Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 10 Februari 2019

Merendahkan Suara Di Hadapan Rasulullah - TAFSIR al-Hujurat: 3



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Sesunggunnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( TQS. al-Hujurat [49]: 3)

Dalam bergaul dengan beliau terdapat adab yang harus dikerjakan oleh orang-orang Mukmin. Di antaranya adalah adab dalam berbicara dengan Rasulullah . Tidak boleh bersuara keras dan meninggikan suara. Apalagi suaranya melebihi suara Rasulullah . Sebaliknya, diperintahkan merendahkan suara di hadapan beliau. Inilah di antara yang dikandung ayat ini dan ayat sebelumnya.

Merendahkan Suara

Allah SWT berfirman: Inna al-ladziina yaghudhdhuuna aswaatahum 'inda Rasuulil-Laah (sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah). Dalam ayat sebelumnya, diterangkan tentang larangan meninggikan suara melebihi suara Rasulullah . Tidak boleh pula bersuara keras sebagaimana biasa dilakukan terhadap orang lainnya. Jika itu dilakukan, maka dapat menghapuskan amal-amal mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin Syamas bahwa ketika turun ayat: Laa tarfa’uu ashwaatakum fawqa shaut al-nabiy (janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, QS. al-Hujurat [14]: 2), maka Tsabit bin Qa'is duduk di jalan sambl menangis. Ketika Ashim bin Adi bin Bani al-Ajlan melewatinya, dia pun bertanya: "Mengapa engkau menangis?" Ia menjawab: ”Aku takut ayat itu turun berkenaan dengan diriku, karena aku adalah orang yang bersuara keras.” Kemudian hal itu disampaikan 'Ashim kepada Rasulullah . Lalu Rasulullah memanggil Tsabit dan bertanya, "Apakah engkau tidak ridha jika engkau hidup terpuji, mati syahid, dan masuk Syurga?" Tsabit menjawab: ”Aku ridha dengan kabar gembira Allah dan Rasul-Nya; dan tidak akan mengeraskan suaraku selama-lamanya di hadapan Rasulullah .” Lalu turunlah ayat selanjutnya (QS. al-Hujurat ayat 3).

Menurut al-Syaukani dalam tafsirnya, Fat-h al-Qadiir, makna asal kata al-ghadhah adalah al-naqsh min kulli syay‘ (mengurangi segala sesuatu). Termasuk di antaranya adalah mengurangi suara.

Sedangkan menurut Ibnu Jarir al-Thabari, makna asal kata tesebut adalah al-kaff fii liin (menahan dalam kelembutan). Di antaranya adalah kata ghadhah al-bashar. Artinya, kaffuhu 'an al-nazhar (menahannya dari pandangan). Sehingga dalam memaknai ayat ini, Ibnu Jarir berkata, "Sesungguhnya orang-orang yang menahan suara mereka di sisi Rasulullah ."

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Artinya, orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah ketika berbicara dalam rangka untuk menghormati beliau; atau ketika mereka berbicara dengan orang lain di hadapan Rasulullah untuk menghormati beliau." Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa ketika ayat tersebut turun, dia berkata, "Wahai Rasulullah , demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu kecuali seperti kepada saudara yang memegang rahasia." Maksudnya, berbicara dengan berbisik.

Hatinya Dibersihkan untuk Bertakwa

Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladziina [i]mtahanalLaah quluubahum li al-taqwaa (mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa). Frasa ini menerangkan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah .

Secara bahasa, kata al-imtihaan bermakna al-ibtilaa' (ujian). Pada awalnya, kata tersebut digunakan untuk menggambarkan pemurnian emas dari lainnya. Ini artinya, dengan adanya imtihaan (ujian), maka akan diketahui aspek yang unsur-unsur yang baik dan unsur-unsur yang buruk. Abdurrahman al-Sa‘di berkata, "Dia menguji dan mencobanya, sehingga hasilnya tampak bahwa hatinya layak untuk bertakwa.“ Kemudian mufassir tersebut berkata, "Di sini terdapat dalil bahwa Allah SWT menguji hati adalah dengan perintah, larangan, dan cobaan. Barangsiapa menetapi perintah-Nya, mengikuti ridha-Nya, bersegera untuk itu, dan mendahulukannya atas hawa nafsunya, maka Dia akan memurnikan dan membersihkannya untuk bertakwa. Hatinya pun layak untuk itu. Namun barangsiapa tidak mengerjakan seperti itu, maka Dia mengetahui bahwa orang tersebut tidak layak untuk bertakwa.”

Penafsiran imtahana lainnya adalah akhlasha (membersihkan). Al-Farra‘, sebagaimana dikutip al-Syaukani, berkata: ”Allah SWT membersihkan hati mereka untuk bertakwa, sebagaimana halnya membersihkan emas dengan api, lalu keluarlah bagian yang baik dari bagian yang buruknya." Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muqatil, Mujahid, dan Qatadah.

Dengan demikian penggalan ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah . Balasan itu adalah dibersihkan hatinya setelah lulus dari ujian Allah SWT berupa perintah dan larangan sehingga dia memang pantas menerima anugerah takwa.

Sayyid Quthb dalam tafsir Fii Zhilaal al-Qur'aan berkata, ”Ketakwaan merupakan anugerah yang amat besar. Allah SWT memilih hati untuk menerimanya setelah diuji dan dicoba, dibersihkan dan dimurnikan. Maka, ketakwaan itu diletakkan dalam hati sesudah hati siap untuk menerimanya dan telah diputuskan bahwa hati tersebut berhak menerimanya. Orang-orang yang merendahkan suaranya di dekat Rasulullah adalah termasuk di antara orang-orang yang hatinya telah diuji Allah SWT dan dipersiapkan untuk menerima anugerah tersebut. Yakni, anugerah ketakwaan yang telah diputuskan untuk diberikan kepada hati tersebut. Melalui anugerah tersebut, maka diraih pula ampunan dan pahala yang besar."

Tentang orang-orang yang diuji hatinya untuk bertakwa, Ibnu Katsir mengutip surat Umar bin al-Khaththab ra. yang diriwayatkan Imam Ahmad. Ketika itu ada sebuah surat yang datang kepada Umar dan bertanya, "Wahai Amirul Mukmin, ada seseorang yang tidak ingin berbuat maksiat dan dia sendiri tidak melakukannya. Apakah orang itu lebih utama daripada seseorang yang begitu ingin melakukan kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya?" Maka Umar ra. membalas surat itu dengan mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang begitu ingin melakukan kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya, “Mereka itulah orang-orang yang diuji hati mereka oleh Allah SWT untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Lahum maghfirat[un] wa ajr[un] 'azhiim[un] (bagi mereka ampunan dan pahala yang besar). Ini merupakan balasan lainnya yang akan diberikan kepada orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Nabi . Balasan itu adalah maghfirah wa ajr 'azhiim.

Diterangkan al-Thabari, frasa lahum maghfirat[un] artinya, bagi mereka ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa mereka yang terdahulu. Sedangkan frasa wa ajr[un] 'azhiim[un] berarti tsawaab[un] jaziil[un] (pahala yang besar), yakni Surga.

Oleh karena itu, ayat ini memberikan janji balasan kebaikan bagi orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah . Janji ini memberikan dorongan lebih kuat untuk melaksanakan perintah tersebut setelah dalam ayat sebelumnya berisi ancaman orang yang mengerjakan sebaliknya, yakni terhapusnya amal bagi orang-orang yang bersuara keras dan melebihi suara Rasulullah .

Menarik disimak penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauzi tentang ini. Dalam kitabnya I'laam al-Muwaqqi'iin berkata, "Apabila mengeraskan suara mereka melebihi suara Rasulullah saja telah menjadi sebab bagi terhapusnya amal-amal mereka, lalu bagaimana dengan tindakan yang mengedepankan dan meninggikan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan mereka? Bukankan itu lebih pantas untuk menjadi penghapus amal-amal mereka?" Semoga kita terhindar sikap lancang terhadap Rasulullah . Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Di antara adab dengan Rasulullah adalah merendahkan suara di hadapan beliau.
2. Balasan terhadap orang yang mengerjakan adab tersebut adalah:
(1) Hatinya dibersihkan sehingga layak untuk menerima anugerah takwa.
(2) Mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam