B. Posisi Imam dan Makmum
Di Manakah Seorang Makmum
Seorang Diri Berdiri, dan Di Manakah Jika Dia Berdua?
Makmum yang sendirian,
jika laki-laki, maka dia berada tepat di sebelah kanan imam tanpa perlu lebih
maju atau lebih mundur dari imam sedikitpun. Dan jika datang lelaki kedua maka
mereka berbaris di belakang imam, begitu pula jika mereka lebih dari dua orang.
Jika para makmum itu
satu orang laki-laki dan satu orang anak kecil saja, maka keduanya berada di
belakang imam juga, dan perempuan seorang diri berdiri di belakang keduanya.
Apabila para makmum
itu terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan saja, maka yang
laki-laki berada tepat di sebelah kanan imam dan perempuan berdiri di belakang
keduanya. Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Aku shalat bersama
Rasulullah Saw. dalam satu perjalanan, beliau Saw. datang lalu berwudhu,
kemudian beliau berdiri dan shalat pada satu kain yang berlainan di antara dua
ujungnya. Aku berdiri di belakangnya, maka beliau Saw. memegang telingaku dan
menempatkanku berada di sebelah kanannya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan
al-Baihaqi)
Dari Abdullah bin
Abbas ra. ia berkata:
“Abbas mengutusku
untuk menemui Nabi Saw. yang saat itu berada di rumah bibiku, Maimunah, maka
aku bermalam bersamanya di malam itu, lalu beliau berdiri shalat dari sebagian
malam. Aku pun berdiri di sebelah kirinya, tetapi beliau menarikku lewat
belakang punggungnya dan menempatkanku berada di sebelah kanannya.” (HR.
Muslim)
Dari Abdullah bin
Abbas ra., ia berkata:
“Aku mendatangi
Rasulullah Saw. di penghujung malam, lalu aku ikut shalat di belakangnya.
Kemudian beliau memegang tanganku dan menarikku. Beliau menempatkanku berada di
sebelah kanannya. Tatkala Rasulullah Saw. menghadap kiblat bershalat maka aku
mundur sedikit. Rasulullah Saw. melakukan shalat. Usai (shalat) beliau bertanya
kepadaku: “Ada apa engkau ini, bukankah aku telah menempatkanmu tepat di
sampingku, mengapa engkau mundur ke belakang sedikit?” Aku menjawab: “Wahai
Rasulullah, haruskah seseorang melakukan shalat tepat di sampingmu sedangkan
engkau adalah utusan Allah yang telah diberi kemuliaan oleh Allah?” Ibnu Abbas
berkata: Jawabanku itu telah membuatnya merasa kagum, lalu beliau berdoa kepada
Allah untuk kebaikanku agar aku ditambahi ilmu dan pemahaman...” (HR. Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)
Sebelumnya hadits ini
telah kami sebutkan dalam pembahasan “jamaah bisa terlaksana dengan adanya
seorang imam dan seorang makmum” pada bab “shalat berjamaah.”
Dari Jabir bin
Abdullah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. berdiri
shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di samping kirinya, maka beliau
mencegahku dan menempatkanku berada di sebelah kanannya. Kemudian datang
seorang temanku dan kami berbaris di belakangnya. Rasulullah Saw. shalat
memakai satu kain dengan menyelempangkan kedua ujungnya.” (HR. Ahmad, Muslim
dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Muslim
disebutkan:
“Lalu beliau memegang
tangan kami semua dan mendorong kami hingga beliau menempatkan kami berdiri di
belakangnya.”
Dari Anas bin Malik
ra.:
“Bahwa neneknya,
Mulaikah, telah mengundang Rasulullah Saw. makan makanan buatannya, lalu beliau
Saw. makan dan berkata: “Berdirilah kalian, aku akan shalat mengimami kalian.”
Anas berkata: Lalu aku berdiri mengambil tikar milik kami yang telah hitam karena
lamanya dipakai, dan aku memercikinya dengan air. Rasulullah Saw. berdiri di
atasnya, dan aku berbaris bersama seorang yatim di belakangnya, sedangkan nenek
yang lemah berada di belakang kami. Beliau Saw. shalat mengimami kami dua
rakaat. Setelah itu beliau Saw. pergi.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Bukhari, Muslim
dan Malik)
Dari Abdullah bin
Abbas ra. ia berkata:
“Aku shalat bersama
Nabi Saw., dan Asiyah berada di belakang kami. Aku berada di samping Nabi Saw.
shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)
Posisi Anak-anak Dan Kaum Wanita
Kaum lelaki berdiri
pada posisi paling depan dalam satu shaf atau lebih, kemudian anak-anak berada
di belakang mereka, baru setelah itu kaum wanita berada di belakang anak-anak.
Jika ada satu orang anak maka dia dimasukkan dalam barisan kaum laki-laki, namun
jika ada dua anak atau lebih maka lebih utama dan lebih sesuai dengan sunnah
mengeluarkan mereka dari barisan lelaki, membentuk barisan mereka sendiri yang
terpisah berada di belakang barisan lelaki. Sedangkan kaum wanita membentuk
barisan di belakang mereka semuanya. Apabila hanya ada seorang wanita saja,
maka dia berdiri sendiri di belakang semua barisan. Jika dia (seorang wanita)
memasuki barisan anak-anak, maka hal itu telah menyalahi sunnah, meskipun
shalatnya tetap sah.
Dari Abdurrahman bin
Ghanam ia berkata: Abu Malik al-Asy'ariy telah berkata pada kaumnya:
“Tidakkah kalian ingin
aku shalat untuk kalian dengan shalat Rasulullah?” Maka dia kemudian
membariskan kaum lelaki dan membariskan anak-anak, dan membentuk barisan kaum
wanita di belakang anak-anak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dari Anas bin Malik
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengimami kami shalat tathawwu'. Ia
(perawi) berkata: Ummu Sulaim dan Ummu Haram berdiri di belakang kami. Tsabit
berkata: aku tidak tahu kecuali dia berkata: dan beliau Saw. menempatkanku di
sebelah kanannya, lalu kami shalat di atas permadani.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Sebelumnya telah kami
paparkan hadits Anas bin Malik ra. dalam pembahasan “di manakah berdirinya
seorang makmum yang sendiri, dan di manakah jika dia berdua”, di dalamnya
disebutkan: “lalu aku berbaris bersama seorang anak yatim di belakangnya”, yang
menunjukkan bahwa seorang anak kecil -jika dia sendirian maka dia masuk barisan
laki-laki.
Shalat Seseorang Menyendiri Di
Belakang Shaf
Jika barisan telah
penuh, dibolehkan bagi seorang laki-laki yang berdiri seorang diri untuk shalat
di belakang shaf tanpa harus menarik seseorang yang lain dari shaf yang ada di
depannya untuk shalat bersamanya membentuk satu shaf baru. Hadits-hadits yang
ada yang memerintahkan si mushalli yang
sendirian itu untuk menarik seseorang dari shaf di depannya adalah dhaif atau
kacau, sehingga tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Dengan demikian, si mushalli yang
sendirian -jika tidak mendapat celah atau ruang cukup dari sebuah shaf- maka
dia dimaafkan dan tidak berdosa, dan shalatnya yang sendirian di belakang
shaf-shaf itu sesuai dengan tuntunan syariat dan sah adanya. Namun, jika shaf
tersebut belum penuh maka dia diharuskan untuk memasukinya. Dia tidak boleh
shalat menyendiri di belakang shaf-shaf, karena menurut hukum asalnya, shalat
sendirian di belakang shaf-shaf itu batil. Dari Wabishah bin Ma’bad:
“Bahwa seseorang
shalat di belakang shaf itu sendirian, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya
untuk mengulang shalatnya itu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Rasulullah Saw.
melihat seseorang shalat di belakang shaf seorang diri, maka beliau
memerintahkannya (untuk mengulang shalat). Maka dia pun mengulang shalatnya.”
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini, tetapi dia menyebutkan,
“Maka beliau Saw.
memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Dari Ali bin Syaiban:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melihat seseorang shalat di belakang shaf, beliau kemudian berdiri hingga orang
itu selesai dari shalatnya. Rasulullah Saw. berkata: “Ulangilah shalatmu. Tidak
ada shalat bagi seseorang yang menyendiri di belakang shaf.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Karena itu, shalat
seseorang yang menyendiri di belakang barisan adalah batil, sehingga ia wajib
untuk mengulangnya, karena jelasnya nash dalam masalah ini.
Seseorang yang
terlambat dari takbiratul ihram
dimakruhkan melakukan takbiratul ihram
kemudian berruku' tidak di dalam shaf
lalu berjalan memasuki shaf.
Seharusnya dia
menunggu hingga memasuki shaf, dan ketika itu barulah dia bertakbiratul ihram,
yakni bertakbiratul ihram kemudian menyempurnakan apa yang luput
darinya setelah imam mengucapkan salam dan selesai dari shalatnya. Akan tetapi
jika orang yang terlambat tersebut melakukan tindakan itu -yakni bertakbiratul ihram
sebelum memasuki shaf dan melakukan ruku', kemudian berjalan hingga memasuki
shaf maka shalatnya tetap sah walaupun hal itu menyalahi sunnah. Dari Abu
Bakrah ra.:
“Bahwa dia tiba (di
masjid) dan Rasulullah Saw. dalam posisi ruku', lalu dia ikut ruku' di luar
shaf, kemudian berjalan memasuki shaf. Maka Nabi Saw. bertanya: “Siapa orang
yang tadi ruku, kemudian berjalan memasuki shaf?” Abu Bakrah berkata: “Aku.”
Nabi Saw. bersabda: “Semoga Allah Swt. menjadikanmu lebih tamak pada kebaikan,
dan janganlah engkau mengulanginya.” (HR. Ahmad, Bukhari, an-Nasai, al-Baihaqi
dan at-Thahawi)
Ucapan beliau Saw.:
“semoga Allah Swt. menjadikanmu lebih tamak pada kebaikan dan janganlah engkau
mengulanginya”, ini menunjukkan bahwa shalat Abu Bakrah sah dan diterima.
Seandainya batil, tentu beliau Saw. memerintahkannya untuk mengulanginya lagi,
tetapi ini menyalahi sunnah. Inilah yang dipahami dari ucapan beliau Saw.:
“janganlah engkau mengulanginya.” Yang meriwayatkan kebolehan shalat Abu Bakrah
ini adalah (antara lain): Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Zubair, Said bin Jubair, Abu Salamah bin Abdul Haman, Urwah bin Zubair, Ibnu
Juraij dan Ma’mar, begitu pula Ibnul Mundzir dalam al-Ausath.
Di Mana Posisi Imam Dari Para
Makmum
Imam berdiri di depan
-bagian tengah shaf makmum berada tepat di belakangnya-. Dimakruhkan imam
berdiri di tempat yang lebih tinggi daripada para makmum, kecuali jika hal itu
dilakukan dengan tujuan pengajaran, maka tidak jadi masalah. Begitu juga sebaliknya
para makmum dimakruhkan berposisi lebih tinggi daripada imam mereka. Makmum
harus tetap bisa melihat imam atau mendengar suaranya. Jika ada penghalang
antara imam dengan makmum, namun penglihatan atau pendengaran tidak terganggu
maka tidak menjadi masalah. Para makmum juga boleh berada (sampai) di luar
masjid, selama dia melihat imam atau mendengar suaranya, sehingga bisa
mengikuti shalatnya. Dari Hammam:
“Bahwa Hudzaifah
mengimami orang-orang di Mada'in, shalat di atas bangku yang panjang. Abu
Mas'ud kemudian memegang jubahnya dan menariknya. Usai dari shalatnya dia
bertanya: “Apakah engkau tidak tahu bahwa orang-orang dilarang melakukan
perbuatan itu?” Hudzaifah berkata kepadanya: “Ya, aku ingat ketika engkau
menarikku.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
Syafi’i dan Ibnu
Hibban telah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Hudzaifah telah
shalat mengimami kami di atas bangku panjang yang tinggi, lalu dia sujud di
atasnya. Abu Mas’ud al-Badri menariknya, dan Hudzaifah mengikutinya. Usai
menyelesaikan shalat, Abu Mas’ud bertanya; “Bukankah hal ini telah dilarang?”
Maka Hudzarfah berkata kepadanya, “Apakah engkau tidak tahu aku telah
mengikutimu?”
Tingginya posisi imam
di atas para makmum dilarang, kecuali jika hal itu dilakukan dalam rangka
mengajarkan shalat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahal bin Saad
ra.:
“Bahwa Nabi Saw. duduk
di atas mimbar di hari pertama mimbar tersebut dibuat. Beliau bertakbir dan
beliau berada di atasnya, kemudian ruku’. Setelah itu beliau turun ke belakang,
lalu beliau sujud. Orang-orang pun ikut bersujud bersamanya, kemudian beliau
kembali hingga selesai. Tatkala berbalik, beliau berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikutiku, dan agar kalian
bisa mengetahui shalatku.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, an-Nasai dan ad-Darimi)
Dari Shalih bin
Ibrahim, ia berkata:
“Aku melihat Anas bin
Malik shalat Jumat di rumah Humaid bin Abdirrahman bin Auf, lalu dia shalat
mengikuti shalat imam yang berada di masjid. Dan di antara rumah Humaid dan
masjid ada jalan.” (Riwayat Syafi'iy dan al-Baihaqi)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Nabi Saw. shalat di hujrahnya (ruang tengah rumah), dan
orang-orang mengikuti beliau dari belakang hujrah
tersebut. Mereka shalat mengikuti shalat beliau Saw.” (HR. al-Baihaqi)
Sebelumnya telah kami
sebutkan dalam pembahasan “shalat tarawih” pada bab “tathawwu’.” Hadits Zaid bin Tsabit:
“Rasulullah Saw.
membuat satu ruang kecil dengan dialasi oleh kain tebal atau tikar, lalu
Rasulullah Saw. keluar dan shalat di dalamnya. Dia berkata: maka orang-orang
dari kalangan laki-laki mengamati hal tersebut, dan mereka shalat mengikuti
shalat beliau Saw...” (HR. Muslim, Bukhari dan an-Nasai)
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar