PBB Dan Imperialis
8.
Hak asasi manusia –sebuah istilah yang digunakan
secara sangat subjektif– secara teori diakui sebagai hal yang fundamental oleh
PBB dan seperti kita ketahui, tercantum dalam Pembukaan Piagam PBB: ‘… untuk
kembali menegakkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang fundamental,
dalam martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, dalam persamaan hak antara pria dan
wanita serta negara kecil dan besar…’. Tatkala mereka menjajakan
nilai-nilai yang diadopsi oleh PBB kepada seisi dunia, kekuatan dunia semacam
AS, Inggris, Rusia dan yang lain, justru secara terbuka mendukung rezim
penindas rakyat dan pelanggar hak-hak dasar rakyatnya sendiri. Meski kami telah
membuat bab tersendiri untuk membahas topik ini, sangat penting bagi kita untuk
melihat bagaimana PBB melanggar prinsip-prinsip mereka sendiri dengan tetap
bersikap pasif ketika negara-negara kuat melanggar setiap hak dasar
kemanusiaan. Di satu sisi, AS, Inggris dan yang lain menyerukan kepada dunia
agar menaati berbagai nilai ‘universal’. Sementara di sisi lain mereka pun
secara terbuka memberi dukungan moral dan finansial kepada berbagai rezim,
misalnya Mesir dan Uzbekistan yang secara terang-terangan melanggar hak-hak
rakyatnya.
9.
Baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers bersama
dengan Sekjen PBB di Tashkent, Uzbekistan, Presiden Karimov dengan berang
menanggapi pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, ‘Saya
ingin menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada
saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM? Mungkin
Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau yang tidak
terbukti melakukan pelanggaran HAM?’ [Reuters, 18 Oktober 2002]. Meskipun
rajin mengajarkan nilai-nilai HAM ke seluruh dunia dan hingga tahun 2001 masih
menjadi anggota Dewan HAM PBB, negara Barat seperti AS tercatat sering
melakukan pelanggaran HAM. Laporan sebuah kelompok HAM menyoroti kasus
pelanggaran HAM di penjara-penjara AS yang melebihi kapasitasnya, termasuk
rasisme [CNN, 6 Oktober 1998], juga rasisme dalam pelaksanaan hukuman mati
[Amnesti Internasional, 16 Oktober 2002], dan kebrutalan polisi dalam
kasus terkenal, Amado Dialo dan Rodney King, serta pembinasaan penduduk asli
Indian dalam rangka perluasan wilayah. Dengan fakta-fakta seperti ini, AS dan
Inggris, yang masa lalunya tidak perlu lagi dikomentari, masih berani
menceramahi negara seperti Irak supaya menghormati HAM. Australia pun
dilaporkan melanggar hak-hak pengungsi yang ingin sekadar mencari tempat
berlabuh di wilayahnya. Selain AS dan Inggris, negara besar lain seperti Rusia
dan Cina juga memiliki catatan suram berkenaan dengan HAM. Rusia dengan kasus
Chechnya, sedangkan Cina tersandung kasus di Xinjaing.
10. Berbagai
kekerasan yang dilakukan negara-negara kuat, yang juga anggota PBB, anggota
Dewan Keamanan dan anggota Badan HAM PBB, memperlihatkan pandangan mereka bahwa
kepentingan bangsanya sendiri adalah lebih penting daripada hak asasi manusia,
kesejahteraan, pemukiman atau masalah-masalah kemanusiaan secara umum.
11. Pada tahun
1994, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang di Afrika Tengah.
Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali menuduh suku Hutu yang mendominasi angkatan
bersenjata Rwanda telah melakukan pembantaian terhadap suku Tutsi. Ketika
peristiwa itu sedang mencapai puncaknya, pasukan PBB yang memang tidak
diperintahkan untuk melindungi warga sipil, tanpa rasa malu meninggalkan Kigali
dan untuk beberapa bulan kemudian, warga Rwanda –umumnya suku Tutsi– dibantai.
Pasukan Rwandan Patriotic Front memasuki Kigali dan pembantaian pun tak
terelakkan. PBB kemudian datang ke wilayah tersebut. Namun, Boutros Boutros
Ghali, Sekjen PBB saat itu, mengeluhkan minimnya dukungan negara-negara kuat
–khususnya AS– dalam operasi perdamaian PBB. Pembantaian warga Rwanda
sebenarnya dapat dihindari, karena tiga negara anggota PBB (Belgia, Prancis dan
AS), dua di antaranya anggota tetap Dewan Keamanan, sebelumnya telah mengetahui
rencana pembantaian suku Tutsi itu.
Paparan
berikut yang disarikan dari biografi Boutros Boutros Ghali menunjukkan fakta
bahwa negara-negara kuat sebelumnya telah mengetahui pembantaian yang akan
terjadi: ‘Jenderal Dalaire telah mengirim telegram kepada Department of
Peace-Keeping Operations (DPKO) (Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB),
isinya tentang laporan seorang informan perihal adanya penimbunan senjata yang
dilakukan pasukan Hutu untuk persiapan pembantaian suku Tutsi. Dalaire meminta
izin untuk mencoba menyita senjata tersebut, namun permohonannya ditolak oleh
DPKO dengan alasan bahwa mandat untuk operasi PBB di Rwanda tidak mencakup
perkara semacam itu. Keesokan harinya, 12 Januari 1994, Dalaire, dalam rangka
menjalankan perintah PBB, memberitahu Duta Besar Belgia, Perancis dan AS
tentang informasi tersebut. Dengan kata lain, PBB sebenarnya telah
menginformasikan kabar itu kepada negara-negara kuat yang sebenarnya dapat
bertindak untuk mencegah pembantaian tersebut’ [Boutros Boutros Ghali.,
‘Unvanquished’., 1998]. Sekali lagi, ketidakpedulian negara-negara kuat yang
menguasai PBB telah menimbulkan bencana kemanusiaan. Tidak seperti Irak, Rwanda
tidak memiliki minyak dan terletak di lokasi yang tidak strategis.
Boutros
Boutros Ghali dalam biografinya memaparkan masalah yang terjadi di PBB
tersebut. ‘Belum lama ini seluruh dunia mengira mampu mengetahui dan
mencegah pembunuhan massal. ‘Takkan lagi’ adalah kata yang paling tepat. Namun
pembantaian kembali terjadi; di Kamboja, saat lebih dari satu juta korban jatuh
di tangan Khmer Merah; di bekas wilayah Yugoslavia, saat terjadi pembantaian
yang termasyhur sebagai ‘pembersihan etnis’; di Somalia, ketika terjadi
genosida akibat perang saudara yang telah membuat terhambatnya bantuan untuk
rakyat yang kelaparan dan menderita sakit, serta ketika 350.000 orang mati
sebelum Dewan Keamanan memutuskan untuk turun tangan. Di Rwanda, hampir satu
juta orang terbunuh akibat genosida, namun Dewan Keamanan PBB tidak melakukan
apapun’ [Boutros-Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998].
12. Dalam Earth
Summit terakhir di Johannesburg, masalah kesenjangan antara dunia kesatu dan
dunia ketiga menjadi sorotan. Juga terungkap upaya negara-negara kuat
menghindari masalah lingkungan hidup dan target bantuan dunia ketiga.
Keengganan negara-negara maju ini adalah sebuah cerita lama mengingat dalam
Earth Summit sebelumnya di Rio, Brazil, pada tahun 1992, hal ini telah
terlihat. Ketika itu negara-negara anggota PBB berikrar untuk memperbaiki
lingkungan dunia dengan mengurangi kebiasaan mengkonsumsi sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui. Beberapa negara anggota yang menghadiri pertemuan
tersebut telah mengkhianati ikrar mereka sendiri dan gagal menerapkan atau
meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan.
13. Seorang juru
bicara WWF mengatakan bahwa pemerintahan AS yang dipimpin oleh Bush serta
Kanada dan Australia berupaya keras agar proses itu tidak menghasilkan sesuatu
yang positif. ‘Mereka benar-benar menghalang-halangi setiap kemajuan dalam
hal rencana aksi konkrit dan ini menimbulkan sebuah efek domino yang menakutkan’
[CNN, 7 Juni 2002]. Sepuluh tahun kemudian, muncul banyak kritik atas nihilnya
ketercapaian tujuan yang dicanangkan dalam pertemuan Rio. Beberapa negara
anggota telah mengkhianati janji mereka sendiri, gagal mengimplementasikan atau
meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan. Subsidi yang
diberikan oleh negara-negara maju untuk para petani lokal merupakan isu lain
yang berkembang. Menurut Bank Dunia, subsidi untuk para petani di Eropa dan AS
secara keseluruhan mencapai US$ 1 milyar per hari, benar-benar tidak
mempedulikan jatah para produsen yang berasal dari negara-negara berkembang [AFP,
28 Agustus 2002].
14. Akibatnya,
para ahli lingkungan mengkritik kebijakan negara-negara besar, khususnya AS.
Bahkan ada yang memprotes serta mencemooh pidato Menteri Luar Negeri AS, Colin
Powell, pada Earth Summit di Johannesburg. Vandana Shiva, pendiri India’s
Research Foundation for Science, Technology and Ecology, menuding, ‘AS tidak
memiliki strategi’. Berkenaan dengan masalah privatisasi, ia katakan, ‘Mereka
ingin agar kita menutup mata dan berkata: ‘serahkan semuanya kepada pasar’, dan
itu tidak terjadi’ [Washington Post, 30 Agustus 2002]. Politisi dari
Partai Republik, George Miller (distrik California), yang menghadiri pertemuan
Johannesburg, ikut mengkritik kebijakan pemerintahan Bush. ‘Pemerintah AS
telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan’,
ujarnya [Washington Post, 30 Agustus 2002].
15. Pemerintah AS
menolak disalahkan dan malah melimpahkan tanggung jawab kepada negara-negara
dunia ketiga. Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengkritik Zambia yang
menolak bantuan pangan dari AS, termasuk di dalamnya bijih padi hasil
modifikasi genetik yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan AS. Rezim AS
yang sama telah menolak penambahan bantuan untuk negara dunia ketiga, seraya
menjajah mereka melalui berbagai lembaga semacam IMF dan Bank Dunia. AS juga
menolak sebuah resolusi pertemuan dunia PBB di Monterrey awal tahun ini yang
bertujuan untuk meningkatkan target bantuan kepada negara-negara dunia ketiga
menjadi sebesar 0,7% dari pendapatan nasional negara maju. Washington telah
menjadi salah satu dari donor paling kikir –meski menjadi negara dengan
perekonomian terkuat– yaitu hanya mencurahkan 0,1% dari pengeluaran nasionalnya
untuk bantuan internasional [The Guardian, 23 Januari 2002]. Sebelum pertemuan
itu berlangsung, AS berupaya menghilangkan setiap penyebutan tujuan pembangunan
yang telah disepakati secara internasional dan menentang pendapat bahwa negara
maju harus memenuhi target PBB perihal alokasi 0,7% dari pendapatan nasionalnya
untuk bantuan internasional.
16. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa sepanjang dekade 1990-an AS menunggak iuran ke PBB. Pada
saat AS mulai melunasi utangnya ke PBB, nilai yang harus mereka bayar sudah
sebesar US$ 1,5 milyar. Alasan AS untuk tidak membayar secepatnya tidak
berhubungan dengan kesulitan finansial, mengingat sepanjang tahun 1990-an
mereka mengalami ledakan ekonomi berkat dot com mania. Dihadapkan pada
resiko kehilangan hak suara mereka dalam Majelis Tinggi PBB dan semakin
melemahnya pengaruh mereka di PBB, Washington segera menyetorkan sedikit uang
pada tahun 1999. Namun Washington memang gemar melakukan segala sesuatu dengan
caranya sendiri dan mereka menolak keras membayar tambahan biaya penjagaan
perdamaian; juga telah menahan uang untuk beberapa proyek yang AS anggap
mubazir atau tidak jelas, dan meributkan jumlah pajak yang dibayarkan PBB bagi
para pekerja Amerika dalam program penyetaraan pajak [New York Times, 28 Juni
1998].
Kesimpulan
Lembaga-lembaga
internasional semacam PBB dan IMF merupakan organ-organ imperialis yang
dirancang untuk menjajah negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri
muslim. Syariat Islam melarang kaum Muslim untuk menggantungkan nasibnya pada
lembaga-lembaga seperti itu secara politis dan pemerintahan, dalam bentuk
apapun. Namun, seperti yang telah digambarkan dalam bab ini, bangsa-bangsa
semacam AS dan Inggris tidak meyakini bahwa konsep hukum internasional harus
ditegakkan di atas kepentingan negara manapun. Karena itulah upaya pembenaran
perang terhadap Irak dengan menggunakan argumentasi pelanggaran Irak terhadap
hukum internasional, menemui kegagalan. Sangat jelas bahwa penyalahgunaan PBB
oleh sekutu merupakan sebuah langkah taktis, bukan strategis, yang menjadi
alasan mengapa mereka selalu bergerak di jalur unilateral sebagai sebuah opsi
yang tetap ada. Karenanya, kecenderungan dan determinasi untuk beraksi secara
unilateral merupakan sebuah ujung final dalam peti mati bagi mereka yang
berpendapat bahwa perdebatan ini berkisar pada kedudukan PBB dan hukum
internasional.