Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 22 Februari 2019

Bertaubat Untuk Mendapat Ampunan - TAFSIR Ali Imran: 135



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (TQS. Ali Imron [3]: 135)

Taubat adalah solusi bagi orang yang telah telanjur melakukan perbuatan dosa. Hanya saja, tidak sedikit orang yang belum memahami hakikat bertaubat dengan benar. Meskipun kalimat istighfar kerap diucapkan, tetapi perbuatan dosa masih terus saja diulangi, dengan sengaja. Ayat ini memberitakan orang-orang yang bertaubat dengan benar dan berhasil mendapat ampunan dan Surga-Nya.

Ingat Allah SWT Dan Memohon Ampun

Allah SWT berfirman: Wa al-ladziina idzaa fa'aluu faahisyah aw zhalamuu anfusahum (dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri). Huruf al-wawu di sini merupakan wa al-'athf yang menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya terdapat perintah kepada manusia agar bersegera menuju ampunan dan Surga-Nya. Ditegaskan, Surga yang seluas langit dan bumi itu disediakan bagi orang-orang muttaqin. Ayat selanjutnya lalu menjelaskan tentang gambaran sifat orang-orang muttaqin. Mereka adalah orang-orang yang menginfakkan hartanya -baik di waktu lapang maupun sempit-, yang bisa menahan amarahnya, dan pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Mereka yang memiliki sifat demikian juga dapat disebut sebagai orang-orang muhsin (yang berbuat ihsan).

Kemudian dilanjutkan ayat ini yang menjelaskan jenis lain dari orang muttaqin. Mereka adalah tawwaabiin (orang-orang yang bertaubat). Mereka adalah orang yang telah telanjur mengerjakan perbuatan al-faahisyah atau mendzalimi diri mereka sendiri. Dijelaskan al-Jazairi, al-faahisyah adalah al-fi'lah al-qabiihah al-syadiid al-qubh (perbuatan buruk yang teramat buruk), seperti zina dan perbuatan dosa besar lainnya. Dalam Al-Qur’an, beberapa perbuatan yang disebut sebagai al-faahisyah adalah zina (QS. al-Isra' [17]: 32), liwath (QS. al-A'raf [7]: 80), dan menikahi wanita yang sebelumnya menjadi istri ayahnya (QS. al-Nisa' [4]: 22).

Sedangkan pengertian zhulm al-nafsi (menganiaya diri sendiri) juga menunjuk kepada perbuatan dosa. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Syaukani, al-Biqa'i, al-Baidhawi, dan lain-lain. Sehingga, sebagaimana dijelaskan al-Alusi, ini termasuk dalam dzikr al-'aamm ba'da al-khaashsh (penyebutan yang bersifat umum setelah yang bersifat khusus [kata al-faahisyah]). Penyebutan perbuatan dosa sebagai zhulm al-nafsi amat sesuai dengan fakta. Adzab yang dijatuhkan kepada manusia sesungguhnya merupakan balasan terhadap perbuatan dosa manusia. Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan dirinya sendiri kepada siksa-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka” (TQS. Hud [11]: 101). Penyebutan para pelaku dosa sebagai orang yang menzhalimi diri mereka sendiri terdapat dalam beberapa ayat, seperti QS. al-Nisa’ [4]: 64, Ibrahim [14]: 45, Saba' [34]: 19, dan lain-lain.

Ketika mereka telah telanjur melakukan perbuatan demikian, mereka pun ingat kepada-Nya. Allah SWT berfirman: dzakaruuLlaah (mereka ingat akan Allah). Artinya, mereka ingat akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka juga ingat adzab-Nya yang pedih, rahmat-Nya yang luas, dan pintu maghfirah-Nya yang terbuka lebar.

Ingatan tersebut kemudian membuat mereka takut dan sadar, lalu mendorongnya untuk segera bertaubat kepada-Nya. Allah SWT berfirman: fa[i]staghfaruu lidzunuubihim (lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka). Pengertian al-istighfaar adalah thalab al-ghufraan (meminta ampunan). Sedangkan huruf al-lam pada lidzunuubihim bermakna la ajli (karena). Sehingga pengertian ayat ini: thalabuu al-ghufraan li ajli dzunuubihim (mereka meminta ampun karena dosa-dosa mereka). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Menurut al-Samarqandi, frasa ini bermakna al-istighfaar bi al-lisaan wa al-nadaamah bi al-qalb (permohonan ampun dengan lisan dan penyesalan dalam hati.

Kemudian ditegaskan: wa man yaghfiru al-dzunuub illaLlaah (dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?). Kalimat ini merupakan jumlah i'tiraadh (kalimat sisipan) yang berada di antara dua keadaan. Sedangkan bentuk istifhaam ayat ini bermakna al-nafii. Artinya, tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan al-Syaukani, al-Baidhawi, al-Samarqandi, dan lain-lain.

Penegasan ini memberikan faidah, bahwa tidak ada pilihan lain bagi para pelaku dosa kecuali meminta ampun kepada Allah SWT. Dijelaskan Fakhruddin al-Razi, seorang hamba tidak boleh meminta ampunan kecuali kepada-Nya. Karena Allah SWT yang berkuasa menimpakan hukuman bagi hamba di dunia dan akhirat, maka Dia pula yang berkuasa mencabut hukuman itu. Dengan demikian, tepatlah larangan meminta ampunan kecuali kepada-Nya.

Sebagai satu-satunya Pemberi ampunan, Allah SWT Maha Luas ampunan-Nya (lihat: QS. al-Najm [53]: 32). Bahkan membuka pintu ampunan bagi semua dosa (lihat: QS. al-Zumar [39]: 53). Rasulullah bersabda: “Wahai hambaku, sesungguhnya kamu pasti melakukan kesalahan siang dan malam. Tapi Aku akan senantiasa mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku” (HR. Muslim dari Abu Dzar).

Tidak Melanjutkan Perbuatan Dosa

Selanjutnya dijelaskan konsekuensi lain yang harus dilakukan bagi orang-orang yang bertaubat. Allah SWT berfirman: wa lam yushirruu 'alaa maa fa'aluu (dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu). Dijelaskan al-Jazairi, kata al-ishraar bermakna al-syadd 'alaa al-syay’ al-rabth 'alayhi (terikat kuat dengan sesuatu). Dalam konteks ayat ini, al-Thabari memaknainya sebagai al-iqaamah 'alaa al-dzanb aamid[an] wa tark al-tawbah minhu (mengerjakan dosa dengan sengaja dan meninggalkan taubat darinya). Sehingga kata lam yushirruu, sebagaimana diterangkan al-Wahidi, berarti lam yuqiimuu wa lam yaduumuu (tidak mengerjakan dan tidak meneruskan). Itu berarti, permohonan ampun mereka disertai dengan sikap berhenti dan tidak lagi meneruskan perbuatan keji dan dosa lainnya.

Bahwa dalam bertaubat harus dengan sikap meninggalkan perbuatan maksiat juga terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 279). Riba adalah mengambil pengembalian utang melebihi dari pokok harta yang diutangkan. Oleh karena itu, seseorang dapat dinyatakan telah bertaubat manakala dia telah meninggalkan riba. Sebagai buktinya, dia hanya mengambil pokok harta saja. Apabila mengambil lebih dari itu, berapapun jumlahnya, maka ia belum meninggalkan riba. Dan tentu saja, dia tidak dianggap telah bertaubat darinya.

Ditegaskan pula: wahum ya'lamuun (sedang mereka mengetahui). Mereka mengetahui pelanggarannya terhadap syara', dengan meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram. Demikian al-Jazairi dalam tafsirnya.

Selain itu, apabila berkenaan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang bersangkutan. Para pelaku dosa itu juga harus mengadakan perbuatan baik (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, al-Nisa' [4]: 146, al-Nahl [16]: 119). Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (TQS. Hud [11]: 114).

Terhadap orang-orang yang bertaubat dengan benar itu, dijanjikan ampunan dan Surga, sebagaimana ditegaskan dalam ayat selanjutnya: “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sunga-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal” (TQS. Ali Imran [3]: 136).

Berbagai bencana yang terus mendera negeri ini telah menerbitkan kesadaran bagi sebagian orang untuk bertaubat. Sayangnya, taubat itu tidak diiringi dengan perbuatan. Taubatnya penduduk negeri ini tak cukup dengan membaca istighfar beramai-ramai. Akan tetapi harus menghentikan praktik sistem kapitalisme seraya menerapkan syariah dalam kehidupan. Jika itu belum dilakukan, maka belum dianggap telah bertaubat. Sebab, menerapkan sistem kapitalisme dan mengabaikan syariah merupakan kemaksiatan besar yang harus segera diakhiri. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Solusi satu-satunya bagi orang yang telanjur berbuat dosa adalah bertaubat kepada Allah SWT.

2. Bertaubat yang benar adalah dengan: (1) Menyesali perbuatan dosa; (2) Meminta ampun kepada Allah SWT; (3) Berhenti melakukan perbuatan dosa; (4) Jika berhubungan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang bersangkutan.

3. Taubat bagi penduduk di negeri ini adalah mencampakkan sistem kapitalisme, seraya menerapkan syari'ah dalam kehidupan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam