Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 15 November 2017

Penaklukan Institusi Politik Musyrik Hunain Oleh Negara Islam



Putaran Kedua: di Hunain

a. Sebab dilakukan (segera) dan persiapannya

Sesungguhnya kemenangan yang diraih kaum muslimin Makkah telah membangkitkan perasaan marah dan dendam bagi kabilah-kabilah bangsa Arab yang masih memiliki kekuatan yang berada di sekitar Makkah. Kabilah Hawazin yang berhasil membangkitkan semua bangsa Arab yang masih musyrik jadi penggerak utama untuk memerangi Negara Islam. Kabilah ini dipimpin oleh Malik bin Auf an-Nashri. Malik bin Auf an-Nashri ini mampu mengumpulkan kabilah-kabilah lain bergabung ke dalam kaumnya, seperti kabilah Hawazin, kabilah Tsaqif, kabilah Nashr, seluruh Bani Jusyam, Sa’ad bin Bakar, sedikit dari Bani Hilal.
Sedang dari kalangan kabilah Hawazin yang tidak ikut bergabung adalah Bani Ka'ab, dan Bani Kilab sehingga tidak seorangpun di antara orang-orang penting mereka yang turut bergabung.
Dari kalangan Bani Jusyam yang tidak ikut bergabung adalah Duraid bin Shimmah. Ia orang tua yang tidak memiliki apa-apa, namun pendapatnya brilian, ahli perang, dan berpengalaman.
Dari kabilah Tsaqif yang tidak ikut bergabung adalah dua orang pemimpin mereka.
Dari kabilah Akhlaf yang tidak ikut bergabung adalah Qarib bin Aswad Mas’ud bin Mu’attib.
Dan dari Bani Malik yang tidak ikut gabung adalah Dzu Khimar Sabi’ bin Harits bin Malik, dan saudaranya, Ahmar bin Harits.
Sedang kepemimpinan umum kelompok perlawanan ini dipegang oleh Malik bin Auf an-Nashri.

Ketika Malik bin Auf an-Nashri telah bulat tekadnya untuk berangkat menyerang Rasulullah Saw., ia tidak hanya berangkat bersama orang-orang, tetapi ia juga tidak lupa membawa harta bendanya, istri-istrinya, dan anak-anaknya.
Setelah ia tiba di Authas, orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf an-Nashri, termasuk di antaranya Duraid bin Shimmah, yang ketika itu berada dalam sekedup yang tidak beratap yang dibawanya. (Authas adalah lembah di daerah kekuasaan kabilah Hawazin yang terletak di antara Hunain dan Thaif)
Ketika Duraid bin Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, “Kalian berhenti di lembah apa?” Orang-orang menjawab, “Di lembah Authas.” Duraid bin Shimmah berkata, “Bagus! Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak sulit, tidak berkerikil dan tidak becek. Tapi, mengapa aku tidak mendengar suara unta menggeram, keledai meringkik, anak kecil menangis, dan kambing mengembek?” Orang-orang menjawab, “Malik bin Auf an-Nashri berangkat bersama orang-orang, tidak hanya itu, Malik bin Auf an-Nashri juga membawa harta bendanya, istri-istrinya, dan anak-anaknya.” Duraid bin Shimmah berkata, “Mana Malik?” Seorang berkata, “Ini Malik.”
Setelah Malik di depannya, Duraid bin Shimmah berkata, “Wahai Malik, engkau sekarang menjadi pemimpin kaummu. Sungguh, hari ini milikmu, namun hari-hari berikutnya tidak lagi. Tapi, mengapa aku tidak mendengar suara unta menggeram, keledai meringkik, anak kecil menangis dan kambing mengembek?” Malik bin Auf an-Nashri menjawab, “Aku berangkat bersama orang-orang, tidak hanya itu, aku juga membawa harta bendanya, istri-istri dan anak-anaknya.” Duraid bin Shimmah berkata, “Mengapa melakukan itu?” Malik bin Auf an-Nashri menjawab, “Aku ingin menempatkan di belakang setiap orang dari mereka istrinya dan harta bendanya agar ia turut berperang membantu mereka.”
Duraid bin Shimmah mencela tindakan Malik bin Auf an-Nashri ini, kemudian Duraid bin Shimmah berkata kepadanya, “Demi Allah, itu seperti penggembala kambing. Adakah sesuatu yang dapat menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika itu yang engkau lakukan, maka hal itu sama sekali tidak akan bermanfaat bagimu, kecuali setiap orang hanya disertai pedang dan tombaknya saja. Jika engkau tetap melakukan itu, maka tindakanmu itu justru merupakan pelecehan terhadap keluarga dan harta bendamu.”
Kemudian, Duraid bin Shimmah berkata lagi, “Apa yang dikenakan Bani Ka'ab dan Bani Kilab?” Orang-orang menjawab, “Tidak ada satupun dari mereka yang ikut serta.” Duraid bin Shimmah berkata, “Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika perang ini memberikan kejayaan dan kemuliaan, tentu tidak seorangpun dari Bani Ka’ab dan Bani Kilab yang akan absen. Sungguh, aku ingin kalian berbuat seperti Bani Ka'ab dan Bani Kilab. Siapa saja di antara kalian yang akan ikut serta?” Orang-orang menjawab, “Amr bin Amir dan Auf bin Amir.” Duraid bin Shimmah berkata, “Dua anak Amir tersebut tidak memiliki kemampuan berperang, sehingga keduanya tidak akan memberi manfaat dan madharat. Wahai Malik, engkau sedikitpun tidak mendekatkan para pemuda Hawazin ke dada kuda. Tempatkan keluarga dan harta mereka di tempat yang sulit dijangkau, namun mudah dipertahankan, baru kemudian hadapi ash-Shubbat dengan tetap berada di atas punggung kuda (Ash-Shubba’ bentuk jama' dari kata Shabi’ (orang murtad). Mereka menyebut kaum muslimin dengan sebutan orang murtad itu sebab kaum muslimin keluar dari agama paganisme kemudian masuk ke dalam Islam). Jika kemenangan ada di pihakmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika engkau kalah, aku akan menemuimu di tempat tersebut, dan dengan tindakanmu itu engkau sungguh telah melindungi keluarga dan harta bendamu.”
Malik bin Auf an-Nashri berkata, “Demi Allah, itu tidak akan aku lakukan. Wahai Duraid bin Shimmah, engkau sudah tua dan akalmu juga sudah pikun. Demi Allah, kalian harus taat kepadaku, wahai orang-orang Hawazin. Kalau tidak, maka aku akan bersandar di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku.”
Malik bin Auf an-Nashri tidak ingin Duraid bin Shimmah ikut andil dengan memberi nasehat, masukan, atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun berkata, “Kami taat kepadamu.”
Duraid Shimmah berkata:
Ini adalah hari di mana kehadiranku tidaklah berguna
Seandainya dalam perang ini aku seorang pemuda
Pasti aku segera menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang panjang rambutnya
Sepertinya ia adalah kambing muda

b. Persiapan Rasulullah Menghadapi Peperangan

Setelah Rasulullah Saw. mendengar rencana mereka, beliau mengutus Abdullah bin Abu Hadrad al-Aslami. Beliau memerintahkannya agar menyelinap ke tempat mereka, dan berada di tempat mereka untuk mengetahui seluk-beluk tentang mereka, kemudian pulang kembali kepada beliau dengan membawa informasi tentang mereka.
Abdullah bin Abu Hadrad berangkat, lalu ia menyelinap ke tempat mereka, dan berada di tempat mereka hingga ia mendengar dan mengetahui tentang apa yang telah mereka sepakati, yaitu memerangi Rasulullah Saw. Ia juga mendengar ucapan Malik bin Auf an-Nashri dan kondisi terakhir kabilah Hawazin, serta kesiapan mereka yang akan memerangi Rasulullah Saw. Setelah mendapat semua informasi itu, Abdullah bin Abu Hadrad pulang kembali menemui Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah Saw. memutuskan untuk berangkat ke tempat kabilah Hawazin untuk menghadapi mereka, beliau mendapat laporan bahwa Shafwan bin Umayyah mempunyai baju besi dan senjata perang. Untuk itu, beliau pergi kepada Shafwan bin Umayyah -yang ketika itu ia masih musyrik- dan beliau bersabda, “Wahai Abu Umayyah, pinjamkan senjatamu kepada kami untuk menghadapi musuh kami besok pagi.” Shafwan bin Umayyah berkata, “Wahai Muhammad, apakah ini perampasan?” Rasulullah Saw. bersabda, “Bukan, namun ini pinjaman dengan diberi jaminan, sampai senjata ini aku kembalikan lagi kepadamu.” Shafwan bin Umayyah berkata, “Kalau begitu, baiklah.” Lalu, Shafwan bin Umayyah memberikan seratus baju besi dan senjata perang yang cukup kepada Rasulullah Saw. Ini kedua kalinya Shafwan bin Umayyah membantu Rasulullah Saw. memerangi orang kafir dalam rangka menghabisinya. Sedang, pembicaraan tentang hal itu telah kami kemukakan.




d. Peristiwa-peristiwa setelah peperangan

1. Pasukan yang dipimpin Abu Amir al-Asy'ari di kirim ke Authas

Orang-orang yang melarikan diri dari medan perang Hunain sedang berkumpul di Authas. Untuk itu, Rasulullah Saw. mengirim pasukan yang dipimpin oleh Abu Amir al-Asy’ari untuk memerangi mereka. Abu Amir al-Asy’ari menjadi syahid dalam penyerangan ini. Setelah itu kepemimpinan diserahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, lalu Allah memenangkan Abu Musa al-Asy’ari atas mereka, dan akhirnya mereka melarikan diri ke Thaif.

2. Keputusan terhadap para tawanan

Para tawanan yang diikat itu dibawa kepada Rasulullah Saw., di antara mereka adalah “Bijad” salah seorang dari Bani Sa’ad bin Bakar. Rasulullah Saw. sebelumnya telah memerintahkan untuk mencari Bijad dan membawa kepada beliau. Sebab ia pernah ikut andil dalam menghasut orang-orang agar melawan Negara Islam.
Sedang harta rampasan perang yang lain dan para tawanan wanita dibawa ke Ji’irranah. Dan di antara para tawanan itu adalah “Syaima’ bintu Harits bin Abdul Uzza” yang tidak lain adalah saudara perempuan sesusuan Rasulullah Saw. Ketika ia dibawa ke hadapan Rasulullah Saw., ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah saudara perempuan sesusuanmu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Apa tanda untuk membuktikan ucapanmu itu?” Syaima' bintu Harits berkata, “Bekas gigitan. Engkau pernah menggigit punggungku ketika aku menggendongmu.” Rasulullah Saw. mengenal bukti itu. Kemudian beliau membentangkan kain selendangnya untuk Syaima’, lalu menyuruhnya duduk di atas kain selendang tersebut. Setelah itu, beliau memberi Syaima' pilihan, yaitu antara tinggal bersama beliau dengan dimuliakan, atau kembali kepada keluarganya. Syaima’ memilih kembali kepada keluarganya. Kemudian, Rasulullah Saw. menyiapkan keperluannya, dan mengembalikannya kepada keluarganya.

3. Pembagian Bonus (Rampasan Perang)

Rasulullah Saw. menyeru kepada pasukannya:
“Siapa saja yang membunuh seorang musuh, maka ia berhak atas harta apa saja yang ditemukan pada tubuhnya (salab).” Hal itu beliau lakukan sebagai bonus bagi mereka yang ikhlas dalam berjihad, ujian yang baik, dan pendorong agar mereka lebih berani menghadapi ujian dalam peperangan berikutnya.
Kemudian, Abu Qatadah mendekat kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku membunuh salah seorang musuh yang bersalah, kemudian perang membuatku menjauh darinya. Sehingga aku tidak tahu siapa yang mengambil salabnya.” Seorang di antara penduduk Makkah berkata, “Wahai Rasulullah, ia (Abu Qatadah) berkata benar, sedang salab orang yang ia bunuh ada padaku. Untuk itu, mohonkan kepadanya agar ia merelakan salab tersebut aku miliki.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata kepada orang Makkah tersebut, “Tidak, Allah tidak meridhai hal ini, sebab engkau sengaja mendekat kepada salah seorang singa Allah yang berperang karena Allah dengan tujuan bisa berbagi salab denganmu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Abu Bakar berkata benar. Aku ingin engkau mengembalikan salab tersebut kepada pemiliknya.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam