telah berwarna merah, maka dia berkata: Tolong ambilkan sekarang
minumanku.”
12. Dari Zirr:
“Kami bertanya kepada
Hudzaifah: Saat apakah kalian bersahur bersama Rasulullah Saw.? Dia berkata:
Yaitu waktu siang, tetapi mataharinya belum terbit.” (HR. an-Nasai [2152], Ibnu
Majah, Ahmad, at-Thahawi dan Abdurrazaq)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.
13. Dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Jangan sampai kalian terhenti dari sahur kalian karena (mendengar)
adzan Bilal, dan juga karena warna putih di ufuk memanjang seperti ini hingga
tersebar seperti ini.” Hammaal menceritakan hal itu sambil memberi isyarat
dengan kedua tangannya. Dia berkata yakni: dalam keadaan melintang.” (HR.
Muslim [2546], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)
14. Dari Anas ra.:
“Bahwa Zaid bin Tsabit
telah memberitahunya bahwa mereka bersahur bersama Nabi Saw., kemudian berdiri
untuk shalat. Aku bertanya: Berapa lama tempo di antara keduanya? Dia berkata:
Kira-kira lima puluh atau enam puluh, (yakni) ayat.” (HR. Bukhari [575], Muslim,
an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)
15. Dari Abu Dzar ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
berkata kepada Bilal: Engkau wahai Bilal, kumandangkan adzan jika subuh telah
bersinar di langit, walaupun itu bukanlah waktu subuh sebenarnya. Subuh itu
seperti ini, yakni dalam keadaan melintang. Kemudian beliau Saw. meminta
hidangan sahurnya, lalu beliau Saw. bersahur dan berkata: “Umatku senantiasa
dalam keadaan kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan
berbuka.” (HR. Ahmad [21839])
Dari nash-nash ini
bisa diambil pemahaman sebagai berikut:
1. Ayat dalam poin pertama menyebutkan “hattaa yatabayyana [hingga terang]”, kata ini
membantah pendapat Malik yang mengatakan bahwa orang yang bersahur harus
berhenti makan ketika dia ragu terhadap terbitnya fajar. Sesuatu yang terang
itu, jelas bertentangan dengan ragu.
Hadits Sahal bin Saad
pada poin 2 dan hadits Adi bin Hatim dengan beberapa riwayatnya dalam poin 3,
berfungsi menafsirkan atau menjelaskan ayat ini. Orang yang bersahur hendaknya
meneruskan makan sahurnya hingga hitamnya malam lenyap, dan diganti oleh putihnya
siang. Dan ketika itu tidak tersisa lagi keraguan, hendaknya dia menghentikan
makan dan minum
2. Sesungguhnya sunnah Nabi telah memutuskan
bahwa orang yang bersahur hendaknya mengakhirkan sahurnya hingga beberapa saat
sebelum terbitnya fajar, dalam arti hendaknya dia mengakhirkan (memulai) sahur
hingga sebelum terbitnya fajar, yakni hingga sebelum adzan subuh dikumandangkan
sekitar 1/4 jam atau kurang lebih sekitar itu, di mana dalam jangka waktu itu
dia hendaknya menyelesaikan makan minumnya, atau memberikan waktu yang cukup
bagi dirinya untuk makan sahur beberapa saat sebelum adzan fajar dikumandangkan,
tidak terburu-buru makan sahur 1 atau 2 jam sebelum adzan fajar diserukan,
sebagaimana dilakukan banyak orang di masa kita ini, di mana mereka begadang
dan begadang (tidak tidur malam), hingga ketika mereka lelah dan mengantuk
beberapa saat sebelum pertengahan malam atau setelahnya, mereka segera menuju
makanan mereka, lalu makan dan kemudian tidur. Perbuatan seperti ini banyak
dilakukan di zaman kita. Ini jelas menyalahi sunah, padahal Rasulullah Saw.
tegas-tegas menjadi teladan yang baik bagi kita, di mana beliau Saw.
mengakhirkan sahur, sebagaimana disebutkan dalam hadits poin 4 dan poin 9.
3. Sesungguhnya Bilal ra. beradzan ketika
cahaya bersinar di ufuk paling tinggi, yakni ketika fajar kadzib menyingsing,
atau ketika munculnya warna putih ke arah ufuk. Sedangkan Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan ketika warna putih telah tersebar dan memenuhi kedua
belah ufuk, yakni melintang ke kiri dan ke kanan, bukan bersinar ke bagian atas
saja, inilah fajar Shadiq. Petunjuk Nabi
Saw. telah diberikan, yakni agar kita meneruskan makan hingga tibanya adzan Ibnu Ummi Maktum, yakni
hingga dia mengumandangkan adzan shalat shubuh, bukan sebelumnya.
Saat ini kita
mengumandangkan dua adzan, yang pertama kita tidak melakukan shalat shubuh
setelahnya, dan yang kedua kita melaksanakan shalat shubuh setelahnya. Adzan
yang pertama ini semisal dengan adzan Bilal, dan adzan yang pertama ini tidak
menghentikan kita dari makan sahur yang kita lakukan, dan tidak ada adzan yang
bisa menghentikan kita selain adzan kedua, yaitu seperti adzan Ibnu Ummi
Maktum.
Mengingat tentang
waktu antara dua adzan ini sekitar sepuluh menit, maka seseorang yang sedang
bersahur mampu menyantap makanannya dalam waktu sepuluh menit, yakni antara dua
adzan ini. Inilah waktu yang paling utama untuk makan sahur, dan hal ini telah ditunjukkan
oleh hadits-hadits pada poin 5, 8, 13 dan 15. Meski demikian, tidak mengapa
menyelesaikan makan sahur beberapa menit sebelum itu, sebagaimana ditunjukkan
oleh hadits poin 14.
4. Saya katakan bagi orang yang takut
mengakhirkan waktu sahur: jika
dia mendengar adzan kedua, sedangkan di tangannya masih ada sesuap makanan atau
seteguk air minum, maka hendaklah dia memakannya atau meminumnya, karena adzan
ini tidak berarti menjadi batas untuk berhenti dari makan dan minum,
terlebih lagi ketika para muadzin itu bersegera melakukan adzan kedua sebagai
kehati-hatian, dan hal ini telah ditunjukkan dalam hadits poin 6.
5. Para sahabat Rasulullah Saw. suka
mengakhirkan sahur, sebagai sikap berpegang teguh pada perkara yang disunahkan,
dan dalam rangka mencari pahala. Tidak diketahui dari mereka ada cerita bahwa
mereka suka menyantap hidangan sahur ketika tengah malam, atau 1 dan 2 jam
setelah tengah malam sebagaimana yang dilakukan banyak orang di masa kita ini.
Apa yang dilakukan oleh para sahabat dengan mengakhirkan sahur hingga akhir
malam, itu tiada lain merupakan bentuk ketaatan mereka pada petunjuk Nabi Saw.
Hal ini ditunjukkan dalam beberapa atsar pada poin 7, 10 dan 11, bahkan atsar
poin 11 menunjukkan kesungguhan sahabat dalam mengakhirkan sahur.
Adapun hukum
mengakhirkan sahur itu sebagai mandub (sunah), tiada lain karena: pertama
dengan sebab keumuman dalil, kedua karena terdapat ucapan Rasulullah Saw. dalam
hadits poin 15:
“Umatku senantiasa
dalam keadaan kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan
berbuka.”
6. Tinggallah sekarang hadits poin 12. Hadits
ini tampak pada saya menjadi sandaran pendapat al-A’masy dan Ishaq: orang yang
bersahur hendaknya meneruskan makan dan minum hingga terbit matahari. Pendapat
yang benar adalah bahwa pemahaman terhadap nash hadits ini tidaklah seperti
itu. Bagi orang
yang meneliti hadits ini akan mendapati bahwa hadits ini selaras dan sesuai
dengan hadits-hadits lain, tidak bertentangan sama sekali dengan yang lain.
Hadits ini menyebutkan:
“Yaitu waktu siang,
tetapi matahari belum terbit.”
Kami telah mengatakan
berdasarkan hadits-hadits sebelumnya, bahwa ini menunjukkan kita disyariatkan
untuk melanjutkan makan dan minum hingga terbit warna putih siang hari, dan hal
ini telah disebutkan dalam hadits poin 3:
“Maksudnya adalah
hitamnya malam dan putihnya siang.”
Hadits poin 3 sangat
sesuai dengan hadits ini, dan tidak kontradiktif.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar