Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah
(sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (TQS. Muhammad [47]: 19)
Agar
selamat di dunia daan akhirat, manusia harus mengetahui jalan yang harus
ditempuhnya ketika menjalani kehidupan. Tatkala sudah diketahui, maka dia harus
istiqamah menjalaninya. Perkara inilah di antara yang dijelaskan ayat ini.
Memahami Dan
Meyakini Tauhid
Allah SWT
berfirman: Fa’lam annahu laa ilaaha illaaLlaah
(maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah
[sesembahan, tuhan] selain Allah). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang
datangnya hari Kiamat yang tiba-tiba. Tanda-tandanya telah diberitakan.
Ditegaskan pula, ketika hari Kiamat datang, maka tak berguna lagi kesadaran dan
penyesalan mereka.
Ayat ini
kemudian menjelaskan tentang beberapa perkara yang dapat mengantarkan
kebahagiaan ketika hari Kiamat datang. Perkara yang diperintahkan adalah
perkara tauhid.
Khithaab (seruan)
ayat ini ditujukan kepada Rasulullah ﷺ. Kata i'lam merupakan fi'l al-amr (kata perintah) dari kata al-’ilm. Menurut al-Raqhib al-Asfahani, pengertian al-'ilm adalah idraak al-syay‘i bi haqiiqatihi (menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang
sebenarnya). Perkara diperintahkan untuk diketahui adalah perkara tauhid,
yakni: Laa ilaaha
illaal-Laah. Bahwa tidak ada ilaah yang haq kecuali Allah SWT. Dalam bahasa Arab, kata al-ilaah bermakna al-ma'buud, yang
disembah dan ditaati. Dengan demikian, kalimat tauhid ini bukan sekadar
meyakini keberadaan Allah SWT, namun juga meyakini bahwa hanya Allah SWT Dzat
yang sah dan berhak untuk disembah dan ditaati. Tidak ada yang lainnya.
Inilah perkara yang diperintahkan kepada Rasulullah ﷺ
untuk diketahui. Maknanya: ”Ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan
yang patut dan layak memiliki hak ketuhanan, dan boleh bagimu dan seluruh
makhluk untuk disembah, kecuali Allah SWT yang menjadi pencipta semua makhluk
dan pemilik segala sesuatu. Semua selain-Nya wajib mengakui ketuhanan-Nya.
Patut
dicatat bahwa sebelum ayat ini turun, sesungguhnya pengetahuan itu telah ada
pada diri beliau. Jika demikian halnya, lalu untuk apa perintah tersebut?
Menurut Fakhruddin al-Razi, ada dua makna tentangnya. Pertama, ”Tetaplah
kamu berada di atas ilmu yang telah ada padamu!" Pernyataan ini
sebagaimana ucapan seseorang terhadap orang yang duduk dan ingin berdiri,
”Duduklah!" Yakni, janganlah kamu berdiri. Makna ini juga dikemukakan oleh
al-Zamakhsyari dan al-Syaukani. Kedua, khithab yang ditujukan kepada Nabi ﷺ
itu sesungguhnya ditujukan kepada kaumnya. Dua pendapat ini juga dikemukakan
oleh al-Khazin.
Selain itu,
al-Mawardi, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi, juga mengungkap ada tiga
penafsiran tentang makna ayat ini. Pertama, ketahuilah bahwa Allah SWT telah
mengajari kamu bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah SWT. Kedua, apa
yang telah engkau ketahui melalui bukti-bukti, maka ketahuilah pula melalui
berita yang yakin. Ketiga, ingatlah bahwa tidak ada tuhan yang hak kecuali
Allah SWT. Kata ”Ingatlah!" diungkapkan dengan kata ”Ketahuilah!” karena
terjadinya pengetahuan itu berasal dari-Nya.
Memohon Ampunan
Kemudian
Allah SWT berfirman: Wa [i]staghfir li dzanbika
wa li al-mu‘miniin wa al-mu‘minaat (dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan
bagi [dosa] orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan). Menurut Fakhruddin
al-Razi, pengertian al-ghufraan (ampunan)
adalah al-satr 'alaa al-qabiih (menutupi
sesuatu yang tercela). Diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, ampunan tersebut
didapatkan dengan mengerjakan berbagai sebab didapatkannya maghfirah atau ampunan seperti taubat, doa
meminta ampunan, kebaikan yang menghapus, meninggalkan dosa-dosa, dan ampunan
dari kejahatan.
Mengenai istighfar Nabi ﷺ diriwayatkan dalam banyak hadits. Di antaranya
adalah doa berikut: “Ya
Allah, ampuni kesalahan saya, kebodohan saya, sikap saya yang melewati batas,
dan apapun yang engkau ketahui dari saya. Ya Allah, ampuni canda saya,
keseriusan saya, kesalahan saya, kesengajaan saya, kesemuanya yang saya lakukan” (HR. Bukhari).
Menurut dhahirnya ayat, perintah istighfar dalam ayat ini ditujukan
kepada Nabi ﷺ. Padahal, sebagai nabi dan rasul, beliau adalah
ma'shum, terbebas dari dosa. Lalu, bagaimana memahami perintah istighfar
tersebut?
Menurut
Imam al-Qurthubi, hal ini mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, mohonlah
ampunan kepada Allah SWT terhadap dosa yang akan menimpamu. Kedua, mohonlah
ampunan kepada Allah SWT agar Dia melindungimu dari dosa-dosa.
Sedangkan menurut Fakhruddin al-Razi, yang dimaksud dengan al-dzanb (dosa) bagi Nabi ﷺ adalah
meninggalkan yang lebih utama. Makna ini juga dikemukakan oleh al-Syaukani.
Sehingga, ayat ini bermakna: ”Mohonlah ampun dari apa yang mungkin engkau
lakukan berupa meninggalkan yang lebih utama.”
Makna
lainnya, adalah permohonan diberikan taufik dalam mengerjakan perbuatan yang
baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.
Selain untuk dirinya, beliau juga diperintahkan pula untuk memintakan
ampunan bagi orang-orang Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Diterangkan
Abdurrahman al-Sa'di, karena sebab keimanan mereka, maka itu merupakan hak bagi
setiap Muslim dan Muslimah. Menurut al-Khazin, ini merupakan pemuliaan dari
Allah SWT kepada umat ini lantaran memerintahkan Nabi-Nya ﷺ
untuk memintakan ampun terhadap dosa-dosa mereka, sementara dia adalah pemberi
syafaat yang dikabulkan bagi mereka.
Diterangkan Fakhruddin al-Razi, dalam ayat ini terkandung perintah yang
halus bahwa Nabi ﷺ memiliki tiga keadaan, yakni keadaan dengan Allah
SWT, keadaan dengan dirinya sendiri, dan keadaan dengan orang lain. Adapun
dengan Allah, maka tauhidkanlah Dia. Sedangkan dengan dirinya sendiri, maka
beristighfarlah atas dosamu dan mohonlah al-ishmah (terlindung
dari dosa) dari Allah. Dan kepada orang Mukmin, beristighfarlah untuk mereka
dan mintakanlah ampunan bagi mereka.
Diketahui Allah
SWT
Kemudian
ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wal-Laah
ya'lamu mutaqallibakum wa matswaakum (dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal). Menurut Abdurrahman al-Sa'di, pengertian mutaqallibakum adalah perilaku dan
gerakan-gerakan kamu, kepergian dan kepulangan kamu. Sedangkan matswaakum adalah yang kamu tinggal di situ.
Maka Dia mengetahui kalian tatkala bergerak dan diam, lalu Dia membalasmu atas
semua itu dengan balasan yang paling sempurna dan memenuhinya.
Menurut
Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah Dia mengetahui tindak-tanduk kalian pada
siang hari dan tempat tinggal kalian di malam hari. Ini juga merupakan pendapat
Ibnu Juraij dan al-Thabari.
Setelah
mengutip beberapa penafsiran yang berbeda-beda, Imam al-Qurthubi menegaskan
bahwa pendapat yang umum adalah berlaku untuk semua. Sehingga, tidak ada yang
samar bagi Allah SWT, baik berupa pergerakan Bani Adam maupun diamnya mereka.
Demikian pula dengan semua makhluk-Nya. Dia Maha Mengetahui secara terperinci,
baik yang pertama maupun yang terakhir. Maha Suci Allah SWT yang tidak ada
tuhan (yang hak) kecuali Dia. WalLaah a'lam bi
al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk terus berada di atas ilmu dan
keyakinan atas tauhid.
2. Beliau
juga diperintahkan untuk beristighar dan minta ampun, baik untuk diri beliau
sendiri maupun untuk kaum Muslimin.
3. Selama
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk beliau, maka perintah
itu juga untuk umatnya.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 174