Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Maha Suci
Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga
padanya matahari dan bulan yang bercahaya (61); dan Dia (pula) yang menjadikan
malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau
orang yang ingin bersyukur.” (TQS. al-Furqan: 61-62)
Tanda-tanda
kebesaran dan keagungan Allah SWT tergelar di alam semesta. Sejauh mata
memandang, di sana terlihat tanda kebesaran-Nya. Tentu itu hanya akan berguna
bagi orang-orang yang menggunakan akalnya dan menjadikannya sebagai pelajaran.
Jika tidak, semua tanda kebesaran Allah SWT itu akan terlewat begitu saja.
Tidak berguna bagi mereka.
Bintang,
Matahari, dan Bulan
Allah SWT
berfirman: Tabaaraka al-ladzii ja’ala fii
al-samaa‘ buruuj[an] (Maha Suci Allah yang menjadikan di langit
gugusan-gugusan bintang). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang sikap kaum
musyrikin ketika mereka diperintahkan untuk bersujud kepada al-Rahman. Mereka
bukan saja tidak mau, namun melecehkan perintah tersebut. Mereka mempertanyakan
siapa al-Rahman dan atas dasar apa mereka harus menaati perintah bersujud
tersebut. Akibatnya, adanya perintah tersebut justru semakin menjauhkan mereka
dari keimanan dan kebenaran.
Ayat ini
kemudian mengingatkan tentang keagungan dan kebesaran Allah SWT dengan diawali
kata tabaaraka. Diterangkan
al-Samarqandi, kata tabaaraka merupakan
kata yang dikhususkan. Tidak bisa dikatakan yatabaaraku
(dalam bentuk mudhaari'), seperti halnya tidak dikatakan yata'aali. Tidak pula dikatakan mutabaarik[un]. Menurutnya, kata tabaaraka berarti dzuu barakah, yang memiliki barakah. Sedangkan makna al-barakah adalah katsrat al-khayr (banyak kebaikan). Yang dimaksud dengannya
adalah Allah SWT.
Makna lain tabaaraka adalah taqaddasa
(suci). Al-Thabari berkata, "Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan
al-buruuj di langit." Dengan demikian, ayat ini diawali dengan pujian
Allah SWT kepada diri-Nya Dzat Yang Maha Suci.
Sedangkan al-buruuj merupakan bentuk jamak dari kata al-burj. Artinya, al-qushuur (istana, benteng). Dalam konteks ayat ini, setidaknya
ada dua penafsiran tentang makna al-buruuj.
Pertama, al-kawaakib al-‘izhaam (bintang yang paling
besar). Ini dikatakan oleh Mujahid, Said bin Jubair, Abu Shalih, al-Hasan, dan
Qatadah. Dikatakan al-Khazin, dinamakan al-buruuj
karena terangnya.
Kedua,
benteng di langit untuk penjagaan. Ini dikemukan oleh Ali, Ibnu Abbas, Muhammad
bin Ka'ab, Ibrahim al-Nakha'i, dan Sulaiman bin Mihran al A'masy. Demikian
dikatakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Fakhruddin al-Razi berkata, ”Sedangkan al-buruuj adalah tempat edar bintang yang
masyhur disebut sebagai al-buruuj.
Yakni, benteng tinggi. Sebab, gugusan bintang itu seperti tempat tinggal bagi
penghuninya.”
Menurut
Ibnu Jarir al-Thabari, itulah makna menurut orang Arab. Allah SWT berfirman: Walaw kuntum fiiburuuj[in] musyayyadat[in]
(walaupun kamu berada di dalam benteng yang amat kokoh, TQS. al-Nisa' [4]: 78).
Sedangkan
Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang pertama, yakni bintang yang paling
besar. Meskipun demikian, menurutnya dua penafsiran tersebut digabung. Yakni,
gugusan bintang yang paling besar adalah benteng untuk penjagaan. Pengertian
ini sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya
Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan
bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” (Terjemah Qur'an Surat al-Mulk [67]: 5).
Kemudian
Allah SWT berfirman: Waja'ala fiihaa siraaj[an]
(dan Dia menjadikan juga padanya matahari). Di samping gugusan bintang, di
langit juga dijadikan pula al-syams
(matahari). Dalam ayat ini, matahari disifati kata siraaj. Menurut al-Asfahani, al-siraaj
adalah al-zaahir (yang bersinar) dengan
sumbu dan minyaknya. Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut semua
benda yang bercahaya.
Bahwa
matahari dijadikan Allah SWT sebagai pelita yang bercahaya -selain dalam ayat
ini- hal tersebut juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan menjadikan matahari sebagai pelita” (TQS.
Nuh [71]: 16). Juga firman Allah SWT: “Dan Kami
jadikan pelita yang amat terang” (TQS. al-Naba’ [78]: 13). Yang dimaksud
dengannya adalah matahari.
Lalu
dilanjutkan dengan firman-Nya: Waqamar[an]
muniir[an] (dan bulan yang bercahaya). Selain matahari, al-qamar atau bulan dijadikan muniir[an]. Artinya, mudhii’ (yang bercahaya). Allah SWT juga berfirman: “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya”
(TQS. Nuh [71]: 16).
Menjadikan
Siang dan Malam
Kemudian
Allah SWT berfirman: Wahuwa al-ladzii ja'ala
al-layl wa al-nahaar khilfat[an] (dan Dia [pula] yang menjadikan malam
dan siang silih berganti). Menurut Abu Ubaidah, kata khilfah berarti segala sesuatu yang terjadi setelah sesuatu. Dan
masing-masing antara malam dan siang saling menggantikan. Sedangkan menurut
Mujahid, al-khilfah berarti al-khilaaf. Artinya, putih dan hitam. Setelah
mengutip kedua penafsiran tersebut, Imam al-Qurthubi lebih memilih pendapat
yang pertama.
Pendapat
yang sama juga dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari. Mufassir tersebut berkata, ”al-Khilfah adalah dua yang saling bergantian,
yang ini datang, yang lain pergi. Allah SWT menjadikan keduanya (malam dan
siang) bergantian bagi hamba-hamba-Nya.”
Kemudian
ditegaskan: Liman araada an yudzdzakkara
(bagi orang yang ingin mengambil pelajaran). Artinya, semua itu bisa menjadi
bukti kebesaran Allah SWT bagi orang-orang mau mengambil pelajaran. Tentang
maksud ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Dia telah menjadikan malam dan
siang serta pergantian keduanya sebagai hujjah dan tanda bagi orang-orang yang
hendak mengingat urusan Allah SWT, lalu kembali kepada kebenaran.”
Diterangkan
al-Qurthubi, kata yaddakkaru bermakna yatadzakkaru (mengambil pelajaran). Sehingga
dia mengetahui bahwa Allah SWT tidak menjadikan semua itu sia-sia. Sebab,
semuanya adalah ciptaan Allah SWT. Maka, dia pun bersyukur kepada Allah SWT
atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya, baik yang berupa akal,
pikiran, maupun pemahaman.
Makna lain
yang dapat diambil dari ayat ini diterangkan oleh Umar bin al-Khaththab, Ibnu
Abbas, dan al-Hasan. Mereka berkata, "Sehingga barangsiapa yang
ketinggalan melakukan kebaikan di malam hari, maka hendaknya dia melakukannya
di waktu siang. Dan barangsiapa ketinggalan melakukannya pada siang hari,
hendaknya dia melakukannya pada malam hari." Demikian kutip al-Qurthubi
dalam tafsirnya.
Penafsiran tersebut didukung hadits. Rasulullah ﷺ
bersabda: “Tidaklah
seseorang yang biasa melakukan shalat di malam hari lalu teridur, kemudian
melakukannya di waktu antara terbit matahari dan shalat Zhuhur, kecuali Allah
SWT telah mencatat untuknya pahala shalatnya, dan tidurnya adalah hadiah” (HR. Abu Dawud).
Kemudian
ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Aw araada
syukuur[an] (atau orang yang ingin bersyukur). Artinya, orang yang ingin
bersyukur kepada Allah atas pergantian siang dan malam itu. Demikian menurut
al-Thabari. Al-Qurthubi juga berkata, "Syukur ini karena Allah SWT telah
menjadikan keduanya kuat untuk mencari penghidupan mereka."
Demikianlah.
Keberadaan gugusan bintang-bintang di langit, matahari dijadikan sebagai
pelita, bulan yang dijadikan bercahaya, serta pergantian siang dan malam adalah
di antara tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tak hanya itu,
semuanya merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia. Dan hanya akan akan
disadari oleh orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran atau
orang-orang yang mau bersyukur kepada-Nya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1.
Keberadaan gugusan bintang, matahari, dan bulan di langit serta pergantian
malam dan siang merupakan bukti kebesaran Allah SWT.
2. Semua
itu sekaligus merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia.
3. Semua
bukti dan nikmat itu hanya berguna bagi orang-orang yang mau menjadikannya
sebagai pelajaran atau bersyukur kepada-Nya.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar