Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 04 Agustus 2017

Dalil Do’a Qunut Dalam Shalat Wajib Dan Shalat Witir



Qunut Dalam Witir Dan Dalam Shalat Wajib

Dalam memulai pembahasan tentang qunut (yaitu maksudnya adalah do’a qunut, bukan sikap qunut selama shalat), dikatakan: qunut itu disunahkan dalam shalat witir pada rakaat terakhirnya, dan dikerjakan sepanjang tahun. Malahan lebih ditekankan lagi pada pertengahan akhir dari bulan Ramadhan. Qunut dilakukan setelah ruku'. Tetapi jika seseorang berqunut sebelum ruku' maka hal itu boleh saja, karena perkara ini begitu lapang, tetapi qunut setelah ruku' lebih saya sukai.
Al-Baihaqi berkata: “para perawi qunut setelah ruku' itu lebih banyak dan lebih hafidz, dan para Khulafa'ur Rasyidin berpegang pada pendapat ini.”
Ahmad berkata: “tidak seorangpun yang meriwayatkan qunut sebelum ruku' dari Anas kecuali ‘Ashim al-Ahwal saja.”

Disunahkan untuk berdoa dengan doa berikut dalam witir:

“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, pimpinlah aku bersama-sama orang yang telah Engkau pimpin, berilah berkah pada segala apa yang Engkau berikan kepadaku, dan peliharalah aku dari keburukan yang telah Engkau takdirkan, karena sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang bisa menentukan atas Engkau. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau beri kekuasaan, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, Maha berkahlah Engkau wahai Tuhan kami dan Maha luhur.”

Atau dengan doa seperti berikut:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku berlindung pada kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, dan aku tidak sanggup memuji-Mu dengan lantunan pujian sebagaimana Engkau telah memuji diri-Mu sendiri.”

Meskipun demikian, bukan berarti doa itu tidak sah apabila tidak dengan salah satu dari keduanya. Seorang Muslim hendaknya memohon kepada Tuhannya apa yang dibutuhkannya dengan doa ini, atau doa itu, atau doa selain keduanya, atau dengan menghimpun doa-doa ma'tsurah sesuai dengan permintaan dan apa yang dibutuhkannya. Dari Ali ra.:

“Bahwa Nabi Saw. mengucapkan di akhir witirnya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku berlindung pada kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, dan aku tidak sanggup menghitung berapa jumlah pujian yang harus dilantunkan untuk-Mu, sebagaimana Engkau telah memuji diri-Mu.” (HR. Ahmad, al-Hakim, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Hadits ini menyatakan: “beliau Saw. mengucapkan di akhir witirnya”, yakni dalam rakaat terakhir witir tersebut. Doa yang ada dalam hadits tersebut adalah doa kedua, yang sebelumnya saya sebutkan di atas.

Dari al-Hasan bin Ali ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut shalat witir: “Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, pimpinlah aku bersama-sama orang yang telah Engkau pimpin, berilah berkah pada segala apa yang Engkau berikan padaku, dan peliharalah aku dari keburukan yang telah Engkau takdirkan, karena sesungguhnya hanya Engkaulah yang menentukan sesuatu dan tidak ada yang berkuasa atas-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau beri kekuasaan, Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha Luhur.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah dan Abu Dawud)

Al-Baihaqi dan at-Thabrani meriwayatkan hadits ini dengan tambahan:


“Sesungguhnya tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi,”

setelah kalimat: “sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau beri kekuasaan”, dan ini merupakan tambahan yang shahih sehingga layak diterima dan ditambahkan pada doa tersebut.

Abu Dawud meriwayatkan:

“Bahwa Umar bin al-Khaththab telah mengumpulkan orang-orang untuk diimami oleh Ubay bin Kaab, lalu dia memimpin mereka shalat selama dua puluh malam, dan tidak berqunut kecuali pada setengah yang terakhir.”

Yaitu setengah terakhir dari bulan Ramadhan, karena hadits ini berbicara tentang shalat tarawih, dan tarawih tidak dilakukan kecuali pada bulan Ramadhan, dengan dilalah dari hadits kedua yang diriwayatkan Abu Dawud dengan redaksi:

“Bahwa Ubay bin Kaab telah mengimami mereka -yakni dalam bulan Ramadhan- dan beliau berqunut pada setengah yang terakhir dari bulan Ramadhan.”

Nanti akan kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya berdoa qunut sebelum ruku’ maupun setelah ruku’.

Tentang berdo’a qunut shalat wajib yang lima waktu, maka qunut tersebut disyariatkan ketika ada musibah dan malapetaka saja. Apabila terjadi bencana atau malapetaka, maka qunut disyariatkan di seluruh shalat wajib yang lima waktu, tetapi tidak disyariatkan menjadikan satu shalat itu saja untuk berqunut. Artinya, salah satu shalat tidak boleh dikhususkan untuk berqunut, lalu tidak dengan shalat yang lain (menafikan adanya qunut pada shalat yang lain). Namun, jika tidak ada musibah atau malapetaka, maka tidak ada qunut dalam shalat wajib yang lima. Saat itu tidak ada qunut kecuali dalam shalat witir saja.

Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata:

“Aku bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sini, yakni di Kufah sudah lima tahun, apakah mereka berqunut?” Beliau berkata: “Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ibnu Abi Syaibah)
(penjelasan hadits ini nanti di bawah)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Aku telah shalat di belakang Nabi Saw. dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Abu Bakar dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Umar bin Khaththab dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Utsman dan beliau tidak berqunut, dan aku telah shalat di belakang Ali dan beliau tidak berqunut. Kemudian dia berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya ini adalah perkara bid’ah.”
(penjelasan hadits ini nanti di bawah)

Yang saya maksud dengan musibah dan malapetaka di sini bukan sesuatu yang menimpa masyarakat umum saja, seperti peperangan, gempa bumi, banjir dan angin topan, tetapi saya juga mengartikannya sebagai bencana dan musibah yang menimpa seseorang, misalnya seseorang dipenjara, atau dicari oleh penguasa tiran, atau tersesat dalam perjalanannya, atau ditimpa penyakit yang sangat parah, maka semua ini adalah musibah perseorangan, di mana si mushalli bisa berqunut dalam shalat wajib manapun. Dalil boleh dilakukannya berdoa qunut ketika ada musibah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Nabi Saw. berqunut selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami'allahu liman hamidahu dalam rakaat terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah, dan orang yang ada di belakang mengaminkannya. Dia berkata: Nabi Saw. mengirim utusan kepada mereka mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka malah membunuhnya. Ikrimah berkata: Inilah awal terjadinya qunut.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim)

Seorang Muslim boleh terus-menerus melakukan do’a qunut selama musibah itu masih ada, sehingga jika musibah itu berhenti maka hendaknya dia pun berhenti dari qunut, atau dia berqunut selama terjadinya musibah tersebut sekehendaknya, lalu berhenti, dan dia tidak boleh meneruskan qunutnya itu setelah selesainya musibah. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan setelah ruku'. Beliau mendoakan Ri'lin, dan Dzakwan. Dan dia berkata: Ushayyah telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Bukhari)

Muslim telah meriwayatkan hadits ini dengan adanya batasan shalat subuh.

Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan, di mana setelah ruku' beliau Saw. mendoakan keburukan atas sejumlah orang dari kalangan Arab, kemudian beliau Saw. meninggalkannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Hibban, an-Nasai, dan Abu Dawud)

Dari Ashim al-Ahwal dari Anas, ia berkata:

“Aku bertanya kepada beliau tentang qunut: Apakah sebelum ruku' ataukah setelah ruku? Maka ia berkata: Sebelum ruku. Ia berkata: aku berkata: Mereka sesungguhnya menyangka bahwa Rasulullah Saw. berqunut setelah ruku? Maka ia berkata: Mereka berdusta, sesungguhnya Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan, mendoakan (laknat) sekelompok orang yang telah membunuh sejumlah sahabatnya yang dipanggil al-Qurra (para ahli al-Qur'an).” (HR. Ahmad dan Muslim)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan redaksi: Dari ‘Ashim, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, maka ia berkata: Qunut itu ada. Aku berkata: Sebelum ruku' atau setelahnya? Ia berkata: Sebelumnya. Aku bertanya: Sesungguhnya si fulan mengabarkan darimu bahwa engkau berkata setelah ruku'. Maka ia berkata: Dia bohong, sesungguhnya Rasulullah Saw. (melakukannya) setelah ruku' selama sebulan. Aku melihat beliau Saw. mengutus sejumlah orang yang dipanggil al-Qurra (para ahli al-Qur'an) kira-kira sejumlah tujuh puluh orang pada satu kaum dari kalangan musyrik, tetapi mereka malah membunuhnya, padahal antara mereka dengan Rasulullah Saw. ada perjanjian, lalu Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka.”

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. berqunut dalam shalat isya selama sebulan. Beliau berdoa dalam qunutnya itu: “Ya Allah, menangkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukmin. Ya Allah, kuatkanlah siksaan-Mu pada Mudhar. Ya Allah, jadikanlah siksaan dan himpitanmu atas mereka dalam beberapa tahun seperti tahun-tahun Yusuf.” Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. suatu hari shalat subuh dan tidak mendoakan mereka, lalu aku mengingatkan beliau tentang hal itu. Maka beliau Saw. bersabda: “Apakah engkau tidak melihat mereka telah kembali?” (HR. Ibnu Hibban, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw. berqunut setelah suatu rakaat dalam shalat selama sebulan. Jika beliau mengucapkan samilallahu liman hamidah, maka beliau mengucapkan dalam doanya... -seperti riwayat Ibnu Hibban- ...Abu Hurairah ra. berkata: Kemudian aku melihat Rasulullah Saw. meninggalkan doa tersebut setelahnya. Aku berkata: Tampaknya Rasulullah Saw. tidak lagi berdoa untuk mereka. Ia berkata, dikatakan: apakah tidak nampak padamu bahwa mereka telah kembali?”

Hadits-hadits ini telah menunjukkan bahwa berdoa qunut itu disyariatkan dalam kondisi terjadinya musibah, dan dihentikan dengan berhentinya musibah tersebut, dan tidak terus dilakukan.
Ibnu Hibban berkata setelah riwayat hadits yang terakhir: “Dalam hadits ini ada paparan yang jelas bahwa qunut itu dilakukan dalam shalat-shalat ketika terjadinya satu peristiwa, seperti munculnya musuh Allah yang menyerang kaum Muslim, atau kedzaliman seorang yang dzalim di mana dengannya seseorang didzalimi atau dimusuhi, atau adanya sekelompok orang yang ingin didoakan demi kebaikannya, atau adanya beberapa ekspedisi (militer) kaum Muslim melawan orang-orang musyrik dan ingin didoakan agar kemenangan ada di tangan mereka, atau kondisi-kondisi serupa yang lainnya. Jika sebagian yang kami sebutkan ini ada, maka seseorang boleh berqunut dalam satu shalat atau lima shalat seluruhnya atau hanya sebagiannya. (Yaitu dilakukan) setelah mengangkat kepalanya dari ruku' di rakaat terakhir dari shalatnya, seraya mendoakan kejelekan bagi siapa saja yang ingin didoakannya, dengan disebutkan namanya, dan kebaikan bagi siapa saja yang ingin didoakannya, dengan disebutkan namanya. Apabila berbagai kondisi ini tidak ada, maka tidak boleh berqunut sama sekali dalam shalat wajibnya, karena Nabi Saw. berqunut mendoakan keburukan untuk kaum musyrik dan mendoakan kemenangan bagi kaum Muslim. Suatu pagi dari suatu hari, beliau meninggalkan qunut, lalu Abu Hurairah mengingatkan hal itu, maka beliau Saw. bersabda: “Bukankah kalian melihat mereka telah datang?” Maka dalam hal ini sangat jelas sekali keshahihan dasar yang kami jadikan pijakan.” Menurut saya, Ibnu Hibban telah benar dalam pendapatnya ini.

Tetapi ada yang berpendapat bahwa do’a qunut itu dilakukan dalam shalat subuh saja. Mereka ini terbagi dua golongan. Satu kelompok mengatakan: boleh qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun, dan kelompok yang lain berkata: boleh qunut ketika ada musibah hanya dalam shalat subuh saja. Mereka telah berdalil dengan sejumlah hadits yang bisa saya sebutkan berikut ini:

a. Dari Anas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berqunut (selama) sebulan, mendoakan keburukan atas mereka. Lalu beliau Saw. meninggalkannya. Adapun dalam shalat subuh, beliau Saw. selalu berqunut hingga meninggal dunia.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan al-Hakim)

Ahmad meriwayatkan bagian terakhir hadits ini.

b. Dari Ibnu Sirin, ia berkata:

“Anas bin Malik ditanya: Apakah Rasulullah Saw. berqunut? Ia berkata: Ya, (dilakukan) setelah ruku’. Kemudian dia ditanya lagi pada kesempatan yang lain: Apakah Rasulullah Saw. berqunut pada shalat subuh. Ia berkata: Sejenak setelah ruku.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan at-Thahawi)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Muhammad bin Sirin ia berkata: Anas ditanya: Apakah Nabi Saw. berqunut dalam (shalat) subuh? Ia berkata: Ya. Lalu ditanya lagi: Apakah Rasulullah Saw. berqunut sebelum ruku? Ia berkata: Sejenak setelah ruku’.”

c. Dari Anas bin Malik, ia berkata:

“Dia ditanya tentang qunut dalam shalat subuh, maka dia berkata: Kami berqunut sebelum ruku' dan setelahnya.” (HR. Ibnu Majah)

d. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Nabi Saw. mengutus satu ekspedisi yang disebut al-Qurra (para ahli al-Qur'an), lalu mereka diserang. Maka aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berduka cita sama sekali melebihi duka cita beliau atas mereka. Kemudian beliau Saw. berqunut selama satu bulan dalam shalat fajar, dan beliau berkata: “Sesungguhnya 'Ushayyah telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

e. Hadits yang diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban dan Muslim:

“Dari Khufaf bin Ima bin Rahashah al-Ghifari, dia berkata: Rasulullah Saw. shalat subuh mengimami kami dan kami ada bersamanya. Ketika beliau Saw. mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'-pen.) pada rakaat terakhir ia berdoa: “Semoga Allah melaknat Lihyan, Ri'il, dan Dzkawan, serta 'Ushayyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah menyelamatkan Aslam, dan semoga Allah mengampuni Ghifar.” Lalu Rasulullah Saw. bersujud. Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya dan hendak pergi, beliau Saw. berkata kepada orang-orang: “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukanlah yang mengucapkannya, tetapi Allah azza wa jalla yang mengucapkannya.”

Maka kami katakan kepada mereka: mengenai dua hadits yang kelima dan keempat, keduanya menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. telah berdo’a qunut pada shalat subuh, dan bahwa doa qunut tersebut dilakukan karena ada peristiwa pembunuhan terhadap al-Qurra (para ahli al-Qur’an). Dua hadits ini tidak memberi pemahaman adanya batasan bahwa qunut itu dilakukan pada shalat subuh saja. Kedua hadits ini semata-mata menceritakan suatu fakta nyata yang dilihat oleh perawi lalu dia menukilkannya, maka penukilan terjadinya qunut dalam shalat fajar tidak menafikan adanya qunut tersebut pada selain shalat fajar.
Bahkan kami memiliki sejumlah hadits yang menceritakan adanya qunut dalam shalat subuh dan shalat selain subuh, yang terkait peristiwa al-Qurra itu, sehingga menegasikan pembatasan dilakukannya qunut hanya pada shalat subuh saja.

Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Ibnu Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim, dan di dalamnya disebutkan:

“Nabi Saw. berqunut selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami'allahu liman hamidahu dalam rakaat terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah,…”

Begitu juga telah terbukti, ketika ada malapetaka, Rasulullah Saw. berqunut dalam shalat subuh dan shalat selain subuh, sehingga menafikan pengkhususan berdoa qunut untuk shalat subuh saja. Abu Hurairah ra. meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. jika mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku’) pada rakaat terakhir dalam shalat isya, beliau berqunut, dan mengucapkan: “Ya Allah menangkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah menangkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah menangkanlah Ayyasy bin Abi Rabi'ah. Ya Allah selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukmin. Ya Allah kuatkanlah himpitan-Mu atas Mudhar. Ya Allah jadikan himpitan itu beberapa tahun seperti tahun-tahun Yusuf as.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Hadits ini sebelumnya telah kami sebutkan dengan redaksi Ibnu Hibban.
Inilah hadits tentang berdo’a qunut yang dilakukan dalam shalat isya.

Abu Salamah telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Demi Allah, sesungguhnya aku ingin mendekatkan shalat Rasulullah Saw. pada kalian. Ia berkata: Abu Hurairah berqunut pada rakaat terakhir shalat dhuhur, shalat isya dan shalat subuh. Abu Amir berkata dalam haditsnya: Shalat isya yang terakhir dan shalat subuh, setelah mengucapkan sami'allahu liman hamidah, dan mendoakan kaum mukmin dan melaknat orang kafir. Abu Amir berkata: Beliau Saw. melaknat orang-orang kafir.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)

Hadits ini jelas menyebutkan adanya qunut dalam shalat dhuhur, shalat isya dan shalat subuh. Al-Barra bin ‘Azib ra. berkata:

“Bahwa Nabi Saw. berqunut pada shalat subuh dan maghrib.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Hadits ini jelas menyebutkan adanya doa qunut dalam shalat subuh dan maghrib. Yang serupa adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa ia berkata:

“Qunut itu dilakukan pada shalat maghrib dan fajar.” (HR. Bukhari)

Dengan demikian, apakah masih tersisa hujjah pada mereka untuk membatasi qunut hanya pada shalat subuh saja ketika terjadi malapetaka?

Mengenai hadits ketiga dan kedua, keduanya menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. telah berqunut pada shalat subuh, dan hadits ini berisi tanya jawab, di mana si penanya bertanya tentang qunut dalam shalat subuh, maka dijawab dengan jawaban yang positif (yang mengiyakannya). Si penanya tidak bertanya tentang qunut di (waktu) selain subuh sehingga kita bisa mengetahui apakah jawabannya iya atau tidak.
Karena itu, dalam dua hadits ini tidak ada dilalah sama sekali yang bisa membatasi qunut hanya pada shalat subuh saja, sehingga tidak tersisa dalil pada mereka untuk tetap membatasi qunut pada shalat subuh selain hadits yang pertama saja, yakni ucapannya: “Adapun dalam shalat subuh, maka beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia.” Maka kami membantahnya sebagai berikut:

a. Sesungguhnya hadits ini bertentangan dengan hadits sebelumnya yang telah kami sebutkan:

“Aku shalat di belakang Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak berqunut…” (HR. Ibnu Hibban, an-Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah dari jalur Abi Malik al-Asyja'i)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Aku bertanya kepada ayahku: Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sini, yakni di Kufah sudah lima tahun, apakah mereka berqunut? Beliau berkata: Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan.”

Bagaimana kita bisa mengkompromikan antara dua hadits yang saling bertentangan ini? Karena itu, kita harus menolak salah satunya atau menakwilkan salah satunya.

b. Sesungguhnya kita telah memiliki bukti bahwa berdo’a qunut itu hanya dibatasi pada shalat-shalat fardhu ketika terjadinya malapetaka. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits-hadits yang menunjukkan atas hal itu, sehingga kami tidak perlu mengulangnya. Dan hadits-hadits tadi juga bertentangan dengan hadits ini, sehingga kita bisa menolak hadits ini atau bisa juga menakwilkannya. Yang lebih memperkuat pendapat kami ini adalah hadits yang diriwayatkan Anas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. tidak berqunut kecuali jika mendoakan kebaikan untuk satu kaum atau mendoakan keburukan untuk suatu kaum.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. tidak berqunut kecuali jika beliau mendoakan kebaikan untuk seseorang atau mendoakan kejelekan untuk seseorang. Dan jika beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka beliau berkata: rabbana wa lakal hamdu, ya Allah menangkanlah...” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dan hadits serupa yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, maka apa yang akan dikatakan oleh mereka yang membatasi do’a qunut hanya pada shalat subuh saja?

c. Hadits ini (“Adapun dalam shalat subuh, maka beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia”) memiliki cacat, di dalamnya ada Abu Ja’far ar-Razi at-Tamimi, seorang perawi yang telah dikomentari oleh Ahmad: “bukan seorang yang kuat dalam bidang hadits”, dan dikomentari oleh Ali bin al-Madini: “sesungguhnya dia seorang yang kacau”, dikomentari pula oleh Abu Zur’ah: “sesungguhnya dia seorang tua yang banyak ragu dan salah.” Ibnu Main berkata: “sesungguhnya haditsnya ditulis, tetapi dia suka keliru.” Ibnu Hibban berkata: “dia seringkali menyendiri meriwayatkan sesuatu yang berbeda dari yang masyhur, sehingga tidak menyenangkanku berhujjah dengan haditsnya, kecuali jika sesuai dengan yang tsiqah.”
Dengan demikian maka hadits ini (“Adapun dalam shalat subuh, maka beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia”) adalah hadits dhaif yang tidak boleh dijadikan sebagai hujjah dan sandaran di hadapan banyak hadits shahih dan hasan yang menyalahinya.

d. Kami memiliki sejumlah hadits shahih, yang jelas-jelas menerangkan bahwa doa qunut dalam shalat subuh itu dilakukan hanya sementara (bersifat temporer) dalam waktu sebulan saja, dan berdoa qunut tersebut dilakukan ketika terjadi malapetaka yang menimpa al-Qurra (para ahli al-Qur’an). Dari Anas bin Malik ra.:

“Rasulullah Saw. berqunut selama sebulan, (dilakukan) setelah ruku' dalam shalat subuh, mendoakan keburukan kepada Ri'il dan Dzakwan, dan berkata: Ushayyah telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. telah berqunut selama sebulan, (dilakukan) setelah ruku' dalam shalat fajar, mendoakan keburukan untuk Bani Ushayyah.” (HR. Muslim)

Bagaimana bisa Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan hadits dari Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. terus-menerus berqunut dalam shalat subuh hingga beliau meninggal dunia?

e. Sesungguhnya hadits ini tidak ragu lagi telah menyelisihi hadits-hadits shahih yang berjumlah banyak. Karena pertentangannya ini maka hadits ini ditinggalkan, dan kita hanya mengamalkan hadits-hadits shahih yang banyak tersebut. Pernyataan ini kita ambil jika kita mengambil dhahir hadits ini saja tanpa menakwilkannya. Namun ada peluang bagi kita menakwilkannya dan mengkompromikan hadits ini dengan hadits-hadits shahih tadi.
Kami katakan: “qunut dalam hadits ini bisa dipahami sebagai lamanya berdiri, bukan doa qunut yang biasa kita ketahui. Artinya, bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat fajar lebih lama daripada shalat selainnya, dan inilah makna yang dimaksud oleh hadits ini, di mana Rasulullah Saw. berqunut bukan dalam arti berdoa, tetapi berdiri lama (lebih lama dari shalat lainnya) agar lebih lama berdzikir kepada Allah Swt. Takwil ini kami lakukan dalam rangka mengamalkan dua dalil dan tidak membuang salah satunya, dan hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Sirin, ia berkata:

“Dan telah bercerita kepadaku orang yang shalat subuh bersama Rasulullah, ketika beliau Saw. mengangkat kepalanya pada rakaat kedua, beliau berdiri sebentar.” (HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Telah bercerita kepadaku sebagian orang yang shalat subuh di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau Saw. mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, dari rakaat yang kedua, kemudian (beliau) berdiri sebentar.”

Dengan dua aspek ini, baik dari sisi dhahir hadits ataupun dengan menakwilkannya, maka qunut yang dilakukan dalam shalat subuh secara terus-menerus itu tidak disyariatkan, juga tidak dalam shalat selainnya.

Akhirnya, kami katakan bahwa doa qunut itu, baik dalam shalat fajar ataupun shalat fardhu selainnya ketika ada bencana, atau dalam shalat witir secara terus-menerus, doa tersebut diucapkan dengan keras sehingga terdengar oleh para makmum yang berada di belakangnya dan mereka mengaminkannya. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim, di mana di dalamnya disebutkan:

“Nabi Saw. berqunut selama sebulan berturut-turut dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh. Di ujung setiap shalatnya, jika beliau mengucapkan sami 'allahu liman hamidahu dalam rakaat terakhir, beliau Saw. mendoakan keburukan untuk sekelompok orang dari Bani Sulaim, untuk Ri'lin, Dzakwan dan Ushayyah, dan orang yang ada di belakang mengaminkannya...”

Perhatikan ucapannya: “dalam shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh”, dan ucapannya: “dan orang yang ada di belakang mengaminkannya”, yang menunjukkan disyariatkannya menjaharkan do’a qunut dalam shalat-shalat seluruhnya, baik yang jahriyah ataupun yang sirriyah. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. jika ingin mendoakan keburukan atas seseorang atau kebaikan bagi seseorang, maka beliau berqunut setelah ruku', dan ketika beliau berkata: sami’allahu liman hamidahu, rabbana wa walakal hamdu, maka beliau berdoa: mengucapkan: “Ya Allah menangkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi Rabi ’ah. Ya Allah selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukmin. Ya Allah kuatkanlah siksaan-Mu atas Mudhar. Ya Allah jadikan siksaan dan himpitan-Mu atas mereka sebagai tahun-tahun seperti tahun-tahun Yusuf as.” Ia (perawi) berkata: beliau Saw. menjahrkan qunut tersebut dan berdoa dalam sebagian shalatnya pada shalat fajar: Ya Allah laknatlah si fulan, dan si fulan, dua orang dari kalangan Arab, hingga Allah Swt. menurunkan (terkait mereka yang dilaknat itu): “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim.” [ TQS. Ali Imran: 128]. (HR. Ahmad)

Di dalam hadits ini jelas sekali disebutkan: beliau menjaharkan qunut tersebut.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam