Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 09 November 2017

Waktu Sahur Hingga Terbit Fajar Shadiq



Waktu Sahur

Keempat imam dan para ulama seluruhnya berpendapat bahwa waktu sahur berlangsung hingga terbit fajar Shadiq, atau katakanlah hingga muadzin mengumandangkan adzan shalat Subuh. Hal ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab dan Ibnu Abbas ra. Dinukil dari al-A'masy dan Ishaq, yang membolehkan makan dan minum hingga terbit matahari, tetapi an-Nawawi meragukan penukilan ini.

Para ulama berpendapat bahwa orang yang bersahur boleh meneruskan makan, minum bahkan jima’, selama belum terbitnya fajar, dan keraguannya (as-syak) terhadap terbitnya fajar tidak perlu menghalangi dirinya dari makan, minum dan jima'. Orang yang ragu boleh melakukan semua itu hingga terbukti benar bahwa fajar telah terbit. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:

“Hingga terang bagimu benang putih.”

Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Asyraf telah menyebutkan kebolehan melakukan hal itu bagi orang yang ragu, sebagai riwayat dari Abu Bakar as-Shidiq, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas ra., begitu juga dari Atha, al-Auzai, ahlu ra'yi, Ahmad dan Abu Tsaur.

Hanya Malik seorang diri yang mengatakan bahwa orang yang ragu diharamkan untuk makan minum, dan ia mewajibkannya untuk mengqadha. Pendapat yang benar adalah yang dipegang oleh para imam dan ulama yang membolehkan makan, minum dan jima', hingga benar-benar terbukti fajar itu telah terbit. Pendapat Imam Malik dalam masalah ini adalah pendapat yang keliru. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:

1. Allah Swt. berfirman:

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)

2. Dari Sahl bin Saad ra., ia berkata:

“Telah diturunkan [dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam], kemudian turun pula [yakni fajar], adalah orang-orang ketika mereka akan berpuasa salah seorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya, dan dia terus saja makan hingga kedua benang itu nampak jelas terlihat olehnya. Lalu Allah Swt. menurunkan firmannya setelah itu [yakni waktu fajar]. Setelah itu orang-orang mengetahui bahwa maksudnya adalah malam dan siang.” (Riwayat Bukhari [1917], Muslim, an-Nasai, al-Baihaqi dan Ibnu al-Mundzir)

3. Dari Adi bin Hatim ra., ia berkata:

“Ketika turun: Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, aku mengambil benang yang berwarna hitam dan benang yang berwarna putih, lalu aku tempatkan di bawah bantalku. Ketika malam hari, aku melihat-lihat tetapi keduanya tidak terlihat terang olehku. Pagi harinya aku berjalan menemui Rasulullah Saw., aku ceritakan hal itu kepadanya. Kemudian beliau Saw. berkata: “Maksudnya adalah hitamnya malam dan putihnya siang.” (HR. Bukhari [1916], Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)

Bukhari [451O] meriwayatkan hadits dari jalur yang sama, dengan redaksi:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam itu, apakah keduanya benar-benar tali? Beliau Saw. bersabda: “Sungguh besar tengkukmu jika engkau harus melihat dua benang itu.” Kemudian beliau Saw. bersabda: “Bukan, sebenarnya itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”

Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari [4509] dari jalur yang sama:

“Kalau begitu, engkau sangat dungu seandainya igal putih dan hitam itu engkau letakkan di bawah bantalmu.”

4. Dari Abu Athiyah, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah, di antara kami ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw., salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur. Aisyah bertanya: Siapa di antara keduanya itu yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur? Aku berkata: Abdullah bin Mas'ud. Aisyah berkata: Begitulah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Saw.” (HR. an-Nasai [2158] dan Ahmad)

5. Dari Aisyah ra.:

“Adalah Bilal mengumandangkan adzan pada suatu malam, kemudian Rasulullah Saw. berkata: “Makan dan minumlah, hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak akan beradzan hingga fajar telah terbit.” (HR. Bukhari [1918-1919], Muslim, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dari jalur Anas bin Malik.

Sedangkan Thabrani meriwayatkan hadits yang sama dari jalur Sahl bin Saad.

6. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan sedangkan wadah masih berada di tangannya, maka janganlah ia letakkan wadah itu hingga ia selesai menunaikan kebutuhannya.” (HR. Abu Dawud [2350], Ahmad, dan Daruquthni)

Al-Hakim meriwayatkan dan menshahihkan hadits ini, ad-Dzahabi pun mengakuinya.

7. Dari Amr bin Maimun:

“Adalah para sahabat Muhammad Saw. merupakan orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling mengakhirkan makan sahur.” (HR. al-Baihaqi [4/238], at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan Ibnu Abi Syaibah)

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih, dan hadits ini telah kami cantumkan pada pembahasan sebelumnya.

8. Dari Abdullah bin Mas’ud ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Salah seorang dari kalian tidak boleh terhenti dari sahurnya karena mendengar adzan Bilal, karena Bilal itu mengumandangkan adzan atau menyerukan adzan di waktu malam agar orang yang sedang melaksanakan qiyam di antara kalian segera pulang dan orang yang masih tidur di antara kalian segera bangun, bukan untuk mengatakan tibanya waktu shubuh. Dan beliau Saw. memberi isyarat dengan tangannya dan mengangkatnya ke atas, lalu membungkukkannya ke bawah hingga berkata seperti ini. Zuhair memberi isyarat dengan dua jari telunjuknya yang satu di atas yang lain, kemudian dari sebelah kiri dan kanannya.” (HR. Bukhari [621], Muslim dan Ahmad)

Liyarji'a qaa’imakum yakni: untuk memberi waktu istirahat pada orang yang bertahajud sebelum melaksanakan shalat shubuh, atau untuk memberi kesempatan bagi orang yang bertahajud yang ingin berpuasa untuk makan sahur.

9. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya kami para Nabi telah diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur; dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami dalam shalat.” (HR. Abu Dawud at-Thayyalisi [2654] dan Thabrani dalam alMu 'jam al-Ausath)

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih. Hadits ini dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban. Kami telah mencantumkan hadits ini pada poin enam riwayat Thabrani dalam pembahasan “Kapan Seseorang yang Berpuasa Boleh Berbuka.”

10. Dari Atha, ia berkata: Ibnu Abbas ra. berkata:

“Allah menghalalkan minum bagimu selama engkau ragu hingga engkau tidak ragu.” (Riwayat Abdurrazaq [7367] dan al-Baihaqi dengan sanad shahih)

11. Dari Salim bin Ubaidillah, ia berkata:

“Aku berada di kamar Abu Bakar as-Shiddiq, lalu pada satu malam dia shalat (begitu lama) dengan kehendak Allah, kemudian dia berkata: Keluarlah dan lihatlah, apakah fajar telah terbit! Dia berkata: Lalu aku keluar, dan kemudian aku kembali, dan aku berkata: Warna putih di langit sudah tinggi. Lalu dia shalat dengan kehendak Allah, kemudian dia berkata: Keluarlah dan lihatlah, apakah fajar telah terbit! Lalu aku keluar, dan kemudian kembali serta berkata kepadanya bahwa warna merah di langit telah melintang. Maka dia berkata: Sekarang kemarilah engkau, tolong ambilkan hidangan sahurku.” (Riwayat Daruquthni [2/166])

Ia berkata: sanad hadits ini shahih.

Daruquthni [2/166] juga meriwayatkan sebuah hadits dari jalur yang sama dengan redaksi:

“Fajar melintang di langit dan telah berwarna merah, maka dia berkata: Tolong ambilkan sekarang minumanku.”

12. Dari Zirr:

“Kami bertanya kepada Hudzaifah: Saat apakah kalian bersahur bersama Rasulullah Saw.? Dia berkata: Yaitu waktu siang, tetapi mataharinya belum terbit.” (HR. an-Nasai [2152], Ibnu Majah, Ahmad, at-Thahawi dan Abdurrazaq)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.

13. Dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan sampai kalian terhenti dari sahur kalian karena (mendengar) adzan Bilal, dan juga karena warna putih di ufuk memanjang seperti ini hingga tersebar seperti ini.” Hammaal menceritakan hal itu sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya. Dia berkata yakni: dalam keadaan melintang.” (HR. Muslim [2546], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)

14. Dari Anas ra.:

“Bahwa Zaid bin Tsabit telah memberitahunya bahwa mereka bersahur bersama Nabi Saw., kemudian berdiri untuk shalat. Aku bertanya: Berapa lama tempo di antara keduanya? Dia berkata: Kira-kira lima puluh atau enam puluh, (yakni) ayat.” (HR. Bukhari [575], Muslim, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

15. Dari Abu Dzar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berkata kepada Bilal: Engkau wahai Bilal, kumandangkan adzan jika subuh telah bersinar di langit, walaupun itu bukanlah waktu subuh sebenarnya. Subuh itu seperti ini, yakni dalam keadaan melintang. Kemudian beliau Saw. meminta hidangan sahurnya, lalu beliau Saw. bersahur dan berkata: “Umatku senantiasa dalam keadaan kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.” (HR. Ahmad [21839])

Dari nash-nash ini bisa diambil pemahaman sebagai berikut:

1. Ayat dalam poin pertama menyebutkan “hattaa yatabayyana [hingga terang]”, kata ini membantah pendapat Malik yang mengatakan bahwa orang yang bersahur harus berhenti makan ketika dia ragu terhadap terbitnya fajar. Sesuatu yang terang itu, jelas bertentangan dengan ragu.
Hadits Sahal bin Saad pada poin 2 dan hadits Adi bin Hatim dengan beberapa riwayatnya dalam poin 3, berfungsi menafsirkan atau menjelaskan ayat ini. Orang yang bersahur hendaknya meneruskan makan sahurnya hingga hitamnya malam lenyap, dan diganti oleh putihnya siang. Dan ketika itu tidak tersisa lagi keraguan, hendaknya dia menghentikan makan dan minum

2. Sesungguhnya sunnah Nabi telah memutuskan bahwa orang yang bersahur hendaknya mengakhirkan sahurnya hingga beberapa saat sebelum terbitnya fajar, dalam arti hendaknya dia mengakhirkan (memulai) sahur hingga sebelum terbitnya fajar, yakni hingga sebelum adzan subuh dikumandangkan sekitar 1/4 jam atau kurang lebih sekitar itu, di mana dalam jangka waktu itu dia hendaknya menyelesaikan makan minumnya, atau memberikan waktu yang cukup bagi dirinya untuk makan sahur beberapa saat sebelum adzan fajar dikumandangkan, tidak terburu-buru makan sahur 1 atau 2 jam sebelum adzan fajar diserukan, sebagaimana dilakukan banyak orang di masa kita ini, di mana mereka begadang dan begadang (tidak tidur malam), hingga ketika mereka lelah dan mengantuk beberapa saat sebelum pertengahan malam atau setelahnya, mereka segera menuju makanan mereka, lalu makan dan kemudian tidur. Perbuatan seperti ini banyak dilakukan di zaman kita. Ini jelas menyalahi sunah, padahal Rasulullah Saw. tegas-tegas menjadi teladan yang baik bagi kita, di mana beliau Saw. mengakhirkan sahur, sebagaimana disebutkan dalam hadits poin 4 dan poin 9.

3. Sesungguhnya Bilal ra. beradzan ketika cahaya bersinar di ufuk paling tinggi, yakni ketika fajar kadzib menyingsing, atau ketika munculnya warna putih ke arah ufuk. Sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan ketika warna putih telah tersebar dan memenuhi kedua belah ufuk, yakni melintang ke kiri dan ke kanan, bukan bersinar ke bagian atas saja, inilah fajar Shadiq. Petunjuk Nabi Saw. telah diberikan, yakni agar kita meneruskan makan hingga tibanya adzan Ibnu Ummi Maktum, yakni hingga dia mengumandangkan adzan shalat shubuh, bukan sebelumnya.
Saat ini kita mengumandangkan dua adzan, yang pertama kita tidak melakukan shalat shubuh setelahnya, dan yang kedua kita melaksanakan shalat shubuh setelahnya. Adzan yang pertama ini semisal dengan adzan Bilal, dan adzan yang pertama ini tidak menghentikan kita dari makan sahur yang kita lakukan, dan tidak ada adzan yang bisa menghentikan kita selain adzan kedua, yaitu seperti adzan Ibnu Ummi Maktum.
Mengingat tentang waktu antara dua adzan ini sekitar sepuluh menit, maka seseorang yang sedang bersahur mampu menyantap makanannya dalam waktu sepuluh menit, yakni antara dua adzan ini. Inilah waktu yang paling utama untuk makan sahur, dan hal ini telah ditunjukkan oleh hadits-hadits pada poin 5, 8, 13 dan 15. Meski demikian, tidak mengapa menyelesaikan makan sahur beberapa menit sebelum itu, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits poin 14.

4. Saya katakan bagi orang yang takut mengakhirkan waktu sahur: jika dia mendengar adzan kedua, sedangkan di tangannya masih ada sesuap makanan atau seteguk air minum, maka hendaklah dia memakannya atau meminumnya, karena adzan ini tidak berarti menjadi batas untuk berhenti dari makan dan minum, terlebih lagi ketika para muadzin itu bersegera melakukan adzan kedua sebagai kehati-hatian, dan hal ini telah ditunjukkan dalam hadits poin 6.

5. Para sahabat Rasulullah Saw. suka mengakhirkan sahur, sebagai sikap berpegang teguh pada perkara yang disunahkan, dan dalam rangka mencari pahala. Tidak diketahui dari mereka ada cerita bahwa mereka suka menyantap hidangan sahur ketika tengah malam, atau 1 dan 2 jam setelah tengah malam sebagaimana yang dilakukan banyak orang di masa kita ini. Apa yang dilakukan oleh para sahabat dengan mengakhirkan sahur hingga akhir malam, itu tiada lain merupakan bentuk ketaatan mereka pada petunjuk Nabi Saw. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa atsar pada poin 7, 10 dan 11, bahkan atsar poin 11 menunjukkan kesungguhan sahabat dalam mengakhirkan sahur.
Adapun hukum mengakhirkan sahur itu sebagai mandub (sunah), tiada lain karena: pertama dengan sebab keumuman dalil, kedua karena terdapat ucapan Rasulullah Saw. dalam hadits poin 15:

“Umatku senantiasa dalam keadaan kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.”

6. Tinggallah sekarang hadits poin 12. Hadits ini tampak pada saya menjadi sandaran pendapat al-A’masy dan Ishaq: orang yang bersahur hendaknya meneruskan makan dan minum hingga terbit matahari. Pendapat yang benar adalah bahwa pemahaman terhadap nash hadits ini tidaklah seperti itu. Bagi orang yang meneliti hadits ini akan mendapati bahwa hadits ini selaras dan sesuai dengan hadits-hadits lain, tidak bertentangan sama sekali dengan yang lain. Hadits ini menyebutkan:

“Yaitu waktu siang, tetapi matahari belum terbit.”

Kami telah mengatakan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya, bahwa ini menunjukkan kita disyariatkan untuk melanjutkan makan dan minum hingga terbit warna putih siang hari, dan hal ini telah disebutkan dalam hadits poin 3:

“Maksudnya adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”

Hadits poin 3 sangat sesuai dengan hadits ini, dan tidak kontradiktif.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam