Dampak Buruk Sistem Ekonomi
Kapitalisme
{{LANJUTAN DARI ARTIKELSEBELUMNYA}}
2. Kritik Terhadap Sistem Ekonomi
Kapitalisme
Kritik biasanya bermula dari
ketidakpuasan. Dan itu wajar tatkala kita melihat kegagalan kapitalisme.
Berikut akan diuraikan sekilas kegagalan kapitalisme, lalu dilanjutkan kritik
terhadap kapitalisme itu sendiri.
a. Kegagalan Kapitalisme
Kegagalan sistem ekonomi
kapitalisme yang paling mencolok adalah munculnya kesenjangan ekonomi antara negara-negara
industri maju (kapitalisme) dengan negara-negara miskin (selatan). Kesenjangan
ekonomi dunia sudah mulai menggejala sejak Perang Dunia II, saat itu AS memiliki
40 persen dari seluruh kekayaan dunia, padahal berpenduduk hanya 6 persen dari
seluruh penduduk bumi (Clinton, 1996: 269).
Menurut laporan World Bank Report pada tahun 1979,
Penduduk Amerika dan Eropa Barat yang hanya 16,5 persen dari penduduk
dunia, menguasai dua per tiga kekayaan
dunia.
Sedangkan menurut
laporan PBB, sekitar tahun 90-an terjadi
sebuah fenomena yang dinamakan negatif
tansfer atau revising financial flows.
Fenomena ini menggambarkan bahwa sebenarnya bukan dunia industri maju yang mengalirkan dana ke dunia
berkembang. Melainkan sebaliknya. Dengan pengertian lain, bukan dunia maju yang
membantu dunia berkembang, tetapi dunia berkembang yang membantu dunia maju.
Jumlah negatif transfer pada tahun
1984-1990 diperkirakan US$ 180 miliar (Gani, 1997).
Amerika Serikat, yang
merupakan pendekar utama negara kufur kapitalisme telah menjadi korban dari
sistem ekonominya sendiri. Separo dari kekayaan dan keuntungan dari sebanyak
200.420 unit perusahaan industri di Amerika telah dimiliki dan dikuasai oleh
hanya 102 unit perusahaan industri raksasa saja (kekayaan rata-rata tiap
perusahaan telah lebih dari satu milyar dollar US). Distribusi kemakmuran antar
negara bagian juga tidak merata, negara federal sebelah Timur jauh lebih kaya
dibandingkan dengan sebelah Barat dan Kepulauan. Perbedaan tingkat kemakmuran
per kapita sekitar US$10.000,- per tahun (Zadjuli, 1998: 3).
Setelah 50 tahun pembangunan yang kapitalistik, Indonesiapun
menghadapi kenyataan pahit. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) 1994, dengan
garis kemiskinan 500 rupiah per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di
kota dan 26 juta di desa). Bila garis kemiskinan dinaikkan menjadi 1000 rupiah
per hari, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi sekitar 117 juta jiwa atau
65 persen dari jumlah penduduk (Basri, 1995: 105). Dalam sebuah artikel khusus
harian Republika dilaporkan bahwa omset tahun 1993 dari 14 konglomerat
Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya, di antaranya Om
Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group),
Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai
47,2 trilyun rupiah atau 83 % APBN Indonesia tahun itu (Republika, 1993).
Menurut laporan Biro Pusat Statistik tahun1994, bahwa sampai
tahun 1992 di Indonesia terdapat 33,5 juta unit usaha formal, 99,8% darinya
yaitu sebanyak 33.433.000 unit adalah usaha kecil. Sedangkan 52,4%-nya atau
sebanyak 17.485.459 unit, omset per
tahunnya di bawah 1 juta rupiah. Kontribusi dari 99,8% unit usaha kecil
tersebut pada Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sebesar 38,9%. Sisanya yaitu
0,2% atau sebanyak 66.428 unit adalah usaha menengah dan besar mempunyai kontribusi
terhadap PDB sebesar 61,1% (Ishak, 1997).
Dampak buruk dari sistem ekonomi kapitalisme mencapai klimaksnya
dan langsung dirasakan pada tingkat regional Asia, ketika kawasan ini mengalami
apa yang disebut sebagai “krisis moneter”. Pada bulan Juli 1997 apa yang
disebut mitos ‘Keajaiban Asia’ mulai memudar dari Thailand. Krisis bulan Juli
itu langsung memaksa Thailand yang sudah kehabisan cadangan devisa untuk
berpaling meminta bantuan kepada IMF. Di luar dugaan krisis ini akhirnya
berlarut dan merembet ke seluruh ASEAN termasuk Indonesia. Pada 31 Oktober 1997
Pemerintah RI terpaksa meminta bantuan IMF dan melakukan langkah drastis
melikuidasi 16 bank. Pada akhirnya krisis ini melanda hampir di semua
negara-negara di kawasan Asia (Wibisono, 1998). Sistem ekonomi kufur
kapitalisme sangat rentan krisis dan langganan krisis karena pondasinya lemah,
yaitu bursa saham, mata uang kertas, dan riba (bunga/ interest). Krisis mudah terjadi gara-gara sistem judi bursa saham
yang membuat aset-aset nilainya bergantung penuh pada selera hawa nafsu para
pemain judi (pemain saham, surat utang (obligasi), dan berbagai turunannya yang
hina).
Akibat krisis yang melanda
tersebut memaksa Indonesia harus mengucapkan kalimat “Selamat tinggal Negara
Industri Baru (NIB)”. Berdasarkan pengelompokan, jika pendapatan perkapita
sebuah negara sudah mencapai 1.200 dolar AS per tahun, berarti negara tersebut
sudah masuk kelompok NIB. Ketika pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai
1.088 dolar, Indonesia sudah tinggal selangkah lagi untuk mencapai predikat
itu. Akhirnya keinginan itu kini tinggal impian. Ketika gelombang krisis telah menembus
pada angka di atas Rp8000. per dolar, Indonesia bukan lagi menjadi negara
miskin tetapi super miskin di bawah India dan setara dengan Kamboja, Kenya atau
Bangladesh yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 300 dolar (Utomo,
1998). Perekonomian global dunia saat ini menggunakan sistem kufur kapitalisme
dengan riba, mata uang murahan kertas, dan keharaman pasar saham sehingga
perekonomian global mudah runtuh dan meruntuhkan.
Pengamat ekonomi Basri, memprediksikan bahwa tahun 1999 krisis
ekonomi akan semakin parah. Krisis itu tidak hanya melanda Indonesia, melainkan
hampir seluruh negara di dunia juga akan terpuruk oleh krisis. Termasuk
negara-negara berekonomi maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Rusia.
Prediksi itu didasarkan pada salah satu teori ekonomi yang mengatakan pada
siklus 70 tahunan akan membawa ekonomi dunia up and down. Dalam kurun 70 tahun akan terjadi depresi ekonomi yang
besar. Terakhir awal depresi besar terjadi pada 1929. Dan 70 tahun berikutnya
adalah tahun 1999 (Basri, 1998).
Jika seluruh negara-negara di dunia ini memasuki apa yang mereka
(kafir kapitalisme) sebut sebagai "Tata Ekonomi Dunia Baru" melalui World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia, organisasi ini akan menguasai secara sempurna
seluruh sektor perdagangan,
perekonomian, moneter, perburuhan, pertanian, jasa, keimigrasian dan perundang-undangan yang
berkaitan dengan itu, semua di dunia ini. Seluruh negara-negara di dunia
dipaksa untuk membuka seluruh pasarnya
dan harus siap berkompetisi secara bebas dan terbuka, tidak perduli apakah itu
negara maju atau negara melarat. Keadaan ini akan memberi peluang yang lebih
besar kepada golongan ekonomi kuat, sehingga ketimpangan dengan golongan
ekonomi lemah akan semakin meningkat (Sasono, 1995: xi).
Dengan mulai goyahnya tatanan ekonomi dunia, akhirnya banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan sistem kufur ekonomi kapitalisme yang diterapkan di
negara-negara besar itu. Uniknya yang mulai banyak mengkritik sistem ekonomi
kapitalisme adalah para pakar dan pendukung utama ekonomi kapitalisme itu
sendiri (Basri, 1998).
Dampak Buruk Sistem Ekonomi Kapitalisme
{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar