Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 03 Agustus 2017

Dalil Shalat Tahiyatul Masjid



C. Tahiyatul Masjid

Bagi seorang Muslim disunahkan jika pergi ke masjid untuk shalat dua rakaat ketika masuk ke dalam masjid, sebelum dia duduk. Dia tidak perlu menambah (rakaat)nya kecuali jika dia ingin shalat selain tahiyatul masjid. Jadi, shalat tahiyatul masjid itu hanya dua rakaat saja. Abu Qatadah ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka shalatlah dua rakaat sebelum dia duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Dalam riwayat Bukhari dari jalur Abu Qatadah juga disebutkan dengan redaksi:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka janganlah dia duduk hingga shalat dua rakaat.”

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka janganlah dia duduk sehingga dia ruku’ (shalat) dua rakaat.”

Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

“Aku masuk ke masjid, maka beliau Saw. berkata kepadaku: “Sholatlah dua rakaat.” (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)

Bukhari meriwayatkan hadits yang sama dengan susunan kalimat berbeda.

Tahiyatul masjid disunahkan bagi seorang muslim tatkala memasuki masjid, kapan saja, tidak ada perbedaan antara waktu karahah atau selainnya, tidak juga antara siang dan malam. Ketika seorang Muslim memasuki masjid, hendaklah dia shalat dua rakaat. Bahkan hingga di hari Jum’at sekalipun ketika khutbah Jum'at sedang disampaikan, hukum sunah ini tetap dan terus berlaku. Jabir bin Abdullah ra. meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. berkhutbah, lalu berkata: “Apabila salah seorang dari kalian pada hari Jum'at datang (ke masjid), dan imam telah keluar (hadir di mimbar), maka hendaklah dia shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Jika salah seorang dari kalian datang (ke masjid) dan imam sedang berkhutbah atau telah keluar (hadir di mimbar) maka hendaklah dia shalat dua rakaat.”

Dalam kondisi ini -yakni ketika harus shalat di tengah khutbah Jum’at- maka disyariatkan kepadanya untuk meringankan dua rakaat tersebut dan menyederhanakannya, tidak memanjangkannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa ia berkata:

“Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid, sementara Nabi Saw. sedang berkhutbah pada hari Jum'at. Lalu beliau Saw. berkata kepadanya: “Shalatlah dua rakaat dengan ringan sebelum engkau duduk.” (HR. Ibnu Hibban)

Benar, yang disunahkan itu adalah shalat dua rakaat sebelum duduk, tetapi ini tidak berarti bahwa orang yang masuk ke dalam masjid lalu dia duduk karena sesuatu sebab atau yang lainnya, lantas dia tidak boleh melaksanakan dua rakaat ini setelahnya. Dua rakaat ini pada asalnya dilaksanakan sebelum duduk, tetapi pelaksanaannya masih tetap disyariatkan juga setelah duduk. Telah diriwayatkan dari Jabir ra. bahwa dia berkata:

“Sulaik al-Ghathafani telah datang pada hari Jum'at, dan Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbar. Lalu Sulaik duduk sebelum dia shalat, maka Nabi Saw. berkata kepadanya: “Apakah engkau telah shalat dua rakaat?” Dia menjawab: “Belum.” Beliau Saw. berkata: “Berdirilah dan shalatlah.” (HR. Muslim dan at-Thahawi)

Dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud disebutkan dengan redaksi:

“Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Sulaik al-Ghathafani telah datang pada hari Jum’at dan Rasulullah Saw. sedang berkhutbah, lalu dia duduk, maka beliau Saw. bertanya kepadanya: “Wahai Sulaik, berdirilah dan shalatlah dua rakaat, sederhanakanlah keduanya.” Kemudian beliau Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum'at dan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia ruku' (shalat) dua rakaat dan menyederhanakannya.”

Dari Jabir ra. ia berkata:

“Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid dan Rasulullah Saw. sedang berkhutbah pada hari Jum'at, lalu beliau bertanya: “Apakah engkau telah shalat?” Dia menjawab: “Belum.” Beliau Saw. berkata: “Berdirilah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Muslim, Bukhari dan Abu Dawud)

Ucapan beliau: berdirilah dan shalatlah dua rakaat, menunjukkan bahwa laki-laki tersebut telah duduk, sebelum akhirnya dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk shalat, yakni setelah dia duduk.

Sebelumnya kami telah mengatakan bahwa shalat tahiyatul masjid itu hukumnya sunat bukan fardhu, berbeda dengan dugaan sebagian orang karena mereka melihat banyaknya nash-nash yang mendorong dan menekankan pelaksanaan shalat tersebut. At-Thahawi dan Abu Dawud telah mengeluarkan satu hadits dari jalur Abdullah bin Busr ra., ia berkata:

“Seorang laki-laki melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum’at, lalu Rasulullah Saw. berkata kepadanya: ”Duduklah, sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang lain) dan datang terlambat.”

Abu Dawud menyatakan pembatasan kedatangan laki-laki tersebut, bahwa dia tiba di masjid pada pertengahan khutbah Nabi Saw., dengan mengatakan:

“Lalu datanglah seorang laki-laki melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum'at, padahal Nabi Saw. sedang berkhutbah, maka Nabi Saw. berkata kepadanya: "Duduklah, sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang lain).”

Tanpa ucapan “telah datang terlambat.”

Seandainya shalat tahiyatul masjid itu hukumnya wajib, maka Nabi Saw. akan memerintahkannya untuk shalat dan tidak memerintahkannya duduk.

Kami telah katakan pula sebelumnya, bahwa shalat tahiyatul masjid itu disunahkan setiap kali seorang Muslim memasuki masjid, tidak ada perbedaan antara waktu karahah atau waktu lainnya, antara malam dan siang. Maka di sini kami mengatakan adanya pengecualian, satu kondisi yang juga diterangkan oleh nash-nash hadits, yakni ketika dia masuk ke dalam masjid, dan mendapati shalat fardhu sedang dilaksanakan, maka ketika itu shalat tahiyatul masjid tidak disyariatkan kepadanya. Dia harus segera mengikuti shalat fardhu tersebut. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat maktubah (wajib).” (HR. Ibnu Hibban, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh para penyusun as-Sunan.

Terkait dengan shalat dua hari raya, dan adanya fakta tidak ada nafilah sebelumnya, yang khusus berlaku jika shalat dua hari raya tersebut dilaksanakan di mushalla (yakni di luar rumah dan kota-kota), karena mushalla (tempat lapang untuk shalat hari raya) bukanlah masjid, maka tidak ada shalat tahiyat di sana. Namun, jika shalat dua hari raya ini dilaksanakan di masjid, hendaknya seorang Muslim shalat tahiyatul masjid, karena hukumnya bersifat umum, sehingga mencakup shalat dua hari raya ataupun yang lainnya.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam