Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan juga
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (TQS. Ali
Imron [3]: 135)
Taubat
adalah solusi bagi orang yang telah telanjur melakukan perbuatan dosa. Hanya
saja, tidak sedikit orang yang belum memahami hakikat bertaubat dengan benar.
Meskipun kalimat istighfar kerap diucapkan, tetapi perbuatan dosa masih terus
saja diulangi, dengan sengaja. Ayat ini memberitakan orang-orang yang bertaubat
dengan benar dan berhasil mendapat ampunan dan Surga-Nya.
Ingat Allah SWT
Dan Memohon Ampun
Allah SWT
berfirman: Wa al-ladziina idzaa fa'aluu
faahisyah aw zhalamuu anfusahum (dan orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri). Huruf al-wawu di sini merupakan wa al-'athf yang menghubungkan ayat ini dengan
ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya terdapat perintah kepada manusia agar
bersegera menuju ampunan dan Surga-Nya. Ditegaskan, Surga yang seluas langit
dan bumi itu disediakan bagi orang-orang muttaqin. Ayat selanjutnya lalu
menjelaskan tentang gambaran sifat orang-orang muttaqin. Mereka adalah
orang-orang yang menginfakkan hartanya -baik di waktu lapang maupun sempit-,
yang bisa menahan amarahnya, dan pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Mereka
yang memiliki sifat demikian juga dapat disebut sebagai orang-orang muhsin
(yang berbuat ihsan).
Kemudian
dilanjutkan ayat ini yang menjelaskan jenis lain dari orang muttaqin. Mereka
adalah tawwaabiin (orang-orang yang
bertaubat). Mereka adalah orang yang telah telanjur mengerjakan perbuatan al-faahisyah atau mendzalimi diri mereka
sendiri. Dijelaskan al-Jazairi, al-faahisyah
adalah al-fi'lah al-qabiihah al-syadiid al-qubh
(perbuatan buruk yang teramat buruk), seperti zina dan perbuatan dosa besar
lainnya. Dalam Al-Qur’an, beberapa perbuatan yang disebut sebagai al-faahisyah adalah zina (QS. al-Isra' [17]:
32), liwath (QS. al-A'raf [7]: 80), dan menikahi wanita yang sebelumnya menjadi
istri ayahnya (QS. al-Nisa' [4]: 22).
Sedangkan
pengertian zhulm al-nafsi (menganiaya
diri sendiri) juga menunjuk kepada perbuatan dosa. Demikian penjelasan para
mufassir, seperti al-Syaukani, al-Biqa'i, al-Baidhawi, dan lain-lain. Sehingga,
sebagaimana dijelaskan al-Alusi, ini termasuk dalam dzikr al-'aamm ba'da al-khaashsh (penyebutan yang bersifat umum
setelah yang bersifat khusus [kata al-faahisyah]).
Penyebutan perbuatan dosa sebagai zhulm
al-nafsi amat sesuai dengan fakta. Adzab yang dijatuhkan kepada manusia
sesungguhnya merupakan balasan terhadap perbuatan dosa manusia. Sehingga,
ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, hakikatnya dia telah menganiaya
dirinya, yakni menjatuhkan dirinya sendiri kepada siksa-Nya. Allah SWT
berfirman: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka” (TQS. Hud [11]: 101). Penyebutan para pelaku dosa
sebagai orang yang menzhalimi diri mereka sendiri terdapat dalam beberapa ayat,
seperti QS. al-Nisa’ [4]: 64, Ibrahim [14]: 45, Saba' [34]: 19, dan lain-lain.
Ketika
mereka telah telanjur melakukan perbuatan demikian, mereka pun ingat
kepada-Nya. Allah SWT berfirman: dzakaruuLlaah
(mereka ingat akan Allah). Artinya, mereka ingat akan kebesaran dan kekuasaan
Allah. Mereka juga ingat adzab-Nya yang pedih, rahmat-Nya yang luas, dan pintu
maghfirah-Nya yang terbuka lebar.
Ingatan
tersebut kemudian membuat mereka takut dan sadar, lalu mendorongnya untuk
segera bertaubat kepada-Nya. Allah SWT berfirman: fa[i]staghfaruu
lidzunuubihim (lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka). Pengertian
al-istighfaar adalah thalab al-ghufraan (meminta ampunan).
Sedangkan huruf al-lam pada lidzunuubihim bermakna la ajli (karena). Sehingga pengertian ayat ini: thalabuu al-ghufraan li ajli dzunuubihim
(mereka meminta ampun karena dosa-dosa mereka). Demikian al-Qurthubi dalam
tafsirnya. Menurut al-Samarqandi, frasa ini bermakna al-istighfaar bi al-lisaan wa al-nadaamah bi al-qalb (permohonan
ampun dengan lisan dan penyesalan dalam hati.
Kemudian
ditegaskan: wa man yaghfiru al-dzunuub
illaLlaah (dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada
Allah?). Kalimat ini merupakan jumlah i'tiraadh
(kalimat sisipan) yang berada di antara dua keadaan. Sedangkan bentuk istifhaam ayat ini bermakna al-nafii. Artinya, tidak ada yang bisa
mengampuni dosa-dosa kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan al-Syaukani,
al-Baidhawi, al-Samarqandi, dan lain-lain.
Penegasan
ini memberikan faidah, bahwa tidak ada pilihan lain bagi para pelaku dosa
kecuali meminta ampun kepada Allah SWT. Dijelaskan Fakhruddin al-Razi, seorang
hamba tidak boleh meminta ampunan kecuali kepada-Nya. Karena Allah SWT yang
berkuasa menimpakan hukuman bagi hamba di dunia dan akhirat, maka Dia pula yang
berkuasa mencabut hukuman itu. Dengan demikian, tepatlah larangan meminta
ampunan kecuali kepada-Nya.
Sebagai satu-satunya Pemberi ampunan, Allah SWT Maha Luas ampunan-Nya
(lihat: QS. al-Najm [53]: 32). Bahkan membuka pintu ampunan bagi semua dosa
(lihat: QS. al-Zumar [39]: 53). Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai
hambaku, sesungguhnya kamu pasti melakukan kesalahan siang dan malam. Tapi Aku
akan senantiasa mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku” (HR.
Muslim dari Abu Dzar).
Tidak
Melanjutkan Perbuatan Dosa
Selanjutnya
dijelaskan konsekuensi lain yang harus dilakukan bagi orang-orang yang
bertaubat. Allah SWT berfirman: wa lam
yushirruu 'alaa maa fa'aluu (dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu). Dijelaskan al-Jazairi, kata al-ishraar
bermakna al-syadd 'alaa al-syay’
al-rabth 'alayhi (terikat kuat dengan sesuatu). Dalam konteks ayat ini,
al-Thabari memaknainya sebagai al-iqaamah 'alaa
al-dzanb aamid[an] wa tark al-tawbah minhu (mengerjakan dosa dengan
sengaja dan meninggalkan taubat darinya). Sehingga kata lam yushirruu, sebagaimana diterangkan al-Wahidi, berarti lam yuqiimuu wa lam yaduumuu (tidak
mengerjakan dan tidak meneruskan). Itu berarti, permohonan ampun mereka
disertai dengan sikap berhenti dan tidak lagi meneruskan perbuatan keji dan
dosa lainnya.
Bahwa dalam
bertaubat harus dengan sikap meninggalkan perbuatan maksiat juga terdapat dalam
firman Allah SWT: “Dan jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” (TQS. al-Baqarah [2]:
279). Riba adalah mengambil pengembalian utang melebihi dari pokok harta yang
diutangkan. Oleh karena itu, seseorang dapat dinyatakan telah bertaubat
manakala dia telah meninggalkan riba. Sebagai buktinya, dia hanya mengambil
pokok harta saja. Apabila mengambil lebih dari itu, berapapun jumlahnya, maka
ia belum meninggalkan riba. Dan tentu saja, dia tidak dianggap telah bertaubat
darinya.
Ditegaskan
pula: wahum ya'lamuun (sedang mereka
mengetahui). Mereka mengetahui pelanggarannya terhadap syara', dengan
meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram. Demikian al-Jazairi dalam
tafsirnya.
Selain itu,
apabila berkenaan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang
bersangkutan. Para pelaku dosa itu juga harus mengadakan perbuatan baik (lihat: QS.
al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, al-Nisa' [4]: 146, al-Nahl [16]: 119).
Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk” (TQS. Hud [11]: 114).
Terhadap
orang-orang yang bertaubat dengan benar itu, dijanjikan ampunan dan Surga,
sebagaimana ditegaskan dalam ayat selanjutnya: “Mereka
itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya
mengalir sunga-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik
pahala orang-orang yang beramal” (TQS. Ali Imran [3]: 136).
Berbagai
bencana yang terus mendera negeri ini telah menerbitkan kesadaran bagi sebagian
orang untuk bertaubat. Sayangnya, taubat itu tidak diiringi dengan perbuatan.
Taubatnya penduduk negeri ini tak cukup dengan membaca istighfar beramai-ramai.
Akan tetapi harus menghentikan praktik sistem kapitalisme seraya menerapkan
syariah dalam kehidupan. Jika itu belum dilakukan, maka belum dianggap telah
bertaubat. Sebab, menerapkan sistem kapitalisme dan mengabaikan syariah
merupakan kemaksiatan besar yang harus segera diakhiri. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Solusi
satu-satunya bagi orang yang telanjur berbuat dosa adalah bertaubat kepada
Allah SWT.
2.
Bertaubat yang benar adalah dengan: (1) Menyesali perbuatan dosa; (2) Meminta
ampun kepada Allah SWT; (3) Berhenti melakukan perbuatan dosa; (4) Jika
berhubungan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang
bersangkutan.
3. Taubat
bagi penduduk di negeri ini adalah mencampakkan sistem kapitalisme, seraya
menerapkan syari'ah dalam kehidupan.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar