Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Sesunggunnya
orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar.” ( TQS. al-Hujurat [49]: 3)
Dalam bergaul dengan beliau ﷺ terdapat adab yang harus dikerjakan oleh orang-orang
Mukmin. Di antaranya adalah adab dalam berbicara dengan Rasulullah ﷺ.
Tidak boleh bersuara keras dan meninggikan suara. Apalagi suaranya melebihi
suara Rasulullah ﷺ. Sebaliknya, diperintahkan merendahkan suara di
hadapan beliau. Inilah di antara yang dikandung ayat ini dan ayat sebelumnya.
Merendahkan
Suara
Allah SWT berfirman: Inna al-ladziina yaghudhdhuuna aswaatahum 'inda Rasuulil-Laah (sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya
di sisi Rasulullah). Dalam ayat sebelumnya, diterangkan tentang larangan
meninggikan suara melebihi suara Rasulullah ﷺ. Tidak boleh pula
bersuara keras sebagaimana biasa dilakukan terhadap orang lainnya. Jika itu
dilakukan, maka dapat menghapuskan amal-amal mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin
Syamas bahwa ketika turun ayat: Laa tarfa’uu ashwaatakum fawqa shaut al-nabiy (janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara
Nabi, QS. al-Hujurat [14]: 2), maka Tsabit bin Qa'is duduk di jalan sambl
menangis. Ketika Ashim bin Adi bin Bani al-Ajlan melewatinya, dia pun bertanya:
"Mengapa engkau menangis?" Ia menjawab: ”Aku takut ayat itu turun
berkenaan dengan diriku, karena aku adalah orang yang bersuara keras.” Kemudian
hal itu disampaikan 'Ashim kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ
memanggil Tsabit dan bertanya, "Apakah engkau tidak ridha jika engkau
hidup terpuji, mati syahid, dan masuk Syurga?" Tsabit menjawab: ”Aku ridha
dengan kabar gembira Allah dan Rasul-Nya; dan tidak akan mengeraskan suaraku
selama-lamanya di hadapan Rasulullah ﷺ.” Lalu turunlah ayat selanjutnya (QS. al-Hujurat
ayat 3).
Menurut
al-Syaukani dalam tafsirnya, Fat-h al-Qadiir,
makna asal kata al-ghadhah adalah al-naqsh min kulli syay‘ (mengurangi segala
sesuatu). Termasuk di antaranya adalah mengurangi suara.
Sedangkan menurut Ibnu Jarir al-Thabari, makna asal kata tesebut adalah al-kaff fii liin (menahan dalam kelembutan). Di antaranya adalah kata
ghadhah al-bashar. Artinya, kaffuhu 'an al-nazhar
(menahannya dari pandangan). Sehingga dalam memaknai ayat ini, Ibnu Jarir
berkata, "Sesungguhnya orang-orang yang menahan suara mereka di sisi
Rasulullah ﷺ."
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Artinya, orang-orang
yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah ﷺ ketika berbicara
dalam rangka untuk menghormati beliau; atau ketika mereka berbicara dengan
orang lain di hadapan Rasulullah ﷺ untuk menghormati beliau." Diriwayatkan dari
Abu Bakar bahwa ketika ayat tersebut turun, dia berkata, "Wahai Rasulullah
ﷺ, demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu
kecuali seperti kepada saudara yang memegang rahasia." Maksudnya,
berbicara dengan berbisik.
Hatinya
Dibersihkan untuk Bertakwa
Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladziina [i]mtahanalLaah quluubahum li al-taqwaa (mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati
mereka oleh Allah untuk bertakwa). Frasa ini menerangkan balasan yang akan
diterima oleh orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah ﷺ.
Secara
bahasa, kata al-imtihaan bermakna al-ibtilaa' (ujian). Pada awalnya, kata
tersebut digunakan untuk menggambarkan pemurnian emas dari lainnya. Ini
artinya, dengan adanya imtihaan (ujian),
maka akan diketahui aspek yang unsur-unsur yang baik dan unsur-unsur yang
buruk. Abdurrahman al-Sa‘di berkata, "Dia menguji dan mencobanya, sehingga
hasilnya tampak bahwa hatinya layak untuk bertakwa.“ Kemudian mufassir tersebut
berkata, "Di sini terdapat dalil bahwa Allah SWT menguji hati adalah
dengan perintah, larangan, dan cobaan. Barangsiapa menetapi perintah-Nya,
mengikuti ridha-Nya, bersegera untuk itu, dan mendahulukannya atas hawa
nafsunya, maka Dia akan memurnikan dan membersihkannya untuk bertakwa. Hatinya
pun layak untuk itu. Namun barangsiapa tidak mengerjakan seperti itu, maka Dia
mengetahui bahwa orang tersebut tidak layak untuk bertakwa.”
Penafsiran imtahana lainnya adalah akhlasha (membersihkan). Al-Farra‘,
sebagaimana dikutip al-Syaukani, berkata: ”Allah SWT membersihkan hati mereka
untuk bertakwa, sebagaimana halnya membersihkan emas dengan api, lalu keluarlah
bagian yang baik dari bagian yang buruknya." Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Muqatil, Mujahid, dan Qatadah.
Dengan demikian penggalan ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang
merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah ﷺ. Balasan itu
adalah dibersihkan hatinya setelah lulus dari ujian Allah SWT berupa perintah
dan larangan sehingga dia memang pantas menerima anugerah takwa.
Sayyid Quthb dalam tafsir Fii Zhilaal al-Qur'aan
berkata, ”Ketakwaan merupakan anugerah yang amat besar. Allah SWT memilih hati
untuk menerimanya setelah diuji dan dicoba, dibersihkan dan dimurnikan. Maka,
ketakwaan itu diletakkan dalam hati sesudah hati siap untuk menerimanya dan
telah diputuskan bahwa hati tersebut berhak menerimanya. Orang-orang yang
merendahkan suaranya di dekat Rasulullah ﷺ adalah termasuk di antara orang-orang yang hatinya
telah diuji Allah SWT dan dipersiapkan untuk menerima anugerah tersebut. Yakni,
anugerah ketakwaan yang telah diputuskan untuk diberikan kepada hati tersebut.
Melalui anugerah tersebut, maka diraih pula ampunan dan pahala yang
besar."
Tentang
orang-orang yang diuji hatinya untuk bertakwa, Ibnu Katsir mengutip surat Umar
bin al-Khaththab ra. yang diriwayatkan Imam Ahmad. Ketika itu ada sebuah surat
yang datang kepada Umar dan bertanya, "Wahai Amirul Mukmin, ada seseorang
yang tidak ingin berbuat maksiat dan dia sendiri tidak melakukannya. Apakah
orang itu lebih utama daripada seseorang yang begitu ingin melakukan
kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya?" Maka Umar ra. membalas
surat itu dengan mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang begitu ingin melakukan
kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya, “Mereka itulah orang-orang yang
diuji hati mereka oleh Allah SWT untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar.”
Kemudian Allah SWT berfirman: Lahum maghfirat[un] wa ajr[un] 'azhiim[un] (bagi mereka ampunan dan pahala yang besar). Ini
merupakan balasan lainnya yang akan diberikan kepada orang-orang yang
merendahkan suaranya di hadapan Nabi ﷺ. Balasan itu adalah maghfirah wa ajr 'azhiim.
Diterangkan
al-Thabari, frasa lahum maghfirat[un]
artinya, bagi mereka ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa mereka yang
terdahulu. Sedangkan frasa wa ajr[un]
'azhiim[un] berarti tsawaab[un]
jaziil[un] (pahala yang besar), yakni Surga.
Oleh karena itu, ayat ini memberikan janji balasan kebaikan bagi
orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah ﷺ.
Janji ini memberikan dorongan lebih kuat untuk melaksanakan perintah tersebut
setelah dalam ayat sebelumnya berisi ancaman orang yang mengerjakan sebaliknya,
yakni terhapusnya amal bagi orang-orang yang bersuara keras dan melebihi suara
Rasulullah ﷺ.
Menarik disimak penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauzi tentang ini. Dalam
kitabnya I'laam
al-Muwaqqi'iin berkata, "Apabila
mengeraskan suara mereka melebihi suara Rasulullah ﷺ
saja telah menjadi sebab bagi terhapusnya amal-amal mereka, lalu bagaimana
dengan tindakan yang mengedepankan dan meninggikan pendapat, akal, perasaan,
politik, dan pengetahuan mereka? Bukankan itu lebih pantas untuk menjadi
penghapus amal-amal mereka?" Semoga kita terhindar sikap lancang terhadap
Rasulullah ﷺ. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Di antara adab dengan Rasulullah ﷺ adalah merendahkan
suara di hadapan beliau.
2. Balasan
terhadap orang yang mengerjakan adab tersebut adalah:
(1) Hatinya
dibersihkan sehingga layak untuk menerima anugerah takwa.
(2)
Mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar