Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 18 Juli 2017

Dalil Sikap Qunut Dalam Shalat



BAB KETUJUH

QUNUT DAN KHUSYU DALAM SHALAT

Tamhid

Dalam bab sebelumnya yang berjudul “sifat shalat” kami telah membahas beberapa unsur-unsur pembentuk shalat yang berupa ucapan dan perbuatan. Dalam bab tersebut kami telah menyebutkan serangkaian ucapan dan perbuatan, yang kesemuanya itu membentuk shalat. Dalam bab ini, yang kami beri judul “Qunut dan Khusyu dalam Shalat”, kami ingin membahas makna-makna dua istilah tersebut dan apa yang ditunjukkannya. Kami ingin menjelaskan bahwa qunut -yang akan dibahas pada bab ini- artinya menahan diri dari segala perkataan yang tidak disyariatkan, dan bahwa khusyuk adalah menahan diri dari perbuatan yang tidak disyariatkan dalam shalat. Kami akan mengawali dengan pembahasan qunut dan dalil-dalilnya, kemudian kami akan memaparkan khusyu’ juga beserta dalil-dalilnya.

Qunut Dalam Shalat

Makna asal qunut adalah menetapi sesuatu (ad-dawam ‘ala as-syai). Dari makna ini lahir beberapa makna yang lain. Adapun menurut istilah syariat, yang dimaksud qunut adalah menetapi ketaatan pada Allah 'azza wa jalla. Allah Swt. berfirman:

“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (TQS. al-Ahzab [33]: 31)

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif, dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (TQS. an-Nahl [16]: 120)

“Mereka (orang-orang kafir) berkata: ‘Allah mempunyai anak.’ Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 116)

Dan banyak lagi ayat lainnya, semuanya memberi pengertian menetapi ketaatan pada Allah Swt., dan apa yang dituntut oleh ketaatan tersebut (yaitu) berupa perasaan hina dan ketundukan. Tetapi kata ini juga digunakan untuk makna lainnya dalam syariat.

Kadangkala ditetapkan dan dimaksudkan untuk ‘doa’. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari al-Barra bin Azib ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berqunut pada shalat subuh dan maghrib” (HR. Tirmidzi)

Dan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berqunut setelah ruku’ (dan dilakukan) selama sebulan, di mana beliau mendoakan keburukan atas beberapa orang dari kalangan Arab. Kemudian beliau Saw. meninggalkannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa dia berkata:

“Nabi Saw. berqunut selama sebulan berturut-turut pada shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh di akhir setiap shalatnya...” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Karena itulah disebut dengan doa qunut.

Kadangkala qunut ditetapkan dan dimaksudkan untuk pengertian “lama berdiri.” Di antaranya dipahami dari hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., bahwa dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya: ”Shalat apakah yang paling utama?” Beliau Saw. berkata: “(Shalat yang) berdirinya lama.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

Thulul qunut artinya lama berdiri.

Kata qunut juga ditetapkan dan dimaksudkan sebagai diam dan menahan diri dari perkataan. Itu diambil dari hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam ra., bahwa dia berkata:

“Dulu kami berbicara dalam shalat, seseorang mengajak berbicara pada temannya di mana dia berada di sampingnya dalam shalat, hingga turunlah ayat: “Dan berdirilah kamu dalam keadaan khusyu.” Lalu kami diperintahkan untuk diam dan kami dilarang mengucapkan perkataan.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kalimat qanitin dalam ayat ini artinya diam dan menahan diri untuk tidak bercakap dengan orang lain. Inilah makna yang dimaksudkan dari qunut dalam ayat ini dengan melihat sebab-sebab turunnya ayat ini. Makna ini pula yang menjadi objek pembahasan kami kali ini. Walaupun kami mengambil makna ini, kami tidak akan melupakan makna umum qunut itu sendiri, yakni menetapi ketaatan pada Allah Swt.

Qunut yang menjadi objek pembahasan kami adalah menahan diri dari berbicara dengan orang lain dan mengajaknya bercakap-cakap, dan membatasi diri dalam shalat hanya bercakap-cakap dengan Allah Swt., tidak dengan selain-Nya. Itu dilakukan agar shalat seluruhnya diperuntukkan bagi Allah. Ketaatan tetap hanya pada Allah, dan penghambaan diri seluruhnya murni dipersembahkan bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam. Jadi, perkataan apapun dengan selain Allah, itu berarti telah memutuskan diri dari ketaatan pada Allah, sehingga dapat dikatakan dia tidak berqunut, yang membawa konsekuensi kekurangan pada shalat. Dari Ammar bin Yasir ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya seseorang itu selesai dari shalatnya, dan tidak ditulis untuknya kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga dan setengahnya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Hibban meriwayatkan dengan lafadz :

“Sesungguhnya seseorang itu melakukan satu shalat, dan mungkin saja tidak ada yang diperoleh dari shalatnya itu kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam hingga sampai pada genapnya bilangan.”

Jika seorang Muslim melakukan shalat, lalu dia melaksanakan seluruh kewajiban shalat dan tidak melakukan keharaman, maka dia telah menghasilkan shalat yang sempurna. Dan jika dia mengurangi sedikit kewajibannya atau melakukan keharaman maka dia telah menghasilkan shalat yang kurang dengan ukuran sebanyak kewajiban yang dikuranginya atau keharaman yang dilakukannya di dalam shalat, hingga dia shalat tetapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sepersepuluh shalat atau seperempatnya atau setengahnya. Maka barangsiapa yang berbicara dengan orang lain padahal dia dalam shalat maka dengan perkataannya itu dia telah memutus ketaatan pada Allah sehingga berkuranglah shalatnya sesuai kadar ucapannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya, karena dia diperintahkan untuk menetapi ketaatan pada Allah, hanya disibukkan dengannya dan tidak dengan ucapan-ucapan selainnya. Dari Abdullah bin Mas'ud ra. ra ia berkata:

“Kami mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. dan beliau dalam (keadaan) shalat lalu beliau menjawab salam itu kepada kami. Ketika kami kembali dari sisi Najasyi (usai berhijrah) kami bersalam kepadanya, tetapi beliau Saw. tidak menjawabnya. Maka kami bertanya: “Wahai Rasulullah, dulu kami mengucap salam kepadamu dalam shalat dan engkau membalasnya pada kami.” Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya di dalam shalat itu benar-benar ada kesibukan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad)

Benar, orang yang shalat itu sedang menyibukkan diri dengan bercakap-cakap dengan Allah Swt. Perkara ini menjadi lebih jelas dengan hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdullah ra., ia berkata:

“Kami dulu mengucap salam kepada Nabi Saw. ketika kami masih berada di Makkah sebelum kami mendatangi negeri Habsyah. Saat kami pulang dari negeri Habsyah, kami mendatangi beliau Saw. dan mengucapkan salam kepadanya, tetapi beliau Saw. tidak membalasnya. Lalu orang yang berada di dekat dan sedikit jauh dari kami mencegah kami, hingga mereka menyelesaikan shalat. Maka aku bertanya kepadanya, dan beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla akan menjadikan urusan yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya Dia Swt. telah menjadikan sebagian urusan-Nya itu adalah agar kita tidak berbicara dalam shalat.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud, Ibnu Hibban, an-Nasai, dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang berbeda. Abu Ya'la dan Abdun bin Humaid meriwayatkan hadits ini, dan di dalamnya disebutkan: ”...dan jika kalian berada dalam shalat maka diamlah dan janganlah kalian berbicara.” Ucapan, “maka diamlah dan janganlah berbicara,” merupakan dilalah yang sangat jelas bahwa qunut itu berarti diam dan menahan diri dari berbicara.

Seorang qanit artinya adalah orang yang tidak berbicara dalam shalatnya kecuali dengan perkataan yang disyariatkan, berupa qira’ah (membaca al-fatihah dan surat/ayat al-Qur’an) dan dzikrullah. Dari Muawiyah bin al-Hakam al-Sulami ra. ia berkata:

“Ketika aku shalat bersama Rasulullah Saw. tiba-tiba salah seorang dari mereka bersin, lalu saya mengucapkan: Yarhamukallah (semoga Allah Swt. merahmatimu), maka orang-orang melemparkan pandangannya padaku, lalu aku berkata: “Celaka, mengapa kalian memandangku?” Mereka memukulkan tangannya pada paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka mendiamkanku, aku diam. Tatkala Rasulullah Saw. telah shalat. Demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat seorang guru pun sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dari beliau Saw., dan demi Allah, beliau Saw. tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencaciku. Dia (perawi) berkata: Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan yang ditujukan untuk manusia, semata-mata hanya tasbih, takbir dan bacaan al-Qur'an, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Saw.” (HR. Muslim, Ahmad, ad-Darimi dan an-Nasai)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini, di dalamnya disebutkan:

“Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak halal ada perkataan manusia sedikitpun, semata-mata hanya tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an, atau sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah Saw.”

Kalimat dalam hadits ini: “ketika aku melihat mereka mendiamkanku, aku diam”, nampak jelas ada sesuatu yang dibuang atau kesamaran. Dalam riwayat Ibnu Hibban ditemukan lafadz yang bisa menghilangkan kesamaran ini:

“Ketika aku melihat mereka mendiamkanku agar aku diam maka aku pun diam.”

Dan dalam riwayat at-Thahawi ditemukan lafadz: “ketika aku melihat mereka mendiamkanku, akupun diam.”

Shalat itu ibadah, dan ibadah itu seluruhnya hanya kepada Allah Swt. Perkataan yang diucapkan di dalamnya adalah bacaan, dzikir, doa, tasbih, takbir, dan semua itu ditujukan kepada Allah Swt. Dengan sendirinya, apapun yang tidak disyariatkan di dalam shalat, dan yang ditujukan pada selain Allah, maka tidak layak dilakukan di dalam shalat, dengan melihat dilalah dalam riwayat hadits yang pertama. Dan haram hukumnya berdasarkan dilalah hadits yang kedua. Keduanya menunjukkan wajibnya berqunut. Berdasarkan hal ini, maka menjawab doa orang yang bersin dan membalas salam pada orang-orang, serta berbicara dengan mereka, bagaimanapun juga tetap diharamkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang shalat. Cukuplah kita mengingat hadits yang telah kami sebutkan dalam pembahasan “hukum takbiratul ihram” yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa dia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Kunci shalat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkannya) adalah mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Di dalam hadits ini ada kalimat: “tahrimnya adalah takbir”, di mana pengertiannya adalah bahwa masuknya seseorang ke dalam shalat dengan takbir menjadikan seluruh perkataan selain perkataan shalat itu diharamkan. Hukum ini bersifat umum, mencakup shalat fardhu dan juga shalat nafilah, mencakup juga imam, orang yang shalat munfarid dan makmum.

Perkataan dalam shalat itu ada dua jenis: jenis yang disyariatkan dan ditentukan, seperti membaca al-fatihah, takbir, tasbih dan tasyahud; dan jenis yang disyariatkan tetapi tidak ditentukan, seperti doa-doa dalam ruku’, sujud dan duduk, dan seperti berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang disunatkan dan dianjurkan.

Mengenai jenis pertama, maka ini termasuk ucapan yang membentuk rangkaian shalat. Dan jenis yang kedua adalah ucapan dan perkataan yang diizinkan di dalam shalat, yang bukan termasuk ucapan yang membentuk rangkaian shalat tadi. Artinya, walaupun itu diucapkan atau tidak, diperbanyak atau tidak, maka shalatnya tetap terlaksana sesuai kondisi dan bentuk yang seharusnya.

Dalam bab sebelumnya telah kami paparkan doa, ta'awwudz dan dzikir yang boleh diucapkan dalam shalat, bahkan sangat dianjurkan, karenanya kami tidak akan mengulangnya di sini. Yang ingin kami tambahkan di sini adalah bahwa termasuk ucapan dan doa yang diidzinkan itu adalah ucapan yang menyertai bacaan al-Qur’an, di mana seorang yang shalat (al-mushalli) jika membaca al-Qur'an dalam shalatnya maka dia bisa berhenti pada beberapa ayat Allah untuk berdoa dan berta’awwudz sesuai dengan ayat yang dibacanya. Dari Hudzaifah ra. ia berkata:

“Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah, beliau tidak melewati satu ayat tentang rahmat kecuali beliau berhenti padanya dan memintanya. Dan beliau tidak melewati satu ayat tentang adzab kecuali beliau berhenti padanya dan meminta perlindungan darinya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dari Hudzaifah ra., ia berkata:

“Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah Saw. Beliau Saw. mulai membaca surat al-Baqarah, lalu aku bergumam: Beliau akan ruku’ ketika sudah seratus ayat, tetapi beliau melewatinya, lalu aku pun berkata: Beliau shalat dengan surat itu dalam satu rakaat, dan beliau melewatinya, lalu aku berkata lagi: Beliau akan ruku’ setelah menyelesaikan surat itu, tetapi kemudian beliau memulai surat an-Nisa dan membacanya, kemudian memulai surat Ali Imran dan membacanya, beliau membaca ketiga surat itu secara bersambung. Jika melewati satu ayat yang di dalamnya ada tasbih maka beliau bertasbih, jika melewati ayat berisi permohonan maka beliau memohon, dan jika melewati satu ayat tentang minta perlindungan maka beliau meminta perlindungan, kemudian beliau ruku...” (HR. Muslim)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “bacaan al-Qur’an yang ditambahkan pada al-fatihah dalam shalat”.

Doa-doa dan ta’awwudz ini termasuk dalam kategori dzikir kepada Allah Swt. Dalam riwayat Abu Dawud dari jalur Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami disebutkan:

“Sesungguhnya shalat itu semata-mata hanya untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah. Dan jika engkau di dalamnya maka jadikanlah itu sebagai keadaanmu.”

Ucapan beliau Saw.: “semata-mata hanya” berfaidah untuk membatasi (al-hashr), di mana perkataan hanya dibatasi dengan membaca al-Qur’an dan dzikir pada Allah Swt., tidak boleh lebih dari itu. Rasulullah Saw. sendiri telah dilarang untuk berbicara dengan orang dalam shalat, maka kita pun demikian. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengutusku dan beliau berangkat ke Bani Musthaliq. Aku menemuinya, dan beliau Saw. sedang shalat di atas untanya. Aku mengajaknya berbicara, tetapi beliau Saw. memberi isyarat dengan tangannya seperti ini -Zuhair memberi isyarat dengan tangannya-. Kemudian aku mengajaknya berbicara lagi, tapi beliau Saw. berkata padaku seperti ini -Zuhair memberi isyarat dengan tangannya ke arah tanah-, dan aku mendengarnya membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Tatkala selesai, beliau Saw. berkata: “Apakah engkau telah melaksanakan tugas yang engkau aku utus? Karena tidak ada yang menghalangiku untuk berbicara denganmu kecuali aku sedang dalam shalat...” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

Inilah dalil yang dilalahnya qath’iy, yang menunjukkan berbicara dengan manusia itu dilarang sepanjang shalat.

Tentang ucapan pada diri sendiri, maka tidak apa-apa, asalkan ucapan tersebut termasuk dzikir kepada Allah Swt. Seandainya si mushalli itu bersin dalam shalatnya maka tidak apa-apa dia mengucapkan: “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah), atau “Alhamdulillah 'ala kulli hal” (segala puji bagi Allah dalam segala keadaan). Seandainya dia mendengar suara halilintar, padahal dia sedang shalat, maka tidak apa-apa dia mengucapkan: “Ya Allah, janganlah Engkau binasakan kami dengan kemarahan-Mu, dan janganlah Engkau hancurkan kami dengan siksa-Mu, dan maafkanlah kami sebelum itu.” Dan seandainya dia mendengar suara angin ribut, padahal dia sedang shalat maka tidak apa-apa baginya mengucapkan: “Ya Allah, jadikanlah ini angin biasa, janganlah Engkau jadikan ini sebagai angin kencang penyebab bencana”, atau yang lainnya yang masih dianggap sebagai doa dan dzikir kepada Allah. Dari Rifa’ah ra. ia berkata:

“Aku shalat di belakang Rasulullah Saw., kemudian aku bersin dan aku berkata: “Segala puji bagi Allah, dengan pujian sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya, pujian yang penuh barakah dan diberkahi, sebagaimana disukai dan diridhai oleh Tuhan kami.” Tatkala Nabi Saw. selesai shalat, beliau berkata: “Siapakah yang berbicara dalam shalat tadi.” Tidak seorangpun yang menyahut. Kemudian beliau Saw. bertanya untuk kedua kalinya: “Siapakah yang berbicara dalam shalat tadi.” Tidak ada seorangpun yang menyahut. Setelah itu beliau bertanya untuk ketiga kalinya, maka berkatalah Rifa'ah bin Rafi bin Afra: “Aku wahai Rasulullah.” Beliau berkata: “Apa yang engkau ucapkan?” Dia berkata: aku berkata: “Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak, pujian yang penuh barakah dan diberkahi, sebagaimana Tuhan kami menyukai dan meridhai.” Maka Nabi Saw. berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, sungguh puji-pujian tersebut telah diperebutkan oleh tiga puluh lima malaikat, siapakah di antara mereka yang bisa membawanya naik.” (HR. Tirmidzi)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini juga dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Ada dua kondisi di mana perkataan yang ditujukan kepada orang lain boleh diucapkan. Keduanya disebutkan dalam beberapa hadits yang isinya membolehkan perkataan dalam dua kondisi tersebut dan mengecualikannya dari kewajiban qunut dan diam. Jadi, hanya dibatasi pada dua kondisi itu saja, tidak boleh yang lainnya atau meng-qiyas-kannya dengan yang lain. Perkataan yang diucapkan itu layak untuk shalat, berupa bacaan al-Qur'an dan dzikir saja, tidak yang lain. Dua kondisi tersebut adalah: kondisi mengingatkan bacaan pada imam, dan kondisi perlunya si mushalli mengingatkan yang lain terhadap kesalahan yang dilakukannya.

Apabila seseorang mengimami orang-orang dalam shalat jahriyah, lalu dia salah membaca al-Qur’an, atau dan tidak bisa meneruskan hafalannya sehingga dia berhenti membaca, maka para makmum di belakangnya bisa mengingatkannya dengan membaca ayat atau beberapa ayat yang salah atau terlupakan tersebut, sehingga imam belum bisa menyebutkannya, dan tidak menambah bacaan dengan sesuatupun. Namun, jika imam salah dalam beberapa perbuatan shalat, seperti duduk di akhir rakaat pertama, atau hendak bangkit dari rakaat kedua tanpa duduk terlebih dahulu, maka para jamaah hendaknya bertasbih dengan mengucapkan: Subhanallah (Maha Suci Allah) jika mereka laki-laki, dan bertepuk tangan jika mereka perempuan.

Begitu pula mereka bertasbih jika (imam) tertimpa sesuatu di sepanjang shalatnya. Dalil bolehnya mengucapkan perkataan pada orang lain dalam kondisi pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Musawwar bin Yazid al-Maliki, ia berkata:

“Aku menyaksikan Rasulullah Saw. membaca dalam shalat, lalu dia meninggalkan sesuatu alias tidak membacanya. Maka seseorang berkata kepadanya: "Wahai Rasulullah, engkau teiah meninggalkan (tidak membaca) ayat ini dan ini.” Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa engkau tidak mengingatkan ayat itu kepadaku?” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Dalam riwayat Ibnu Hibban yang lain dari jalur al-Musawwar bin Yazid disebutkan dengan lafadz:

“Beliau berkata, ”Mengapa engkau tidak mengingatkan ayat itu kepadaku?” Dia berkata: “Aku menyangka bahwa ayat itu telah dinasakh.” Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya ayat itu belum dinasakh.”

Dan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. melakukan shalat, lalu ada ayat yang terlupakan sehingga beliau merasa bingung. Ketika selesai, beliau Saw. bertanya kepada Ubay: “Apakah engkau ikut shalat bersama kami?” “Ya.” Beliau Saw. berkata: “Apa yang menghalangimu untuk mengingatkan ayat itu kepadaku?” (HR. Ibnu Hibban)

Abu Dawud meriwayatkan hadits yang sama tetapi tidak menyebutkan “mengingatkan ayat itu kepadaku.” Dan hadits yang diriwayatkan al-Hakim dengan sanad yang shahih dari Anas ra., bahwa ia berkata:

“Kami suka mengingatkan bacaan imam di masa Rasulullah Saw.”

Dalil yang membolehkan melontarkan perkataan pada orang lain dalam kondisi kedua adalah hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saad as-Sa’idiy ra., dari Nabi Saw. beliau berkata:

“Barangsiapa yang terjadi sesuatu dalam shalatnya, maka hendaklah dia mengucapkan: Subahanallah. Sesungguhnya bertepuk tangan itu hanya untuk wanita, dan bertasbih itu hanya untuk laki-laki.” (HR. Ahmad dan at-Thahawi)

Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur Sahal bin Saad ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. pergi menemui Bani Amr bin Auf untuk menyelesaikan persengketaan di antara mereka dan tibalah waktu shalat. Lalu Bilal datang menemui Abu Bakar Shidiq ra., seraya berkata: “Maukah engkau shalat mengimami orang-orang, (kalau mau) maka aku akan beriqamat?” Dia berkata: “Ya.” Abu Bakar pun shalat. Kemudian datang Rasulullah Saw. dan orang-orang tetap dalam (kondisi) shalat. Lalu beliau Saw. lewat hingga sampai di shaf pertama. Orang-orang bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak menoleh dalam shalatnya. Ketika orang-orang semakin riuh bertepuk, Abu Bakar menoleh. Maka Rasulullah Saw. melihat dan memerintahkannya “tetaplah di tempatmu”. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya seraya memuji Allah Swt. karena apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. tersebut kepadanya. Setelah itu Abu Bakar mundur hingga sejajar dalam barisan, dan Nabi Saw. maju dan (melanjutkan) shalat. Usai shalat beliau Saw. berkata: “Wahai Abu Bakar, apa yang mencegahmu untuk diam di tempatmu ketika aku memerintahkanmu?” Abu Bakar berkata: “Ibnu Abi Quhafah tidak memiliki hak untuk shalat di depan Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa aku melihat kalian memperbanyak tepuk tangan? Barangsiapa yang terjadi sesuatu dalam shalatnya maka hendaklah dia bertasbih, karena sesungguhnya jika tasbih dilafalkan maka hendaklah dia ditoleh (dipedulikan), dan sesungguhnya bertepuk tangan itu hanya untuk kaum wanita.”

Dalam riwayat Ibnu Hibban lainnya, dari jalur Sahal bin Saad:

“…Kemudian beliau berkata kepada orang-orang: “Apabila terjadi sesuatu dalam shalat kalian, maka hendaklah kaum lelaki bertasbih dan kaum wanita bertepuk tangan.”

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tasbih itu untuk laki-laki dan bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan at-Thahawi)

Dalam riwayat Muslim lainnya dan an-Nasai ada tambahan: “dalam shalat” di bagian akhirnya.

Saya ulangi pernyataan saya bahwa ucapan dalam dua kondisi ini semata-semata dilakukan dengan ucapan yang termasuk kategori ucapan shalat yang disyariatkan atau diizinkan, yakni termasuk ucapan yang digunakan untuk menyeru Allah Rabbil ‘alamin, bukan ucapan yang biasa digunakan untuk menyeru manusia. Jadi, tatkala seseorang merasa perlu untuk menyeru orang lain maka dia tidak boleh mengatakan apapun selain hanya bertasbih saja, dan tasbih itu sendiri termasuk ucapan yang dilafalkan dalam shalat. Seseorang yang merasa perlu untuk mengingatkan bacaan imam, tidak lebih hanya membaca ayat yang terlupakan imam itu saja atau salah dalam membacanya, tanpa perlu tambahan apapun yang termasuk ucapan manusia dalam dua kondisi ini.

Selain itu, qunut itu wajib untuk ditetapi. Qunut dalam arti: diam dan menahan diri dari berbicara pada orang lain. Yang didiamkan itu atau tidak boleh dilontarkan itu adalah ucapan. Yang dimaksud ucapan adalah lafadz yang memiliki huruf, sehingga sesuatu yang tidak berhuruf bukan termasuk ucapan, sehingga tidak dilarang, dan tidak akan menafikan qunut itu sendiri. Karena itu, menangis, walaupun itu terdapat suara yang bisa terdengar, ini bukanlah ucapan, sehingga tidak dilarang. Mutharrif bin Abdullah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa dia berkata:

“Aku menemui Rasulullah Saw. dan beliau sedang shalat, dan di dadanya ada suara mendidih seperti mendidihnya (air) dalam periuk, karena menangis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Ali ra. berkata:

“Tidak ada seorang ksatria penunggang kuda pada Perang Badar selain al-Miqdad, dan sungguh aku telah menyaksikan bahwa pada malam harinya tidak ada seorangpun dari kami yang bangun untuk shalat selain Rasulullah Saw. Beliau berada di bawah sebuah pohon dan bershalat sambil menangis hingga pagi hari.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)

Dalil-dalil tentang kebolehan menangis dalam shalat itu sangat banyak dan terkenal.

Tiupan dalam shalat walaupun dengan suara yang bisa didengar, itu juga tidak diharamkan, karena tiupan itu bukanlah ucapan walaupun keluar dengan huruf sekalipun. Abdullah bin Amr ra. menyebutkan sifat shalat Rasulullah Saw. pada waktu gerhana matahari:

“Dan beliau Saw. sampai meniup di atas tanah dan menangis ketika beliau sedang bersujud dalam rakaat kedua, dan beliau mengucapkan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa mereka padahal aku masih ada di antara mereka? Tuhanku mengapa Engkau menyiksa kami padahal kami masih meminta ampunan kepada-Mu.” Lalu beliau mengangkat kepala, dan matahari telah nampak bersinar kembali...” (HR. Ahmad)

Abu Dawud meriwayatkan hadits yang di dalamnya disebutkan.:

”…Kemudian beliau meniup di akhir sujudnya dan mengucapkan: ufuf… lalu berkata: “Tuhanku, bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan menyiksa mereka ketika aku masih ada bersama mereka? Bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan menyiksa mereka ketika mereka beristighfar meminta ampunan?” Lalu Rasulullah Saw. selesai dari shalatnya, dan matahari telah tampak dan terang.”

Inilah dua dalil yang menunjukkan bolehnya meniup dalam shalat. Satu dalil tentang mutlaknya tiupan tersebut, dan satu dalil lain menunjukkan tiupan dengan dua huruf. Karena itu, apa yang akan dikatakan oleh orang yang berpendapat haramnya mengeluarkan suara apapun, walaupun dengan dua huruf, di mana mereka menganggapnya sebagai ucapan?

Benar, kami mengatakan haramnya ucapan dengan dua huruf, bahkan kami menyatakan haramnya ucapan dengan satu huruf sekalipun, misalnya mengucapkan kata perintah: qi (jagalah), fi (penuhilah) dan ‘i (sadarilah), yang berasal dari kata kerja waqa (menjaga), wafa (memenuhi), wa’a (menyadari). Selama huruf tersebut telah keluar, maka hal itu termasuk ucapan. Apabila yang keluar itu adalah suara yang bukan termasuk kategori ucapan, lalu apa dalil mereka sampai mengharamkannya? Suara ini telah keluar dengan dua huruf: “ufuf…”, dan keluar berulang, sehingga menjadi empat huruf, dikeluarkan oleh Rasulullah Saw. yang mulia. Maka setelah ini, apakah mereka masih memiliki alasan yang lain?

Berdehem walaupun dengan suara yang bisa didengar, dan walaupun keluar dengan satu huruf, dua huruf atau bahkan tiga huruf (ehm), maka ini bukanlah ucapan, sehingga ia tidak termasuk sesuatu yang diharamkan. Dengan alasan ini pun sebenarnya sudah cukup, tetapi kami memiliki nash-nash yang menunjukkan kebolehan berdehem. Dari Ali ra., ia berkata:

“Aku memiliki satu waktu dari Rasulullah, di mana aku bisa mengunjunginya saat itu. Jika aku mengunjunginya, aku meminta idzin, sehingga jika kudapati beliau Saw. sedang shalat maka beliau berdehem, lalu aku pun masuk. Dan jika kudapati beliau Saw. selesai dari shalat maka beliau Saw. langsung mengijinkan aku.” (HR. an-Nasai)

Yang serupa dengan tiupan, deheman, dan tangisan adalah rintihan, keluhan kesakitan, dan bunyi nafas di tenggorokan. Karena dalil yang ada menunjukkan haramnya ucapan, sedangkan ucapan itu sendiri telah diketahui dan dimaklumi, maka selain dari ucapan ini tidak termasuk dalam keharaman yang disebutkan dalam dalil tersebut.

Terkait dengan ucapan atau perkataan pada orang-orang dalam shalat; apakah ini termasuk hal-hal yang membatalkan shalat -sehingga berakibat wajibnya mengulang shalat-, ataukah hanya satu bentuk keharaman saja -di mana pelakunya akan berdosa dan berkurang shalatnya- tetapi tidak wajib mengulang shalat? Ibnu al-Mundzir menyatakan: “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa orang yang berbicara dalam shalatnya secara sengaja dan dia tidak ingin memperbaiki shalatnya maka shalatnya itu rusak, dan mereka berbeda pendapat terkait ucapan orang yang lalai dan bodoh.” Tirmidzi menyatakan: “Yang dipraktekkan oleh ahli ilmu adalah mereka berkata: jika seseorang itu berbicara secara sengaja dalam shalat ataupun lupa maka dia harus mengulang shalatnya.” Sebagian orang menyatakan: jika seseorang berbicara dengan sengaja dalam shalat maka dia harus mengulangnya, dan jika berbicara karena lupa atau bodoh maka shalatnya tetap sah. An-Nawawi telah menghubungkannya pada jumhur ulama.

Mereka yang menyatakan batalnya shalat orang yang berbicara telah berdalil dengan ucapan Rasulullah saw:

“Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan yang ditujukan untuk manusia.”

Ini adalah ujung hadits yang diriwayatkan Muslim dan yang lainnya dari jalur Muawiyah bin al-Hakam, yang sebelumnya telah kami sebutkan. Mereka menyatakan ketika perkataan tidak layak diucapkan dalam shalat, artinya perkataan tersebut merusak shalat. Jika merusaknya berarti telah membatalkannya, sehingga wajib untuk mengulangnya. Sekelompok orang dari mereka berpegang pada kaidah bahwa apa yang diharamkan dalam shalat itu membatalkannya (ma yuhramu fis shalat yubthiluha).

Kami katakan kepada mereka: kami lebih puas dengan pernyataan bahwa perkataan dalam shalat tidak layak diucapkan di dalamnya, dan hukumnya haram saja alias tidak boleh. Namun, kami menyatakan hal ini semata-mata hanya berpijak pada dilalah nash-nash saja, dan tidak melampauinya dengan menggunakan berbagai asumsi atau premis-premis yang tidak dikandung nash tersebut. Karena itu, dari mana mereka bisa sampai berpendapat bahwa setiap yang diharamkan dalam shalat itu membatalkannya, dan dari mana mereka mendapatkan bahwa sesuatu yang tidak layak dalam shalat itu membatalkannya?

Tatkala mereka berpegang pada kaidah bahwa sesuatu yang diharamkan dalam shalat, atau bahwa meninggalkan satu kewajiban dalam shalat itu membatalkan, maka ini juga salah. Yang benar adalah bahwa tidak ada yang membatalkan shalat kecuali dengan meninggalkan salah satu syarat shalat, atau meninggalkan salah satu rukun shalat, sehingga selain itu tidak akan membatalkan shalat dan tidak merusaknya. Saya tidak ingin memasuki pembahasan ilmu ushul lebih dalam lagi -dalam masalah itu- karena tempatnya bukan di sini. Saya hanya ingin membantah mereka dengan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam:

“Tiba-tiba salah seorang dari mereka bersin, lalu aku mengucapkan: “Yarhamukallah” (semoga Allah Swt. merahmatimu)... beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya shalat ini, tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan yang ditujukan untuk manusia.”

Muawiyah telah berbicara, lalu Rasulullah Saw. memberitahukannya bahwa perkataan dalam shalat itu tidak layak diucapkan. Dalam riwayat Abu Dawud:

“Sesungguhnya ini adalah shalat, tidak halal di dalamnya ada sedikitpun perkataan manusia ini.”

Artinya, beliau Saw. hanya memberitahukan keharaman apa yang telah dilakukannya, tidak lebih dari itu. Beliau Saw. tidak memintanya mengulang shalat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa shalatnya tidak batal karena melakukan satu keharaman. Nash ini tidak boleh ditakwilkan dengan menyatakan bahwa walaupun nash ini tidak menyebutkan permintaan pada Muawiyah untuk mengulang shalat, tetapi hal itu tidak menghalangi kemungkinan beliau Saw. telah meminta Muawiyah mengulang shalat. Kami katakan kepada mereka: ini adalah dalil yang jelas bahwa perkataan itu haram, dan bahwa sesuatu yang haram dalam shalat itu tidak membatalkannya dan tidak merusaknya. Dan ini cukup menjadi bantahan pada salah salah satu dari dua istidlal ini.

Istidlal (penarikan kesimpulan) mereka yang pertama, bahwa apa yang disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya ini adalah shalat, tidak layak di dalamnya sedikitpun ada perkataan manusia ini”, menunjukkan fasadnya shalat orang yang berbicara. Hal ini telah dibantah oleh hadits Muawiyah bin al-Hakam, karena Rasulullah Saw. mendengar percakapan Muawiyah dalam shalat. Lalu beliau Saw. memberitahukannya bahwa dia telah melakukan perbuatan haram, dan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak layak dalam shalat. Cukup dengan penjelasan ini saja, tidak ditambah dengan perintah wajibnya mengulang shalat, sehingga pernyataan wajibnya mengulang merupakan perkataan yang diada-adakan yang dikaitkan pada Rasulullah Saw., dan ini tidak boleh.

Mengenai pernyataan mereka bahwa omongan yang diucapkan karena ketidaktahuan tidak membatalkan shalat. Bahwa Muawiyah telah mengucapkan sesuatu dalam keadaan tidak tahu, dan orang yang tidak tahu itu dimaafkan, maka hal itu juga dapat dibantah. Bahwa yang membatalkan shalat dengan meninggalkan salah satu syarat atau salah satu rukun tidak menjadikan pelakunya -yang tidak tahu itu- bisa lolos dari batalnya shalat sehingga wajib mengulang shalat. Ini karena, siapa yang shalat tanpa wudhu, baik karena tidak tahu atau lupa; atau siapa yang shalat sebelum masuk waktunya, baik karena tidak tahu atau lupa; atau siapa yang shalat lalu dia tidak ruku’, baik karena tidak tahu atau lupa, maka shalatnya batal, dan wajib untuk diulang. Ketidaktahuan dan kelalaiannya itu tidak berguna baginya, di sini. Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa Muawiyah bin al-Hakam, seandainya dia melakukan sesuatu yang membatalkan shalat -baik karena ketidaktahuan atau lupa-, maka shalatnya itu menjadi batal, dan saat itu Rasulullah Saw. akan menyuruhnya mengulang shalat. Namun, ketika kita dapati bahwa Rasulullah Saw. tidak memerintahkannya mengulang shalat, maka hal itu menunjukkan bahwa omongan bukanlah sesuatu yang membatalkan shalat. Abu Hurairah telah meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. berbicara dalam shalat karena lupa, lalu beliau Saw. berpegang pada rakaat shalat yang telah dilakukannya.” (HR. Thabrani)

Ucapan: “lalu Nabi Saw. berpegang pada rakaat shalat yang telah dilakukannya” setelah beliau berbicara karena lupa, tanpa ragu lagi menunjukkan bahwa omongan karena lupa tidak membatalkan shalat. Hadits ini semakin menguatkan pemahaman yang kami pegang bahwa Muawiyah bin Hakam tidak diperintah untuk mengulang shalat.

Kami juga memiliki hadits Dzul Yadain, yang termasuk salah satu hadits yang shahih dan masyhur, di mana hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah dari jalur Abu Hurairah ra., dan diriwayatkan pula oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari jalur Imran bin al-Hushain, juga diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Ibnu Umar, serta diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi dari jalur Abu Hurairah dengan redaksi yang berbeda dengan sebelumnya. Kami cukup menyebutkan riwayat yang terakhir: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat ashar mengimami kami, lalu beliau bersalam dalam dua rakaat. Maka Dzul Yadain berkata: “Apakah shalat ashar ini telah diqashar wahai Rasulullah, ataukah engkau lupa?” Rasulullah Saw. berkata; “Semua itu tidak terjadi.” Ia berkata: “Sungguh salah satunya telah terjadi wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah Saw. menghadap kepada orang-orang, dan bertanya: “Apakah benar (pembicaraan) Dzul Yadain ini?” Mereka berkata: “Ya wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. menyempurnakan rakaat yang tersisa dari shalat tersebut, kemudian sujud dua kali, dan beliau dalam keadaan duduk setelah mengucapkan salam.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)

Di sini Rasulullah Saw. berbicara setelah mengucap salam dari dua rakaat shalat ashar, dan kaum Muslim pun berbicara. Setelah itu Rasulullah Saw. berdiri menyempurnakan rakaat yang tersisa dari shalatnya sebagai penyambung dua rakaat awal dengan dua rakaat terakhir, dan kita tidak melihat beliau Saw. memulai shalatnya dengan mengumumkan batalnya shalat sebelumnya. Bagi siapa saja yang ingin menyatakan bahwa beliau Saw. berbicara dalam keadaan lupa, dan siapa saja yang ingin menyatakan bahwa beliau Saw. berbicara dalam keadaan tidak tahu, maka kami katakan: seandainya omongan itu termasuk salah satu yang membatalkan shalat, niscaya Rasulullah Saw. akan mengajarkannya pada para sahabatnya dengan pelajaran praktis, lalu beliau Saw. mengulangi shalat tersebut sebagai imam bersama mereka. Dan ketika kita melihat beliau Saw. tidak melakukan itu, di mana beliau Saw. berpegang pada rakaat yang telah dilakukannya seraya menyempurnakan shalatnya, maka hal itu menjadi petunjuk yang sangat jelas sekali bahwa omongan itu bukan termasuk unsur yang membatalkan shalat.

Kami juga memiliki hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya. Hadits ini pun termasuk hadits shahih yang masyhur, di mana hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan selainnya dari jalur Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. memasuki masjid, lalu masuklah seseorang dan ia pun melakukan shalat. Setelah itu dia datang dan mengucap salam pada Nabi saw. Nabi Saw. membalas salamnya, lalu beliau berkata: ”Kembalilah dan shalatlah, karena engkau belum shalat.” Sampai tiga kali, lalu lelaki itu berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih baik selainnya. Maka ajarilah aku.” Beliau Saw. berkata: ”Apabila engkau berdiri untuk shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al-Qur'an yang mudah yang engkau bisa. Lalu ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku. Setelah itu bangkitlah hingga engkau berdiri dengan lurus, kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud. Lakukan itu semuanya dalam shalatmu.”

Perhatikan, bagaimana Rasulullah Saw. memerintahkan orang itu kembali sampai tiga kali, sambil mengatakan bahwa dia belum shalat. Artinya, shalat orang tersebut bathil. Mengapa beliau Saw. sampai menyuruh orang itu kembali sampai tiga kali, dan beliau Saw. sama sekali tidak menyuruh Muawiyah bin al-Hakam untuk kembali? Beliau Saw. tidak akan mendiamkan Muawiyah dan tidak menyuruhnya mengulang shalatnya seandainya shalat yang dia lakukan itu bathil. Dan ketika kita melihat beliau Saw. mendiamkannya, maka hal itu menunjukkan sahnya shalat Muawiyah. Adanya fakta di mana beliau Saw. memberitahu Muawiyah bahwa dia hanya melakukan keharaman saja dalam shalatnya, maka hal itu jelas menunjukkan: bahwa melakukan keharaman dalam shalat tidak membatalkan shalat.

Jadi, apa yang dipandang oleh kelompok tadi bahwa omongan yang terjadi karena ketidaktahuan itu tidak membatalkan shalat, dan hanya omongan yang disengaja saja yang membatalkan shalat, maka (dalam hal ini kami sampaikan sebagai bantahan pada mereka) yang membatalkan shalat itu bisa terjadi dalam dua kondisi, yakni baik disengaja dan tidak tahu dengan melihat dilalah hadits orang yang buruk dalam shalatnya, di mana orang tersebut shalat sampai tiga kali dalam kondisi tidak mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Namun ketidaktahuan itu tidak berguna baginya dan shalatnya tetap batal.
Hadits ini juga menunjukkan dengan sangat tegas bahwa hal-hal yang membatalkan shalat itu tetap saja akan membatalkan, sama saja baik dilakukan dalam kondisi mengetahui (sengaja) ataupun tidak tahu. Karena itu, seandainya omongan itu termasuk hal-hal yang membatalkan shalat niscaya hal itu akan membatalkan shalat Muawiyah bin al-Hakam. Karena ketidaktahuan saja tidak cukup jika terkait dengan hal-hal yang membatalkan shalat. Apabila kita sudah mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah membatalkan shalat orang yang buruk dalam shalatnya, walaupun orang tersebut shalat dalam keadaan tidak tahu, dan kita pun mengetahui bahwa beliau Saw. tidak membatalkan shalat Muawiyah bin al-Hakam yang berbicara dalam keadaan tidak tahu, maka kita bisa memahami bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang buruk shalatnya dalam hadits di atas itu tidak diragukan lagi berbeda dengan apa yang dilakukan Muawiyah bin al-Hakam. Perbedaan ini tidak menunjukkan apapun selain bahwa orang yang buruk shalatnya itu telah melakukan sesuatu yang membatalkan shalat, dan bahwa Muawiyah bin al-Hakam tidak melakukan sesuatu kecuali keharaman, yang tidak sampai pada derajat yang membatalkan shalat.
Ini memberi pengertian bahwa omongan atau perkataan itu tidak termasuk hal-hal yang membatalkan shalat, dan bahwa melakukan keharaman dalam shalat itu tidak membatalkan shalat.

Dengan demikian jelas, bahwa berbagai istidlal (penarikan kesimpulan) yang digunakan oleh kelompok tersebut tidak benar, dan pendapat yang dikatakan oleh mereka bahwa omongan itu membatalkan shalat, ini pendapat yang tidak benar. Karenanya, kita hanya bisa nyatakan bahwa omongan itu hanya termasuk sesuatu yang diharamkan dalam shalat saja. Melakukan sesuatu yang haram dalam shalat itu hanya mengurangi nilai shalat saja, tidak membatalkannya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam