Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Desember 2015

PENDAPAT MUJTAHID HUKUM SYARA`


 
PENDAPAT SEORANG MUJTAHID ADALAH HUKUM SYARA`

       Ada pendapat yang menyatakan bahwa "pendapat imam madzhab" seperti imam Syafii dan Abu Hanifah bukanlah merupakan hukum syara', melainkan hanya pendapat mereka.  Karenanya, kitapun tidak perlu terikat pada pendapat mereka. 
       Alasan mereka yaitu hukum syara' itu hanyalah nash-nash Al Qur'an dan Hadits.  Konsekuensinya, maka mereka membatasi hukum-hukum syara' hanya pada apa yang tercantum dalam nash secara jelas, yang dapat difahami dengan sekedar membacanya. 
       Ini berarti berbagai masalah baru yang tidak tercantum secara tegas dalam nash-nash syara', dianggap tidak ada ketentuan hukumnya. Dianggap Setiap orang boleh mengikuti pendapatnya masing-masing maka salah dalam menarik hukum berarti pelecehan terhadap ijtihad sehingga bisa memalingkan manusia dari syari'at Allah.
       Padahal, seseorang hanya boleh menarik hukum dari Al-Qur`an jika ia sudah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya memahami bahasa Arab, memahami ilmu hadits, mengetahui sebab nuzul, mengetahui sebab wurud hadis, memiliki ilmu ushul fiqh, dan berbagai syarat lainnya.
       Al-Qur'an dan hadits datang dalam bentuk garis-garis besar dan makna-makna umum. 
       Ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan teks-teks hadits umumnya berkaitan dengan suatu kejadian tertentu di masa Rasul.
       Oleh karena itu, dalam menentukan hukum tidak bisa sembarangan, karena ada beberapa cara dalam menarik hukum dari nash :
       Ada hukum yang bisa diambil dengan "manthuq“ : makna yang ditunjukkan oleh lafadz
       Ada yang diambil dengan "mafhum“ : makna yang ditunjukkan oleh makna lafadz
       Atau  yang diambil dengan "iqtidlaa" : makna yang ditunjukkan manthuq dan mafhumnya. 

       Lafadz-lafadz tersebut memiliki makna bahasa dan makna hukum. Selain itu, ada nash-nash lain dalam Al-Qur'an dan hadits, yang berfungsi untuk mengkhususkan (mentakhshish) lafadz-lafadz yang berbentuk umum, atau mengikat (mentaqyid) lafadz-lafadz yang "muthlaq". 
       Lafadz-lafadz itupun memiliki  "qarinah“  (indikasi)  yang  menentukan  makna  yang  dimaksud; dan menentukan jenis hukum apakah "perintah“ (wajib, mandub),  mubah, atau "larangan“(haram atau makruh).  Demikian juga, qarinah-qarinah itu menentukan apakah lafadz-lafadz tersebut khusus untuk satu kejadian atau umum untuk seluruh peristiwa; dan lain sebagainya, dari apa yang tercantum dalam nash.  Oleh karena itu, lafadz-lafadz tersebut harus difahami secara hukum, bukan semata-mata secara dhahir (harfiah) atau secara logis.
       Tidaklah mengherankan, jika kemudian timbul ikhtilaf dalam memahami satu nash. Sehingga terhadap satu nash terdapat dua pendapat yang berbeda atau bahkan pendapat yang bertentangan satu sama lain.  Ini baru dilihat dari segi pemahaman atau penunjukkan suatu lafadz. 
       Ditambah lagi dengan adanya perselisihan terhadap keabsahan suatu hadits, apakah bisa diterima atau tidak.  Kemudian muncul pula ikhtilaf tentang hukum-hukum yang diambil dari hadits tersebut, apakah bisa diterima atau tidak maka terjadi ikhtilaf dalam nash-nash yang tidak qath’i (tidak pasti).
       Semuanya  dapat dikatakan sebagai hukum syara', walaupun berbilang jumlahnya, berbeda-beda, atau bahkan bertentangan.  Sebab hukum syara' adalah 'Seruan Allah dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan perbuatan hamba.‘ yang perlu difahami oleh pihak yang diseru -yaitu manusia- agar dapat menjadi suatu hukum syara' baginya. Sebab suatu nash, supaya dapat diterapkan, perlu dipahami lebih dulu.

       Jadi, seruan Allah dan Rasul-Nya dianggap sebagai hukum syara' ketika telah difahami makna apa yang ditunjukkan oleh suatu nash, yang terbukti keabsahannya sebagai berasal dari Al Qur'an atau hadist.
       Sedangkan apabila seruan itu belum ditetapkan keabsahannya dan belum difahami makna apa yang ditunjuk oleh suatu dalil, maka tidak dapat dianggap sebagai hukum syara'.
       Oleh karena itu yang menjadikan suatu nash sebagai seruan atau bukan adalah pemahaman terhadap nash itu sendiri. Berarti hukum syara' merupakan pendapat yang diambil dari nash. Inilah yang dianggap sebagai seruan Allah.
       Dengan demikian pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara', selama disandarkan kepada Al-Qur'an dan As Sunnah atau dalil-dalil yang ditunjuk oleh Al-Qur`an dan Sunnah, yaitu Ijma' dan Qiyas.
       Maka pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara‘ (mujtahid dulu maupun sekarang), selama mereka menggalinya dengan ijtihad yang benar, yang bersandar pada dalil-dalil syara'.
       Rasulullah Saw. telah menetapkan diterimanya suatu pemahaman terhadap nash sebagai hukum syar'i.  Beliau juga mendiamkan (mengakui) terjadinya ikhtilaf dalam pemahaman nash tersebut.
       Contoh, segera setelah berangkatnya kelompok-kelompok (qabilah) dalam perang Khandaq, beliau memerintahkan seorang muazhin untuk berseru kepada kaum muslimin: "Siapa saja yang mendengar dan taat, jangan melakukan shalat ashar kecuali di (kampung) Bani Quraidhah".
       Para Shahabatpun berbeda-beda memahami seruan ini.  Sebagian meninggalkan shalat ashar di Madinah dan tidak melakukannya sampai mereka tiba di Bani Quraidhah.  Sebagian lain memahami, bahwa yang dimaksud adalah agar mereka bergegas-gegas, sehingga mereka shalat ashar terlebih dahulu, dan kemudian pergi ke Bani Quraidhah setelah menunaikan shalat. Lalu kedua hal ini  disampaikan kepada Rasulullah Saw. dan beliau menetapkan bahwa kedua pemahaman tersebut dapat diterima.
       Para Shahabat ra. telah berikhtilaf dalam memahami Al Qur'an dan hadist. Pendapat mereka berbeda satu dengan lainnya. Setiap pendapat mereka adalah hukum syara'. Mereka telah ber-ijma', bahwa pendapat yang dikemukakan mujtahid manapun yang berasal dari nash adalah merupakan hukum syara'.
       Oleh karena itu, baik hadist maupun ijma' shahabat telah menunjukkan bahwasanya pendapat yang digali oleh mujtahid manapun dianggap sebagai hukum syara' yang wajib diikuti oleh orang yang menggalinya (mujtahid itu sendiri), juga bagi siapa saja yang telah menyetujui pemahaman tersebut, atau yang bertaqlid kepadanya untuk mengikuti pendapat mujtahid itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam