Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 22 Juli 2017

Dalil Dzikir Setelah Shalat



1. Istighfar

Disunahkan beristighfar seusai shalat, dan disunahkan pula bilangannya sebanyak 3 kali. Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. sangat menyukai berdoa sebanyak tiga kali dan beristighfar sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Istighfar bisa dilafalkan dengan redaksi kalimat manapun, seperti mengucapkan: astaghfirullah (aku memohon ampunan kepada Allah) dan mengulanginya sebanyak tiga kali, atau mengucapkan: “aku mohon ampunan kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), dan aku kembali kepada-Nya” dan mengulanginya sebanyak tiga kali, atau mengucapkan: “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada tuhan selain Engkau, Dzat yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu, dan aku berusaha meraih janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang kulakukan, dan aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu kepadaku sedang aku kembali kepada-Mu dengan membawa dosaku, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Engkau.” Dan mengulanginya sebanyak tiga kali. Bentuk istighfar yang terakhir ini merupakan bentuk istighfar yang paling baik, dan disebut sebagai sayyidul istighfar (penghulu istighfar). Dari Tsauban ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika Beliau selesai dari shalatnya beliau beristighfar sebanyak tiga kali, dan kemudian berkata: “Ya Allah, Engkau adalah Dzat pemilik kesejahteraan, dari Engkaulah kesejahteraan, Maha suci Engkau Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan...” (HR. Muslim)

Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai meriwayatkan dengan lafal: “wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan”, yakni adanya tambahan “ya.” Sebelumnya telah diuraikan dalam pembahasan duduk sejenak setelah shalat dalam bab ini. Zaid pelayan Rasulullah Saw. meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


“Barangsiapa yang mengucapkan: "aku meminta ampunan kepada Allah Dzat yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dan aku bertaubat kepada-Nya, maka diampunilah dosanya, walaupun dia lari dari medan perang.” (HR. Abu Dawud)

Dari Syidad bin Aus ra., dari Nabi Saw.:

Sayyidul istighfar adalah engkau mengatakan: “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada tuhan selain Engkau, Dzat yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu, dan aku berusaha meraih janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang Kulakukan, dan aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu kepadaku, sedang aku kembali kepada-Mu dengan membawa dosaku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Engkau.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah)

Setelah beristighfar dianjurkan untuk mengucapkan: Ya Allah, Engkau adalah Dzat pemilik kesejahteraan, dari Engkaulah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan...” Ini berdasarkan hadits Tsauban, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. jika telah bersalam dari shalatnya beliau mengucapkan: “Ya Allah, Engkau adalah Dzat pemilik kesejahteraan, dari Engkaulah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan...” (HR. Ahmad dan Muslim)

2. Isti’adzah (memohon perlindungan)

Seorang Muslim dianjurkan untuk meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari sejumlah keburukan setelah dia mengakhiri shalatnya. Walaupun ta'awudz itu dianjurkan setiap waktu, akan tetapi usai shalat lebih dianjurkan lagi dan lebih mudah diijabah. Dari Abu Umamah ra., ia berkata:


“Beliau Saw. ditanya: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar? Beliau Saw. menjawab: ”Sepertiga malam terakhir dan setelah selesai shalat wajib.” (HR. Tirmidzi)

Bentuk ta'awwudz setelah shalat bisa diucapkan dalam dua bentuk berikut ini:

1. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan siksa kubur.

2 . Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dan aku berlindung kepada-Mu dari keleMahan hati, dan aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikannya aku pada kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.

Dari Abu Bakrah ra.:


“Bahwa Nabi Saw. seringkali mengucapkan dalam ujung setiap shalatnya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan siksa kubur.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Tirmidzi, dan an-Nasai)

Dari Mush’ab bin Saad dan Amr bin Maimun al-Azadiy, keduanya berkata:

“Saad seringkali mengajari anak-anaknya beberapa kalimat sebagaimana guru mengajari muridnya. Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. seringkali berta'awudz dengan kalimat-kalimat berikut pada ujung shalatnya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekikiran, dan aku berlindung kepada-Mu dari keleMahan hati, dan aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikannya aku ini pada kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi)

Dan banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. tentang meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari berbagai keburukan, yang jumlahnya hampir tidak terhitung yang dibaca setelah shalat. Saya sebutkan di antaranya: (berlindung dari) kemalasan, qadha yang buruk, kemalangan, kegembiraan musuh, beratnya cobaan, keleMahan, kepikunan, terjerumus perbuatan dosa, kebangkrutan, keburukan apa yang diciptakan Allah, beban utang dan dikuasai orang jahat, keburukan kekayaan, kefakiran, kekurangan dan kehinaan, hilangnya nikmat dan hilangnya rasa sehat, sergapan amarah, dan seluruh kemarahan Allah, perpecahan, kemunafikan dan buruknya akhlak, kelaparan dan pengkhianatan, ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, hasrat yang tidak pernah kenyang dan doa yang tidak dikabulkan, keburukan pendengaran, keburukan penglihatan, keburukan lisan, keburukan hati dan keburukan derita (cobaan), kekalahan, jatuh, tenggelam dan kebakaran, tertimpa bahaya akibat setan, dan kematian ketika lari dari medan perang, kematian karena disengat, penyakit kusta, gila, lepra dan penyakit lainnya, akhlak, keinginan dan perbuatan munkar.
Saya tidak akan menyebutkan semua hadits yang mengandung istiadzah yang saya sebutkan di atas, karena saya hanya akan menyebutkan beberapa isti’adzah yang ada dalam beberapa nash, yang dilafalkan setelah shalat saja. Dan saya ingatkan, bahwa saya telah menyebutkan sejumlah ta'awudz dalam pembahasan “do'a dan ta’awudz di akhir shalat” pada bab “sifat shalat” adalah ta’awudz yang mesti diucapkan dalam shalat, bukan setelah shalat. Hanya Allah Swt. yang mengetahui hikmah dalam mengkhususkan sebagian ta'awudz dalam shalat, dan sebagian yang lain di penghujung shalat, serta sebagian lainnya secara mutlak (kapanpun waktunya).

Ibadah itu sendiri bersifat tauqifiy, yang harus dilakukan sesuai dengan nash yang ada. Tetapi ucapan saya ini bukan berarti bahwa berta’awudz setelah shalat tidak boleh kecuali dengan apa yang disebutkan hadits-hadits ini secara mutlak. Yang saya maksudkan adalah bahwa berta’awudz dengan menggunakan apa yang ada dalam nash di setiap akhir shalat itu lebih utama dan lebih baik daripada selainnya.
  
3. Tasbih, tahmid, takbir dan tahlil


4. Membaca ayat al-Qur'an

Membaca al-Qur’an merupakan salah satu cara taqarrub yang paling agung di sisi Allah Swt. Saya di sini tidak bermaksud menjelaskan topik ini lebih jauh, karena topik ini di luar pembahasan kita. Pembahasan kita saat ini adalah “apa yang diucapkan setelah shalat.” Kalaupun ingin sedikit berkomentar tentang pembahasan ini, maka disunahkan untuk membaca al-Qur'an seluruhnya (menamatkannya) dalam satu bulan. Ini membaca al-Qur'an yang paling ideal. Dan jika seorang Muslim ingin menambahnya dan ia memiliki kemampuan, kesehatan dan waktu luang, maka dia tidak boleh di atas tiga hari. Artinya, dia tidak membaca al-Qur’an seluruhnya kurang dari tiga hari. Kita kembali pada pembahasan kita. Disunahkan bagi seorang Muslim -jika dia telah shalat dan duduk berdzikir- untuk membaca sebagai berikut: 1) Ayat kursi, yakni ayat 255 dari surat al-Baqarah.

2) Surat al-falaq.

3) Surat an-nas.

4) Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (TQS. as-Shaffat: 180482)



Ini adalah bacaan-bacaan yang disebutkan dalam beberapa nash. Bagi siapa yang ingin menambahnya maka pintu itu tetap terbuka. Terkait khusus dengan surat al-ikhlas, maka sebagian orang telah memasukkan surat ini ke dalam kategori al-mu'awidzat, di mana mereka berpendapat membaca surat ini dilakukan bersama dengan al-mu'awwidzatain (al-falaq dan an-nas) dengan menggunakan dalil satu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh Thabrani. Mengenai bacaan-bacaan yang saya singgung di atas telah disebutkan dalam beberapa hadits berikut: Dari Abu Umamah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:



“Barangsiapa yang membaca ayat kursi di setiap akhir shalat wajib, maka tidak ada yang menghalanginya untuk masuk Surga kecuali kematian.” (HR. Thabrani, an-Nasai dan Ibnu Hibban)



Dari Hasan bin Ali ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:



“Barangsiapa yang membaca ayat kursi pada setiap akhir shalat wajib, maka ia berada di dalam jaminan Allah hingga shalat berikutnya.” (HR. Thabrani)



Dari Uqbah bin Amir ra. ia berkata:



“Rasulullah Saw. memerintahkan aku untuk membaca al-mu'awwidzat pada setiap akhir shalat.” (HR. an-Nasai, Ahmad, Abu Dawud, Thabrani dan Ibnu Khuzaimah)



Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:



“Bacalah oleh kalian al-mu’awwidzat pada setiap akhir shalat.”



Dalam riwayat an-Nasai dan Tirmidzi disebutkan dengan kata al-mu’awwidzatain (dua surat, yakni al-falaq dan an-nas). Kata al-mu’awwidzat yang diucapkan dalam bentuk jamak ini digunakan sebagai dalil oleh sebagian orang untuk membaca surat al-ikhlash, al-falaq dan an-nas, karena surat-surat berjumlah tiga. Sementara itu, sebagian lainnya berpegang pada kata al-mu'awwidzatain -dalam bentuk tatsniyah-, sehingga mereka menyatakan untuk membaca surat al-falaq dan an-nas saja, dan inilah yang shahih. Alasannya, karena menjadi bagian gaya bahasa Arab bahwa penyebutan kata dalam bentuk jamak kadang-kadang ditujukan untuk bentuk satu (munfarid) dan dua (tatsniyah). Misalnya Umru’ul Qais dalam mu’allaqatnya menceritakan tentang kuda: yang menggelincirkan anak yang ringan itu dari punggung-punggungnya. Padahal kuda hanya mempunyai satu punggung saja. Allah Swt. berfirman:



“Kemudian malaikat-malaikat memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab...” (TQS. Ali Imran [3]: 39)



Padahal, yang memanggil di sini hanya Jibril seorang diri. Allah Swt. berfirman:



“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul), yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka...” (TQS. Ali Imran [3]: 173)



Padahal, yang mengatakan di sini adalah seorang laki-laki saja yang berasal dari Bani Khuza’ah.



Jadi, hadits di atas berpijak pada kaidah ini, di mana Rasulullah Saw. menyebutkan lafadz al-mu'awwidzat dalam bentuk jamak untuk al-mu'awwidzatain (yakni al-falaq dan an-nas), dua surat inilah yang dimaksudkannya. Karena itu, maka surat al-ikhias tidak termasuk dalam kata yang beliau ucapkan, sehingga tidak termasuk surat yang harus dibaca. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:



“Aku mendengar Nabi Saw. tidak hanya sekali mengucapkan pada akhir shalatnya (ketika beliau Saw. selesai dari shalat): “Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” (TQS. As-Shaffat: 180-182).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Tirmidzi)






Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah



(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam