Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 24 Desember 2015

RASULULLAH Saw. MA’SUM TIDAK BERIJTIHAD



          Rasulullah sama sekali tidak pernah berijtihad dan tidak patut berijtihad
          secara SYAR'I, banyak ayat Al Qur'an dengan jelas menunjukkan bahwa semua ucapan dan perbuatan beliau tidak lain hanyalah bersumber dari wahyu (bukan pendapat beliau)
          "Katakanlah Muhammad aku hanya memberi peringatan kepadamu dengan  al-wahyu (QS Al Anbiya 45). "Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku“ (QS Yunus l5). "(Dan) Tidaklah ia mengucapkan sesuatu berasal dari hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan"(An Najm 3-4). QS. Shaad: 70, QS. Al- Hasyr: 7, QS. Al-Ahzab: 21, QS. Al-Ahqaf: 9, QS. Al-A’raf: 203, QS. Al-Anfal: 67, QS. At-Taubah: 43, 83, 84, QS. Muhammad: 4, QS. An-Nuur: 62, Hadits: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”
                          Sedangkan ditinjau secara AQLI , Beliau Saw. sering menunggu turunnya al wahyu dalam menentukan sejumlah besar masalah hukum. Berarti menunjukkan bahwa beliau tidak diijinkan berijtihad.
                          Di samping itu Rasulullah Saw. adalah orang yang wajib dijadikan panutan mutlak. Jika beliau melakukan ijtihad, berarti memungkinkan terjadinya suatu kesalahan pada diri beliau.  Andaikan beliau salah dalam ijtihad, sementara kita diwajibkan mengikutinya, berarti kita diwajibkan mengikuti kesalahan.  Kemungkinan yang demikian ini adalah sesuatu yang bathil (mustahil).
                          Seorang rasul WAJIB ma`sum

KEMA`SUMAN RASUL

       Pasti , dipastikan berdasarkan akal. Karena menyampaikan risalah (tabligh) dari Allah. Kalau cacat, meskipun dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya cacat pada seluruh masalah. Maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan. 
       Kema'shuman dalam tabligh bersifat pasti jika tidak demikian berarti mengingkari/ kufuri risalahnya/ kenabiannya yang telah ditetapkan oleh Allah.  Adapun kema'shuman adalah dalam perbuatan-perbuatan dosa-dosa besar (Al kabaair). Adapun terhadap dosa-dosa kecil (Ash shaghaair) para ulama berbeda pendapat, apakah para Nabi dan Rasul ma'shum dari perbuatan dosa-dosa kecil. Sebagian ulama berpendapat ma’sum, sebagian berpendapat tidak.
       Yang benar adalah bahwa semua yang haram untuk dikerjakan dan yang wajib dilakukan, yaitu berupa seluruh jenis fardlu dan seluruh bentuk yang haram, maka dalam hal ini para Nabi dan Rasul bersifat ma'shum. Baik hal itu termasuk dosa besar/kecil berarti ma`sum dari ma'siyat.
       Selain itu dalam tindakan yang termasuk khilaful aula (tidak mengerjakan yang terbaik/paling layak), maka mereka tidaklah ma'shum.  Dibolehkan mereka mengerjakan tindakan khilaful aula secara mutlaq.  Sebab, ditinjau dari berbagai sudut manapun, hal itu tidak termasuk dalam jenis maksiyat. 
       Muhammad Saw. ma`sum.  Rasulullah Saw. tidak pernah menyampaikan satu hukumpun, kecuali dari al wahyu. Allah berfirman: "Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al wahyu" (QS. Al Anbiyaa: 45). "(Dan) Dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya.  Apa yang diucapkannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan" (QS An Najm: 3-4) baik Qur`an maupun hadits. "Yang diwahyukan kepadaku, adalah "Aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata."  (QS Shaad: 70)
       Yang dimaksud ayat tersebut tentang aqaaid, hukum, dan setiap masalah yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan dan memberi peringatan kepada manusia (tidak tercakup penggunaan cara/taktik atau perbuatan jibiliyah/ perbuatan alami manusia). Jadi, dalam hal ini kekhususan adalah dalam perbuatan dan pemikiran manusia, bukan masalah cara dan sarana, atau yang semisal dengan itu. setiap perkara terkait perbuatan manusia (af'aalul 'ibaad) dan pemikiran-pemikirannya adalah berasal dari wahyu Allah. Sebab, kita diperintahkan mengikuti beliau dan menjadikannya suri tauladan. "Apa yang dibawa oleh Rasul ke padamu, maka ambillah.  Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah"  (QS Al Hasyr: 7). "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu"  (QS Al Ahzaab: 21)

       Berdasarkan dua ayat tersebut maka ucapan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah, merupakan dalil syar'iy (semuanya wahyu dari Allah). Beliau memberikan tata cara pemecahan problematika kehidupan sesuai dengan wahyu, tanpa menyimpang sedikitpun.  Allah SWT berfirman:"Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Al Ahqaaf 9). "Katakanlah: 'Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku."( QS Al A'raaf: 203). berarti membatasi meneladani Rasulullah dengan apa yang telah diterima dari Allah SWT.  Semua itu teramat jelas dan gamblang, bahwa apa yang diperintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikannya kepada manusia adalah wahyu semata.
       Beliau Saw., dalam banyak persoalan hukum, seperti zhihar, li'aan, dan lain sebagainya, menanti turunnya al wahyu.  Beliau tidak mengucapkan sesuatu hukum/ketetapan, atau mengerjakan dan mendiamkan sesuatu yang berkaitan dengan tasyri', kecuali semua itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
       Para sahabat, jika bingung  membedakan antara perbuatan, ide atau sarana, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. apakah itu wahyu atau pendapat pribadi (Rasul) yang berarti perkara yang bisa dimusyawarahkan).  Kalau wahyu, mereka semua menurut. Tapi jika pendapat pribadi (Rasul), dalam perkara yang bisa dimusyawarahkan, merekapun berdialog dengan Rasul. Kadang Rasul Saw. mengikuti pendapat mereka, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa perang Badar, Khandaq, dan Uhud.
       Dalam hal-hal yang mubah teknis, tidak ada kaitannya dengan apa yang disampaikan oleh Allah, beliau katakan kepada mereka: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian“. Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa penyerbukan tanaman korma.
       Jika beliau Saw. dibolehkan mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan masalah tasyri', tanpa dasar wahyu, untuk apa beliau menunggu turunnya wahyu, sebelum menetapkan hukum, dan mengapa para sahabat bertanya pada beliau, apakah suatu perkara itu wahyu atau pendapat pribadi Rasulullah.  Jika tidak demikian tentu Rasul akan menjawab secara langsung pertanyaan mereka atau mereka akan mengajukan pendapat tanpa meminta penjelasan.
       Maka Rasulullah Saw. tidak pernah berkata/bertindak/diam atas sesuatu, kecuali karena wahyu Allah, bukan dari pendapatnya sendiri (ma`sum dalam menyampaikan segala sesuatu yang datang dari sisi Allah SWT).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam