Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 01 Agustus 2017

Dalil Posisi Imam Dan Makmum Jamaah Shalat



B. Posisi Imam dan Makmum

Di Manakah Seorang Makmum Seorang Diri Berdiri, dan Di Manakah Jika Dia Berdua?

Makmum yang sendirian, jika laki-laki, maka dia berada tepat di sebelah kanan imam tanpa perlu lebih maju atau lebih mundur dari imam sedikitpun. Dan jika datang lelaki kedua maka mereka berbaris di belakang imam, begitu pula jika mereka lebih dari dua orang.
Jika para makmum itu satu orang laki-laki dan satu orang anak kecil saja, maka keduanya berada di belakang imam juga, dan perempuan seorang diri berdiri di belakang keduanya.
Apabila para makmum itu terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan saja, maka yang laki-laki berada tepat di sebelah kanan imam dan perempuan berdiri di belakang keduanya. Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. dalam satu perjalanan, beliau Saw. datang lalu berwudhu, kemudian beliau berdiri dan shalat pada satu kain yang berlainan di antara dua ujungnya. Aku berdiri di belakangnya, maka beliau Saw. memegang telingaku dan menempatkanku berada di sebelah kanannya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Dari Abdullah bin Abbas ra. ia berkata:

“Abbas mengutusku untuk menemui Nabi Saw. yang saat itu berada di rumah bibiku, Maimunah, maka aku bermalam bersamanya di malam itu, lalu beliau berdiri shalat dari sebagian malam. Aku pun berdiri di sebelah kirinya, tetapi beliau menarikku lewat belakang punggungnya dan menempatkanku berada di sebelah kanannya.” (HR. Muslim)

Dari Abdullah bin Abbas ra., ia berkata:

“Aku mendatangi Rasulullah Saw. di penghujung malam, lalu aku ikut shalat di belakangnya. Kemudian beliau memegang tanganku dan menarikku. Beliau menempatkanku berada di sebelah kanannya. Tatkala Rasulullah Saw. menghadap kiblat bershalat maka aku mundur sedikit. Rasulullah Saw. melakukan shalat. Usai (shalat) beliau bertanya kepadaku: “Ada apa engkau ini, bukankah aku telah menempatkanmu tepat di sampingku, mengapa engkau mundur ke belakang sedikit?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, haruskah seseorang melakukan shalat tepat di sampingmu sedangkan engkau adalah utusan Allah yang telah diberi kemuliaan oleh Allah?” Ibnu Abbas berkata: Jawabanku itu telah membuatnya merasa kagum, lalu beliau berdoa kepada Allah untuk kebaikanku agar aku ditambahi ilmu dan pemahaman...” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)

Sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “jamaah bisa terlaksana dengan adanya seorang imam dan seorang makmum” pada bab “shalat berjamaah.”

Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. berdiri shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di samping kirinya, maka beliau mencegahku dan menempatkanku berada di sebelah kanannya. Kemudian datang seorang temanku dan kami berbaris di belakangnya. Rasulullah Saw. shalat memakai satu kain dengan menyelempangkan kedua ujungnya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

“Lalu beliau memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga beliau menempatkan kami berdiri di belakangnya.”

Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa neneknya, Mulaikah, telah mengundang Rasulullah Saw. makan makanan buatannya, lalu beliau Saw. makan dan berkata: “Berdirilah kalian, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata: Lalu aku berdiri mengambil tikar milik kami yang telah hitam karena lamanya dipakai, dan aku memercikinya dengan air. Rasulullah Saw. berdiri di atasnya, dan aku berbaris bersama seorang yatim di belakangnya, sedangkan nenek yang lemah berada di belakang kami. Beliau Saw. shalat mengimami kami dua rakaat. Setelah itu beliau Saw. pergi.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Bukhari, Muslim dan Malik)

Dari Abdullah bin Abbas ra. ia berkata:

“Aku shalat bersama Nabi Saw., dan Asiyah berada di belakang kami. Aku berada di samping Nabi Saw. shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

Posisi Anak-anak Dan Kaum Wanita

Kaum lelaki berdiri pada posisi paling depan dalam satu shaf atau lebih, kemudian anak-anak berada di belakang mereka, baru setelah itu kaum wanita berada di belakang anak-anak. Jika ada satu orang anak maka dia dimasukkan dalam barisan kaum laki-laki, namun jika ada dua anak atau lebih maka lebih utama dan lebih sesuai dengan sunnah mengeluarkan mereka dari barisan lelaki, membentuk barisan mereka sendiri yang terpisah berada di belakang barisan lelaki. Sedangkan kaum wanita membentuk barisan di belakang mereka semuanya. Apabila hanya ada seorang wanita saja, maka dia berdiri sendiri di belakang semua barisan. Jika dia (seorang wanita) memasuki barisan anak-anak, maka hal itu telah menyalahi sunnah, meskipun shalatnya tetap sah.

Dari Abdurrahman bin Ghanam ia berkata: Abu Malik al-Asy'ariy telah berkata pada kaumnya:

“Tidakkah kalian ingin aku shalat untuk kalian dengan shalat Rasulullah?” Maka dia kemudian membariskan kaum lelaki dan membariskan anak-anak, dan membentuk barisan kaum wanita di belakang anak-anak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengimami kami shalat tathawwu'. Ia (perawi) berkata: Ummu Sulaim dan Ummu Haram berdiri di belakang kami. Tsabit berkata: aku tidak tahu kecuali dia berkata: dan beliau Saw. menempatkanku di sebelah kanannya, lalu kami shalat di atas permadani.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Sebelumnya telah kami paparkan hadits Anas bin Malik ra. dalam pembahasan “di manakah berdirinya seorang makmum yang sendiri, dan di manakah jika dia berdua”, di dalamnya disebutkan: “lalu aku berbaris bersama seorang anak yatim di belakangnya”, yang menunjukkan bahwa seorang anak kecil -jika dia sendirian maka dia masuk barisan laki-laki.

Shalat Seseorang Menyendiri Di Belakang Shaf

Jika barisan telah penuh, dibolehkan bagi seorang laki-laki yang berdiri seorang diri untuk shalat di belakang shaf tanpa harus menarik seseorang yang lain dari shaf yang ada di depannya untuk shalat bersamanya membentuk satu shaf baru. Hadits-hadits yang ada yang memerintahkan si mushalli yang sendirian itu untuk menarik seseorang dari shaf di depannya adalah dhaif atau kacau, sehingga tidak layak untuk dijadikan hujjah. Dengan demikian, si mushalli yang sendirian -jika tidak mendapat celah atau ruang cukup dari sebuah shaf- maka dia dimaafkan dan tidak berdosa, dan shalatnya yang sendirian di belakang shaf-shaf itu sesuai dengan tuntunan syariat dan sah adanya. Namun, jika shaf tersebut belum penuh maka dia diharuskan untuk memasukinya. Dia tidak boleh shalat menyendiri di belakang shaf-shaf, karena menurut hukum asalnya, shalat sendirian di belakang shaf-shaf itu batil. Dari Wabishah bin Ma’bad:

“Bahwa seseorang shalat di belakang shaf itu sendirian, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk mengulang shalatnya itu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Rasulullah Saw. melihat seseorang shalat di belakang shaf seorang diri, maka beliau memerintahkannya (untuk mengulang shalat). Maka dia pun mengulang shalatnya.”

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini, tetapi dia menyebutkan,

“Maka beliau Saw. memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”

Dari Ali bin Syaiban:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat seseorang shalat di belakang shaf, beliau kemudian berdiri hingga orang itu selesai dari shalatnya. Rasulullah Saw. berkata: “Ulangilah shalatmu. Tidak ada shalat bagi seseorang yang menyendiri di belakang shaf.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Karena itu, shalat seseorang yang menyendiri di belakang barisan adalah batil, sehingga ia wajib untuk mengulangnya, karena jelasnya nash dalam masalah ini.
Seseorang yang terlambat dari takbiratul ihram dimakruhkan melakukan takbiratul ihram kemudian berruku' tidak di dalam shaf lalu berjalan memasuki shaf.
Seharusnya dia menunggu hingga memasuki shaf, dan ketika itu barulah dia bertakbiratul ihram, yakni bertakbiratul ihram kemudian menyempurnakan apa yang luput darinya setelah imam mengucapkan salam dan selesai dari shalatnya. Akan tetapi jika orang yang terlambat tersebut melakukan tindakan itu -yakni bertakbiratul ihram sebelum memasuki shaf dan melakukan ruku', kemudian berjalan hingga memasuki shaf maka shalatnya tetap sah walaupun hal itu menyalahi sunnah. Dari Abu Bakrah ra.:

“Bahwa dia tiba (di masjid) dan Rasulullah Saw. dalam posisi ruku', lalu dia ikut ruku' di luar shaf, kemudian berjalan memasuki shaf. Maka Nabi Saw. bertanya: “Siapa orang yang tadi ruku, kemudian berjalan memasuki shaf?” Abu Bakrah berkata: “Aku.” Nabi Saw. bersabda: “Semoga Allah Swt. menjadikanmu lebih tamak pada kebaikan, dan janganlah engkau mengulanginya.” (HR. Ahmad, Bukhari, an-Nasai, al-Baihaqi dan at-Thahawi)

Ucapan beliau Saw.: “semoga Allah Swt. menjadikanmu lebih tamak pada kebaikan dan janganlah engkau mengulanginya”, ini menunjukkan bahwa shalat Abu Bakrah sah dan diterima. Seandainya batil, tentu beliau Saw. memerintahkannya untuk mengulanginya lagi, tetapi ini menyalahi sunnah. Inilah yang dipahami dari ucapan beliau Saw.: “janganlah engkau mengulanginya.” Yang meriwayatkan kebolehan shalat Abu Bakrah ini adalah (antara lain): Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Said bin Jubair, Abu Salamah bin Abdul Haman, Urwah bin Zubair, Ibnu Juraij dan Ma’mar, begitu pula Ibnul Mundzir dalam al-Ausath.

Di Mana Posisi Imam Dari Para Makmum

Imam berdiri di depan -bagian tengah shaf makmum berada tepat di belakangnya-. Dimakruhkan imam berdiri di tempat yang lebih tinggi daripada para makmum, kecuali jika hal itu dilakukan dengan tujuan pengajaran, maka tidak jadi masalah. Begitu juga sebaliknya para makmum dimakruhkan berposisi lebih tinggi daripada imam mereka. Makmum harus tetap bisa melihat imam atau mendengar suaranya. Jika ada penghalang antara imam dengan makmum, namun penglihatan atau pendengaran tidak terganggu maka tidak menjadi masalah. Para makmum juga boleh berada (sampai) di luar masjid, selama dia melihat imam atau mendengar suaranya, sehingga bisa mengikuti shalatnya. Dari Hammam:

“Bahwa Hudzaifah mengimami orang-orang di Mada'in, shalat di atas bangku yang panjang. Abu Mas'ud kemudian memegang jubahnya dan menariknya. Usai dari shalatnya dia bertanya: “Apakah engkau tidak tahu bahwa orang-orang dilarang melakukan perbuatan itu?” Hudzaifah berkata kepadanya: “Ya, aku ingat ketika engkau menarikku.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)

Syafi’i dan Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Hudzaifah telah shalat mengimami kami di atas bangku panjang yang tinggi, lalu dia sujud di atasnya. Abu Mas’ud al-Badri menariknya, dan Hudzaifah mengikutinya. Usai menyelesaikan shalat, Abu Mas’ud bertanya; “Bukankah hal ini telah dilarang?” Maka Hudzarfah berkata kepadanya, “Apakah engkau tidak tahu aku telah mengikutimu?”

Tingginya posisi imam di atas para makmum dilarang, kecuali jika hal itu dilakukan dalam rangka mengajarkan shalat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahal bin Saad ra.:

“Bahwa Nabi Saw. duduk di atas mimbar di hari pertama mimbar tersebut dibuat. Beliau bertakbir dan beliau berada di atasnya, kemudian ruku’. Setelah itu beliau turun ke belakang, lalu beliau sujud. Orang-orang pun ikut bersujud bersamanya, kemudian beliau kembali hingga selesai. Tatkala berbalik, beliau berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikutiku, dan agar kalian bisa mengetahui shalatku.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, an-Nasai dan ad-Darimi)

Dari Shalih bin Ibrahim, ia berkata:

“Aku melihat Anas bin Malik shalat Jumat di rumah Humaid bin Abdirrahman bin Auf, lalu dia shalat mengikuti shalat imam yang berada di masjid. Dan di antara rumah Humaid dan masjid ada jalan.” (Riwayat Syafi'iy dan al-Baihaqi)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Nabi Saw. shalat di hujrahnya (ruang tengah rumah), dan orang-orang mengikuti beliau dari belakang hujrah tersebut. Mereka shalat mengikuti shalat beliau Saw.” (HR. al-Baihaqi)

Sebelumnya telah kami sebutkan dalam pembahasan “shalat tarawih” pada bab “tathawwu’.” Hadits Zaid bin Tsabit:

“Rasulullah Saw. membuat satu ruang kecil dengan dialasi oleh kain tebal atau tikar, lalu Rasulullah Saw. keluar dan shalat di dalamnya. Dia berkata: maka orang-orang dari kalangan laki-laki mengamati hal tersebut, dan mereka shalat mengikuti shalat beliau Saw...” (HR. Muslim, Bukhari dan an-Nasai)

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam