Qunut Dalam Witir Dan Dalam
Shalat Wajib
Dalam memulai
pembahasan tentang qunut (yaitu maksudnya adalah do’a qunut, bukan sikap qunut
selama shalat), dikatakan: qunut itu disunahkan dalam shalat witir pada rakaat
terakhirnya, dan dikerjakan sepanjang tahun. Malahan lebih ditekankan lagi pada
pertengahan akhir dari bulan Ramadhan. Qunut dilakukan setelah ruku'. Tetapi
jika seseorang berqunut sebelum ruku' maka hal itu boleh saja, karena perkara
ini begitu lapang, tetapi qunut setelah ruku' lebih saya sukai.
Al-Baihaqi berkata:
“para perawi qunut setelah ruku' itu lebih banyak dan lebih hafidz, dan para
Khulafa'ur Rasyidin berpegang pada pendapat ini.”
Ahmad berkata: “tidak
seorangpun yang meriwayatkan qunut sebelum ruku' dari Anas kecuali ‘Ashim
al-Ahwal saja.”
Disunahkan untuk
berdoa dengan doa berikut dalam witir:
“Ya Allah, berilah aku
petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku
kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, pimpinlah aku
bersama-sama orang yang telah Engkau pimpin, berilah berkah pada segala apa yang
Engkau berikan kepadaku, dan peliharalah aku dari keburukan yang telah Engkau
takdirkan, karena sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang
bisa menentukan atas Engkau. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau
beri kekuasaan, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, Maha berkahlah
Engkau wahai Tuhan kami dan Maha luhur.”
Atau dengan doa
seperti berikut:
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung pada keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku
berlindung pada kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu
dari-Mu, dan aku tidak sanggup memuji-Mu dengan lantunan pujian sebagaimana
Engkau telah memuji diri-Mu sendiri.”
Meskipun demikian,
bukan berarti doa itu tidak sah apabila tidak dengan salah satu dari keduanya.
Seorang Muslim hendaknya memohon kepada Tuhannya apa yang dibutuhkannya dengan
doa ini, atau doa itu, atau doa selain keduanya, atau dengan menghimpun doa-doa
ma'tsurah sesuai dengan permintaan dan
apa yang dibutuhkannya. Dari Ali ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
mengucapkan di akhir witirnya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada
keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku berlindung pada kemaafan-Mu dari
siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, dan aku tidak sanggup
menghitung berapa jumlah pujian yang harus dilantunkan untuk-Mu, sebagaimana
Engkau telah memuji diri-Mu.” (HR. Ahmad, al-Hakim, Abu Dawud, Tirmidzi dan
an-Nasai)
Hadits ini menyatakan:
“beliau Saw. mengucapkan di akhir witirnya”, yakni dalam rakaat terakhir witir
tersebut. Doa yang ada dalam hadits tersebut adalah doa kedua, yang sebelumnya
saya sebutkan di atas.
Dari al-Hasan bin Ali
ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut shalat witir: “Ya
Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri
petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri
kesehatan, pimpinlah aku bersama-sama orang yang telah Engkau pimpin, berilah
berkah pada segala apa yang Engkau berikan padaku, dan peliharalah aku dari
keburukan yang telah Engkau takdirkan, karena sesungguhnya hanya Engkaulah yang
menentukan sesuatu dan tidak ada yang berkuasa atas-Mu. Sesungguhnya tidak akan
hina orang yang Engkau beri kekuasaan, Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan
Maha Luhur.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah dan Abu Dawud)
Al-Baihaqi dan
at-Thabrani meriwayatkan hadits ini dengan tambahan:
“Sesungguhnya tidak
akan mulia orang yang Engkau musuhi,”
setelah kalimat:
“sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau beri kekuasaan”, dan ini
merupakan tambahan yang shahih sehingga layak diterima dan ditambahkan pada doa
tersebut.
Abu Dawud
meriwayatkan:
“Bahwa Umar bin
al-Khaththab telah mengumpulkan orang-orang untuk diimami oleh Ubay bin Kaab,
lalu dia memimpin mereka shalat selama dua puluh malam, dan tidak berqunut
kecuali pada setengah yang terakhir.”
Yaitu setengah
terakhir dari bulan Ramadhan, karena hadits ini berbicara tentang shalat
tarawih, dan tarawih tidak dilakukan kecuali pada bulan Ramadhan, dengan dilalah dari hadits kedua yang diriwayatkan
Abu Dawud dengan redaksi:
“Bahwa Ubay bin Kaab
telah mengimami mereka -yakni dalam bulan Ramadhan- dan beliau berqunut pada
setengah yang terakhir dari bulan Ramadhan.”
Nanti akan kami
sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya berdoa qunut sebelum ruku’
maupun setelah ruku’.
Tentang berdo’a qunut
shalat wajib yang lima waktu, maka qunut tersebut disyariatkan ketika ada
musibah dan malapetaka saja. Apabila terjadi bencana atau malapetaka, maka
qunut disyariatkan di seluruh shalat wajib yang lima waktu, tetapi tidak
disyariatkan menjadikan satu shalat itu saja untuk berqunut. Artinya, salah
satu shalat tidak boleh dikhususkan untuk berqunut, lalu tidak dengan shalat
yang lain (menafikan adanya qunut pada shalat yang lain). Namun, jika tidak ada
musibah atau malapetaka, maka tidak ada qunut dalam shalat wajib yang lima.
Saat itu tidak ada qunut kecuali dalam shalat witir saja.
Dari Abi Malik
al-Asyja’i, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Nabi Saw.,
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sini, yakni di Kufah sudah lima tahun,
apakah mereka berqunut?” Beliau berkata: “Wahai anakku, itu adalah perkara yang
diada-adakan.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ibnu Abi
Syaibah)
(penjelasan hadits ini
nanti di bawah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Aku telah shalat di
belakang Nabi Saw. dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang
Abu Bakar dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Umar bin
Khaththab dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Utsman
dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Ali dan beliau
tidak berqunut. Kemudian dia berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya ini adalah
perkara bid’ah.”
(penjelasan hadits ini
nanti di bawah)
Yang saya maksud
dengan musibah dan malapetaka di sini bukan sesuatu yang menimpa masyarakat
umum saja, seperti peperangan, gempa bumi, banjir dan angin topan, tetapi saya
juga mengartikannya sebagai bencana dan musibah yang menimpa seseorang,
misalnya seseorang dipenjara, atau dicari oleh penguasa tiran, atau tersesat
dalam perjalanannya, atau ditimpa penyakit yang sangat parah, maka semua ini
adalah musibah perseorangan, di mana si mushalli
bisa berqunut dalam shalat wajib manapun. Dalil boleh dilakukannya berdoa qunut
ketika ada musibah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata:
“Nabi Saw. berqunut
selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan
subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami'allahu liman hamidahu dalam rakaat
terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani
Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah, dan orang yang ada di belakang
mengaminkannya. Dia berkata: Nabi Saw. mengirim utusan kepada mereka mengajak
mereka masuk Islam, tetapi mereka malah membunuhnya. Ikrimah berkata: Inilah
awal terjadinya qunut.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan
al-Hakim)
Seorang Muslim boleh
terus-menerus melakukan do’a qunut selama musibah itu masih ada, sehingga jika
musibah itu berhenti maka hendaknya dia pun berhenti dari qunut, atau dia
berqunut selama terjadinya musibah tersebut sekehendaknya, lalu berhenti, dan
dia tidak boleh meneruskan qunutnya itu setelah selesainya musibah. Dari Anas
bin Malik ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berqunut selama sebulan setelah ruku'. Beliau mendoakan Ri'lin, dan Dzakwan.
Dan dia berkata: Ushayyah telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR.
Ahmad, an-Nasai dan Bukhari)
Muslim telah
meriwayatkan hadits ini dengan adanya batasan shalat subuh.
Dari Anas bin Malik
ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berqunut selama sebulan, di mana setelah ruku' beliau Saw. mendoakan keburukan
atas sejumlah orang dari kalangan Arab, kemudian beliau Saw. meninggalkannya.”
(HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Hibban, an-Nasai, dan Abu Dawud)
Dari Ashim al-Ahwal
dari Anas, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
beliau tentang qunut: Apakah sebelum ruku' ataukah setelah ruku? Maka ia
berkata: Sebelum ruku. Ia berkata: aku berkata: Mereka sesungguhnya menyangka
bahwa Rasulullah Saw. berqunut setelah ruku? Maka ia berkata: Mereka berdusta,
sesungguhnya Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan, mendoakan (laknat)
sekelompok orang yang telah membunuh sejumlah sahabatnya yang dipanggil
al-Qurra (para ahli al-Qur'an).” (HR. Ahmad dan Muslim)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi: Dari ‘Ashim, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Anas bin Malik tentang qunut, maka ia berkata: Qunut itu ada. Aku berkata:
Sebelum ruku' atau setelahnya? Ia berkata: Sebelumnya. Aku bertanya:
Sesungguhnya si fulan mengabarkan darimu bahwa engkau berkata setelah ruku'.
Maka ia berkata: Dia bohong, sesungguhnya Rasulullah Saw. (melakukannya)
setelah ruku' selama sebulan. Aku melihat beliau Saw. mengutus sejumlah orang
yang dipanggil al-Qurra (para ahli al-Qur'an) kira-kira sejumlah tujuh puluh
orang pada satu kaum dari kalangan musyrik, tetapi mereka malah membunuhnya,
padahal antara mereka dengan Rasulullah Saw. ada perjanjian, lalu Rasulullah
Saw. berqunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka.”
Dari Abu Hurairah ra.
ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berqunut dalam shalat isya selama sebulan. Beliau berdoa dalam qunutnya itu:
“Ya Allah, menangkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah
bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah
selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukmin. Ya Allah, kuatkanlah
siksaan-Mu pada Mudhar. Ya Allah, jadikanlah siksaan dan himpitanmu atas mereka
dalam beberapa tahun seperti tahun-tahun Yusuf.” Abu Hurairah berkata:
Rasulullah Saw. suatu hari shalat subuh dan tidak mendoakan mereka, lalu aku
mengingatkan beliau tentang hal itu. Maka beliau Saw. bersabda: “Apakah engkau
tidak melihat mereka telah kembali?” (HR. Ibnu Hibban, Abu Dawud, dan Ibnu
Khuzaimah)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Dari Abu Hurairah ra.
bahwa Nabi Saw. berqunut setelah suatu rakaat dalam shalat selama sebulan. Jika
beliau mengucapkan samilallahu liman hamidah,
maka beliau mengucapkan dalam doanya... -seperti riwayat Ibnu Hibban- ...Abu
Hurairah ra. berkata: Kemudian aku melihat Rasulullah Saw. meninggalkan doa
tersebut setelahnya. Aku berkata: Tampaknya Rasulullah Saw. tidak lagi berdoa
untuk mereka. Ia berkata, dikatakan: apakah tidak nampak padamu bahwa mereka
telah kembali?”
Hadits-hadits ini
telah menunjukkan bahwa berdoa qunut itu disyariatkan dalam kondisi terjadinya
musibah, dan dihentikan dengan berhentinya musibah tersebut, dan tidak terus
dilakukan.
Ibnu Hibban berkata
setelah riwayat hadits yang terakhir: “Dalam hadits ini ada paparan yang jelas
bahwa qunut itu dilakukan dalam shalat-shalat ketika terjadinya satu peristiwa,
seperti munculnya musuh Allah yang menyerang kaum Muslim, atau kedzaliman seorang
yang dzalim di mana dengannya seseorang didzalimi atau dimusuhi, atau adanya
sekelompok orang yang ingin didoakan demi kebaikannya, atau adanya beberapa
ekspedisi (militer) kaum Muslim melawan orang-orang musyrik dan ingin didoakan
agar kemenangan ada di tangan mereka, atau kondisi-kondisi serupa yang lainnya.
Jika sebagian yang kami sebutkan ini ada, maka seseorang boleh berqunut dalam
satu shalat atau lima shalat seluruhnya atau hanya sebagiannya. (Yaitu
dilakukan) setelah mengangkat kepalanya dari ruku' di rakaat terakhir dari
shalatnya, seraya mendoakan kejelekan bagi siapa saja yang ingin didoakannya,
dengan disebutkan namanya, dan kebaikan bagi siapa saja yang ingin didoakannya,
dengan disebutkan namanya. Apabila berbagai kondisi ini tidak ada, maka tidak
boleh berqunut sama sekali dalam shalat wajibnya, karena Nabi Saw. berqunut
mendoakan keburukan untuk kaum musyrik dan mendoakan kemenangan bagi kaum
Muslim. Suatu pagi dari suatu hari, beliau meninggalkan qunut, lalu Abu
Hurairah mengingatkan hal itu, maka beliau Saw. bersabda: “Bukankah kalian
melihat mereka telah datang?” Maka dalam hal ini sangat jelas sekali keshahihan dasar yang kami jadikan pijakan.”
Menurut saya, Ibnu Hibban telah benar dalam pendapatnya ini.
Tetapi ada yang
berpendapat bahwa do’a qunut itu dilakukan dalam shalat subuh saja. Mereka ini
terbagi dua golongan. Satu kelompok mengatakan: boleh qunut dalam shalat subuh
sepanjang tahun, dan kelompok yang lain berkata: boleh qunut ketika ada musibah
hanya dalam shalat subuh saja. Mereka telah berdalil dengan sejumlah hadits
yang bisa saya sebutkan berikut ini:
a. Dari Anas ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
berqunut (selama) sebulan, mendoakan keburukan atas mereka. Lalu beliau Saw.
meninggalkannya. Adapun dalam shalat subuh, beliau Saw. selalu berqunut hingga
meninggal dunia.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan al-Hakim)
Ahmad meriwayatkan
bagian terakhir hadits ini.
b. Dari Ibnu Sirin, ia
berkata:
“Anas bin Malik
ditanya: Apakah Rasulullah Saw. berqunut? Ia berkata: Ya, (dilakukan) setelah
ruku’. Kemudian dia ditanya lagi pada kesempatan yang lain: Apakah Rasulullah
Saw. berqunut pada shalat subuh. Ia berkata: Sejenak setelah ruku.” (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan at-Thahawi)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Dari Muhammad bin
Sirin ia berkata: Anas ditanya: Apakah Nabi Saw. berqunut dalam (shalat) subuh?
Ia berkata: Ya. Lalu ditanya lagi: Apakah Rasulullah Saw. berqunut sebelum
ruku? Ia berkata: Sejenak setelah ruku’.”
c. Dari Anas bin
Malik, ia berkata:
“Dia ditanya tentang
qunut dalam shalat subuh, maka dia berkata: Kami berqunut sebelum ruku' dan
setelahnya.” (HR. Ibnu Majah)
d. Dari Anas bin Malik
ra. ia berkata:
“Nabi Saw. mengutus
satu ekspedisi yang disebut al-Qurra (para ahli al-Qur'an), lalu mereka
diserang. Maka aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berduka cita sama
sekali melebihi duka cita beliau atas mereka. Kemudian beliau Saw. berqunut
selama satu bulan dalam shalat fajar, dan beliau berkata: “Sesungguhnya
'Ushayyah telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
e. Hadits yang
diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban dan Muslim:
“Dari Khufaf bin Ima
bin Rahashah al-Ghifari, dia berkata: Rasulullah Saw. shalat subuh mengimami
kami dan kami ada bersamanya. Ketika beliau Saw. mengangkat kepalanya (bangkit
dari ruku'-pen.) pada rakaat terakhir ia
berdoa: “Semoga Allah melaknat Lihyan, Ri'il, dan Dzkawan, serta 'Ushayyah yang
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah menyelamatkan Aslam, dan
semoga Allah mengampuni Ghifar.” Lalu Rasulullah Saw. bersujud. Ketika beliau
Saw. selesai dari shalatnya dan hendak pergi, beliau Saw. berkata kepada
orang-orang: “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukanlah yang mengucapkannya,
tetapi Allah azza wa jalla yang
mengucapkannya.”
Maka kami katakan
kepada mereka: mengenai dua hadits yang kelima dan keempat, keduanya
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. telah berdo’a qunut pada shalat subuh, dan
bahwa doa qunut tersebut dilakukan karena ada peristiwa pembunuhan terhadap
al-Qurra (para ahli al-Qur’an). Dua hadits ini tidak memberi pemahaman adanya
batasan bahwa qunut itu dilakukan pada shalat subuh saja. Kedua hadits ini
semata-mata menceritakan suatu fakta nyata yang dilihat oleh perawi lalu dia
menukilkannya, maka penukilan terjadinya qunut dalam shalat fajar tidak
menafikan adanya qunut tersebut pada selain shalat fajar.
Bahkan kami memiliki
sejumlah hadits yang menceritakan adanya qunut dalam shalat subuh dan shalat
selain subuh, yang terkait peristiwa al-Qurra itu, sehingga menegasikan
pembatasan dilakukannya qunut hanya pada shalat subuh saja.
Sebelumnya telah kami
sebutkan hadits Ibnu Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ahmad,
Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim, dan di dalamnya disebutkan:
“Nabi Saw. berqunut
selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan
subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami'allahu liman hamidahu dalam rakaat
terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani
Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah,…”
Begitu juga telah
terbukti, ketika ada malapetaka, Rasulullah Saw. berqunut dalam shalat subuh
dan shalat selain subuh, sehingga menafikan pengkhususan berdoa qunut untuk
shalat subuh saja. Abu Hurairah ra. meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw. jika
mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku’) pada rakaat terakhir dalam shalat
isya, beliau berqunut, dan mengucapkan: “Ya Allah menangkanlah al-Walid bin
al-Walid. Ya Allah menangkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah menangkanlah
Ayyasy bin Abi Rabi'ah. Ya Allah selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan
mukmin. Ya Allah kuatkanlah himpitan-Mu atas Mudhar. Ya Allah jadikan himpitan
itu beberapa tahun seperti tahun-tahun Yusuf as.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu
Khuzaimah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Hadits ini sebelumnya
telah kami sebutkan dengan redaksi Ibnu Hibban.
Inilah hadits tentang
berdo’a qunut yang dilakukan dalam shalat isya.
Abu Salamah telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Demi Allah,
sesungguhnya aku ingin mendekatkan shalat Rasulullah Saw. pada kalian. Ia
berkata: Abu Hurairah berqunut pada rakaat terakhir shalat dhuhur, shalat isya
dan shalat subuh. Abu Amir berkata dalam haditsnya: Shalat isya yang terakhir
dan shalat subuh, setelah mengucapkan sami'allahu
liman hamidah, dan mendoakan kaum mukmin dan melaknat orang kafir. Abu
Amir berkata: Beliau Saw. melaknat orang-orang kafir.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud dan an-Nasai)
Hadits ini jelas
menyebutkan adanya qunut dalam shalat dhuhur, shalat isya dan shalat subuh.
Al-Barra bin ‘Azib ra. berkata:
“Bahwa Nabi Saw.
berqunut pada shalat subuh dan maghrib.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
an-Nasai dan Tirmidzi)
Hadits ini jelas
menyebutkan adanya doa qunut dalam shalat subuh dan maghrib. Yang serupa adalah
hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa ia berkata:
“Qunut itu dilakukan
pada shalat maghrib dan fajar.” (HR. Bukhari)
Dengan demikian,
apakah masih tersisa hujjah pada mereka
untuk membatasi qunut hanya pada shalat subuh saja ketika terjadi malapetaka?
Mengenai hadits ketiga
dan kedua, keduanya menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. telah berqunut pada
shalat subuh, dan hadits ini berisi tanya jawab, di mana si penanya bertanya
tentang qunut dalam shalat subuh, maka dijawab dengan jawaban yang positif
(yang mengiyakannya). Si penanya tidak bertanya tentang qunut di (waktu) selain
subuh sehingga kita bisa mengetahui apakah jawabannya iya atau tidak.
Karena itu, dalam dua
hadits ini tidak ada dilalah sama sekali
yang bisa membatasi qunut hanya pada shalat subuh saja, sehingga tidak tersisa
dalil pada mereka untuk tetap membatasi qunut pada shalat subuh selain hadits
yang pertama saja, yakni ucapannya: “Adapun dalam shalat subuh, maka beliau
selalu berqunut hingga meninggal dunia.” Maka kami membantahnya sebagai
berikut:
a. Sesungguhnya hadits ini bertentangan dengan
hadits sebelumnya yang telah kami sebutkan:
“Aku shalat di
belakang Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak berqunut…” (HR. Ibnu Hibban,
an-Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah dari jalur Abi Malik
al-Asyja'i)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Aku bertanya kepada
ayahku: Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Nabi Saw.,
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sini, yakni di Kufah sudah lima tahun,
apakah mereka berqunut? Beliau berkata: Wahai anakku, itu adalah perkara yang
diada-adakan.”
Bagaimana kita bisa
mengkompromikan antara dua hadits yang saling bertentangan ini? Karena itu,
kita harus menolak salah satunya atau menakwilkan salah satunya.
b. Sesungguhnya kita telah memiliki bukti bahwa
berdo’a qunut itu hanya dibatasi pada shalat-shalat fardhu ketika terjadinya
malapetaka. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits-hadits yang menunjukkan atas
hal itu, sehingga kami tidak perlu mengulangnya. Dan hadits-hadits tadi juga
bertentangan dengan hadits ini, sehingga kita bisa menolak hadits ini atau bisa
juga menakwilkannya. Yang lebih memperkuat pendapat kami ini adalah hadits yang
diriwayatkan Anas ra.:
“Bahwa Nabi Saw. tidak
berqunut kecuali jika mendoakan kebaikan untuk satu kaum atau mendoakan
keburukan untuk suatu kaum.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Dan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Nabi Saw. tidak
berqunut kecuali jika beliau mendoakan kebaikan untuk seseorang atau mendoakan
kejelekan untuk seseorang. Dan jika beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka beliau berkata: rabbana wa lakal hamdu, ya Allah
menangkanlah...” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Dan hadits serupa yang
juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, maka apa yang akan dikatakan oleh mereka
yang membatasi do’a qunut hanya pada shalat subuh saja?
c. Hadits ini (“Adapun dalam shalat subuh, maka
beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia”) memiliki cacat, di dalamnya ada
Abu Ja’far ar-Razi at-Tamimi, seorang perawi yang telah dikomentari oleh Ahmad:
“bukan seorang yang kuat dalam bidang hadits”, dan dikomentari oleh Ali bin
al-Madini: “sesungguhnya dia seorang yang kacau”, dikomentari pula oleh Abu
Zur’ah: “sesungguhnya dia seorang tua yang banyak ragu dan salah.” Ibnu Main
berkata: “sesungguhnya haditsnya ditulis, tetapi dia suka keliru.” Ibnu Hibban
berkata: “dia seringkali menyendiri meriwayatkan sesuatu yang berbeda dari yang
masyhur, sehingga tidak menyenangkanku berhujjah
dengan haditsnya, kecuali jika sesuai dengan yang tsiqah.”
Dengan demikian maka
hadits ini (“Adapun dalam shalat subuh, maka beliau selalu berqunut hingga
meninggal dunia”) adalah hadits dhaif yang tidak boleh dijadikan sebagai hujjah dan sandaran di hadapan banyak hadits
shahih dan hasan yang menyalahinya.
d. Kami memiliki sejumlah hadits shahih, yang
jelas-jelas menerangkan bahwa doa qunut dalam shalat subuh itu dilakukan hanya
sementara (bersifat temporer) dalam waktu sebulan saja, dan berdoa qunut
tersebut dilakukan ketika terjadi malapetaka yang menimpa al-Qurra (para ahli
al-Qur’an). Dari Anas bin Malik ra.:
“Rasulullah Saw.
berqunut selama sebulan, (dilakukan) setelah ruku' dalam shalat subuh,
mendoakan keburukan kepada Ri'il dan Dzakwan, dan berkata: Ushayyah telah
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim)
Dari Anas bin Malik
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
telah berqunut selama sebulan, (dilakukan) setelah ruku' dalam shalat fajar,
mendoakan keburukan untuk Bani Ushayyah.” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa Abu
Ja’far ar-Razi meriwayatkan hadits dari Anas ra., bahwa Rasulullah Saw.
terus-menerus berqunut dalam shalat subuh hingga beliau meninggal dunia?
e. Sesungguhnya hadits ini tidak ragu lagi
telah menyelisihi hadits-hadits shahih yang berjumlah banyak. Karena
pertentangannya ini maka hadits ini ditinggalkan, dan kita hanya mengamalkan
hadits-hadits shahih yang banyak tersebut. Pernyataan ini kita ambil jika kita
mengambil dhahir hadits ini saja tanpa
menakwilkannya. Namun ada peluang bagi kita menakwilkannya dan mengkompromikan
hadits ini dengan hadits-hadits shahih tadi.
Kami katakan: “qunut
dalam hadits ini bisa dipahami sebagai lamanya berdiri, bukan doa qunut yang
biasa kita ketahui. Artinya, bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat fajar
lebih lama daripada shalat selainnya, dan inilah makna yang dimaksud oleh hadits
ini, di mana Rasulullah Saw. berqunut bukan dalam arti berdoa, tetapi berdiri
lama (lebih lama dari shalat lainnya) agar lebih lama berdzikir kepada Allah
Swt. Takwil ini kami lakukan dalam rangka mengamalkan dua dalil dan tidak
membuang salah satunya, dan hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan
Muhammad bin Sirin, ia berkata:
“Dan telah bercerita
kepadaku orang yang shalat subuh bersama Rasulullah, ketika beliau Saw.
mengangkat kepalanya pada rakaat kedua, beliau berdiri sebentar.” (HR. Abu
Dawud dan ad-Daruquthni)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Telah bercerita
kepadaku sebagian orang yang shalat subuh di belakang Rasulullah saw. Ketika
beliau Saw. mengucapkan: sami'allahu liman
hamidahu, dari rakaat yang kedua, kemudian (beliau) berdiri sebentar.”
Dengan dua aspek ini,
baik dari sisi dhahir hadits ataupun dengan menakwilkannya, maka qunut yang
dilakukan dalam shalat subuh secara terus-menerus itu tidak disyariatkan, juga
tidak dalam shalat selainnya.
Akhirnya, kami katakan
bahwa doa qunut itu, baik dalam shalat fajar ataupun shalat fardhu selainnya
ketika ada bencana, atau dalam shalat witir
secara terus-menerus, doa tersebut diucapkan dengan keras sehingga terdengar
oleh para makmum yang berada di belakangnya dan mereka mengaminkannya.
Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Ibnu
Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim, di mana di dalamnya
disebutkan:
“Nabi Saw. berqunut
selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan
subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami 'allahu liman hamidahu dalam rakaat
terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani
Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah, dan orang yang ada di belakang
mengaminkannya...”
Perhatikan ucapannya:
“dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh”, dan ucapannya: “dan
orang yang ada di belakang mengaminkannya”, yang menunjukkan disyariatkannya
menjaharkan do’a qunut dalam
shalat-shalat seluruhnya, baik yang jahriyah
ataupun yang sirriyah. Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika ingin mendoakan keburukan atas seseorang atau kebaikan bagi seseorang,
maka beliau berqunut setelah ruku', dan ketika beliau berkata: sami’allahu liman hamidahu, rabbana wa walakal hamdu, maka beliau berdoa:
mengucapkan: “Ya Allah menangkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam
dan Ayyasy bin Abi Rabi ’ah. Ya Allah selamatkanlah orang-orang lemah dari
kalangan mukmin. Ya Allah kuatkanlah siksaan-Mu atas Mudhar. Ya Allah jadikan siksaan
dan himpitan-Mu atas mereka sebagai tahun-tahun seperti tahun-tahun Yusuf as.”
Ia (perawi) berkata: beliau Saw. menjahrkan
qunut tersebut dan berdoa dalam sebagian shalatnya pada shalat fajar: Ya Allah
laknatlah si fulan, dan si fulan, dua orang dari kalangan Arab, hingga Allah
Swt. menurunkan (terkait mereka yang dilaknat itu): “Tak ada sedikitpun campur
tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau
mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim.” [
TQS. Ali Imran: 128]. (HR. Ahmad)
Di dalam hadits ini
jelas sekali disebutkan: beliau menjaharkan
qunut tersebut.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar