Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 19 Juli 2017

Dalil Wajib Khusyuk Dalam Shalat



Khusyu Dalam Shalat

Khusyu berarti berdiam diri penuh kehinaan dan ketundukan. Allah Swt. berfirman:

“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina. Mereka melihat dengan pandangan yang lesu.” (TQS. as-Syura [42]: 45)

“(Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (TQS. al-Qalam [68]: 43)

Nu’man bin Basyir ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

”...Sesungguhnya Allah Swt. jika memperlakukan sesuatu dari mahluknya maka makhluk itu akan tunduk kepada-Nya…” (HR. an-Nasai)

Shalat itu adalah ucapan dan perbuatan, dan seluruhnya diperuntukkan bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, sehingga semestinya tidak ada yang diucapkan di dalamnya kecuali sesuatu yang disyariatkan dan ditujukan kepada Allah Swt. Di dalamnya tidak boleh dilakukan kecuali perbuatan yang disyariatkan di dalam shalat, selain apa yang dikecualikan oleh nash-nash yang membolehkannya. Selain itu hukumnya adalah haram, dan termasuk dalam kategori apa yang diucapkan oleh Nabi Saw. dalam hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Kunci shalat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya adalah mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “hukum takbiratul ihram” dan pembahasan “qunut dalam shalat”, sehingga dengan takbir dalam shalat menjadikan seluruh ucapan dan seluruh perbuatan yang tidak disyariatkan dalam shalat itu hukumnya haram.

Syariat telah mendorong untuk khusyu’ dalam shalat, menganjurkannya, dan menjelaskan keutamaannya dalam berbagai nash yang bisa kami sebutkan berikut ini. Di antaranya adalah firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (TQS. al-Mukminun [23]: 1-2)

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 45-46)

Dari Utsman ra.:

“...Lalu dia meminta air untuk berwudhu, seraya berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah salah seorang Muslim datang padanya waktu shalat wajib, lalu dia membaguskan wudhunya, khusyu’nya, dan ruku’nya, kecuali shalat itu menjadi penebus dosa-dosa yang dia lakukan sebelumnya, selain dosa-dosa besar yang dilakukannya, dan ini untuk sepanjang masa seluruhnya.” (HR. Muslim)

Dari Ubadah bin Shamit ra., ia berkata: aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Lima shalat yang telah diwajibkan Allah Swt. Barangsiapa yang membaguskan wudhunya dan melaksanakan shalat pada waktunya, serta menyempurnakan ruku' dan khusyunya, maka baginya ada janji dan Allah Swt. untuk mengampuninya. Dan barangsiapa tidak melakukan (hal itu) maka baginya tidak ada janji dari Allah Swt. Jika menghendaki, Dia Swt. akan mengampuninya, dan jika menghendaki, Dia Swt. akan menyiksanya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Para ahli fikih telah berbeda pendapat tentang hukum khusyu dalam shalat. Sebagian besar mereka memilih sunat dan anjuran saja, dan sebagian yang lain memilih wajib dan inilah yang benar. Agar jelas bagi kita aspek yang benar dalam masalah ini hendaknya kita memperhatikan nash-nash yang berkaitan dengan perkara ini.

a. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. ketika dulu shalat, beliau Saw. mengangkat pandangannya ke langit. Lalu turunnya ayat: (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Kemudian beliau Saw. menundukkan kepalanya.” (HR. al-Hakim)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “memandang dalam shalat”.

b. Firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (TQS. al-Mukminun [23]: 1-11)

c. Dari Jabir bin Samurrah ra., ia berkata:

“Dahulu, jika kami shalat bersama Rasulullah Saw., kami mengucapkan: assalamu'alaikum warahmatullah, assalamu’alaikum warahmatullah, dan dia memberi isyarat dengan tangan ke dua sisinya. Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Mengapa kalian memberi isyarat dengan tangan-tangan kalian seperti ekor unta liar yang tidak mau diam?...” (HR. Muslim)

Sebelumnya hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan “qunut dalam shalat”, dan Muslim meriwayatkan hadits kedua dari Jabir bin Samurrah ra., bahwa ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar melihat kami, dan beliau berkata: ”Mengapa aku melihat kalian mengangkat kedua tangan kalian seolah-olah ekor unta liar? Diamlah kalian ketika sedang shalat...”

Sebelumnya hadits ini pun telah disebutkan dalam pembahasan “qunut dalam shalat.”

Dalil yang pertama menunjukkan wajibnya khusyu, yang sebelumnya pernah kami paparkan dalam pembahasan “melihat dalam shalat”, terkait haramnya memandang ke langit, yang tidak perlu lagi kami ulang di sini. Dahulu Rasulullah Saw. suka menengadah ke langit dalam shalatnya, lalu turunlah firman Allah: (Yaitu) orang-orang yang khusyu, dalam shalatnya (TQS. al-Mukminun: 2), di mana beliau Saw. memahami dari ayat ini bahwa khusyuk itu menuntutnya untuk tidak mengangkat pandangan. Karenanya, beliau Saw. kemudian menundukkan kepalanya. Ini menunjukkan bahwa khusyu’ itu bertentangan dengan mengangkat pandangan, dan mengangkat pandangan bertentangan dengan khusyu. Selama mengangkat pandangan itu merupakan sesuatu yang diharamkan, maka khusyu dengan merendahkan pandangan menjadi sesuatu yang diwajibkan.

Dalil yang kedua menjadi bukti lain adanya kewajiban khusyu, di mana Allah Swt. menggambarkan kaum mukminin -jika mereka melakukan ini dan ini-, serta mereka mewujudkan khusyu, akan termasuk orang-orang yang bisa meraih kebahagiaan. Allah Swt. memberi kabar gembira kepada mereka akan mewarisi Surga firdaus, dan ini melahirkan pengertian bahwa siapa saja yang ingin selamat -dengan memperoleh kebahagiaan dan memasuki tingkatan Surga tertinggi- maka dia harus khusyu dalam shalatnya, berpaling dan membersihkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menjaga kemaluannya, memelihara amanat dan janji, serta memelihara shalatnya.
Apabila dia meninggalkan salah satu perbuatan itu maka dia tidak berhak mendapatkan kebahagiaan maupun masuk ke dalam Surga firdaus. Artinya, bahwa orang yang tidak khusyu tidak akan dijamin mendapatkan kebahagiaan dan memasuki Surga firdaus. Jadi, setelah semua ini sedemikian jelas, apakah masih ada orang yang menduga bahwa khusyu itu bukan satu kewajiban?
Sesungguhnya kebahagiaan dan memasuki Surga firdaus itu merupakan kemenangan terbesar, dan kemenangan terbesar itu memerlukan harga yang paling besar. Dan harga terbesar tidak akan berwujud perbuatan yang disunatkan. Harga terbesar hanya akan berasal dari sesuatu yang diwajibkan. Oleh karena itu, kami mendapati bahwa semua yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas adalah termasuk kewajiban, sehingga khusyu itu merupakan sesuatu yang wajib.

Adapun dalil ketiga, maka ini selaras bahkan menguatkan pendapat yang menyatakan wajibnya khusyu, di mana Rasulullah Saw. telah melarang kaum Muslim menggerakkan tangan ketika mengucap salam dan keluar dari shalat dengan bentuk larangan yang keras. Beliau Saw. telah bertanya kepada mereka dengan pertanyaan kritis, dan menyerupakan tangan-tangan mereka dengan ekor-ekor unta. Kemudian beliau Saw. melarang mereka dengan kalimat yang jelas dan tegas: “diamlah kalian.” Dengan adanya kenyataan ini, sulit untuk dikatakan bahwa hal ini adalah suatu perkara yang dimakruhkan saja, sehingga tidak ada lagi kemungkinan selain bahwa hal itu merupakan larangan dari satu perbuatan yang diharamkan, yang bertolak belakang dengan kekhusyuan. Dengan demikian, terbukti bahwa khusyu dalam shalat itu wajib hukumnya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam