Cara Memberantas Kemiskinan
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia,
sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak
hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti
Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai
makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah
Swt. berfirman:
]اللهُ
الَّذِي
خَلَقَكُمْ
ثُمَّ
رَزَقَكُمْ[
Allah-lah
yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki. (TQS. ar-Rum [30]: 40)
]وَمَا
مِنْ
دَابَّةٍ فِي
اْلأَرْضِ
إِلاَّ عَلَى
اللهِ
رِزْقُهَا[
Tidak ada
satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan?
Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang
populasinya terus bertambah.
Dalam pandangan ekonomi kufur kapitalis, problem
ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi
dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak
mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru,
bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadiy,
jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti
mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar,
tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab
kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya
keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara Islam yang
menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam
memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam
memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik
kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu
tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum
lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam
menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi
kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia
terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan
tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai
kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan
kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi
setiap individu, tidak berarti negara Khilafah Islam akan membagi-bagikan
makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga
terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini
anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan
dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah
kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a.
Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan
Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan
membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah
Swt. berfirman:
]فَامْشُوا
فِي
مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا
مِنْ رِزْقِهِ[
Maka
berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan
Rasulullah Saw. bersabda:
Salah
seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu
memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi
memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada
seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya [HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah]
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban
bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga
mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt.
berfirman:
]وَعَلَى
الْمَوْلُودِ
لَهُ
رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban
ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ
مِنْ
وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu
bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka
memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak
mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah
kepada mereka.
b.
Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki
punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat
mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua
ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian
keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada
kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt.
berfirman:
]وَعَلَى
الْمَوْلُودِ
لَهُ
رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ
إِلَّا
وُسْعَهَا
لَا تُضَارَّ
وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا
وَلَا
مَوْلُودٌ لَهُ
بِوَلَدِهِ
وَعَلَى
الْوَارِثِ
مِثْلُ
ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban
demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti
seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan
berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud
adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. [Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul
Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4, 1990, hal. 210]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak
mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban
memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu
saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para
keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak
dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada
keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki
kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak
wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang
memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut
standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah Saw. bersabda:
Sebaik-baik
sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Tangan di
atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari
orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya
keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah)
Yang dimaksud al-Ghina
(selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan
yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah),
dan kebutuhan pelengkap (al-hajat
al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. [Al-Maliki,
Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963]
c.
Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut
tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya
pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara Islamiyah).
Dengan kata lain, negara Khilafah melalui Baitul
Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
Siapa saja
yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja
yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)
Yang dimaksud kalla
adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran yang digunakan negara Islam untuk membantu
individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt.
berfirman:
]إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah
(zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara
Khilafah wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d.
Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul
Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin
beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي
أَمْوَالِهِمْ
حَقٌّ
لِلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam
harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak
mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
Siapa saja
yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang
yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka.
(HR. Imam Ahmad)
Tidaklah
beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya
kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR.
al-Bazzar)
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama, kaum
Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara Khilafah
Islam mewajibkan dharibah (pajak)
kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang
miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan
lagi, maka pemungutannya oleh negara Khilafah harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam
mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan
diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka
kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat
dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban
beralih ke Baitul Mal dari kas zakat.
Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul
Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke
seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum
Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara Khilafah
Islamiyah memungut dharibah (pajak)
dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
Cara Memberantas Kemiskinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar