2. Seorang suami haram menyetubuhi
isterinya yang sedang haid, berbeda halnya jika isterinya sedang junub.
Perkara ini pasti diketahui sebagai bagian dari agama (ma’lum min ad-diin bid-dharurah). Persetubuhan dengan wanita
haid termasuk perkara yang dibenci oleh karakter yang sehat. Dalil keharamannya
adalah firman Allah Swt.:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 222)
Ayat al-Qur’an ini
memerintahkan untuk menjauhi wanita di waktu haid, maksudnya tidak menyetubuhi
mereka hingga mereka suci dengan berhentinya darah, dan bersuci dengan cara
mandi. Ketika kedua hal tersebut terpenuhi maka saat itu halal untuk
disetubuhi. Dengan ijin Allah, penjelasan lebih rinci terkait dilalah ayat ini akan kami sampaikan sebentar
lagi. Dalil yang lain adalah sabda Rasulullah Saw. yang telah kami sebutkan
sebelumnya:
“Lakukanlah apapun
kecuali bersetubuh.”
Hadits ini mengandung
arti: janganlah menyetubuhi wanita yang sedang haid, dan lakukan apapun yang
kalian inginkan, baik berupa ciuman, pelukan, ataupun cumbuan. Beberapa hadits
berikut memperkuat pengertian tersebut:
1. Dari Ikrimah dari sebagian isteri Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
jika menginginkan sesuatu dari isterinya yang sedang haid, maka beliau Saw.
memerintahkannya. Lalu sang isteri menempatkan kain di atas kemaluan isterinya,
kemudian beliau Saw. melakukan apa yang diinginkannya.” (HR. al-Baihaqi dan Abu
Dawud dengan sanad yang para perawinya terkategorikan tsiqah).
2. Dari Hakim bin ‘Iqal bahwasanya dia berkata:
Aku bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin:
“Apa yang haram bagiku
dari isteriku ketika dia sedang haid? Aisyah berkata: Kemaluannya.” (HR.
al-Baihaqi)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dalam kitab Tarikh-nya dari jalur Masruq.
3. Dari Jumai’ bin ‘Umair, dia berkata:
“Aku menemui Aisyah
bersama ibu dan bibiku, lalu kami bertanya kepadanya: Bagaimana yang Rasulullah
Saw. lakukan ketika salah seorang dari engkau sekalian sedang haid? Aisyah
berkata: Jika salah seorang dari kami sedang haid, beliau Saw. memerintahkan kami
untuk mengenakan kain yang lebar, kemudian beliau Saw. mencumbu dada dan dua
buah dadanya.” (HR. an-Nasai)
Hadits-hadits ini
menunjukkan haramnya menyetubuhi wanita yang sedang haid di kemaluannya, dan
membolehkan mencumbunya di bagian manapun selain kemaluan secara mutlak. Tidak
ada perbedaan, apakah bagian tersebut berada di atas ataukah di bawah pusar,
dan juga tidak ada perbedaan apakah bagian tersebut berada di atas lutut
ataukah di bawah lutut. Sang suami berhak menikmati seluruh bagian tubuh
isterinya yang sedang haid, dengan pengecualian kemaluannya saja.
Terdapat masalah lain
yakni Abu Hanifah berkata: “Ketika darah sudah berhenti karena darah haid yang
terlalu banyak, maka wanita tersebut halal disetubuhi. Jika belum berhenti maka
belum halal disetubuhi hingga dia mandi, atau bertayamum, atau sudah lewat
waktu shalat, karena kewajiban mandi itu tidak menghalangi persetubuhan seperti
halnya junub.” Pendapat ini telah dibantah oleh Syamsuddin bin Qudamah, dia
menyatakan: Di hadapan kita ada firman Allah
Swt.:
“Dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu.”
Mujahid berkata:
Hingga wanita tersebut mandi. Ibnu Abbas berkata: Apabila wanita tersebut sudah
mandi. Dan karena lafadz ayat tersebut berbunyi: fa’idza
tathahharna; tathahhur itu berwazan tafa’ul.
Pola tafa’ul ini ketika disandarkan pada
orang yang sah aktivitasnya, maka orang tersebut dituntut untuk mewujudkan
aktivitas tersebut, sebagaimana hal itu telah disebutkan dalam kitab an-Nadhair. Terhentinya darah tidak bisa
dihubungkan dengan perbuatan wanita tersebut. Karena Allah Swt. telah
menetapkan dua syarat agar persetubuhan tersebut halal adanya, yakni
berhentinya darah haid dan mandi, sehingga persetubuhan tidak halal tanpa
keduanya. Juga karena wanita yang sedang haid itu dilarang shalat berdasarkan
hadits haid, sehingga dilarang pula disetubuhi sebagaimana jika darah tersebut
berhenti karena darah haid dalam batas minimal. Dengan demikian, analogi yang
mereka lakukan itu batal. Hadats karena haid lebih kuat (lebih ditekankan)
daripada hadats karena junub, sehingga tidak bisa disamakan dengannya.
Lebih jauh saya
katakan bahwa ayat al-Qur’an tersebut melarang menyetubuhi wanita haid:
“Sehingga mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu.”
Lafadz hattaa yathhurna (sehingga mereka suci),
artinya sehingga darahnya berhenti. Ayat tersebut tidak berhenti di situ,
selanjutnya disebutkan batasan (qayd)
yang lain, yakni fa idzaa tathahharna
(apabila mereka telah suci). Tathahhur
di sini artinya ightisal (mandi). Karena
itu, menyetubuhi wanita yang haid tersebut menjadi haram, sehingga darahnya
berhenti dan sudah mandi.
Mencukupkan dengan
salah satunya merupakan pengabaian terhadap yang lainnya, dan ini bertentangan
dengan ayat al-Qur’an tersebut. Kata kerja yang pertama berbunyi yathhurna dari
kata thahura (suci), sedangkan kata
kerja yang kedua berbunyi tathahharna
dari kata tathahhara (bersuci). Adapun thahura artinya menjadi suci, sedangkan tathahhara artinya mengusahakan kesucian untuk
dirinya alias bersuci.
Sebagian mereka
menyatakan bahwa bersucinya itu cukup dengan berwudhu atau dengan cara membasuh
kemaluan sebagai pengganti mandi, di mana mereka beralasan bahwa tathahhur itu lafadz yang umum, sehingga
mencakup berwudhu, mandi dan mencuci najis. Jadi, ketika salah satu dari
ketiganya itu dilakukan oleh seorang wanita yang haid, maka wanita tersebut
dipandang telah bersuci sehingga halal untuk disetubuhi. Pernyataan seperti ini
merupakan pernyataan yang tidak cukup mencakup persoalan yang dibahas ayat
tersebut.
Pernyataan ini
mengambil satu bagian dari nash, seraya memisahkan bagian yang lain sama
sekali. Padahal pembedaan seperti ini tidak sah dilakukan. Ini karena bagian
akhirnya memiliki keterkaitan dengan bagian awalnya. Ayat ini membicarakan
tentang wanita haid dari sisi i’tizal
(mesti dijauhi dalam arti tidak boleh disetubuhi), inqitha’ud damm (berhentinya darah) dan tathahhur (bersuci) serta al-ityan
(mencampuri/menyetubuhinya). Memisahkan salah satu makna yang manapun itu dari
kondisi haid, jelas merupakan suatu kekeliruan.
Ayat ini menetapkan
seluruh makna di atas dalam persoalan haid, sehingga harus dibatasi dan
dikaitkan dengan persoalan haid. Ketika dikatakan: i’taziluu (hendaklah kamu menjauhi/ tidak menyetubuhi), maka
wajib dibatasi pada wanita yang sedang haid. Ketika dikatakan: yathhurna (telah suci) maka harus dibatasi
pada wanita yang sedang haid. Ketika dikatakan: tathahharna
(telah bersuci) maka wajib dibatasi pada wanita yang sedang haid pula. Semua
pembatasan untuk wanita haid ini semata-mata menjadi pembatasan bagi seorang
wanita dengan kondisinya yang sedang haid, bukan sekedar pembatasan sebagai
seorang wanita saja.
Ketika dikatakan: fa idzaa tathahharna (apabila mereka telah
bersuci) maka frase tersebut wajib ditafsirkan bahwa seorang wanita dengan
kondisinya yang sedang haid itu telah bersuci, yakni bersuci tersebut dituntut
dari si wanita dengan karakternya sebagai seorang yang haid, yakni dikaitkan dengan
kondisi haidnya, sehingga bersucinya itu dibatasi dengan kondisi haidnya.
Dengan pengertian lain, bersucinya itu sebagai faktor yang menghilangkan
kondisi haidnya, bukan untuk kondisi lain seperti kondisi batalnya wudhu,
terkena najis, atau kebersihan semata.
Tahukah Anda,
seandainya dikatakan: orang junub tersebut sedang bersuci, apakah dari
pernyataan seperti itu dipahami bahwa orang junub tersebut sedang mencuci
bajunya? Benarkah pemahaman seperti itu? Tahukah Anda, seandainya dikatakan:
pemilik baju yang terkena najis itu sedang bersuci, apakah dari pernyataan
seperti itu bisa dipahami pengertian selain menghilangkan najis dari bajunya?
Begitu pula dengan pernyataan: wanita yang haid itu sedang bersuci, dari
pernyataan seperti ini sama sekali tidak benar jika dipahami bahwa wanita
tersebut sedang membersihkan darah dari kemaluannya, atau si wanita tersebut
wajib berwudhu, sebagaimana tidak benar pula jika memahami firman Allah Swt.:
“Dan jika kamu junub
maka bersucilah (mandilah).” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Selain sebagai
perintah bagi orang yang junub untuk mandi. Inilah yang jelas disebutkan dalam
firman Allah Swt.:
“(Jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)
Qarinah di sini -yakni kondisi haid dari
wanita tersebut- menjadi faktor yang menentukan makna, atau pengertian mana
yang dimaksud dari kata tathahhur
(bersuci) tersebut.
Adapun pernyataan yang
disampaikan Abu Bakar al-Jashshash dalam menafsirkan ayat ini, bahwa pengertian
ayat ini membolehkan menyetubuhi wanita yang haid dengan sekedar berhentinya
darah saja, merupakan pernyataan yang justru tidak didukung oleh ayat ini.
Al-Jashshash
melontarkan pernyataan sebagai berikut: “Firman Allah Swt.: hatta yath-hurna
ketika dibaca dengan takhfif (tanpa tasydid) artinya adalah berhentinya darah,
bukan mandi. Karena seandainya dia mandi padahal dalam keadaan haid maka si
wanita tetap tidak bisa menjadi suci. Frase hatta
yath-hurna hanya mengandung satu
pengertian saja, yakni berhentinya darah yang biasa keluar dari seorang wanita
yang sedang haid. Ketika dibaca dengan tasydid
maka mengandung dua pengertian, yakni berhentinya darah dan mandi sebagaimana
kami deskripsikan di atas. Karena itu kata kerja yang dibaca takhfif ini muhkamah,
sedangkan yang dibaca tasydid itu mutasyabihat. Hukum yang mutasyabih mesti dibawa pada yang muhkamah, sehingga makna dua bacaan tersebut
menghasilkan satu pengertian. Secara dzahir
dua bacaan tersebut menuntut kebolehan menyetubuhi dengan berhentinya darah
haid saja.” Pernyataan al-Jashshash ini simpang siur, membingungkan dan tidak
utuh.
Simpang siur dan
membingungkan karena al-Jashshas menyatakan bahwa bacaan yaththahharna dengan ditasydid mengandung dua perkara, yakni berhentinya darah dan
mandi, lalu dia mengkategorikan bacaan tersebut sebagai mutasyabihat. Ini jelas keliru, hal ini karena bacaan yaththahharna dengan ditasydid hanya mengandung satu pengertian saja, yakni
"mandi” tidak mengandung pengertian “berhentinya darah” sama sekali.
Kata yaththahharna merupakan salah satu perbuatan
manusia, sedangkan berhentinya darah (inqitha’ud
damm) bukan perbuatan manusia. Karena itu gugurlah pernyataan beliau
bahwa kata tersebut mutasyabih.
Pernyataan beliau bahwa kata kerja tersebut mutasyabih
merupakan pernyataan yang fasid (rusak)
sehingga pernyataan beliau selanjutnya bahwa yang mutasyabih
harus dibawa pada yang muhkam juga
menjadi fasid, karena sesuatu yang
dibangun di atas yang fasid akan menjadi
fasid pula.
Kedua, sesungguhnya
ijtihadnya dalam menetapkan makna yathhurna
sebagai berhentinya darah itu tidak cukup, dan ijtihadnya itu tidak bisa
meneguhkan hujjahnya kecuali jika ayat
tersebut berhenti pada batasan kata itu saja, padahal ayat tersebut
menambahkan: fa idza tathahharna fa'tuuhunna
[Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu]. Lagi pula mustahil
Allah Swt. mengucapkan sesuatu yang sia-sia.
Maka apa yang akan
dikatakan al-Jashshash jika at-tathahhur
dalam kalimat ini bukan bermakna mandi? Bukankah ketika satu bagian ayat ini
dibiarkan tidak digunakan, itu sama dengan kekurangan dan ketidakutuhan? Dan
apakah di dalam ayat ini terdapat kontradiksi?
Demikianlah,
sesungguhnya bagian awal ayat telah mengkaitkan persetubuhan dengan berhentinya
darah, kita bisa menerima pernyataan ini. Tetapi bagian akhir ayat ini juga
memerintahkan mandi sebelum persetubuhan dilakukan. Karena itu, apa yang akan
dikatakannya? Pengabaian bagian akhir ayat ini jelas merupakan kekurangan dan
ketidakutuhan yang seharusnya tidak terjadi.
Sesungguhnya makna
ayat ini adalah: Janganlah kalian mendekati wanita hingga terhenti darahnya,
ketika terhenti darahnya dan wanita tersebut sudah mandi (bersuci dari haid)
maka dekatilah mereka. Inilah makna ayat tersebut, tidak ada makna lain
selainnya.
Kesimpulan yang bisa
diambil dari ungkapan seperti ini adalah peringatan kepada kaum Muslim agar
tidak memerintahkan wanita haid selama masih haidnya untuk mandi dalam rangka
disetubuhi.
Ayat ini menjelaskan
bahwa mandi yang dengannya persetubuhan menjadi dibolehkan itu ada waktunya,
yakni setelah darah haid berhenti.
Dengan demikian ayat
ini memerintahkan mandi yang membolehkan persetubuhan dan menjelaskan kapan
waktunya. Frase:
(hatta yath-hurna)
“sehingga mereka
suci,” mengandung arti penetapan waktu untuk mandi. Sedangkan frase:
(fa idza tathahharna)
“Apabila mereka telah
suci,” mengandung arti perintah untuk melakukan perbuatan. Dengan demikian ayat
ini merupakan satu kesatuan, di mana bagian pertama dengan bagian keduanya
tidak boleh dipisahkan.
Jadi, jelaslah
ketepatan pernyataan bahwa menyetubuhi wanita haid itu tidak dibolehkan kecuali
ketika wanita tersebut sudah mandi setelah darah haidnya berhenti. Pernyataan
dan pemahaman ini dikuatkan oleh pernyataan Ibnu Abbas ra.:
“Jika dia
menyetubuhinya pada saat darah masih keluar, maka kafaratnya
satu dinar. Dan jika dia menyetubuhinya saat berhentinya darah maka kafaratnya setengah dinar.” (HR. Abu Dawud)
Pernyataan ini
menentukan bahwa orang yang menyetubuhi isteri yang sedang haid pada saat
darahnya terhenti itu harus mengeluarkan kafarat
setengah dinar.
Tinggallah kini poin
akhir dari pembahasan ini, yaitu apakah dalam menyetubuhi wanita haid itu ada kafarat atau tidak?
Atha, as-Sya’biy,
an-Nakha’iy, Makhul, az-Zuhri, Abu Zanad, Rabi’ah, Sufyan at-Tsauri, al-Laits,
Malik, Abu Hanifah, aS-Syafi'i dalam riwayat yang paling shahih darinya mengatakan bahwa orang yang
menyetubuhi isterinya dalam keadaan haid itu tidak wajib membayar kafarat. Dia hanya diwajibkan beristighfar dan
bertaubat. Hujjah yang mereka gunakan
adalah hadits-hadits yang menyebutkan tuntutan kafarat
itu simpang siur, sehingga menurut mereka tidak layak digunakan sebagai hujjah. Prinsip al-bara'ah
al-ashliyah tidak dapat dialihkan kecuali dengan hujjah, padahal hujjah
yang ada dhaif statusnya. Mereka juga
mengutip hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra., dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyetubuhi isterinya yang sedang haid, atau menyetubuhi isterinya dari
duburnya, atau mendatangi dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan sang
dukun, maka orang tersebut telah mengingkari apa yang diturunkan kepada
Muhammad.”
Mereka mengatakan
bahwa hadits ini tidak menyebutkan kafarat.
Di dalam hadits tersebut hanya ada larangan menyetubuhi isteri waktu haid
karena bisa menimbulkan penyakit, seperti halnya menyetubuhi wanita dari
duburnya.
Abdullah bin Abbas,
Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Qatadah, al-Auza'iy, Ishaq bin Rahuwaih,
Ahmad dalam pendapatnya yang populer dan as-Syafi’i dalam qaul qadim-nya
berpendapat wajibnya membayar kafarat.
Mereka mengutip beberapa hadits yang menunjukkan hal itu.
Agar kita bisa
mendiskusikan dua pendapat ini dalam rangka mengetahui pendapat yang tepat di
antara keduanya, maka terlebih dahulu kita harus mencermati beberapa hadits
berikut:
1) Hadits Ibnu Majah
di atas.:
“Barangsiapa yang
menyetubuhi isterinya yang sedang haid, atau menyetubuhi isterinya dari
duburnya, atau mendatangi dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan sang
dukun, maka orang tersebut telah mengingkari apa yang diturunkan kepada
Muhammad.”
Ini hadits dhaif.
2) Dari Ibnu Abbas
ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
(menetapkan) bagi orang yang menyetubuhi iserinya yang sedang haid untuk
bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu
Majah)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dia berkata: seperti itulah riwayat yang shahih, dia berkata: satu dinar atau setengah
dinar.
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini pula dengan lafadz:
“Jika yang keluar itu
darah yang berwarna merah maka kafaratnya
satu dinar, dan jika yang keluar darah yang berwarna kuning maka kafaratnya setengah dinar.” Ini hadits dhaif.
3) Dari Ibnu Abbas
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian menyetubuhi isterinya saat dia sedang haid maka hendaknya dia
bersedekah satu dinar, dan jika dia menyetubuhi isterinya ketika sang isteri
melihat telah suci (berhenti darahnya) tetapi ia belum mandi, maka hendaknya si
suami bersedekah setengah dinar.” (HR. al-Baihaqi)
Hadits yang pertama
adalah dhaif, hadits tersebut didhaifkan oleh Bukhari sehingga tidak layak
dijadikan hujjah, karenanya hadits
tersebut tertolak. Dengan tertolaknya hadits tersebut maka tertolak pula
tindakan mengutip hadits.
Pernyataan bahwa
Rasulullah Saw. tidak menyebutkan kafarat
berdasarkan hadits ini dipandang gugur, karena gugurnya hadits tersebut dari
kategori hadits yang layak dijadikan hujjah.
Adapun analogi yang
mereka lakukan dengan menyatakan: “Perbuatan tersebut dilarang karena
mengakibatkan timbulnya penyakit, serupa dengan menyetubuhi isteri lewat
dubur,” ini merupakan analogi (qiyas)
yang tidak bisa dibenarkan karena pertama, hadits tersebut tidak shahih, kedua, karena ketidaksamaan ‘illat.
Ulama berbeda pendapat
dalam menilai hadits kedua. Satu golongan dari mereka menilai adanya
kesimpangsiuran (al-idhthirab) dalam
hadits ini. Ibnu Hajar berkata: Kesimpangsiuran dalam sanad dan matan hadits
ini sangat banyak. Ulama yang lain berkata: Hadits ini mursal atau mauquf
sampai Ibnu Abbas. An-Nawawi berkata: “Para imam seluruhnya berbeda sikap
dengan al-Hakim yang menshahihkan hadits
ini. Yang benar adalah bahwa hadits ini dhaif
menurut kesepakatan mereka.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Shalah.
Pendapat yang tepat
yang harus dipegang adalah hadits ini shahih,
bukan dhaif, dan bahwasanya an-Nawawi
dan Ibnu Shalah serta Ibnu Hajar telah melakukan kekeliruan dengan mendhaifkan dan mendiskreditkan hadits tersebut
sebagai hadits yang mengandung kesimpangsiuran. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim sebagaimana yang
dituturkan an-Nawawi tadi, dishahihkan
oleh Abu Dawud, dihasankan dan dijadikan
hujjah oleh Ahmad, juga dishahihkan oleh Abul Hasan bin al-Qathan.
Bantahan atas tuduhan
adanya idhthirab (kesimpangsiuran)
adalah bahwa penilaian terhadap hadits tersebut sebagai hadits yang cacat,
karena adanya idhthirab merupakan
penilaian yang keliru. Yang benar adalah hendaknya dilihat terlebih dahulu
riwayat dari setiap perawinya, dan harus diketahui setiap riwayat yang berasal
dari setiap perawinya. Jika dari satu jalur berhasil dibuktikan keshahihannya maka hadits tersebut bisa
diterima, walaupun dari jalur-jalur lain bisa jadi dianggap dhaif. Karena ada satu jalur riwayat yang shahih maka hadits tersebut dipandang shahih.
Adapun tuduhan bahwa
hadits tersebut mursal atau mauquf sampai pada Ibnu Abbas, maka al-Khattabiy
berkata: Pendapat yang benar adalah sanad hadits tersebut bersambung dan
berstatus marfu'. Untuk membantah tuduhan perselisihan pendapat di kalangan
ulama terkait marfu’ dan mauqufnya hadits tersebut adalah bahwa Yahya
bin Said, Muhammad bin Jafar, dan Ibnu Abi ‘Adi telah memarfu’kan hadits ini dari Syu’bah.
Begitu pula halnya
dengan Ibnu Jarir, Said bin Amir, an-Nadhr bin Syumail, dan Abdul Wahab
al-Khafaf.
Ibnu Sayyidin Nas
berkata: Pihak yang memarfu’kan hadits
ini dari Syu'bah lebih utama, lebih banyak dan lebih hafidz daripada pihak yang
memauqufkannya.
Abu Bakar al-Khatib
berkata: “Perbedaan dua riwayat dalam persoalan marfu'
dan mauqufnya tidak bisa menjadi faktor
yang bisa mendhaifkan hadits ini. Inilah
pendapat ahli ushul, karena salah satu riwayat tersebut tidak bisa mendustakan
riwayat yang lain. Dan berpegang pada yang marfu' sama dengan berpegang pada
tambahan, dan inilah yang harus diterima.”
Dengan demikian hadits
ini shahih adanya, dan layak digunakan
sebagai hujjah.
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:
“Jika yang keluar itu
darah yang berwarna merah maka kafaratnya
satu dinar, dan jika yang keluar darah yang berwarna kuning maka kafaratnya setengah dinar.”
Maka hadits ini
merupakan hadits dhaif, karena ada
sejumlah perawi dalam rangkaian sanadnya
yang diperselisihkan kredibilitasnya. Al-Baihaqi mengutip pernyataan Ibnu Abi
al-Makhariq Abdul Karim: Hadits ini disepakati kedhaifannya.
Hadits ketiga layak
digunakan sebagai hujjah. Dengan
demikian, di hadapan kita ada dua hadits yang layak digunakan sebagai hujjah, dalam arti kita memiliki hujjah. Mereka mengatakan: Prinsip al-bara'ah tidak bisa ditinggalkan kecuali
dengan hujjah. Dan kini terbuti bahwa
kita memiliki hujjah, sehingga wajib
bagi mereka beralih pada pengertian yang ditunjukkan oleh hadits-hadits
tersebut.
Demikianlah, hujjah mereka seluruhnya telah gugur, dan
kukuhlah kini hukum yang diistinbath
dari dua nash yang shalih, yakni ada
kewajiban kafarat bagi orang yang
menyetubuhi wanita yang sedang haid.
Persetubuhan yang
mewajibkan kafarat ini tidak dijelaskan
oleh syara: apakah dibatasi (taqyid) oleh kondisi disengaja ataukah ada
pengecualian jika dilakukan karena lupa. Karena tidak ada batasan seperti itu,
maka harus dinyatakan bahwa kafarat itu
harus dibayar oleh orang yang menyetubuhi wanita haid, baik disengaja ataupun
karena lupa.
Perbedaannya orang
yang secara sengaja menyetubuhi wanita yang sedang haid itu berdosa dan harus
membayar kafarat, sedangkan orang yang
lupa itu tidak berdosa tetapi dia tetap harus membayar kafarat, karena nash tersebut bersifat umum mencakup dua kondisi
ini dan tidak ada pentakhsis sama sekali
dalam hal itu. Selain itu, kafarat
tersebut wajib dibayar oleh suami dan isteri, kecuali jika si isteri dipaksa
melakukan persetubuhan maka tidak ada kewajiban kafarat
baginya.
Kami telah mengatakan
bahwa hadits yang pertama dari Ibnu Abbas dan hadits yang lain dari al-Baihaqi
itu layak dijadikan hujjah. Hadits yang
pertama menyatakan:
“Hendaknya bersedekah
satu dinar atau setengah dinar.”
Dengan memberi pilihan
dan datang dalam bentuk mutlak.
Hadits yang lain
menyatakan:
“Jika salah seorang
dari kalian menyetubuhi isterinya saat dia sedang haid maka hendaknya dia
bersedekah satu dinar, dan jika dia menyetubuhi isterinya dan sang isteri
melihat telah suci (berhenti darahnya) tetapi sang isteri belum mandi, maka
hendaknya si suami bersedekah setengah dinar.”
Hadits yang pertama
menyebutkan secara mutlak satu dinar dan setengah dinar, sedangkan hadits yang
kedua membatasi satu dinar dengan persetubuhan saat masa haid masih berjalan,
dan setengah dinar dengan persetubuhan setelah berhentinya darah tetapi sang isteri
belum mandi. Karena itu dalil yang mutlak dibawa pada yang muqayyad.
Dengan demikian, barangsiapa yang menyetubuhi
wanita haid padahal darahnya belum berhenti keluar, maka dia harus membayar kafarat satu dinar.
Dan jika dia menyetubuhi wanita
haid yang sudah berhenti darah haidnya tetapi belum sempat mandi, maka dia
harus membayar kafarat setengah dinar.
Dinar syar'i itu
berupa emas murni, setara dengan 4,25 gram emas. Dan setengah dinar itu setara
dengan 2,125 gram emas. Dengan mengetahui harga satu gram emas saat terjadinya
persetubuhan dan pembayaran kafarat,
maka seorang Muslim
bisa mengetahui nilai kafarat sesuai
mata uang negerinya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar