Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 30 September 2014

PBB Dan Imperialis

PBB Dan Imperialis



8.         Hak asasi manusia –sebuah istilah yang digunakan secara sangat subjektif– secara teori diakui sebagai hal yang fundamental oleh PBB dan seperti kita ketahui, tercantum dalam Pembukaan Piagam PBB: ‘… untuk kembali menegakkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang fundamental, dalam martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, dalam persamaan hak antara pria dan wanita serta negara kecil dan besar…’. Tatkala mereka menjajakan nilai-nilai yang diadopsi oleh PBB kepada seisi dunia, kekuatan dunia semacam AS, Inggris, Rusia dan yang lain, justru secara terbuka mendukung rezim penindas rakyat dan pelanggar hak-hak dasar rakyatnya sendiri. Meski kami telah membuat bab tersendiri untuk membahas topik ini, sangat penting bagi kita untuk melihat bagaimana PBB melanggar prinsip-prinsip mereka sendiri dengan tetap bersikap pasif ketika negara-negara kuat melanggar setiap hak dasar kemanusiaan. Di satu sisi, AS, Inggris dan yang lain menyerukan kepada dunia agar menaati berbagai nilai ‘universal’. Sementara di sisi lain mereka pun secara terbuka memberi dukungan moral dan finansial kepada berbagai rezim, misalnya Mesir dan Uzbekistan yang secara terang-terangan melanggar hak-hak rakyatnya.

9.         Baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Sekjen PBB di Tashkent, Uzbekistan, Presiden Karimov dengan berang menanggapi pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, ‘Saya ingin menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM? Mungkin Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau yang tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM?’ [Reuters, 18 Oktober 2002]. Meskipun rajin mengajarkan nilai-nilai HAM ke seluruh dunia dan hingga tahun 2001 masih menjadi anggota Dewan HAM PBB, negara Barat seperti AS tercatat sering melakukan pelanggaran HAM. Laporan sebuah kelompok HAM menyoroti kasus pelanggaran HAM di penjara-penjara AS yang melebihi kapasitasnya, termasuk rasisme [CNN, 6 Oktober 1998], juga rasisme dalam pelaksanaan hukuman mati [Amnesti Internasional, 16 Oktober 2002], dan kebrutalan polisi dalam kasus terkenal, Amado Dialo dan Rodney King, serta pembinasaan penduduk asli Indian dalam rangka perluasan wilayah. Dengan fakta-fakta seperti ini, AS dan Inggris, yang masa lalunya tidak perlu lagi dikomentari, masih berani menceramahi negara seperti Irak supaya menghormati HAM. Australia pun dilaporkan melanggar hak-hak pengungsi yang ingin sekadar mencari tempat berlabuh di wilayahnya. Selain AS dan Inggris, negara besar lain seperti Rusia dan Cina juga memiliki catatan suram berkenaan dengan HAM. Rusia dengan kasus Chechnya, sedangkan Cina tersandung kasus di Xinjaing.

10.     Berbagai kekerasan yang dilakukan negara-negara kuat, yang juga anggota PBB, anggota Dewan Keamanan dan anggota Badan HAM PBB, memperlihatkan pandangan mereka bahwa kepentingan bangsanya sendiri adalah lebih penting daripada hak asasi manusia, kesejahteraan, pemukiman atau masalah-masalah kemanusiaan secara umum.

11.     Pada tahun 1994, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang di Afrika Tengah. Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali menuduh suku Hutu yang mendominasi angkatan bersenjata Rwanda telah melakukan pembantaian terhadap suku Tutsi. Ketika peristiwa itu sedang mencapai puncaknya, pasukan PBB yang memang tidak diperintahkan untuk melindungi warga sipil, tanpa rasa malu meninggalkan Kigali dan untuk beberapa bulan kemudian, warga Rwanda –umumnya suku Tutsi– dibantai. Pasukan Rwandan Patriotic Front memasuki Kigali dan pembantaian pun tak terelakkan. PBB kemudian datang ke wilayah tersebut. Namun, Boutros Boutros Ghali, Sekjen PBB saat itu, mengeluhkan minimnya dukungan negara-negara kuat –khususnya AS– dalam operasi perdamaian PBB. Pembantaian warga Rwanda sebenarnya dapat dihindari, karena tiga negara anggota PBB (Belgia, Prancis dan AS), dua di antaranya anggota tetap Dewan Keamanan, sebelumnya telah mengetahui rencana pembantaian suku Tutsi itu.

Paparan berikut yang disarikan dari biografi Boutros Boutros Ghali menunjukkan fakta bahwa negara-negara kuat sebelumnya telah mengetahui pembantaian yang akan terjadi: ‘Jenderal Dalaire telah mengirim telegram kepada Department of Peace-Keeping Operations (DPKO) (Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB), isinya tentang laporan seorang informan perihal adanya penimbunan senjata yang dilakukan pasukan Hutu untuk persiapan pembantaian suku Tutsi. Dalaire meminta izin untuk mencoba menyita senjata tersebut, namun permohonannya ditolak oleh DPKO dengan alasan bahwa mandat untuk operasi PBB di Rwanda tidak mencakup perkara semacam itu. Keesokan harinya, 12 Januari 1994, Dalaire, dalam rangka menjalankan perintah PBB, memberitahu Duta Besar Belgia, Perancis dan AS tentang informasi tersebut. Dengan kata lain, PBB sebenarnya telah menginformasikan kabar itu kepada negara-negara kuat yang sebenarnya dapat bertindak untuk mencegah pembantaian tersebut’ [Boutros Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998]. Sekali lagi, ketidakpedulian negara-negara kuat yang menguasai PBB telah menimbulkan bencana kemanusiaan. Tidak seperti Irak, Rwanda tidak memiliki minyak dan terletak di lokasi yang tidak strategis.

Boutros Boutros Ghali dalam biografinya memaparkan masalah yang terjadi di PBB tersebut. ‘Belum lama ini seluruh dunia mengira mampu mengetahui dan mencegah pembunuhan massal. ‘Takkan lagi’ adalah kata yang paling tepat. Namun pembantaian kembali terjadi; di Kamboja, saat lebih dari satu juta korban jatuh di tangan Khmer Merah; di bekas wilayah Yugoslavia, saat terjadi pembantaian yang termasyhur sebagai ‘pembersihan etnis’; di Somalia, ketika terjadi genosida akibat perang saudara yang telah membuat terhambatnya bantuan untuk rakyat yang kelaparan dan menderita sakit, serta ketika 350.000 orang mati sebelum Dewan Keamanan memutuskan untuk turun tangan. Di Rwanda, hampir satu juta orang terbunuh akibat genosida, namun Dewan Keamanan PBB tidak melakukan apapun’ [Boutros-Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998].

12.     Dalam Earth Summit terakhir di Johannesburg, masalah kesenjangan antara dunia kesatu dan dunia ketiga menjadi sorotan. Juga terungkap upaya negara-negara kuat menghindari masalah lingkungan hidup dan target bantuan dunia ketiga. Keengganan negara-negara maju ini adalah sebuah cerita lama mengingat dalam Earth Summit sebelumnya di Rio, Brazil, pada tahun 1992, hal ini telah terlihat. Ketika itu negara-negara anggota PBB berikrar untuk memperbaiki lingkungan dunia dengan mengurangi kebiasaan mengkonsumsi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Beberapa negara anggota yang menghadiri pertemuan tersebut telah mengkhianati ikrar mereka sendiri dan gagal menerapkan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan.

13.     Seorang juru bicara WWF mengatakan bahwa pemerintahan AS yang dipimpin oleh Bush serta Kanada dan Australia berupaya keras agar proses itu tidak menghasilkan sesuatu yang positif. ‘Mereka benar-benar menghalang-halangi setiap kemajuan dalam hal rencana aksi konkrit dan ini menimbulkan sebuah efek domino yang menakutkan’ [CNN, 7 Juni 2002]. Sepuluh tahun kemudian, muncul banyak kritik atas nihilnya ketercapaian tujuan yang dicanangkan dalam pertemuan Rio. Beberapa negara anggota telah mengkhianati janji mereka sendiri, gagal mengimplementasikan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan. Subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju untuk para petani lokal merupakan isu lain yang berkembang. Menurut Bank Dunia, subsidi untuk para petani di Eropa dan AS secara keseluruhan mencapai US$ 1 milyar per hari, benar-benar tidak mempedulikan jatah para produsen yang berasal dari negara-negara berkembang [AFP, 28 Agustus 2002].

14.     Akibatnya, para ahli lingkungan mengkritik kebijakan negara-negara besar, khususnya AS. Bahkan ada yang memprotes serta mencemooh pidato Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, pada Earth Summit di Johannesburg. Vandana Shiva, pendiri India’s Research Foundation for Science, Technology and Ecology, menuding, ‘AS tidak memiliki strategi’. Berkenaan dengan masalah privatisasi, ia katakan, ‘Mereka ingin agar kita menutup mata dan berkata: ‘serahkan semuanya kepada pasar’, dan itu tidak terjadi’ [Washington Post, 30 Agustus 2002]. Politisi dari Partai Republik, George Miller (distrik California), yang menghadiri pertemuan Johannesburg, ikut mengkritik kebijakan pemerintahan Bush. ‘Pemerintah AS telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan’, ujarnya [Washington Post, 30 Agustus 2002].

15.     Pemerintah AS menolak disalahkan dan malah melimpahkan tanggung jawab kepada negara-negara dunia ketiga. Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengkritik Zambia yang menolak bantuan pangan dari AS, termasuk di dalamnya bijih padi hasil modifikasi genetik yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan AS. Rezim AS yang sama telah menolak penambahan bantuan untuk negara dunia ketiga, seraya menjajah mereka melalui berbagai lembaga semacam IMF dan Bank Dunia. AS juga menolak sebuah resolusi pertemuan dunia PBB di Monterrey awal tahun ini yang bertujuan untuk meningkatkan target bantuan kepada negara-negara dunia ketiga menjadi sebesar 0,7% dari pendapatan nasional negara maju. Washington telah menjadi salah satu dari donor paling kikir –meski menjadi negara dengan perekonomian terkuat– yaitu hanya mencurahkan 0,1% dari pengeluaran nasionalnya untuk bantuan internasional [The Guardian, 23 Januari 2002]. Sebelum pertemuan itu berlangsung, AS berupaya menghilangkan setiap penyebutan tujuan pembangunan yang telah disepakati secara internasional dan menentang pendapat bahwa negara maju harus memenuhi target PBB perihal alokasi 0,7% dari pendapatan nasionalnya untuk bantuan internasional.

16.     Sudah menjadi rahasia umum bahwa sepanjang dekade 1990-an AS menunggak iuran ke PBB. Pada saat AS mulai melunasi utangnya ke PBB, nilai yang harus mereka bayar sudah sebesar US$ 1,5 milyar. Alasan AS untuk tidak membayar secepatnya tidak berhubungan dengan kesulitan finansial, mengingat sepanjang tahun 1990-an mereka mengalami ledakan ekonomi berkat dot com mania. Dihadapkan pada resiko kehilangan hak suara mereka dalam Majelis Tinggi PBB dan semakin melemahnya pengaruh mereka di PBB, Washington segera menyetorkan sedikit uang pada tahun 1999. Namun Washington memang gemar melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri dan mereka menolak keras membayar tambahan biaya penjagaan perdamaian; juga telah menahan uang untuk beberapa proyek yang AS anggap mubazir atau tidak jelas, dan meributkan jumlah pajak yang dibayarkan PBB bagi para pekerja Amerika dalam program penyetaraan pajak [New York Times, 28 Juni 1998].

Kesimpulan

Lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan IMF merupakan organ-organ imperialis yang dirancang untuk menjajah negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri muslim. Syariat Islam melarang kaum Muslim untuk menggantungkan nasibnya pada lembaga-lembaga seperti itu secara politis dan pemerintahan, dalam bentuk apapun. Namun, seperti yang telah digambarkan dalam bab ini, bangsa-bangsa semacam AS dan Inggris tidak meyakini bahwa konsep hukum internasional harus ditegakkan di atas kepentingan negara manapun. Karena itulah upaya pembenaran perang terhadap Irak dengan menggunakan argumentasi pelanggaran Irak terhadap hukum internasional, menemui kegagalan. Sangat jelas bahwa penyalahgunaan PBB oleh sekutu merupakan sebuah langkah taktis, bukan strategis, yang menjadi alasan mengapa mereka selalu bergerak di jalur unilateral sebagai sebuah opsi yang tetap ada. Karenanya, kecenderungan dan determinasi untuk beraksi secara unilateral merupakan sebuah ujung final dalam peti mati bagi mereka yang berpendapat bahwa perdebatan ini berkisar pada kedudukan PBB dan hukum internasional.

Senin, 29 September 2014

Senjata BioKimia AS




18.     Penggunaan senjata kimia dalam Perang Vietnam. Sejak PD I, AS meluncurkan perang biokimia untuk pertama kalinya dalam perang Vietnam. AS menggunakan gas CS dan defoliant, seperti Agent Orange, untuk melawan gerilyawan National Liberation Front. Pada tahun 1970, ‘Operation Ranch Hand’ menumpahkan 12 juta galon Agent Orange ke Vietnam, menghancurkan 4,5 juta hektar tumbuh-tumbuhan di daerah luar kota dan meracuni tanahnya selama beberapa tahun. Para pendukung Ranch Hand memiliki slogan khas, ‘only we can prevent forests’. Agent Orange mengandung dioksin, salah satu bahan kimia penyebab kanker paling mematikan di muka bumi. Digunakannya Agent Orange oleh AS menimbulkan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat Vietnam dan tentara AS beserta keluarga mereka.

19.     Alasan di balik dukungan AS terhadap konvensi senjata biologi dan kimia. Pada tahun 1972, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa AS menghentikan program senjata biologi dan kimia. Hal tersebut dilakukan bukan karena tujuan kemanusiaan, melainkan karena pemerintahannya telah menyadari bahwa teknologi yang dibutuhkan dalam memproduksi senjata semacam itu terlihat akan tersebar demikian luasnya sampai-sampai pengembangannya tidak akan dapat dihindari. Produksi senjata biokimia akan jauh lebih murah dan mudah dibandingkan senjata nuklir. Dari sini akan muncul kesulitan untuk mempertahankan posisi monopolistik terhadap senjata biokimia tersebut. Segera setelah keputusan AS ini, Biological Weapons Convention (BWC) ditandatangani pada tanggal 10 April 1972 dan mulai berlaku terhitung 26 Maret 1975. Sedangkan Chemical Weapons Convention (CWC) ditandatangani pada tanggal 13 Januari 1993 dan resmi berlaku sejak 29 April 1997. Senasib dengan perjanjian pengendalian senjata nuklir, AS memperlakukan kedua perjanjian ini secara selektif dan diskriminatif. DK PBB dapat menyelidiki setiap keluhan, akan tetapi kekuasaan untuk melakukan hal itu tidak pernah diajukan. Dengan hak veto yang dimilikinya, AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina, mampu memblok setiap keputusan untuk menyelidiki senjata biologi. Pada bulan Juli lalu, AS menolak penerapan protokol perjanjian BWC karena dipandang tidak sesuai dengan kepentingannya.

20.     Perkembangan senjata biokimia terkini. Pada tanggal 4 September 2001, New York Times mengungkapkan bahwa para peneliti sistem pertahanan biologi CIA, dengan dalih kepentingan defensif, mengujicoba sampel bom biologi dan membangun fasilitas produksi senjata biologi di Nevada, aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari penelitian senjata biologi ofensif. AS merahasiakan aktivitas tersebut dan tidak pula mengungkapkannya dalam confidence building report kepada BWC. Kajian defensif yang AS lakukan itu dapat diartikan sebagai pengembangan senjata biologi. Misalnya, serangan anthraks pada bulan Oktober 2001 di AS, sepertinya diawali oleh ilmuwan domestik dari ahli laboratorium senjata biologi AS sendiri.

21.     Hubungan AS dengan konvensi senjata biokimia. Menurut CWC, Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons dapat melakukan inspeksi terhadap laboratorium, pabrik dan mempelajari kerusakan yang ditimbulkan senjata-senjata kimia. AS kemudian memaksa organisasi tersebut untuk mengganti direkturnya, Jose Bustani. Kesalahan Jose Bustani adalah keinginannya untuk memeriksa AS sama seperti negara-negara lain yang diperiksa, dan mengajak Saddam Hussein menandatangani CWC. Amat kontras dengan sikapnya yang giat memaksa dilakukannya inspeksi terhadap persenjataan Irak, AS tidak perlu berpikir lama untuk menolak setiap inspeksi senjata terhadap negaranya sendiri. Pada tahun 1997, Senat AS meluluskan Chemical Weapons Convention Implementation Act, yang pada Pasal 307-nya berbunyi: ‘Presiden berhak menolak permintaan dilakukannya inspeksi terhadap setiap fasilitas di Amerika Serikat bilamana Presiden menganggap bahwa inspeksi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat’.

22.     Dukungan AS terhadap program senjata biokimia Irak. AS juga berperan dalam pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1998, siaran berita Channel 4 di Inggris mengklaim penemuan dokumen intelijen AS, yang menunjukkan bahwa sejumlah 14 pengiriman bahan-bahan biologi telah diekspor dari AS ke Irak. Termasuk 19 paket bakteri anthraks dan 15 paket botulinum, organisme yang menimbulkan botulisme. Siaran berita itu menunjukkan mereka memiliki bukti bahwa Irak telah membeli sejumlah toksin setelah Irak menggunakan gas untuk menyerang perkampungan Kurdi di Halajaba yang menewaskan 5000 orang.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa Barat tidak dapat dipercaya dalam hal kepemilikan senjata pemusnah massal. Senjata tersebut telah digunakan secara sistematis oleh Barat terhadap jutaan orang tak berdosa dalam PD I, PD II, Perang Vietnam dan bahkan terhadap warga mereka sendiri. Hal ini menunjukkan betapa anak-anak masa kini dan masa depan tidak boleh lagi dijadikan objek pembantaian Barat, atau dengan meminjam kata-kata Truman, ‘eksperimen’ berikutnya yang akan mereka hadapi. Kita pun perlu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai yang muncul dari pemerintahan Kapitalis-Barat dengan menyimak kembali ucapan Major Foulkes, salah satu arsitek senjata kimia Inggris, tatkala ia dikirim ke India pada tahun 1919. Sebagai upaya menekan militer Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ia berargumentasi bahwa Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan terhadap sebagian wilayah Afghanistan dan suku-suku di sana akan meningkatkan korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’.

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS

Minggu, 28 September 2014

Senjata Pemusnah Massal Milik Barat



10.     Perkembangan nuklir saat ini dan yang akan datang. Awal tahun 2002, AS merampungkan suatu tinjauan terhadap strategi nuklir mereka dalam US Nuclear Posture Review (NPR). Beberapa bagian dalam tinjauan ini dikemukakan kepada pers AS. NPR meminta agar dibuatkan rencana darurat (contingency plan) untuk membidik Korea Utara, Iran, Libya, Syria, Rusia, dan Cina; serta agar AS lebih fleksibel dalam mengembangkan dan menyebarkan kekuatan nuklir yang dibutuhkan. Salah satu bentuk kefleksibelan itu ialah dengan melanjutkan kembali pengujian nuklir. Salah satu alasan mengenai diperlukannya pengujian ini adalah untuk mengembangkan bom dan rudal tipe baru yang dapat menghancurkan target yang terkubur dalam dan keras. Yaitu bangunan dan fasilitas yang dapat digunakan sebagai pusat komando dan kontrol operasi pihak musuh, markas pimpinan atau area penyimpanan senjata pemusnah massal. Dokumen kebijakan AS lain seperti dari Paul Robinson, Direktur Sandia National Laboratories, menyerukan pengembangan senjata nuklir berukuran mini. Saat ini AS tercatat sebagai penandatangan Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) meski Senat AS belum meratifikasinya. Dari perkembangan ini terkandung pesan AS bagi seluruh dunia bahwa AS beritikad mengembangkan senjata nuklir yang lebih canggih dan akan mengabaikan CTBT demi kepentingannya sendiri. AS pun telah menyatakan, dalam NPR dan presentasi lain, niat mereka untuk mengenalkan pertahanan rudal strategis yang mampu menghalau serangan rudal jarak jauh negara lain. Mereka yakin bahwa sistem pertahanan rudal global akan menciptakan sebuah tameng yang akan memberi kekebalan bagi AS untuk secara leluasa beroperasi ke seluruh dunia. Secara militer, hal ini akan membuat AS dengan mudah menggasak setiap negara lain yang berupaya menyerang AS dengan menggunakan senjata pemusnah massal dan rudal jarak jauh. Pada tanggal 13 Desember 2001, AS mengumumkan akan menarik diri dari Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM), semata-mata karena traktat tersebut melarang pengujian sistem pertahanan rudal penjelajah antirudal balistik antarbenua. Untuk anggaran awal, pemerintahan baru AS meminta kenaikan anggaran sebesar 57% untuk mendanai sistem pertahanan rudal itu, dari 5.3 milyar dolar ke 8.3 milyar dolar, 7.8 milyar di antaranya dari Kongres. Semua ini mengindikasikan bahwa AS akan semakin ditakuti negara-negara lain, mengingat AS tengah berupaya menjadikan dirinya kebal dari serangan rudal nuklir sementara pada saat yang sama AS pun membuat senjata nuklir yang lebih mumpuni. AS adalah negara yang, seperti telah kita bahas sebelumnya, tidak mempunyai rasa sesal sedikitpun akan dampak penggunaan senjata semacam itu terhadap warga sipil tak berdosa.

11.     Senjata kimia dan biologi. Dalam era modern, senjata kimia untuk pertama kalinya digunakan dalam Perang Dunia I oleh Perancis, Jerman, Inggris dan AS; negara-negara yang kini ramai-ramai menghakimi Irak. Untuk membalas serangan (gas) klorin yang dilakukan Jerman di sekitar Ypres, Belgia, yang menewaskan lebih dari 5000 pasukan Sekutu, Inggris lantas membuat senjata kimianya sendiri. Mayor Charles Foulkes dari Royal Engineers ditunjuk sebagai ‘penasehat gas’ pertama mereka. Tugasnya adalah mengusahakan senjata kimia bagi Inggris dalam tempo sesingkat mungkin dengan tanpa menghiraukan masalah etik. Segera saja setiap ahli kimia Inggris mengerjakan proyek senjata gas tersebut. Fasilitas Porton Down dibangun dan menjadi markas proyek senjata kimia Inggris, dengan mempekerjakan lebih dari 1000 orang ilmuwan dan tentara.

12.     Dinas Senjata Kimia AS. AS mendirikan Chemical Warfare Service – CWS (Dinas Persenjataan Kimia) pada pertengahan tahun 1918, dengan Jenderal Amos A. Fries sebagai direkturnya. Edgewood Arsenal, basis militer di dekat Baltimore, Maryland, menjadi pusat riset senjata kimia AS yang mempekerjakan lebih dari 1200 orang asisten teknisi dan 700 orang petugas yang menguji lebih dari 4000 zat beracun. Dengan 218 bangunan pabrik dan 28 mil rel kereta, Edgewood mampu memproduksi 200.000 bom kimia dan selongsong per hari. Pada tahun 1918, sekitar seperlima dan sepertiga dari seluruh selongsong yang ditembakkan diisi zat kimia dari berbagai tipe. Selama 18 bulan terakhir PD I, satu dari setiap enam korban tewas karena gas mustard yang sangat ditakuti itu. Gas mustard membakar dan melepuhkan kulit, lalu korban mati secara perlahan atau sangat lemah karena gas mustard menguliti selaput lendir pada rongga tenggorokan dan menghambat pernafasan. ‘Secara resmi’, terdapat lebih dari 91.000 kasus kematian dan 1,3 juta korban akibat senjata gas. Namun para ahli sejarah kini menganggap remeh angka-angka tersebut.

13.     Penggunaan kimia selama masa vakum perang. Penggunaan senjata kimia tidak hanya terjadi pada PD I. Dalam rangka menunggangi pihak White Army dalam Perang Sipil Rusia pada tahun 1919, Inggris mempersenjatai mereka dengan selongsong berisi gas mustard, dan menggunakan ‘M’ Device untuk memproduksi gumpalan asap arsenik yang disebarkan kepada sang lawan, Red Army. Inggris memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggunakan senjata mereka. Mayor Foulkes, yang dikirim ke India pada 1919, menekan militer Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan terhadap sebagian wilayah Afghan dan suku-suku di sana akan meningkatkan korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’. Departemen Perang Inggris setuju untuk mengirimkan pasokan phosgene dan gas mustard, juga setuju agar prajurit Inggris dilatih menggunakan seragam anti-gas di Khyber Pass. Tetapi, hingga kini Tony Blair masih saja ingin menunjukkan bahwa Pemerintah Inggris adalah salah satu bangsa ‘beradab’ dengan ‘catatan bersih’ dan nilai-nilai luhur ketimbang rezim Saddam di Baghdad.

14.     Pembentukan Protokol Jenewa. Seusai Perang Dunia I, kekecewaan terhadap senjata gas merebak di mana-mana. Pada bulan Mei 1925, dengan dukungan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), diselenggarakan konferensi internasional tentang perlombaan senjata di Jenewa, Swiss. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Jenewa, yang berisi larangan penggunaan senjata kimia maupun biologi sampai kapanpun. Seorang pengamat berkomentar bahwa ‘Penandatanganan Protokol Jenewa 1925 merupakan cerminan prestasi tertinggi opini publik melawan senjata kimia’. Akan tetapi, menandatangani pakta tersebut tidak otomatis terikat, karena pemerintah setiap negara masih harus meratifikasinya. Di AS, CWS menyerang Protokol Jenewa dan mendapat dukungan dari berbagai organisasi sejenis seperti American Chemical Society (Masyarakat Kimia Amerika), dan menyatakan bahwa ‘pelarangan senjata kimia berarti pengabaian metoda manusiawi untuk mengatasi pertempuran klasik yang mengerikan’. Dihadapkan pada oposisi yang begitu kuat, Departemen Luar Negeri AS menarik ratifikasi atas Protokol Jenewa. Sebagian besar negara Eropa meratifikasi Protokol Jenewa, dengan menambahkan beberapa klausul yang membuat protokol menjadi macan ompong. Salah satu klausul itu menyatakan bahwa suatu negara tidak terikat dengan protokol tersebut kecuali negara yang dilawannya juga meratifikasi protokol yang sama. Klausul lain memberikan hak kepada negara penandatangan untuk balas menyerang setiap serangan kimia atau biologi dengan senjata yang sama. Protokol Jenewa pun tidak bisa mencegah penelitian atau penimbunan senjata biokimia; melainkan hanya melarang untuk lebih dulu menggunakannya. Pengaruh Protokol Jenewa bukanlah untuk menghentikan pengembangan senjata biokimia melainkan untuk lebih menjaga kerahasiaan penelitian dan pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1925, Winston Churchill secara tidak sengaja membeberkan semuanya ketika ia menulis tentang wabah yang secara khusus dan disengaja disiapkan untuk manusia dan binatang. Ada Blight untuk menghancurkan tanaman, Anthraks untuk membunuh kuda dan hewan ternak, Plague untuk meracuni tidak saja tentara melainkan juga seluruh warga satu distrik. Semua itu sejalan dengan pencapaian sains militer yang tak mengenal belas kasihan. Rupanya perang penelitian semacam ini harus tetap dirahasiakan untuk menghindari oposisi publik.

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS

Jumat, 26 September 2014

Senjata Pemusnah Massal Milik Amerika



Bab I
Barat dan Senjata Pemusnah Massal

Dokumen Inggris menyatakan bahwa Irak positif memiliki senjata pemusnah massal dan berniat memiliki senjata nuklir. Namun dokumen itu menutup mata tentang fakta bahwa negara-negara Barat memiliki senjata pemusnah massal yang jauh lebih besar ketimbang Irak, bahkan lebih dari cukup untuk menghancurkan seisi bumi. Bab ini menyoroti persenjataan dan senjata pemusnah massal Barat serta bahaya besar yang dihadapi umat manusia, dan secara gamblang mengilustrasikan bagaimana Barat secara sistematis dan menyengaja telah menggunakan ‘senjata terparah sedunia’ (the world’s worst weapons).

1.         AS adalah negara pertama di dunia yang mengembangkan bom atom pada tahun 1945. Pemerintah AS melihat adanya kemungkinan untuk mengembangkan senjata nuklir yang memiliki daya rusak luar biasa. Sepanjang tahun 1940-an, mereka telah membelanjakan US$ 2 milyar untuk proyek bom atom, yang dikenal sebagai Proyek Manhattan; proyek yang menyita pikiran para ilmuwan dan ahli teknik mereka. Mereka melihat proyek ini sebagai upaya untuk menjadi negara pertama yang memiliki bom atom karena mereka menyadari betul kekuatan strategis yang akan mereka miliki di masa depan. Pada kurun 1940-an, uang US$ 2 milyar kira-kira setara dengan US$ 20 milyar nilai sekarang. Uji coba pertama bom atom milik AS adalah di kawasan uji Trinity, dekat Alamogordo, New Mexico. Berdasarkan pengamatan setelah ledakan, mereka menyimpulkan bahwa kekuatan bom tersebut setara dengan 20.000 ton TNT, jauh lebih dahsyat dari perkiraan semula.

2.         Pengamatan atas pengaruh ledakan nuklir. Para ilmuwan AS meneliti hasil ujicoba ledakan di Trinity, dan berikut ini adalah hasil pengamatan mereka. Tanah di bawah tempat ledakan terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan. Sampai radius setengah mil dari hiposenter (pusat ledakan) disebut vaporization point (fatalitas 98%, tubuh manusia hilang atau terbakar tanpa dapat dikenali). Di area ini, segala sesuatu hancur. Sedangkan temperaturnya mencapai 3000-4000 C. Sampai radius 1 mil disebut total destruction zone (fatalitas 90%). Seluruh bangunan di atas permukaan tanah hancur. Sampai radius 1,75 mil disebut severe blast damage area (fatalitas 65%, cedera 30%). Bangunan besar runtuh, jembatan dan jalan rusak berat. Sampai radius 2,5 mil disebut severe heat damage area (fatalitas 50%, cedera 45%). Segala sesuatu dalam radius ini mengalami semacam luka bakar. Sampai radius 3 mil disebut severe fire and wind damage areas (fatalitas 15%, cedera 50%). Rumah dan bangunan lain rusak. Orang-orang terlempar dan mengalami luka bakar dengan stadium 2 dan 3, itupun jika mereka bertahan hidup.

3.         Serangan nuklir terhadap Jepang. Meskipun sudah mendapat gambaran pasti tentang daya rusak bom tersebut, pemerintah AS tetap memutuskan untuk menjatuhkan dua bom atom ke kota sipil, Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Pada saat itu, menurut Konvensi Jenewa, pembantaian secara menyengaja dengan sasaran warga sipil dalam kondisi perang dianggap ilegal. Adapun kedua target bom atom yang dinamai ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ itu sengaja dipilih karena besarnya ukuran kedua kota itu memungkinkan AS mengetahui seberapa besar daya rusak bom tersebut.

4.         Justifikasi atas serangan ke Jepang. Saat itu ada dua justifikasi yang digunakan AS untuk menjatuhkan dua bom atom itu. Pertama, invasi darat akan mengakibatkan korban yang mengerikan sebagaimana perang di Iwo Jima dan Okinawa. Kedua, perlunya mengakhiri perang secara cepat yang tak mampu Jepang hindari. Setelah menyerahnya Nazi Jerman pada bulan Mei, Jepang berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Akhir tahun 1945, Jepang tidak memiliki satu pesawatpun, dan para pilot AS leluasa melakukan pemboman. Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, Yokohama sudah dihancurkan lebih dulu. Jepang dapat dikalahkan, dalam arti menyerah, sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Tanggal 13 Mei 1945, Departemen Luar Negeri Jepang secara resmi memberitahu kepada Rusia bahwa Kaisar ‘menghendaki perdamaian’ dengan para sekutu. Mengetahui hal tersebut, Bushido, sebutan militer Jepang, yang memang dituntut untuk selalu tunduk dan patuh secara mutlak, segera menyerah ketika mengetahui Kaisar mereka telah menyerah. Rusia mengabaikan manuver diplomatik ini karena alasan strategis. Berdasarkan perjanjian Yalta, mereka akan berperang melawan Jepang tiga bulan setelah Jerman menyerah, dan Rusia berhasrat mengambil harta rampasan perang. Intelijen AS ternyata mengetahui pendekatan diplomatis Jepang terhadap Moskow tersebut sehingga Proyek Manhattan dipercepat, karena mereka kuatir Jepang menyerah sebelum dijatuhkan bom. Dua kota yang dijadikan target bom itu sengaja dibiarkan semasa perang karena keduanya sudah lebih dulu dipilih sebagai tempat ‘eksperimen’ –kata yang digunakan oleh Truman dan Mayor Groves (saat itu sebagai Kepala Proyek Manhattan). Pada bulan Agustus 1945, Presiden Truman berkata perihal pemboman Hiroshima, ‘Dunia akan menyaksikan bahwa bom atom pertama dijatuhkan ke Hiroshima, sebuah basis militer. Hal itu kami lakukan dengan harapan serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari korban sipil’. Ia juga mengatakan, ‘Kami telah mengeluarkan US$ 2 milyar untuk perjudian ilmiah terbesar dalam sejarah, dan kami menang’. Yang AS capai adalah sebuah demonstrasi yang secara gamblang memperlihatkan kekuatan baru mereka dengan mengorbankan 200 ribu nyawa; mayoritas adalah warga sipil; sebagian tewas seketika dan yang lainnya mati setelah terbakar atau terkena radiasi. Banyak tokoh militer sekutu menganggap pemboman atas Hiroshima dan Nagasaki itu sebagai hal yang tidak perlu. Dalam History of Warfare, Field Marshal Montgomery menulis, ‘Dijatuhkannya dua bom atom ke Jepang pada bulan Agustus 1945 itu merupakan hal yang tidak perlu, dan saya tidak bisa menganggap hal itu sebagai hal yang benar, menjatuhkan bom semacam itu adalah sebuah blunder politik dan contoh nyata tentang turunnya standar perang modern’. Jenderal Eisenhower, Komandan Tertinggi Sekutu yang di kemudian hari menjadi presiden AS, mengatakan bahwasanya Jepang ketika itu sedang berupaya mencari cara untuk menyerah tanpa harus kehilangan muka. ‘Menghantam mereka dengan benda mengerikan itu adalah hal yang tidak perlu’. Kepala Staf Truman, Admiral Leahy menulis, ‘Saya berpendapat penggunaan senjata barbar di Hiroshima dan Nagasaki tersebut sama sekali tidak membantu kita dalam perang melawan Jepang. Jepang sudah lebih dulu kalah dan siap menyerah karena blokade kita yang efektif, dan keberhasilan pemboman dengan senjata konvensional seperti itu hanya dengan alasan agar kita menjadi yang pertama menggunakannya, berarti kita telah mengadopsi standar etik yang hanya lazim di masa Abad Kegelapan (Dark Ages). Saya tidak diajarkan untuk berperang dengan cara seperti itu, dan perang tidak dapat dimenangkan dengan membantai wanita dan anak-anak’. Brigadir Jenderal Carter Clarke (petugas intelijen militer yang bertanggung jawab untuk menyadap komunikasi Jepang bagi Truman dan penasehatnya) menulis, ‘ketika kita tidak perlu melakukannya, dan kita tahu kita tidak perlu melakukannya, dan mereka tahu bahwa kita tahu kita tidak perlu melakukannya, berarti kita memanfaatkan mereka sebagai eksperimen untuk dua bom atom itu’.

Selasa, 23 September 2014

Unduh Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS



7.         AS dan Inggris senantiasa menuding rezim Irak telah melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya sendiri, terutama terhadap rakyat Kurdi dan kelompok Syi’ah. Dalam Bab 3, kami akan mengekspos argumentasi tersebut dengan menggambarkan kedekatan Barat dengan beberapa ‘world’s worst leaders’ (para pemimpin terburuk sedunia). Namun, perkara yang bisa dengan jelas dilihat adalah bahwa AS dan Inggris tidak memiliki kecenderungan kepada pihak manapun selain kepentingan materi mereka sendiri. Hal ini terlihat usai Perang Teluk ketika mereka mengabaikan suku Kurdi dan kelompok Syi’ah yang dibantai. Brigadir Ali, pejabat Irak yang dibuang, mengatakan, ‘Kami mendapat pesan bahwa Amerika mendukung kami. Tetapi saya melihat dengan mata kepala sendiri pesawat-pesawat Amerika terbang di atas helikopter. Kami berharap mereka membantu; kini kami dapat melihat mereka menyaksikan kepunahan kami di antara Najaf dan Kerbala’ [Andrew dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes’., hal. 23]

8.         UNICEF menyatakan bahwa sejumlah 500.000 anak-anak Irak tewas akibat sanksi ekonomi PBB. Namun Inggris dan AS mengklaim bahwa kematian itu disebabkan kebijakan rezim Irak. Argumentasi itu merupakan upaya sistematis bangsa Kapitalis dan menunjukkan betapa mereka tidak menghargai nyawa manusia. Dr. Leon Eisenberg, yang bekerja untuk Harvard Medical School, menyaksikan bahwa penghancuran pembangkit tenaga listrik pada tahun 1991, telah ‘menyebabkan terhentinya seluruh sistem penjernihan air dan saluran distribusinya, mengakibatkan epidemi kolera, demam tipus, dan gastroenteritis, khususnya pada anak-anak’. Sebuah kelompok studi internasional yang disponsori oleh UNICEF menyimpulkan, bahwa ‘selama 8 bulan pertama tahun 1991, sekitar 47.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia’ [Len Eisenberg., ‘The Sleep of Reason Produces Monsters – Human Costs of Economic Sanctions’., New England Journal of Medicine., 24 April 1997., hal. 1248-1250]. Hal yang sama dinyatakan oleh Milan Rai, ‘Banyak yang dilakukan ketika cerita (rekaan) tentang inkubator Kuwait dicuri pasukan Irak. Namun sedikit yang dikatakan tatkala inkubator di Irak hilang akibat diputusnya pasokan listrik’ [Milan Rai., ‘War Plan Iraq’., hal.138]

9.         AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak kelak tidak akan banyak memakan korban warga sipil, dan bahwa serangan terhadap pembangkit tenaga listrik harus dilakukan mengingat pembangkit tenaga listrik tersebut bisa dimanfaatkan pasukan bersenjata Irak. Akan tetapi, jika serangan itu nantinya mengikuti pola tahun 1991, maka kita akan menyaksikan kembali sebuah bencana kemanusiaan. Mitos bahwa pembangkit tenaga listrik harus dijadikan sasaran karena berpotensi digunakan untuk kepentingan militer telah ditolak mentah-mentah oleh kelompok HAM di AS, yaitu Middle East Watch, yang mengatakan bahwa ‘Beberapa target militer penting langsung diserang pada awal-awal perang, dan serangan terhadap target militer tersebut seharusnya sudah menghilangkan keinginan untuk menghancurkan sumber-sumber tenaga listrik secara simultan meski sebelumnya telah memasoknya’ [Middle East Watch., ‘Needless Deaths in the Gulf War 1991’., dalam Mark Curtis., ‘The Ambiguities of Power’., hal. 192]. Serangan terhadap pembangkit tenaga listrik hanya berdampak kecil bagi militer Irak, akan tetapi berdampak sangat besar terhadap kematian sejumlah warga sipil khususnya anak-anak, yang diakibatkan oleh pengaruh penjernihan air. Lalu, untuk apa Bush dan Blair melakukan hal itu? Jawabannya ada pada ucapan Kolonel John Warden, yang berbicara seusai perang. Ia adalah kolega Jenderal Buster Glosson, yang terlibat dalam penyusunan daftar target. ‘Saddam Hussein tidak dapat memulihkan kembali listriknya. Ia perlu bantuan. Seandainya koalisi PBB memiliki tujuan politik barangkali dapat dikatakan kepada Saddam, ‘jika Anda menyetujui beberapa hal, kami akan mengizinkan orang-orang datang dan memperbaiki listrik Anda’’, ujar Warden [Norman., ‘Sanctions against Iraq’]. Dengan kata lain, anak-anak Irak harus mati agar Barat dapat meraih pengaruh dan manfaat ekonomi.

10.     AS menuding Irak memiliki keterkaitan dengan serangan dan pemboman 11 September 2001 di New York dan Washington. Bukti yang diajukan atas hal ini adalah adanya pertemuan pada bulan April 2001 antara Muhammad Atta, yang mengaku pemimpin aksi 11 September, dengan seorang agen intelijen Irak di Praha, Republik Ceko. Pada bulan Oktober 2001, menteri dalam negeri Stanislav Gross mengkonfirmasi ‘fakta’ bahwa Atta berada di Praha pada tahun 2001 dan telah bertemu dengan Samir al-Ani, seorang diplomat Irak. Setelah itu al-Ani diusir dari Irak karena tindakannya tidak sesuai dengan statusnya. Menurut sebuah majalah di Jerman, Atta telah memberi instruksi berkenaan aksi 11 September beberapa waktu sebelumnya, kemudian kembali ke Praha untuk mengambil sebotol anthraks pada bulan April 2001 [Daily Telegraph, 1 Desember 2001]. Ketika polisi Ceko menuntaskan penyelidikannya, mereka berkesimpulan tidak ada dokumen yang dapat menunjukkan bahwa Atta telah mengunjungi Praha pada tahun 2001, meskipun ia memang pernah berkunjung ke sana dua kali di tahun 2000. Polisi juga mengatakan bahwa ada seorang pria yang mirip Atta bertemu dengan Samir al-Ani. Pria itu dipanggil ‘Saleh’, seorang penjual mobil bekas dari Nurenberg, Jerman [Daily Telegraph, 18 Desember 2001]. Kisah di atas, sebagaimana kebanyakan kampanye Barat, merupakan cerita bohong. Buktinya, majalah TIME pada tanggal 13 Mei 2002 menulis bahwa kisah tersebut ‘tidak dapat dipercaya’, sementara BBC menyebutkan bahwa pada tanggal pertemuan itu Atta sedang berada di Florida [BBC Online, 1 Mei 2002]. Meskipun demikian, mitos pertemuan Praha tetap saja ada di dalam benak setiap orang, dan menjadi bagian penting dari pertikaian AS–Irak.

11.     Dokumen terbitan pemerintah Inggris disusun berdasarkan laporan PBB dan bukti-bukti dari para pembelot Irak. Salah satu pembelot terkenal yang muncul di televisi AS setelah peristiwa 11 September adalah Dr. Khidir Hamza, yang mengaku sebagai kepala program senjata nuklir Irak yang lari dari tanah airnya pada tahun 1994. Terry Taylor, mantan Inspektur Senjata Inggris yang mendukung perang baru sekalipun, berkomentar negatif tentang para pembelot itu dengan mengatakan bahwa ‘mereka cenderung melebih-lebihkan pengetahuan dan pentingnya diri mereka pribadi demi tunjangan, perlindungan dan pekerjaan’ [Peter Beaumont, Kamal Ahmed dan Edward Helmore., ‘Should We Go To War Against Saddam’., Observer., 17 Maret 2002]. Namun AS dan Inggris ingin agar kita percaya bahwa kesaksian para pembelot merupakan keterangan kunci dalam melawan Irak. Agak mengherankan, dokumen Inggris tidak mempublikasikan ‘bukti rinci’ atau menyebutkan ‘sumber-sumber terpercaya’ mereka.

12.     Poin terakhir yang perlu kami bantah adalah argumentasi bahwa serangan terhadap Irak tidak ada hubungannya dengan minyak. Sudah teramat jelas dan tak dapat disangkal lagi bahwa politik di Timur Tengah sejak akhir PD II dibentuk oleh politik minyak. Pada bulan September 1945, Lord Altrincham, seorang menteri Inggris yang tinggal di Timur Tengah, mengatakan bahwa wilayah Timur Tengah ‘Menawarkan cadangan minyak pelumas dan bahan bakar terkaya, yang andaikan kita tidak bisa menguasainya, kita tidak boleh membiarkan kekuatan lain menguasai wilayah itu’ [Altrincham., 2 September 1945 dalam William Roger Louis., ‘Imperialism at Bay’]. AS pun menyadari pentingnya cadangan minyak ‘sebagai sumber kekuatan strategis yang menakjubkan, dan salah satu bahan paling berharga dalam sejarah dunia’ [Dokumen Departemen Luar Negeri AS, tahun 1945, Volume VIII]. Untuk menggambarkan besaran keuntungan dari minyak, AIOC sebagai cikal-bakal BP (British Pteroleum) mengeruk £170 juta dari Iran selama periode tahun 1950 saja. Ketika pemerintahan Iran memiliki keberanian untuk menasionalisasi minyak untuk kebaikan rakyatnya, Pemerintahan (partai) Buruh yang telah menasionalisasi asetnya sendiri merasa geram, sehingga muncul pernyataan Departemen Luar Negeri, ‘satu-satunya harapan mengenyahkan Mr. Musadiq (PM Iran saat itu) adalah kudeta, dengan syarat adanya seorang pemimpin yang kuat untuk mengemban tugas tersebut. Seorang diktator akan mampu melaksanakan reformasi pemerintahan dan ekonomi serta mengatur masalah minyak secara lebih rasional’ [Foreign Office Memorandum., Sir F. Shepherd’s analysis of the Persian situation 28 January 1952. FO 371/98684]. Bagi mereka yang tetap skeptis agaknya cukup menyimak ucapan Condoleeza Rice, Penasihat Keamanan AS, yang baru-baru ini berbicara dalam siaran stasiun TV Fox. Saat ditanya tentang masa lalunya sebagai Dewan Direksi (perusahaan) Chevron, ‘Saya sangat bangga akan hubungan saya dengan Chevron, dan saya kira sudah seharusnya kita bangga terhadap perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang melakukan eksplorasi di luar negeri, di dalam negeri, dan yang memastikan bahwa kita memiliki persediaan energi yang cukup’. Meskipun sudah sedemikian banyak dan gamblangnya keterangan semacam ini, Bush dan Blair tetap mengatakan bahwa serangan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan minyak.

Ancaman Negara Kolonialis Barat

Ancaman Negara Kolonialis Barat



Kata Pengantar
Hizbut Tahrir – Inggris

Para negarawan akan membuat daftar murahan, menyalahkan bangsa yang diserang, dan setiap orang akan merasa senang dengan penipuan pikiran itu, dan akan rajin mempelajarinya, serta menolak mengkaji setiap penolakan atasnya; lantas ia akan terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa perang tersebut adil, dan akan bersyukur kepada Tuhan atas tidurnya yang lebih nyenyak begitu selesainya proses penipuan diri yang parah [Mark Twain]

Buku ini terbit ketika genderang perang telah ditabuh. Mesin perang AS dan Inggris bersiap-siap membombardir rakyat Irak yang tak berdosa dalam rangka perang kolonial dan mengganti rezim bentukan Barat berupa ‘Hamid Karzai versi Irak’ yang setia.

Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan sebuah dokumen busuk yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction, yang penuh propaganda akan tetapi kering fakta. Minimnya fakta itu bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila kita menyimak ucapan Tony Blair pada bulan Agustus 2002, ‘Kami tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi selama 4 tahun belakangan ini’. Pengakuan atas kebodohannya itu ternyata tidak menyurutkan langkah untuk menerbitkan ‘dossier of evidence’ (dokumen bukti) tersebut. Hal ini menunjukkan betapa proses penerbitan dokumen itu tidak lebih dari upaya untuk menggalang opini publik atas aksi militer terhadap Irak.

Tidaklah mengherankan jika kemudian dokumen yang diterbitkan pemerintah Inggris tersebut ditanggapi dengan penuh skeptisme dan keraguan, terutama bagi kalangan Muslim. Mereka sudah sampai pada kesimpulan bahwa ‘perang terhadap teror’ pada hakikatnya adalah kampanye untuk memperkokoh dan memperkuat hegemoni dan pengaruh Barat atas negeri-negeri Islam, kaum Muslim, dan sumber daya alamnya, sebagai upaya represif terhadap setiap bentuk kebangkitan Islam politik.

Buku kecil ini secara jeli memuat motif-motif sejati di balik serangan AS terhadap Irak, dengan mengkaji kepentingan strategis, ekonomi, dan politik Barat. Juga memuat sejarah dunia kontemporer di bawah dominasi ideologi Kapitalisme, dengan memaparkan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Barat, dukungan Barat terhadap sejumlah penguasa diktator dan tiran yang memiliki reputasi buruk di sejumlah negara di seluruh penjuru dunia, dengan tanpa mengindahkan eksistensi PBB dan hukum internasional. Buku ini juga menyajikan sejumlah dakwaan dan sejarah yang memalukan bagi pemerintahan Barat, ideologi Kapitalisme dan pandangan kolonialisnya.

Mengumpulkan informasi dan data-data intelijen tentang kebijakan luar negeri Barat adalah perkara mudah. Rezim Barat-Kapitalis sangat terbuka dalam menyatakan tujuan riil kebijakan luar negeri mereka. Oleh karena itu, buku ini mampu menyingkap ‘data-data intelijen secara rinci’. Meskipun seringkali bersembunyi di balik klaim altruisme, nation building, penegakan HAM dan demokrasi, akan tetapi tujuan riil kebijakan luar negeri Barat teramat jelas dan gamblang bagi siapapun.

Selama beberapa dekade, AS berupaya memainkan peranan yang lebih permanen dalam keamanan kawasan Teluk. Selagi konflik berkepanjangan dengan Irak bisa memberikan pembenaran, kebutuhan akan hadirnya pasukan AS di Teluk melebihi isu rezim Saddam Husein. [Rebuilding America’s Defences: Strategies, Forces and Resources for a New Century]

Eksistensi akan ‘tatanan dunia’ atau hukum internasional, yang mengontrol hubungan antar negara di dunia, telah berubah menjadi kontrol oleh satu negara, atau sejumlah kecil negara terhadap negara-negara lain di dunia. Hal ini mengancam stabilitas internasional dan kedaulatan negara-negara lemah. Hasilnya, peperangan terjadi di mana-mana hanya karena masalah yang sepele. Terlebih lagi, tatanan dunia seperti itu memberi kesempatan negara-negara kuat untuk tanpa sungkan (dan tidak tahu malu) mencampuri masalah dalam negeri dan tata nilai yang dianut negara lain. Hal ini makin mengokohkan kolonialisme, arogansi dan tirani, serta perluasan pengaruh dengan memperbudak bangsa-bangsa lain. Semuanya dilakukan dengan mengatasnamakan hukum internasional dan tatanan dunia. Jurang antara negara-negara kaya dan miskin, Utara dan Selatan, Dunia Kesatu dan Dunia Ketiga, menjadi semakin dalam dan lebar.

Walhasil, orang-orang di hampir seluruh dunia, Muslim maupun non-Muslim, kini menyaksikan sendiri bahwa negara-negara Barat bukanlah sebagai penjaga kebebasan dan kesempatan, melainkan penjaga keserakahan dan kepentingannya sendiri; dengan pengerahan kekuatan militer dan ekonomi yang menghancurluluhkan kultur negara-negara lain; sebuah bangsa pembajak di darat maupun di laut, yang semakin kaya di atas penderitaan bangsa-bangsa lain.

Karena itu, ancaman dari negara-negara kolonialis Barat sangat serius dan nyata di hadapan kita. Upaya mereka mengejar ambisi materialistis di seluruh dunia harus dihentikan. Setiap orang yang telah memiliki kesadaran wajib untuk melawan barbarisme Barat.
Buku ini ditutup dengan sebuah pesan yang jelas dan gamblang, yang kini diemban oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia. Sebuah pesan perubahan, bukan hanya ‘perubahan rezim’, melainkan ‘perubahan ideologi’. Perubahan dalam tatanan dunia. Sudah saatnya dunia membuang jauh-jauh ideologi Kapitalisme dan setiap penyakit yang diakibatkan olehnya; untuk kemudian diganti dengan ideologi yang adil, yang bisa dipahami dan diemban oleh setiap orang di seluruh dunia, setelah mereka menyaksikan (dan merasakan sendiri) penerapan praktis ideologi tersebut. Yaitu ideologi Islam.

Komunitas Muslim (Inggris) mengajak Anda mengkaji, memikirkan dan memperjuangkan perubahan, karena hanya orang-orang yang memiliki kesadaran saja yang mampu menghentikan Kapitalisme.

Dr. Imran Wahid
3 November 2002 M
28 Sya’ban 1423 H

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam