Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 03 Agustus 2017

Shalat Sunat Bukan Rawatib Dalam Perjalanan



Shalat Sunat Rawatib Dalam Perjalanan

Kaidah yang kami letakkan untuk membedakan antara shalat sunat rawatib dan shalat sunat mulhaqah (yang disertakan pada rawatib) itu adalah bahwa shalat sunat rawatib adalah shalat yang tidak dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. kurang dari itu, dan tidak ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. dalam kondisi apapun secara mutlak. Inilah dua syarat yang harus ada, sehingga suatu shalat dikategorikan shalat sunat rawatib. Kaidah ini layak diterapkan dalam kondisi hadhar (tidak bepergian) dan juga dalam kondisi safar (sedang bepergian).
Dengan meneliti nash-nash yang terkait dengan shalat tathawwu' dalam perjalanan, maka kita mendapati bahwa dua syarat ini tidak terpenuhi dalam shalat sunat apapun, di mana nash-nash yang ada menerangkan bahwa beliau Saw. kadang-kadang meninggalkan seluruh sunat rawatib selama dalam perjalanan -kalau tidak boleh kami sebutkan sebagai kondisi pada umumnya-. Sebab ada banyak hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan dua rakaat sebelum shalat subuh dalam perjalanan.

Sehingga ketika beliau meninggalkan shalat sunat rawatib ini dalam perjalanan -walaupun sekali saja- telah mengeluarkan shalat sunat tersebut dari kategori shalat sunat rawatib dalam perjalanan. Jika shalat tersebut terkategori sebagai shalat sunat rawatib dalam perjalanan niscaya beliau Saw. akan senantiasa dan terus-menerus melakukannya.

Berdasarkan hal ini, maka kami nyatakan: syariat yang lurus tidak mensunatkan shalat sunat rawatib apapun secara mutlak selama dalam perjalanan (safar). Syariat hanya menetapkan bagi kaum Muslim untuk shalat mutlaq tathaawwu' tanpa batasan apapun, sehingga tidak benar apabila dikatakan bahwa shalat sunat tersebut sebagai shalat sunat rawatib dalam perjalanan.

Dari Isa bin Hafsh bin Ashim dari ayahnya, ia berkata:

“Kami keluar bersama Ibnu Umar lalu kami shalat fardhu. Kemudian dia melihat sebagian anaknya melaksanakan shalat tathawwu', maka Ibnu Umar berkata: “Aku shalat bersama Nabi Saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam perjalanan, di mana mereka tidak shalat sebelumnya (qabliyah) dan juga setelahnya (ba'diyah).” Ibnu Umar berkata: “Seandainya aku melaksanakan shalat tathawwu’, niscaya aku menyempurnakannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:

“Aku menyertai Nabi Saw. hingga beliau dimakamkan, di mana beliau Saw. tidak shalat lebih dari dua rakaat; dan (aku) menyertai Abu Bakar hingga beliau dimakamkan, dan beliaupun tidak shalat lebih dari dua rakaat.”

Inilah nash yang dilalahnya qath’iy, bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak shalat sunat rawatib ataupun shalat sunat mulhaqah (yang disertakan pada rawatib) selama dalam perjalanan. Dan ini menunjukkan bahwa tidak ada shalat sunat rawatib dalam perjalanan. Hal ini seperti yang telah kami katakan bahwa disebut shalat sunat rawatib karena tidak ditinggalkan, karena syaratnya adalah shalat sunat itu dilakukan dengan terus-menerus (ad-dawam) oleh Rasulullah.

Saya merasa heran dengan orang yang menyatakan adanya shalat sunat rawatib dalam perjalanan dengan menggunakan hadits-hadits berikut sebagai dalilnya:

a. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata.

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. dalam kondisi hadhar (tidak bepergian) dan dalam kondisi safar (bepergian), di mana beliau Saw. shalat dhuhur dalam hadhar itu empat rakaat dan shalat setelahnya sebanyak dua rakaat, dan shalat ashar empat rakaat dan setelahnya tidak shalat apapun, dan shalat maghrib tiga rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan shalat isya empat rakaat. Dan dalam kondisi safar beliau Saw. shalat dhuhur dua rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan shalat ashar dua rakaat dan tidak ada shalat apapun setelahnya, dan shalat maghrib tiga rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan shalat isya dua rakaat dan setelahnya dua rakaat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

b. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata,

“Rasulullah Saw. mewajibkan shalat dalam kondisi hadhar dan safar sebagaimana engkau shalat dalam kondisi hadhar, sebelumnya dan setelahnya. Maka shalatlah dalam kondisi safar itu sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

c. Dari al-Barra bin Azib ra. ia berkata:

“Aku bepergian bersama Nabi Saw. sebanyak delapan belas perjalanan, di mana aku tidak melihat beliau Saw. meninggalkan dua rakaat sebelum dhuhur.” (HR. Ahmad)

Kepada mereka ini saya katakan: Bahwa hadits yang pertama, hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., padahal Ibnu Umar ra. sendiri telah meriwayatkan hadits shahih sebelumnya, di mana di dalamnya dinyatakan:

”...Di mana mereka tidak shalat sebelumnya (qabliyah) dan juga setelahnya (ba'diyah).”

Maka kedua ungkapan ini saling bertentangan, sehingga dengan adanya pertentangan (at-ta’arudh) seperti ini maka hadits shahih sebelumnya dianggap lebih rajih (kuat) dibandingkan hadits ini. Jadi, hadits yang pertamalah yang dipergunakan, sedangkan hadits yang kedua ditinggalkan, ini pertama.

Dan kedua, hadits ini -ketika berbicara tentang shalat hadhar dan menyebutkan sunat rawatib-, menyebutkan untuk shalat dhuhur itu ada dua rakaat ba'diyah saja, tidak menyebutkan sunat qabliyah, dan hal ini tentunya menyalahi seluruh hadits-hadits yang telah kami sebutkan dalam topik ini, sehingga hal itu menunjukkan kelemahan dan keganjilan hadits ini dari segi matannya. Karena itu, hadits yang dipakai adalah hadits shahih sebelumnya.

Yang ketiga, mungkin saja orang mengatakan bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya, sehingga tetap ada peluang mengkompromikan keduanya. Artinya, bahwa hadits yang pertama memberi pengertian mayoritas kondisi, dan hadits yang kedua memberi pengertian kondisi-kondisi lain untuk menjelaskan kebolehan tersebut -sebagaimana yang mereka katakan-. Dengan kata lain, bahwa dalam sebagian besar perjalanannya beliau Saw. tidak melakukan shalat-shalat sunat ini, tetapi beliau kadang-kadang melakukannya untuk menunjukkan kebolehannya. Saya katakan: pernyataan ini tidak benar, karena tidak sah jika menyebut shalat-shalat tersebut sebagai shalat sunat rawatib dalam perjalanan, dan pada sisi lain mengakui bahwa Rasulullah Saw. kadang melakukannya dan kadang meninggalkannya dalam perjalanan, maka bagaimana masih bisa disebut sunat rawatib dalam perjalanan kalau seperti itu?

Mengenai hadits yang kedua, ini adalah hadits dhaif yang tidak layak untuk dijadikan sebagai dalil. Ibnu al-Qathan telah mendhaifkannya. Ahmad sebagai perawi hadits ini pun telah mendhaifkannya, sehingga hal ini tidak membantu meringankan beban mereka.

Tentang hadits ketiga, maka hadits ini tidak menunjukkan pada adanya sunat rawatib muakkad qabliyah untuk shalat dhuhur dalam perjalanan. Tirmidzi dan Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Aku menemani Rasulullah Saw. delapan belas (kali) perjalanan, dan aku tidak melihatnya meninggalkan dua rakaat jika matahari tergelincir sebelum shalat dhuhur.”

Maka kedua rakaat ini bukanlah sunat rawatib untuk shalat dhuhur dalam perjalanan sebagaimana yang mereka persangkakan. Keduanya adalah dua rakaat yang beliau lakukan ketika matahari tergelincir sebelum tibanya shalat dhuhur, dan keduanya merupakan shalat nafilah saja.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam