Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 30 September 2014

PBB Dan Imperialis

PBB Dan Imperialis



8.         Hak asasi manusia –sebuah istilah yang digunakan secara sangat subjektif– secara teori diakui sebagai hal yang fundamental oleh PBB dan seperti kita ketahui, tercantum dalam Pembukaan Piagam PBB: ‘… untuk kembali menegakkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang fundamental, dalam martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, dalam persamaan hak antara pria dan wanita serta negara kecil dan besar…’. Tatkala mereka menjajakan nilai-nilai yang diadopsi oleh PBB kepada seisi dunia, kekuatan dunia semacam AS, Inggris, Rusia dan yang lain, justru secara terbuka mendukung rezim penindas rakyat dan pelanggar hak-hak dasar rakyatnya sendiri. Meski kami telah membuat bab tersendiri untuk membahas topik ini, sangat penting bagi kita untuk melihat bagaimana PBB melanggar prinsip-prinsip mereka sendiri dengan tetap bersikap pasif ketika negara-negara kuat melanggar setiap hak dasar kemanusiaan. Di satu sisi, AS, Inggris dan yang lain menyerukan kepada dunia agar menaati berbagai nilai ‘universal’. Sementara di sisi lain mereka pun secara terbuka memberi dukungan moral dan finansial kepada berbagai rezim, misalnya Mesir dan Uzbekistan yang secara terang-terangan melanggar hak-hak rakyatnya.

9.         Baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Sekjen PBB di Tashkent, Uzbekistan, Presiden Karimov dengan berang menanggapi pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, ‘Saya ingin menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM? Mungkin Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau yang tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM?’ [Reuters, 18 Oktober 2002]. Meskipun rajin mengajarkan nilai-nilai HAM ke seluruh dunia dan hingga tahun 2001 masih menjadi anggota Dewan HAM PBB, negara Barat seperti AS tercatat sering melakukan pelanggaran HAM. Laporan sebuah kelompok HAM menyoroti kasus pelanggaran HAM di penjara-penjara AS yang melebihi kapasitasnya, termasuk rasisme [CNN, 6 Oktober 1998], juga rasisme dalam pelaksanaan hukuman mati [Amnesti Internasional, 16 Oktober 2002], dan kebrutalan polisi dalam kasus terkenal, Amado Dialo dan Rodney King, serta pembinasaan penduduk asli Indian dalam rangka perluasan wilayah. Dengan fakta-fakta seperti ini, AS dan Inggris, yang masa lalunya tidak perlu lagi dikomentari, masih berani menceramahi negara seperti Irak supaya menghormati HAM. Australia pun dilaporkan melanggar hak-hak pengungsi yang ingin sekadar mencari tempat berlabuh di wilayahnya. Selain AS dan Inggris, negara besar lain seperti Rusia dan Cina juga memiliki catatan suram berkenaan dengan HAM. Rusia dengan kasus Chechnya, sedangkan Cina tersandung kasus di Xinjaing.

10.     Berbagai kekerasan yang dilakukan negara-negara kuat, yang juga anggota PBB, anggota Dewan Keamanan dan anggota Badan HAM PBB, memperlihatkan pandangan mereka bahwa kepentingan bangsanya sendiri adalah lebih penting daripada hak asasi manusia, kesejahteraan, pemukiman atau masalah-masalah kemanusiaan secara umum.

11.     Pada tahun 1994, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang di Afrika Tengah. Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali menuduh suku Hutu yang mendominasi angkatan bersenjata Rwanda telah melakukan pembantaian terhadap suku Tutsi. Ketika peristiwa itu sedang mencapai puncaknya, pasukan PBB yang memang tidak diperintahkan untuk melindungi warga sipil, tanpa rasa malu meninggalkan Kigali dan untuk beberapa bulan kemudian, warga Rwanda –umumnya suku Tutsi– dibantai. Pasukan Rwandan Patriotic Front memasuki Kigali dan pembantaian pun tak terelakkan. PBB kemudian datang ke wilayah tersebut. Namun, Boutros Boutros Ghali, Sekjen PBB saat itu, mengeluhkan minimnya dukungan negara-negara kuat –khususnya AS– dalam operasi perdamaian PBB. Pembantaian warga Rwanda sebenarnya dapat dihindari, karena tiga negara anggota PBB (Belgia, Prancis dan AS), dua di antaranya anggota tetap Dewan Keamanan, sebelumnya telah mengetahui rencana pembantaian suku Tutsi itu.

Paparan berikut yang disarikan dari biografi Boutros Boutros Ghali menunjukkan fakta bahwa negara-negara kuat sebelumnya telah mengetahui pembantaian yang akan terjadi: ‘Jenderal Dalaire telah mengirim telegram kepada Department of Peace-Keeping Operations (DPKO) (Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB), isinya tentang laporan seorang informan perihal adanya penimbunan senjata yang dilakukan pasukan Hutu untuk persiapan pembantaian suku Tutsi. Dalaire meminta izin untuk mencoba menyita senjata tersebut, namun permohonannya ditolak oleh DPKO dengan alasan bahwa mandat untuk operasi PBB di Rwanda tidak mencakup perkara semacam itu. Keesokan harinya, 12 Januari 1994, Dalaire, dalam rangka menjalankan perintah PBB, memberitahu Duta Besar Belgia, Perancis dan AS tentang informasi tersebut. Dengan kata lain, PBB sebenarnya telah menginformasikan kabar itu kepada negara-negara kuat yang sebenarnya dapat bertindak untuk mencegah pembantaian tersebut’ [Boutros Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998]. Sekali lagi, ketidakpedulian negara-negara kuat yang menguasai PBB telah menimbulkan bencana kemanusiaan. Tidak seperti Irak, Rwanda tidak memiliki minyak dan terletak di lokasi yang tidak strategis.

Boutros Boutros Ghali dalam biografinya memaparkan masalah yang terjadi di PBB tersebut. ‘Belum lama ini seluruh dunia mengira mampu mengetahui dan mencegah pembunuhan massal. ‘Takkan lagi’ adalah kata yang paling tepat. Namun pembantaian kembali terjadi; di Kamboja, saat lebih dari satu juta korban jatuh di tangan Khmer Merah; di bekas wilayah Yugoslavia, saat terjadi pembantaian yang termasyhur sebagai ‘pembersihan etnis’; di Somalia, ketika terjadi genosida akibat perang saudara yang telah membuat terhambatnya bantuan untuk rakyat yang kelaparan dan menderita sakit, serta ketika 350.000 orang mati sebelum Dewan Keamanan memutuskan untuk turun tangan. Di Rwanda, hampir satu juta orang terbunuh akibat genosida, namun Dewan Keamanan PBB tidak melakukan apapun’ [Boutros-Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998].

12.     Dalam Earth Summit terakhir di Johannesburg, masalah kesenjangan antara dunia kesatu dan dunia ketiga menjadi sorotan. Juga terungkap upaya negara-negara kuat menghindari masalah lingkungan hidup dan target bantuan dunia ketiga. Keengganan negara-negara maju ini adalah sebuah cerita lama mengingat dalam Earth Summit sebelumnya di Rio, Brazil, pada tahun 1992, hal ini telah terlihat. Ketika itu negara-negara anggota PBB berikrar untuk memperbaiki lingkungan dunia dengan mengurangi kebiasaan mengkonsumsi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Beberapa negara anggota yang menghadiri pertemuan tersebut telah mengkhianati ikrar mereka sendiri dan gagal menerapkan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan.

13.     Seorang juru bicara WWF mengatakan bahwa pemerintahan AS yang dipimpin oleh Bush serta Kanada dan Australia berupaya keras agar proses itu tidak menghasilkan sesuatu yang positif. ‘Mereka benar-benar menghalang-halangi setiap kemajuan dalam hal rencana aksi konkrit dan ini menimbulkan sebuah efek domino yang menakutkan’ [CNN, 7 Juni 2002]. Sepuluh tahun kemudian, muncul banyak kritik atas nihilnya ketercapaian tujuan yang dicanangkan dalam pertemuan Rio. Beberapa negara anggota telah mengkhianati janji mereka sendiri, gagal mengimplementasikan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang diperlukan. Subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju untuk para petani lokal merupakan isu lain yang berkembang. Menurut Bank Dunia, subsidi untuk para petani di Eropa dan AS secara keseluruhan mencapai US$ 1 milyar per hari, benar-benar tidak mempedulikan jatah para produsen yang berasal dari negara-negara berkembang [AFP, 28 Agustus 2002].

14.     Akibatnya, para ahli lingkungan mengkritik kebijakan negara-negara besar, khususnya AS. Bahkan ada yang memprotes serta mencemooh pidato Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, pada Earth Summit di Johannesburg. Vandana Shiva, pendiri India’s Research Foundation for Science, Technology and Ecology, menuding, ‘AS tidak memiliki strategi’. Berkenaan dengan masalah privatisasi, ia katakan, ‘Mereka ingin agar kita menutup mata dan berkata: ‘serahkan semuanya kepada pasar’, dan itu tidak terjadi’ [Washington Post, 30 Agustus 2002]. Politisi dari Partai Republik, George Miller (distrik California), yang menghadiri pertemuan Johannesburg, ikut mengkritik kebijakan pemerintahan Bush. ‘Pemerintah AS telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan’, ujarnya [Washington Post, 30 Agustus 2002].

15.     Pemerintah AS menolak disalahkan dan malah melimpahkan tanggung jawab kepada negara-negara dunia ketiga. Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengkritik Zambia yang menolak bantuan pangan dari AS, termasuk di dalamnya bijih padi hasil modifikasi genetik yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan AS. Rezim AS yang sama telah menolak penambahan bantuan untuk negara dunia ketiga, seraya menjajah mereka melalui berbagai lembaga semacam IMF dan Bank Dunia. AS juga menolak sebuah resolusi pertemuan dunia PBB di Monterrey awal tahun ini yang bertujuan untuk meningkatkan target bantuan kepada negara-negara dunia ketiga menjadi sebesar 0,7% dari pendapatan nasional negara maju. Washington telah menjadi salah satu dari donor paling kikir –meski menjadi negara dengan perekonomian terkuat– yaitu hanya mencurahkan 0,1% dari pengeluaran nasionalnya untuk bantuan internasional [The Guardian, 23 Januari 2002]. Sebelum pertemuan itu berlangsung, AS berupaya menghilangkan setiap penyebutan tujuan pembangunan yang telah disepakati secara internasional dan menentang pendapat bahwa negara maju harus memenuhi target PBB perihal alokasi 0,7% dari pendapatan nasionalnya untuk bantuan internasional.

16.     Sudah menjadi rahasia umum bahwa sepanjang dekade 1990-an AS menunggak iuran ke PBB. Pada saat AS mulai melunasi utangnya ke PBB, nilai yang harus mereka bayar sudah sebesar US$ 1,5 milyar. Alasan AS untuk tidak membayar secepatnya tidak berhubungan dengan kesulitan finansial, mengingat sepanjang tahun 1990-an mereka mengalami ledakan ekonomi berkat dot com mania. Dihadapkan pada resiko kehilangan hak suara mereka dalam Majelis Tinggi PBB dan semakin melemahnya pengaruh mereka di PBB, Washington segera menyetorkan sedikit uang pada tahun 1999. Namun Washington memang gemar melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri dan mereka menolak keras membayar tambahan biaya penjagaan perdamaian; juga telah menahan uang untuk beberapa proyek yang AS anggap mubazir atau tidak jelas, dan meributkan jumlah pajak yang dibayarkan PBB bagi para pekerja Amerika dalam program penyetaraan pajak [New York Times, 28 Juni 1998].

Kesimpulan

Lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan IMF merupakan organ-organ imperialis yang dirancang untuk menjajah negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri muslim. Syariat Islam melarang kaum Muslim untuk menggantungkan nasibnya pada lembaga-lembaga seperti itu secara politis dan pemerintahan, dalam bentuk apapun. Namun, seperti yang telah digambarkan dalam bab ini, bangsa-bangsa semacam AS dan Inggris tidak meyakini bahwa konsep hukum internasional harus ditegakkan di atas kepentingan negara manapun. Karena itulah upaya pembenaran perang terhadap Irak dengan menggunakan argumentasi pelanggaran Irak terhadap hukum internasional, menemui kegagalan. Sangat jelas bahwa penyalahgunaan PBB oleh sekutu merupakan sebuah langkah taktis, bukan strategis, yang menjadi alasan mengapa mereka selalu bergerak di jalur unilateral sebagai sebuah opsi yang tetap ada. Karenanya, kecenderungan dan determinasi untuk beraksi secara unilateral merupakan sebuah ujung final dalam peti mati bagi mereka yang berpendapat bahwa perdebatan ini berkisar pada kedudukan PBB dan hukum internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam