Bab I
Barat dan Senjata Pemusnah Massal
Dokumen
Inggris menyatakan bahwa Irak positif memiliki senjata pemusnah massal dan
berniat memiliki senjata nuklir. Namun dokumen itu menutup mata tentang fakta
bahwa negara-negara Barat memiliki senjata pemusnah massal yang jauh lebih
besar ketimbang Irak, bahkan lebih dari cukup untuk menghancurkan seisi bumi.
Bab ini menyoroti persenjataan dan senjata pemusnah massal Barat serta bahaya
besar yang dihadapi umat manusia, dan secara gamblang mengilustrasikan
bagaimana Barat secara sistematis dan menyengaja telah menggunakan ‘senjata
terparah sedunia’ (the world’s worst weapons).
1.
AS
adalah negara pertama di dunia yang mengembangkan bom atom pada tahun 1945. Pemerintah
AS melihat adanya kemungkinan untuk mengembangkan senjata nuklir yang memiliki
daya rusak luar biasa. Sepanjang tahun 1940-an, mereka telah membelanjakan US$
2 milyar untuk proyek bom atom, yang dikenal sebagai Proyek Manhattan; proyek
yang menyita pikiran para ilmuwan dan ahli teknik mereka. Mereka melihat proyek
ini sebagai upaya untuk menjadi negara pertama yang memiliki bom atom karena mereka
menyadari betul kekuatan strategis yang akan mereka miliki di masa depan. Pada
kurun 1940-an, uang US$ 2 milyar kira-kira setara dengan US$ 20 milyar nilai
sekarang. Uji coba pertama bom atom milik AS adalah di kawasan uji Trinity,
dekat Alamogordo, New Mexico. Berdasarkan pengamatan setelah ledakan, mereka
menyimpulkan bahwa kekuatan bom tersebut setara dengan 20.000 ton TNT, jauh
lebih dahsyat dari perkiraan semula.
2.
Pengamatan
atas pengaruh ledakan nuklir. Para ilmuwan AS meneliti hasil ujicoba ledakan
di Trinity, dan berikut ini adalah hasil pengamatan mereka. Tanah di bawah
tempat ledakan terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan. Sampai radius
setengah mil dari hiposenter (pusat ledakan) disebut vaporization point
(fatalitas 98%, tubuh manusia hilang atau terbakar tanpa dapat dikenali). Di
area ini, segala sesuatu hancur. Sedangkan temperaturnya mencapai 3000-4000
C. Sampai radius 1 mil disebut total destruction zone
(fatalitas 90%). Seluruh bangunan di atas permukaan tanah hancur. Sampai radius
1,75 mil disebut severe blast damage area (fatalitas 65%, cedera 30%). Bangunan
besar runtuh, jembatan dan jalan rusak berat. Sampai radius 2,5 mil disebut severe
heat damage area (fatalitas 50%, cedera 45%). Segala sesuatu dalam radius
ini mengalami semacam luka bakar. Sampai radius 3 mil disebut severe fire
and wind damage areas (fatalitas 15%, cedera 50%). Rumah dan bangunan lain
rusak. Orang-orang terlempar dan mengalami luka bakar dengan stadium 2 dan 3,
itupun jika mereka bertahan hidup.
3.
Serangan
nuklir terhadap Jepang. Meskipun sudah mendapat gambaran pasti tentang
daya rusak bom tersebut, pemerintah AS tetap memutuskan untuk menjatuhkan dua
bom atom ke kota sipil, Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Pada saat itu, menurut
Konvensi Jenewa, pembantaian secara menyengaja dengan sasaran warga sipil dalam
kondisi perang dianggap ilegal. Adapun kedua target bom atom yang dinamai
‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ itu sengaja dipilih karena besarnya ukuran kedua
kota itu memungkinkan AS mengetahui seberapa besar daya rusak bom tersebut.
4.
Justifikasi
atas serangan ke Jepang. Saat itu ada dua justifikasi yang digunakan AS
untuk menjatuhkan dua bom atom itu. Pertama, invasi darat akan
mengakibatkan korban yang mengerikan sebagaimana perang di Iwo Jima dan
Okinawa. Kedua, perlunya mengakhiri perang secara cepat yang tak mampu
Jepang hindari. Setelah menyerahnya Nazi Jerman pada bulan Mei, Jepang berada
dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Akhir tahun 1945, Jepang tidak memiliki
satu pesawatpun, dan para pilot AS leluasa melakukan pemboman. Tokyo, Nagoya,
Osaka, Kobe, Yokohama sudah dihancurkan lebih dulu. Jepang dapat dikalahkan,
dalam arti menyerah, sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Tanggal 13 Mei
1945, Departemen Luar Negeri Jepang secara resmi memberitahu kepada Rusia bahwa
Kaisar ‘menghendaki perdamaian’ dengan para sekutu. Mengetahui hal
tersebut, Bushido, sebutan militer Jepang, yang memang dituntut untuk selalu
tunduk dan patuh secara mutlak, segera menyerah ketika mengetahui Kaisar mereka
telah menyerah. Rusia mengabaikan manuver diplomatik ini karena alasan
strategis. Berdasarkan perjanjian Yalta, mereka akan berperang melawan Jepang
tiga bulan setelah Jerman menyerah, dan Rusia berhasrat mengambil harta
rampasan perang. Intelijen AS ternyata mengetahui pendekatan diplomatis Jepang
terhadap Moskow tersebut sehingga Proyek Manhattan dipercepat, karena mereka
kuatir Jepang menyerah sebelum dijatuhkan bom. Dua kota yang dijadikan target
bom itu sengaja dibiarkan semasa perang karena keduanya sudah lebih dulu dipilih
sebagai tempat ‘eksperimen’ –kata yang digunakan oleh Truman dan Mayor Groves
(saat itu sebagai Kepala Proyek Manhattan). Pada bulan Agustus 1945, Presiden
Truman berkata perihal pemboman Hiroshima, ‘Dunia akan menyaksikan bahwa bom
atom pertama dijatuhkan ke Hiroshima, sebuah basis militer. Hal itu kami
lakukan dengan harapan serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari korban
sipil’. Ia juga mengatakan, ‘Kami telah mengeluarkan US$ 2 milyar untuk
perjudian ilmiah terbesar dalam sejarah, dan kami menang’. Yang AS capai
adalah sebuah demonstrasi yang secara gamblang memperlihatkan kekuatan baru
mereka dengan mengorbankan 200 ribu nyawa; mayoritas adalah warga sipil;
sebagian tewas seketika dan yang lainnya mati setelah terbakar atau terkena
radiasi. Banyak tokoh militer sekutu menganggap pemboman atas Hiroshima dan
Nagasaki itu sebagai hal yang tidak perlu. Dalam History of Warfare,
Field Marshal Montgomery menulis, ‘Dijatuhkannya dua bom atom ke Jepang pada
bulan Agustus 1945 itu merupakan hal yang tidak perlu, dan saya tidak bisa
menganggap hal itu sebagai hal yang benar, menjatuhkan bom semacam itu adalah
sebuah blunder politik dan contoh nyata tentang turunnya standar perang modern’.
Jenderal Eisenhower, Komandan Tertinggi Sekutu yang di kemudian hari menjadi
presiden AS, mengatakan bahwasanya Jepang ketika itu sedang berupaya mencari
cara untuk menyerah tanpa harus kehilangan muka. ‘Menghantam mereka dengan
benda mengerikan itu adalah hal yang tidak perlu’. Kepala Staf Truman,
Admiral Leahy menulis, ‘Saya berpendapat penggunaan senjata barbar di
Hiroshima dan Nagasaki tersebut sama sekali tidak membantu kita dalam perang
melawan Jepang. Jepang sudah lebih dulu kalah dan siap menyerah karena blokade
kita yang efektif, dan keberhasilan pemboman dengan senjata konvensional
seperti itu hanya dengan alasan agar kita menjadi yang pertama menggunakannya,
berarti kita telah mengadopsi standar etik yang hanya lazim di masa Abad
Kegelapan (Dark Ages). Saya tidak diajarkan untuk berperang dengan cara seperti
itu, dan perang tidak dapat dimenangkan dengan membantai wanita dan anak-anak’.
Brigadir Jenderal Carter Clarke (petugas intelijen militer yang bertanggung
jawab untuk menyadap komunikasi Jepang bagi Truman dan penasehatnya) menulis, ‘ketika
kita tidak perlu melakukannya, dan kita tahu kita tidak perlu melakukannya, dan
mereka tahu bahwa kita tahu kita tidak perlu melakukannya, berarti kita
memanfaatkan mereka sebagai eksperimen untuk dua bom atom itu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar