Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 20 Februari 2019

Mengambil Pelajaran Dari Bintang, Matahari, Bulan, Dan Pergantian Malam Dan Siang - TAFSIR al-Furqan: 61-62



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya (61); dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (TQS. al-Furqan: 61-62)

Tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT tergelar di alam semesta. Sejauh mata memandang, di sana terlihat tanda kebesaran-Nya. Tentu itu hanya akan berguna bagi orang-orang yang menggunakan akalnya dan menjadikannya sebagai pelajaran. Jika tidak, semua tanda kebesaran Allah SWT itu akan terlewat begitu saja. Tidak berguna bagi mereka.

Bintang, Matahari, dan Bulan

Allah SWT berfirman: Tabaaraka al-ladzii ja’ala fii al-samaa‘ buruuj[an] (Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang sikap kaum musyrikin ketika mereka diperintahkan untuk bersujud kepada al-Rahman. Mereka bukan saja tidak mau, namun melecehkan perintah tersebut. Mereka mempertanyakan siapa al-Rahman dan atas dasar apa mereka harus menaati perintah bersujud tersebut. Akibatnya, adanya perintah tersebut justru semakin menjauhkan mereka dari keimanan dan kebenaran.

Ayat ini kemudian mengingatkan tentang keagungan dan kebesaran Allah SWT dengan diawali kata tabaaraka. Diterangkan al-Samarqandi, kata tabaaraka merupakan kata yang dikhususkan. Tidak bisa dikatakan yatabaaraku (dalam bentuk mudhaari'), seperti halnya tidak dikatakan yata'aali. Tidak pula dikatakan mutabaarik[un]. Menurutnya, kata tabaaraka berarti dzuu barakah, yang memiliki barakah. Sedangkan makna al-barakah adalah katsrat al-khayr (banyak kebaikan). Yang dimaksud dengannya adalah Allah SWT.

Makna lain tabaaraka adalah taqaddasa (suci). Al-Thabari berkata, "Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan al-buruuj di langit." Dengan demikian, ayat ini diawali dengan pujian Allah SWT kepada diri-Nya Dzat Yang Maha Suci.

Sedangkan al-buruuj merupakan bentuk jamak dari kata al-burj. Artinya, al-qushuur (istana, benteng). Dalam konteks ayat ini, setidaknya ada dua penafsiran tentang makna al-buruuj.

Pertama, al-kawaakib al-‘izhaam (bintang yang paling besar). Ini dikatakan oleh Mujahid, Said bin Jubair, Abu Shalih, al-Hasan, dan Qatadah. Dikatakan al-Khazin, dinamakan al-buruuj karena terangnya.

Kedua, benteng di langit untuk penjagaan. Ini dikemukan oleh Ali, Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka'ab, Ibrahim al-Nakha'i, dan Sulaiman bin Mihran al A'masy. Demikian dikatakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Fakhruddin al-Razi berkata, ”Sedangkan al-buruuj adalah tempat edar bintang yang masyhur disebut sebagai al-buruuj. Yakni, benteng tinggi. Sebab, gugusan bintang itu seperti tempat tinggal bagi penghuninya.”

Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, itulah makna menurut orang Arab. Allah SWT berfirman: Walaw kuntum fiiburuuj[in] musyayyadat[in] (walaupun kamu berada di dalam benteng yang amat kokoh, TQS. al-Nisa' [4]: 78).

Sedangkan Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang pertama, yakni bintang yang paling besar. Meskipun demikian, menurutnya dua penafsiran tersebut digabung. Yakni, gugusan bintang yang paling besar adalah benteng untuk penjagaan. Pengertian ini sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” (Terjemah Qur'an Surat al-Mulk [67]: 5).

Kemudian Allah SWT berfirman: Waja'ala fiihaa siraaj[an] (dan Dia menjadikan juga padanya matahari). Di samping gugusan bintang, di langit juga dijadikan pula al-syams (matahari). Dalam ayat ini, matahari disifati kata siraaj. Menurut al-Asfahani, al-siraaj adalah al-zaahir (yang bersinar) dengan sumbu dan minyaknya. Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut semua benda yang bercahaya.

Bahwa matahari dijadikan Allah SWT sebagai pelita yang bercahaya -selain dalam ayat ini- hal tersebut juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan menjadikan matahari sebagai pelita” (TQS. Nuh [71]: 16). Juga firman Allah SWT: “Dan Kami jadikan pelita yang amat terang” (TQS. al-Naba’ [78]: 13). Yang dimaksud dengannya adalah matahari.

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Waqamar[an] muniir[an] (dan bulan yang bercahaya). Selain matahari, al-qamar atau bulan dijadikan muniir[an]. Artinya, mudhii’ (yang bercahaya). Allah SWT juga berfirman: “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya” (TQS. Nuh [71]: 16).

Menjadikan Siang dan Malam

Kemudian Allah SWT berfirman: Wahuwa al-ladzii ja'ala al-layl wa al-nahaar khilfat[an] (dan Dia [pula] yang menjadikan malam dan siang silih berganti). Menurut Abu Ubaidah, kata khilfah berarti segala sesuatu yang terjadi setelah sesuatu. Dan masing-masing antara malam dan siang saling menggantikan. Sedangkan menurut Mujahid, al-khilfah berarti al-khilaaf. Artinya, putih dan hitam. Setelah mengutip kedua penafsiran tersebut, Imam al-Qurthubi lebih memilih pendapat yang pertama.

Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari. Mufassir tersebut berkata, ”al-Khilfah adalah dua yang saling bergantian, yang ini datang, yang lain pergi. Allah SWT menjadikan keduanya (malam dan siang) bergantian bagi hamba-hamba-Nya.”

Kemudian ditegaskan: Liman araada an yudzdzakkara (bagi orang yang ingin mengambil pelajaran). Artinya, semua itu bisa menjadi bukti kebesaran Allah SWT bagi orang-orang mau mengambil pelajaran. Tentang maksud ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Dia telah menjadikan malam dan siang serta pergantian keduanya sebagai hujjah dan tanda bagi orang-orang yang hendak mengingat urusan Allah SWT, lalu kembali kepada kebenaran.”

Diterangkan al-Qurthubi, kata yaddakkaru bermakna yatadzakkaru (mengambil pelajaran). Sehingga dia mengetahui bahwa Allah SWT tidak menjadikan semua itu sia-sia. Sebab, semuanya adalah ciptaan Allah SWT. Maka, dia pun bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya, baik yang berupa akal, pikiran, maupun pemahaman.

Makna lain yang dapat diambil dari ayat ini diterangkan oleh Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, dan al-Hasan. Mereka berkata, "Sehingga barangsiapa yang ketinggalan melakukan kebaikan di malam hari, maka hendaknya dia melakukannya di waktu siang. Dan barangsiapa ketinggalan melakukannya pada siang hari, hendaknya dia melakukannya pada malam hari." Demikian kutip al-Qurthubi dalam tafsirnya.

Penafsiran tersebut didukung hadits. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seseorang yang biasa melakukan shalat di malam hari lalu teridur, kemudian melakukannya di waktu antara terbit matahari dan shalat Zhuhur, kecuali Allah SWT telah mencatat untuknya pahala shalatnya, dan tidurnya adalah hadiah” (HR. Abu Dawud).

Kemudian ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Aw araada syukuur[an] (atau orang yang ingin bersyukur). Artinya, orang yang ingin bersyukur kepada Allah atas pergantian siang dan malam itu. Demikian menurut al-Thabari. Al-Qurthubi juga berkata, "Syukur ini karena Allah SWT telah menjadikan keduanya kuat untuk mencari penghidupan mereka."

Demikianlah. Keberadaan gugusan bintang-bintang di langit, matahari dijadikan sebagai pelita, bulan yang dijadikan bercahaya, serta pergantian siang dan malam adalah di antara tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tak hanya itu, semuanya merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia. Dan hanya akan akan disadari oleh orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran atau orang-orang yang mau bersyukur kepada-Nya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Keberadaan gugusan bintang, matahari, dan bulan di langit serta pergantian malam dan siang merupakan bukti kebesaran Allah SWT.

2. Semua itu sekaligus merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia.

3. Semua bukti dan nikmat itu hanya berguna bagi orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran atau bersyukur kepada-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam