7.
AS dan Inggris senantiasa menuding rezim Irak telah
melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya sendiri, terutama terhadap
rakyat Kurdi dan kelompok Syi’ah. Dalam Bab 3, kami akan mengekspos argumentasi
tersebut dengan menggambarkan kedekatan Barat dengan beberapa ‘world’s worst
leaders’ (para pemimpin terburuk sedunia). Namun, perkara yang bisa dengan
jelas dilihat adalah bahwa AS dan Inggris tidak memiliki kecenderungan kepada
pihak manapun selain kepentingan materi mereka sendiri. Hal ini terlihat usai
Perang Teluk ketika mereka mengabaikan suku Kurdi dan kelompok Syi’ah yang
dibantai. Brigadir Ali, pejabat Irak yang dibuang, mengatakan, ‘Kami
mendapat pesan bahwa Amerika mendukung kami. Tetapi saya melihat dengan mata
kepala sendiri pesawat-pesawat Amerika terbang di atas helikopter. Kami
berharap mereka membantu; kini kami dapat melihat mereka menyaksikan kepunahan
kami di antara Najaf dan Kerbala’ [Andrew dan Patrick Coburn., ‘Out of the
Ashes’., hal. 23]
8.
UNICEF menyatakan bahwa sejumlah 500.000 anak-anak
Irak tewas akibat sanksi ekonomi PBB. Namun Inggris dan AS mengklaim bahwa
kematian itu disebabkan kebijakan rezim Irak. Argumentasi itu merupakan upaya
sistematis bangsa Kapitalis dan menunjukkan betapa mereka tidak menghargai
nyawa manusia. Dr. Leon Eisenberg, yang bekerja untuk Harvard Medical School,
menyaksikan bahwa penghancuran pembangkit tenaga listrik pada tahun 1991, telah
‘menyebabkan terhentinya seluruh sistem penjernihan air dan saluran
distribusinya, mengakibatkan epidemi kolera, demam tipus, dan gastroenteritis,
khususnya pada anak-anak’. Sebuah kelompok studi internasional yang
disponsori oleh UNICEF menyimpulkan, bahwa ‘selama 8 bulan pertama tahun 1991,
sekitar 47.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia’ [Len
Eisenberg., ‘The Sleep of Reason Produces Monsters – Human Costs of Economic
Sanctions’., New England Journal of Medicine., 24 April 1997., hal. 1248-1250].
Hal yang sama dinyatakan oleh Milan Rai, ‘Banyak yang dilakukan ketika
cerita (rekaan) tentang inkubator Kuwait dicuri pasukan Irak. Namun sedikit
yang dikatakan tatkala inkubator di Irak hilang akibat diputusnya pasokan
listrik’ [Milan Rai., ‘War Plan Iraq’., hal.138]
9.
AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap
Irak kelak tidak akan banyak memakan korban warga sipil, dan bahwa serangan
terhadap pembangkit tenaga listrik harus dilakukan mengingat pembangkit tenaga
listrik tersebut bisa dimanfaatkan pasukan bersenjata Irak. Akan tetapi, jika
serangan itu nantinya mengikuti pola tahun 1991, maka kita akan menyaksikan
kembali sebuah bencana kemanusiaan. Mitos bahwa pembangkit tenaga listrik harus
dijadikan sasaran karena berpotensi digunakan untuk kepentingan militer telah ditolak
mentah-mentah oleh kelompok HAM di AS, yaitu Middle East Watch, yang mengatakan
bahwa ‘Beberapa target militer penting langsung diserang pada awal-awal
perang, dan serangan terhadap target militer tersebut seharusnya sudah
menghilangkan keinginan untuk menghancurkan sumber-sumber tenaga listrik secara
simultan meski sebelumnya telah memasoknya’ [Middle East Watch., ‘Needless
Deaths in the Gulf War 1991’., dalam Mark Curtis., ‘The Ambiguities of Power’.,
hal. 192]. Serangan terhadap pembangkit tenaga listrik hanya berdampak kecil
bagi militer Irak, akan tetapi berdampak sangat besar terhadap kematian
sejumlah warga sipil khususnya anak-anak, yang diakibatkan oleh pengaruh
penjernihan air. Lalu, untuk apa Bush dan Blair melakukan hal itu? Jawabannya
ada pada ucapan Kolonel John Warden, yang berbicara seusai perang. Ia adalah
kolega Jenderal Buster Glosson, yang terlibat dalam penyusunan daftar target. ‘Saddam
Hussein tidak dapat memulihkan kembali listriknya. Ia perlu bantuan. Seandainya
koalisi PBB memiliki tujuan politik barangkali dapat dikatakan kepada Saddam,
‘jika Anda menyetujui beberapa hal, kami akan mengizinkan orang-orang datang
dan memperbaiki listrik Anda’’, ujar Warden [Norman., ‘Sanctions against
Iraq’]. Dengan kata lain, anak-anak Irak harus mati agar Barat dapat meraih
pengaruh dan manfaat ekonomi.
10. AS menuding
Irak memiliki keterkaitan dengan serangan dan pemboman 11 September 2001 di New
York dan Washington. Bukti yang diajukan atas hal ini adalah adanya pertemuan
pada bulan April 2001 antara Muhammad Atta, yang mengaku pemimpin aksi 11
September, dengan seorang agen intelijen Irak di Praha, Republik Ceko. Pada
bulan Oktober 2001, menteri dalam negeri Stanislav Gross mengkonfirmasi ‘fakta’
bahwa Atta berada di Praha pada tahun 2001 dan telah bertemu dengan Samir
al-Ani, seorang diplomat Irak. Setelah itu al-Ani diusir dari Irak karena
tindakannya tidak sesuai dengan statusnya. Menurut sebuah majalah di Jerman,
Atta telah memberi instruksi berkenaan aksi 11 September beberapa waktu sebelumnya,
kemudian kembali ke Praha untuk mengambil sebotol anthraks pada bulan April
2001 [Daily Telegraph, 1 Desember 2001]. Ketika polisi Ceko menuntaskan
penyelidikannya, mereka berkesimpulan tidak ada dokumen yang dapat menunjukkan
bahwa Atta telah mengunjungi Praha pada tahun 2001, meskipun ia memang pernah
berkunjung ke sana dua kali di tahun 2000. Polisi juga mengatakan bahwa ada
seorang pria yang mirip Atta bertemu dengan Samir al-Ani. Pria itu dipanggil
‘Saleh’, seorang penjual mobil bekas dari Nurenberg, Jerman [Daily Telegraph,
18 Desember 2001]. Kisah di atas, sebagaimana kebanyakan kampanye Barat,
merupakan cerita bohong. Buktinya, majalah TIME pada tanggal 13 Mei 2002
menulis bahwa kisah tersebut ‘tidak dapat dipercaya’, sementara BBC
menyebutkan bahwa pada tanggal pertemuan itu Atta sedang berada di Florida [BBC
Online, 1 Mei 2002]. Meskipun demikian, mitos pertemuan Praha tetap saja
ada di dalam benak setiap orang, dan menjadi bagian penting dari pertikaian
AS–Irak.
11. Dokumen
terbitan pemerintah Inggris disusun berdasarkan laporan PBB dan bukti-bukti
dari para pembelot Irak. Salah satu pembelot terkenal yang muncul di televisi
AS setelah peristiwa 11 September adalah Dr. Khidir Hamza, yang mengaku sebagai
kepala program senjata nuklir Irak yang lari dari tanah airnya pada tahun 1994.
Terry Taylor, mantan Inspektur Senjata Inggris yang mendukung perang baru
sekalipun, berkomentar negatif tentang para pembelot itu dengan mengatakan
bahwa ‘mereka cenderung melebih-lebihkan pengetahuan dan pentingnya diri
mereka pribadi demi tunjangan, perlindungan dan pekerjaan’ [Peter Beaumont,
Kamal Ahmed dan Edward Helmore., ‘Should We Go To War Against Saddam’.,
Observer., 17 Maret 2002]. Namun AS dan Inggris ingin agar kita percaya bahwa
kesaksian para pembelot merupakan keterangan kunci dalam melawan Irak. Agak
mengherankan, dokumen Inggris tidak mempublikasikan ‘bukti rinci’ atau
menyebutkan ‘sumber-sumber terpercaya’ mereka.
12. Poin terakhir
yang perlu kami bantah adalah argumentasi bahwa serangan terhadap Irak tidak
ada hubungannya dengan minyak. Sudah teramat jelas dan tak dapat disangkal lagi
bahwa politik di Timur Tengah sejak akhir PD II dibentuk oleh politik minyak.
Pada bulan September 1945, Lord Altrincham, seorang menteri Inggris yang
tinggal di Timur Tengah, mengatakan bahwa wilayah Timur Tengah ‘Menawarkan
cadangan minyak pelumas dan bahan bakar terkaya, yang andaikan kita tidak bisa
menguasainya, kita tidak boleh membiarkan kekuatan lain menguasai wilayah itu’
[Altrincham., 2 September 1945 dalam William Roger Louis., ‘Imperialism at
Bay’]. AS pun menyadari pentingnya cadangan minyak ‘sebagai sumber kekuatan
strategis yang menakjubkan, dan salah satu bahan paling berharga dalam sejarah
dunia’ [Dokumen Departemen Luar Negeri AS, tahun 1945, Volume VIII]. Untuk
menggambarkan besaran keuntungan dari minyak, AIOC sebagai cikal-bakal BP
(British Pteroleum) mengeruk £170 juta dari Iran selama periode tahun 1950
saja. Ketika pemerintahan Iran memiliki keberanian untuk menasionalisasi minyak
untuk kebaikan rakyatnya, Pemerintahan (partai) Buruh yang telah
menasionalisasi asetnya sendiri merasa geram, sehingga muncul pernyataan
Departemen Luar Negeri, ‘satu-satunya harapan mengenyahkan Mr. Musadiq (PM
Iran saat itu) adalah kudeta, dengan syarat adanya seorang pemimpin yang kuat
untuk mengemban tugas tersebut. Seorang diktator akan mampu melaksanakan
reformasi pemerintahan dan ekonomi serta mengatur masalah minyak secara lebih
rasional’ [Foreign Office Memorandum., Sir F. Shepherd’s analysis of the
Persian situation 28 January 1952. FO 371/98684]. Bagi mereka yang tetap
skeptis agaknya cukup menyimak ucapan Condoleeza Rice, Penasihat Keamanan AS,
yang baru-baru ini berbicara dalam siaran stasiun TV Fox. Saat ditanya tentang
masa lalunya sebagai Dewan Direksi (perusahaan) Chevron, ‘Saya sangat bangga
akan hubungan saya dengan Chevron, dan saya kira sudah seharusnya kita bangga
terhadap perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang melakukan eksplorasi di luar
negeri, di dalam negeri, dan yang memastikan bahwa kita memiliki persediaan
energi yang cukup’. Meskipun sudah sedemikian banyak dan gamblangnya
keterangan semacam ini, Bush dan Blair tetap mengatakan bahwa serangan itu
tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan minyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar