Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 09 September 2017

Dalil Istri Haid Haram Bersetubuh



2. Seorang suami haram menyetubuhi isterinya yang sedang haid, berbeda halnya jika isterinya sedang junub. Perkara ini pasti diketahui sebagai bagian dari agama (ma’lum min ad-diin bid-dharurah). Persetubuhan dengan wanita haid termasuk perkara yang dibenci oleh karakter yang sehat. Dalil keharamannya adalah firman Allah Swt.:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 222)

Ayat al-Qur’an ini memerintahkan untuk menjauhi wanita di waktu haid, maksudnya tidak menyetubuhi mereka hingga mereka suci dengan berhentinya darah, dan bersuci dengan cara mandi. Ketika kedua hal tersebut terpenuhi maka saat itu halal untuk disetubuhi. Dengan ijin Allah, penjelasan lebih rinci terkait dilalah ayat ini akan kami sampaikan sebentar lagi. Dalil yang lain adalah sabda Rasulullah Saw. yang telah kami sebutkan sebelumnya:

“Lakukanlah apapun kecuali bersetubuh.”

Hadits ini mengandung arti: janganlah menyetubuhi wanita yang sedang haid, dan lakukan apapun yang kalian inginkan, baik berupa ciuman, pelukan, ataupun cumbuan. Beberapa hadits berikut memperkuat pengertian tersebut:

1. Dari Ikrimah dari sebagian isteri Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. jika menginginkan sesuatu dari isterinya yang sedang haid, maka beliau Saw. memerintahkannya. Lalu sang isteri menempatkan kain di atas kemaluan isterinya, kemudian beliau Saw. melakukan apa yang diinginkannya.” (HR. al-Baihaqi dan Abu Dawud dengan sanad yang para perawinya terkategorikan tsiqah).

2. Dari Hakim bin ‘Iqal bahwasanya dia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin:

“Apa yang haram bagiku dari isteriku ketika dia sedang haid? Aisyah berkata: Kemaluannya.” (HR. al-Baihaqi)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Tarikh-nya dari jalur Masruq.

3. Dari Jumai’ bin ‘Umair, dia berkata:

“Aku menemui Aisyah bersama ibu dan bibiku, lalu kami bertanya kepadanya: Bagaimana yang Rasulullah Saw. lakukan ketika salah seorang dari engkau sekalian sedang haid? Aisyah berkata: Jika salah seorang dari kami sedang haid, beliau Saw. memerintahkan kami untuk mengenakan kain yang lebar, kemudian beliau Saw. mencumbu dada dan dua buah dadanya.” (HR. an-Nasai)

Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya menyetubuhi wanita yang sedang haid di kemaluannya, dan membolehkan mencumbunya di bagian manapun selain kemaluan secara mutlak. Tidak ada perbedaan, apakah bagian tersebut berada di atas ataukah di bawah pusar, dan juga tidak ada perbedaan apakah bagian tersebut berada di atas lutut ataukah di bawah lutut. Sang suami berhak menikmati seluruh bagian tubuh isterinya yang sedang haid, dengan pengecualian kemaluannya saja.

Terdapat masalah lain yakni Abu Hanifah berkata: “Ketika darah sudah berhenti karena darah haid yang terlalu banyak, maka wanita tersebut halal disetubuhi. Jika belum berhenti maka belum halal disetubuhi hingga dia mandi, atau bertayamum, atau sudah lewat waktu shalat, karena kewajiban mandi itu tidak menghalangi persetubuhan seperti halnya junub.” Pendapat ini telah dibantah oleh Syamsuddin bin Qudamah, dia menyatakan: Di hadapan kita ada firman Allah Swt.:

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu.”

Mujahid berkata: Hingga wanita tersebut mandi. Ibnu Abbas berkata: Apabila wanita tersebut sudah mandi. Dan karena lafadz ayat tersebut berbunyi: fa’idza tathahharna; tathahhur itu berwazan tafa’ul. Pola tafa’ul ini ketika disandarkan pada orang yang sah aktivitasnya, maka orang tersebut dituntut untuk mewujudkan aktivitas tersebut, sebagaimana hal itu telah disebutkan dalam kitab an-Nadhair. Terhentinya darah tidak bisa dihubungkan dengan perbuatan wanita tersebut. Karena Allah Swt. telah menetapkan dua syarat agar persetubuhan tersebut halal adanya, yakni berhentinya darah haid dan mandi, sehingga persetubuhan tidak halal tanpa keduanya. Juga karena wanita yang sedang haid itu dilarang shalat berdasarkan hadits haid, sehingga dilarang pula disetubuhi sebagaimana jika darah tersebut berhenti karena darah haid dalam batas minimal. Dengan demikian, analogi yang mereka lakukan itu batal. Hadats karena haid lebih kuat (lebih ditekankan) daripada hadats karena junub, sehingga tidak bisa disamakan dengannya.

Lebih jauh saya katakan bahwa ayat al-Qur’an tersebut melarang menyetubuhi wanita haid:

“Sehingga mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu.”

Lafadz hattaa yathhurna (sehingga mereka suci), artinya sehingga darahnya berhenti. Ayat tersebut tidak berhenti di situ, selanjutnya disebutkan batasan (qayd) yang lain, yakni fa idzaa tathahharna (apabila mereka telah suci). Tathahhur di sini artinya ightisal (mandi). Karena itu, menyetubuhi wanita yang haid tersebut menjadi haram, sehingga darahnya berhenti dan sudah mandi.
Mencukupkan dengan salah satunya merupakan pengabaian terhadap yang lainnya, dan ini bertentangan dengan ayat al-Qur’an tersebut. Kata kerja yang pertama berbunyi yathhurna dari kata thahura (suci), sedangkan kata kerja yang kedua berbunyi tathahharna dari kata tathahhara (bersuci). Adapun thahura artinya menjadi suci, sedangkan tathahhara artinya mengusahakan kesucian untuk dirinya alias bersuci.

Sebagian mereka menyatakan bahwa bersucinya itu cukup dengan berwudhu atau dengan cara membasuh kemaluan sebagai pengganti mandi, di mana mereka beralasan bahwa tathahhur itu lafadz yang umum, sehingga mencakup berwudhu, mandi dan mencuci najis. Jadi, ketika salah satu dari ketiganya itu dilakukan oleh seorang wanita yang haid, maka wanita tersebut dipandang telah bersuci sehingga halal untuk disetubuhi. Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan yang tidak cukup mencakup persoalan yang dibahas ayat tersebut.
Pernyataan ini mengambil satu bagian dari nash, seraya memisahkan bagian yang lain sama sekali. Padahal pembedaan seperti ini tidak sah dilakukan. Ini karena bagian akhirnya memiliki keterkaitan dengan bagian awalnya. Ayat ini membicarakan tentang wanita haid dari sisi i’tizal (mesti dijauhi dalam arti tidak boleh disetubuhi), inqitha’ud damm (berhentinya darah) dan tathahhur (bersuci) serta al-ityan (mencampuri/menyetubuhinya). Memisahkan salah satu makna yang manapun itu dari kondisi haid, jelas merupakan suatu kekeliruan.
Ayat ini menetapkan seluruh makna di atas dalam persoalan haid, sehingga harus dibatasi dan dikaitkan dengan persoalan haid. Ketika dikatakan: i’taziluu (hendaklah kamu menjauhi/ tidak menyetubuhi), maka wajib dibatasi pada wanita yang sedang haid. Ketika dikatakan: yathhurna (telah suci) maka harus dibatasi pada wanita yang sedang haid. Ketika dikatakan: tathahharna (telah bersuci) maka wajib dibatasi pada wanita yang sedang haid pula. Semua pembatasan untuk wanita haid ini semata-mata menjadi pembatasan bagi seorang wanita dengan kondisinya yang sedang haid, bukan sekedar pembatasan sebagai seorang wanita saja.
Ketika dikatakan: fa idzaa tathahharna (apabila mereka telah bersuci) maka frase tersebut wajib ditafsirkan bahwa seorang wanita dengan kondisinya yang sedang haid itu telah bersuci, yakni bersuci tersebut dituntut dari si wanita dengan karakternya sebagai seorang yang haid, yakni dikaitkan dengan kondisi haidnya, sehingga bersucinya itu dibatasi dengan kondisi haidnya. Dengan pengertian lain, bersucinya itu sebagai faktor yang menghilangkan kondisi haidnya, bukan untuk kondisi lain seperti kondisi batalnya wudhu, terkena najis, atau kebersihan semata.

Tahukah Anda, seandainya dikatakan: orang junub tersebut sedang bersuci, apakah dari pernyataan seperti itu dipahami bahwa orang junub tersebut sedang mencuci bajunya? Benarkah pemahaman seperti itu? Tahukah Anda, seandainya dikatakan: pemilik baju yang terkena najis itu sedang bersuci, apakah dari pernyataan seperti itu bisa dipahami pengertian selain menghilangkan najis dari bajunya? Begitu pula dengan pernyataan: wanita yang haid itu sedang bersuci, dari pernyataan seperti ini sama sekali tidak benar jika dipahami bahwa wanita tersebut sedang membersihkan darah dari kemaluannya, atau si wanita tersebut wajib berwudhu, sebagaimana tidak benar pula jika memahami firman Allah Swt.:

“Dan jika kamu junub maka bersucilah (mandilah).” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Selain sebagai perintah bagi orang yang junub untuk mandi. Inilah yang jelas disebutkan dalam firman Allah Swt.:

“(Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Qarinah di sini -yakni kondisi haid dari wanita tersebut- menjadi faktor yang menentukan makna, atau pengertian mana yang dimaksud dari kata tathahhur (bersuci) tersebut.

Adapun pernyataan yang disampaikan Abu Bakar al-Jashshash dalam menafsirkan ayat ini, bahwa pengertian ayat ini membolehkan menyetubuhi wanita yang haid dengan sekedar berhentinya darah saja, merupakan pernyataan yang justru tidak didukung oleh ayat ini.
Al-Jashshash melontarkan pernyataan sebagai berikut: “Firman Allah Swt.: hatta yath-hurna ketika dibaca dengan takhfif (tanpa tasydid) artinya adalah berhentinya darah, bukan mandi. Karena seandainya dia mandi padahal dalam keadaan haid maka si wanita tetap tidak bisa menjadi suci. Frase hatta yath-hurna hanya mengandung satu pengertian saja, yakni berhentinya darah yang biasa keluar dari seorang wanita yang sedang haid. Ketika dibaca dengan tasydid maka mengandung dua pengertian, yakni berhentinya darah dan mandi sebagaimana kami deskripsikan di atas. Karena itu kata kerja yang dibaca takhfif ini muhkamah, sedangkan yang dibaca tasydid itu mutasyabihat. Hukum yang mutasyabih mesti dibawa pada yang muhkamah, sehingga makna dua bacaan tersebut menghasilkan satu pengertian. Secara dzahir dua bacaan tersebut menuntut kebolehan menyetubuhi dengan berhentinya darah haid saja.” Pernyataan al-Jashshash ini simpang siur, membingungkan dan tidak utuh.
Simpang siur dan membingungkan karena al-Jashshas menyatakan bahwa bacaan yaththahharna dengan ditasydid mengandung dua perkara, yakni berhentinya darah dan mandi, lalu dia mengkategorikan bacaan tersebut sebagai mutasyabihat. Ini jelas keliru, hal ini karena bacaan yaththahharna dengan ditasydid hanya mengandung satu pengertian saja, yakni "mandi” tidak mengandung pengertian “berhentinya darah” sama sekali.
Kata yaththahharna merupakan salah satu perbuatan manusia, sedangkan berhentinya darah (inqitha’ud damm) bukan perbuatan manusia. Karena itu gugurlah pernyataan beliau bahwa kata tersebut mutasyabih. Pernyataan beliau bahwa kata kerja tersebut mutasyabih merupakan pernyataan yang fasid (rusak) sehingga pernyataan beliau selanjutnya bahwa yang mutasyabih harus dibawa pada yang muhkam juga menjadi fasid, karena sesuatu yang dibangun di atas yang fasid akan menjadi fasid pula.
Kedua, sesungguhnya ijtihadnya dalam menetapkan makna yathhurna sebagai berhentinya darah itu tidak cukup, dan ijtihadnya itu tidak bisa meneguhkan hujjahnya kecuali jika ayat tersebut berhenti pada batasan kata itu saja, padahal ayat tersebut menambahkan: fa idza tathahharna fa'tuuhunna [Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu]. Lagi pula mustahil Allah Swt. mengucapkan sesuatu yang sia-sia.
Maka apa yang akan dikatakan al-Jashshash jika at-tathahhur dalam kalimat ini bukan bermakna mandi? Bukankah ketika satu bagian ayat ini dibiarkan tidak digunakan, itu sama dengan kekurangan dan ketidakutuhan? Dan apakah di dalam ayat ini terdapat kontradiksi?
Demikianlah, sesungguhnya bagian awal ayat telah mengkaitkan persetubuhan dengan berhentinya darah, kita bisa menerima pernyataan ini. Tetapi bagian akhir ayat ini juga memerintahkan mandi sebelum persetubuhan dilakukan. Karena itu, apa yang akan dikatakannya? Pengabaian bagian akhir ayat ini jelas merupakan kekurangan dan ketidakutuhan yang seharusnya tidak terjadi.
Sesungguhnya makna ayat ini adalah: Janganlah kalian mendekati wanita hingga terhenti darahnya, ketika terhenti darahnya dan wanita tersebut sudah mandi (bersuci dari haid) maka dekatilah mereka. Inilah makna ayat tersebut, tidak ada makna lain selainnya.
Kesimpulan yang bisa diambil dari ungkapan seperti ini adalah peringatan kepada kaum Muslim agar tidak memerintahkan wanita haid selama masih haidnya untuk mandi dalam rangka disetubuhi.
Ayat ini menjelaskan bahwa mandi yang dengannya persetubuhan menjadi dibolehkan itu ada waktunya, yakni setelah darah haid berhenti.
Dengan demikian ayat ini memerintahkan mandi yang membolehkan persetubuhan dan menjelaskan kapan waktunya. Frase:

(hatta yath-hurna)
“sehingga mereka suci,” mengandung arti penetapan waktu untuk mandi. Sedangkan frase:

(fa idza tathahharna)
“Apabila mereka telah suci,” mengandung arti perintah untuk melakukan perbuatan. Dengan demikian ayat ini merupakan satu kesatuan, di mana bagian pertama dengan bagian keduanya tidak boleh dipisahkan.

Jadi, jelaslah ketepatan pernyataan bahwa menyetubuhi wanita haid itu tidak dibolehkan kecuali ketika wanita tersebut sudah mandi setelah darah haidnya berhenti. Pernyataan dan pemahaman ini dikuatkan oleh pernyataan Ibnu Abbas ra.:

“Jika dia menyetubuhinya pada saat darah masih keluar, maka kafaratnya satu dinar. Dan jika dia menyetubuhinya saat berhentinya darah maka kafaratnya setengah dinar.” (HR. Abu Dawud)

Pernyataan ini menentukan bahwa orang yang menyetubuhi isteri yang sedang haid pada saat darahnya terhenti itu harus mengeluarkan kafarat setengah dinar.

Tinggallah kini poin akhir dari pembahasan ini, yaitu apakah dalam menyetubuhi wanita haid itu ada kafarat atau tidak?
Atha, as-Sya’biy, an-Nakha’iy, Makhul, az-Zuhri, Abu Zanad, Rabi’ah, Sufyan at-Tsauri, al-Laits, Malik, Abu Hanifah, aS-Syafi'i dalam riwayat yang paling shahih darinya mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi isterinya dalam keadaan haid itu tidak wajib membayar kafarat. Dia hanya diwajibkan beristighfar dan bertaubat. Hujjah yang mereka gunakan adalah hadits-hadits yang menyebutkan tuntutan kafarat itu simpang siur, sehingga menurut mereka tidak layak digunakan sebagai hujjah. Prinsip al-bara'ah al-ashliyah tidak dapat dialihkan kecuali dengan hujjah, padahal hujjah yang ada dhaif statusnya. Mereka juga mengutip hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid, atau menyetubuhi isterinya dari duburnya, atau mendatangi dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan sang dukun, maka orang tersebut telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Muhammad.”

Mereka mengatakan bahwa hadits ini tidak menyebutkan kafarat. Di dalam hadits tersebut hanya ada larangan menyetubuhi isteri waktu haid karena bisa menimbulkan penyakit, seperti halnya menyetubuhi wanita dari duburnya.

Abdullah bin Abbas, Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Qatadah, al-Auza'iy, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad dalam pendapatnya yang populer dan as-Syafi’i dalam qaul qadim-nya berpendapat wajibnya membayar kafarat. Mereka mengutip beberapa hadits yang menunjukkan hal itu.
Agar kita bisa mendiskusikan dua pendapat ini dalam rangka mengetahui pendapat yang tepat di antara keduanya, maka terlebih dahulu kita harus mencermati beberapa hadits berikut:

1) Hadits Ibnu Majah di atas.:

“Barangsiapa yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid, atau menyetubuhi isterinya dari duburnya, atau mendatangi dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan sang dukun, maka orang tersebut telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Ini hadits dhaif.

2) Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. (menetapkan) bagi orang yang menyetubuhi iserinya yang sedang haid untuk bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dia berkata: seperti itulah riwayat yang shahih, dia berkata: satu dinar atau setengah dinar.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini pula dengan lafadz:

“Jika yang keluar itu darah yang berwarna merah maka kafaratnya satu dinar, dan jika yang keluar darah yang berwarna kuning maka kafaratnya setengah dinar.” Ini hadits dhaif.

3) Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menyetubuhi isterinya saat dia sedang haid maka hendaknya dia bersedekah satu dinar, dan jika dia menyetubuhi isterinya ketika sang isteri melihat telah suci (berhenti darahnya) tetapi ia belum mandi, maka hendaknya si suami bersedekah setengah dinar.” (HR. al-Baihaqi)

Hadits yang pertama adalah dhaif, hadits tersebut didhaifkan oleh Bukhari sehingga tidak layak dijadikan hujjah, karenanya hadits tersebut tertolak. Dengan tertolaknya hadits tersebut maka tertolak pula tindakan mengutip hadits.
Pernyataan bahwa Rasulullah Saw. tidak menyebutkan kafarat berdasarkan hadits ini dipandang gugur, karena gugurnya hadits tersebut dari kategori hadits yang layak dijadikan hujjah.
Adapun analogi yang mereka lakukan dengan menyatakan: “Perbuatan tersebut dilarang karena mengakibatkan timbulnya penyakit, serupa dengan menyetubuhi isteri lewat dubur,” ini merupakan analogi (qiyas) yang tidak bisa dibenarkan karena pertama, hadits tersebut tidak shahih, kedua, karena ketidaksamaan ‘illat.

Ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits kedua. Satu golongan dari mereka menilai adanya kesimpangsiuran (al-idhthirab) dalam hadits ini. Ibnu Hajar berkata: Kesimpangsiuran dalam sanad dan matan hadits ini sangat banyak. Ulama yang lain berkata: Hadits ini mursal atau mauquf sampai Ibnu Abbas. An-Nawawi berkata: “Para imam seluruhnya berbeda sikap dengan al-Hakim yang menshahihkan hadits ini. Yang benar adalah bahwa hadits ini dhaif menurut kesepakatan mereka.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Shalah.

Pendapat yang tepat yang harus dipegang adalah hadits ini shahih, bukan dhaif, dan bahwasanya an-Nawawi dan Ibnu Shalah serta Ibnu Hajar telah melakukan kekeliruan dengan mendhaifkan dan mendiskreditkan hadits tersebut sebagai hadits yang mengandung kesimpangsiuran. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim sebagaimana yang dituturkan an-Nawawi tadi, dishahihkan oleh Abu Dawud, dihasankan dan dijadikan hujjah oleh Ahmad, juga dishahihkan oleh Abul Hasan bin al-Qathan.
Bantahan atas tuduhan adanya idhthirab (kesimpangsiuran) adalah bahwa penilaian terhadap hadits tersebut sebagai hadits yang cacat, karena adanya idhthirab merupakan penilaian yang keliru. Yang benar adalah hendaknya dilihat terlebih dahulu riwayat dari setiap perawinya, dan harus diketahui setiap riwayat yang berasal dari setiap perawinya. Jika dari satu jalur berhasil dibuktikan keshahihannya maka hadits tersebut bisa diterima, walaupun dari jalur-jalur lain bisa jadi dianggap dhaif. Karena ada satu jalur riwayat yang shahih maka hadits tersebut dipandang shahih.

Adapun tuduhan bahwa hadits tersebut mursal atau mauquf sampai pada Ibnu Abbas, maka al-Khattabiy berkata: Pendapat yang benar adalah sanad hadits tersebut bersambung dan berstatus marfu'. Untuk membantah tuduhan perselisihan pendapat di kalangan ulama terkait marfu’ dan mauqufnya hadits tersebut adalah bahwa Yahya bin Said, Muhammad bin Jafar, dan Ibnu Abi ‘Adi telah memarfu’kan hadits ini dari Syu’bah.
Begitu pula halnya dengan Ibnu Jarir, Said bin Amir, an-Nadhr bin Syumail, dan Abdul Wahab al-Khafaf.
Ibnu Sayyidin Nas berkata: Pihak yang memarfu’kan hadits ini dari Syu'bah lebih utama, lebih banyak dan lebih hafidz daripada pihak yang memauqufkannya.
Abu Bakar al-Khatib berkata: “Perbedaan dua riwayat dalam persoalan marfu' dan mauqufnya tidak bisa menjadi faktor yang bisa mendhaifkan hadits ini. Inilah pendapat ahli ushul, karena salah satu riwayat tersebut tidak bisa mendustakan riwayat yang lain. Dan berpegang pada yang marfu' sama dengan berpegang pada tambahan, dan inilah yang harus diterima.”
Dengan demikian hadits ini shahih adanya, dan layak digunakan sebagai hujjah.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:

“Jika yang keluar itu darah yang berwarna merah maka kafaratnya satu dinar, dan jika yang keluar darah yang berwarna kuning maka kafaratnya setengah dinar.”

Maka hadits ini merupakan hadits dhaif, karena ada sejumlah perawi dalam rangkaian sanadnya yang diperselisihkan kredibilitasnya. Al-Baihaqi mengutip pernyataan Ibnu Abi al-Makhariq Abdul Karim: Hadits ini disepakati kedhaifannya.

Hadits ketiga layak digunakan sebagai hujjah. Dengan demikian, di hadapan kita ada dua hadits yang layak digunakan sebagai hujjah, dalam arti kita memiliki hujjah. Mereka mengatakan: Prinsip al-bara'ah tidak bisa ditinggalkan kecuali dengan hujjah. Dan kini terbuti bahwa kita memiliki hujjah, sehingga wajib bagi mereka beralih pada pengertian yang ditunjukkan oleh hadits-hadits tersebut.
Demikianlah, hujjah mereka seluruhnya telah gugur, dan kukuhlah kini hukum yang diistinbath dari dua nash yang shalih, yakni ada kewajiban kafarat bagi orang yang menyetubuhi wanita yang sedang haid.

Persetubuhan yang mewajibkan kafarat ini tidak dijelaskan oleh syara: apakah dibatasi (taqyid) oleh kondisi disengaja ataukah ada pengecualian jika dilakukan karena lupa. Karena tidak ada batasan seperti itu, maka harus dinyatakan bahwa kafarat itu harus dibayar oleh orang yang menyetubuhi wanita haid, baik disengaja ataupun karena lupa.
Perbedaannya orang yang secara sengaja menyetubuhi wanita yang sedang haid itu berdosa dan harus membayar kafarat, sedangkan orang yang lupa itu tidak berdosa tetapi dia tetap harus membayar kafarat, karena nash tersebut bersifat umum mencakup dua kondisi ini dan tidak ada pentakhsis sama sekali dalam hal itu. Selain itu, kafarat tersebut wajib dibayar oleh suami dan isteri, kecuali jika si isteri dipaksa melakukan persetubuhan maka tidak ada kewajiban kafarat baginya.

Kami telah mengatakan bahwa hadits yang pertama dari Ibnu Abbas dan hadits yang lain dari al-Baihaqi itu layak dijadikan hujjah. Hadits yang pertama menyatakan:

“Hendaknya bersedekah satu dinar atau setengah dinar.”

Dengan memberi pilihan dan datang dalam bentuk mutlak.
Hadits yang lain menyatakan:

“Jika salah seorang dari kalian menyetubuhi isterinya saat dia sedang haid maka hendaknya dia bersedekah satu dinar, dan jika dia menyetubuhi isterinya dan sang isteri melihat telah suci (berhenti darahnya) tetapi sang isteri belum mandi, maka hendaknya si suami bersedekah setengah dinar.”

Hadits yang pertama menyebutkan secara mutlak satu dinar dan setengah dinar, sedangkan hadits yang kedua membatasi satu dinar dengan persetubuhan saat masa haid masih berjalan, dan setengah dinar dengan persetubuhan setelah berhentinya darah tetapi sang isteri belum mandi. Karena itu dalil yang mutlak dibawa pada yang muqayyad.

Dengan demikian, barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid padahal darahnya belum berhenti keluar, maka dia harus membayar kafarat satu dinar.
Dan jika dia menyetubuhi wanita haid yang sudah berhenti darah haidnya tetapi belum sempat mandi, maka dia harus membayar kafarat setengah dinar.
Dinar syar'i itu berupa emas murni, setara dengan 4,25 gram emas. Dan setengah dinar itu setara dengan 2,125 gram emas. Dengan mengetahui harga satu gram emas saat terjadinya persetubuhan dan pembayaran kafarat, maka seorang Muslim bisa mengetahui nilai kafarat sesuai mata uang negerinya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam