Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 11 Juni 2018

Dalil Wali Qadha Hutang Puasa Wajibnya Orang Meninggal



Kedua: Mengqadha Puasa Orang yang Telah Meninggal

Thawus, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur, Ibnu Hazm, dan an-Nawawi berpendapat bahwa keluarga si mayit sangat dianjurkan untuk mengqadha puasa si mayit (berhukum mustahab).
Al-Laits bin Saad, Ishaq, dan Abu Ubaid membatasinya hanya pada puasa nadzar saja, tidak pada selainnya.
Abu Hanifah, Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa puasa si mayit tidak perlu diqadha, baik puasa nadzar atau puasa selainnya. Hal ini diceritakan pula oleh Ibnu al-Mundzir dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Aisyah ra., dan satu riwayat dari al-Hasan dan az-Zuhri.
An-Nawawi berkata: “Para ulama telah berbeda pendapat tentang orang yang meninggal dan memiliki kewajiban (membayar hutang) puasa Ramadhan, baik qadha, nadzar atau selainnya, apakah puasanya harus diqadha oleh seseorang? Dalam masalah ini as-Syafi’i memiliki dua pendapat yang masyhur yang paling terkenal adalah bahwa puasanya itu tidak perlu diganti, dan menurut asalnya puasa dari mayit itu tidak sah, dan pendapat yang kedua adalah bahwa wali si mayit dianjurkan untuk mengganti puasanya itu, dan puasa tersebut dipandang sah, sehingga dia telah membebaskan si mayit (dari kewajibannya) dan tidak perlu memberikan makanan mengganti puasanya itu. Pendapat ini adalah yang kami yakini sebagai pendapat yang shahih dan terpilih, dan pendapat ini telah dibenarkan oleh para pentahqiq dari kalangan sahabat kami yang berkompeten di bidang hadits dan fikih.”

Tirmidzi berkata: “Para ahli ilmu berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian mereka berkata puasa si mayit harus diganti, pendapat ini dilontarkan oleh Ahmad dan Ishaq. Keduanya berkata: jika si mayit memiliki nadzar puasa, maka puasanya itu harus digantikan oleh walinya, dan jika dia memiliki kewajiban mengqadha Ramadhan maka walinya harus memberikan makanan sebagai penggantinya. Malik, Sufyan dan as-Syafi'i berkata: seorangpun tidak bisa mengganti puasa seseorang yang lain.”

Agar kita bisa mendapatkan pendapat yang shahih, maka kami akan menyebutkan beberapa hadits terkait masalah ini, kemudian kami akan melakukan proses istinbath:

1. Dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mati sedangkan dia punya hutang puasa, maka walinya berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari [1952], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Al-Bazzar [1023] meriwayatkan hadits yang sama dengan tambahan kalimat in syaa-a: jika menghendaki.

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Seseorang telah datang menemui Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih memiliki hutang puasa sebulan, apakah aku harus menunaikan puasa menggantikannya?” Beliau Saw. berkata: “Ya, karena hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari [1953], Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan riwayat yang beragam, salah satunya disebutkan dalam redaksi:

“Seorang perempuan berkata kepada Nabi Saw.: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan dia masih memiliki hutang puasa nadzar.”

3. Dari Burairah ra., ia berkata:

“Ketika aku sedang duduk di samping Rasulullah Saw., tiba-tiba datang seorang perempuan dan berkata: “Sesungguhnya aku memberi sedekah jariyah kepada ibuku, padahal ibuku telah meninggal.” Dia berkata: maka Rasulullah Saw. bersabda: “Pahalanya telah tetap untukmu, dan sedekah itu akan dikembalikan kepadamu sebagai warisan.” Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku masih berhutang puasa satu bulan, apakah aku harus berpuasa menggantikannya?” Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah engkau mengganti puasanya.” Dia berkata: “Sesungguhnya ibuku belum pernah berhaji sama sekali, apakah aku harus berhaji menggantikannya?” Beliau Saw. berkata: “Berhajilah engkau menggantikannya.” (HR. Muslim [2697], Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

4. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa seorang perempuan menyeberangi lautan, lalu dia bernadzar seandainya Allah Swt. menyelamatkannya maka dia akan berpuasa sebulan. Lalu Allah Swt. menyelamatkannya dan dia belum sempat berpuasa hingga meninggal. Kemudian datang anak perempuan atau saudara perempuannya menemui Rasulullah Saw. Beliau Saw. memerintahkannya untuk berpuasa menggantikanya.” (HR. Abu Dawud [3308], an-Nasai, Ahmad, Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Khuzaimah dengan redaksi yang berbeda)

5. Dari Jabir bin Abdillah ra.:

“Bahwa seorang perempuan telah datang menemui Rasulullah Saw. dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan dia masih memiliki hutang nadzar puasa, lalu dia meninggal sebelum sempat menunaikannya.” Maka Rasulullah Saw. berkata: “Hendaklah walinya berpuasa menggantikannya.” (HR. Ibnu Majah [2133])

Dalam sanad haditsnya terdapat Abdullah bin Lahi’ah, padahal dia seorang dhaif. Hal ini dikatakan oleh pengarang az-Zawaid, tetapi para muhaditsin yang lain ada yang memasukkan hadits Abdullah bin Lahi'ah ini dalam wilayah hadits hasan.

6. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Seorang perempuan telah datang menemui Nabi Saw. dan berkata: “Sesungguhnya saudariku telah meninggal dan ia masih berhutang puasa dua bulan berturut-turut.” Maka Nabi Saw. berkata: “Tahukah engkau seandainya saudarimu itu memiliki hutang, apakah engkau akan menunaikannya?” Dia berkata: “Ya.” Maka Nabi Saw. bersabda: “Hak Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” (HR. Tirmidzi [712])

Tirmidzi berkata: hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Ibnu Khuzaimah.

Hadits pada poin lima adalah hadits dhaif menurut sebagian orang, dan hadits hasan menurut sebagian yang lain. Bagaimana pun juga hadits-hadits lainnya telah mencukupinya.

Hadits yang pertama dari Aisyah merupakan hadits shahih, berposisi tertinggi. Begitu pula hadits kedua dari Ibnu Abbas, karena kedua hadits tersebut telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan apa yang disepakati oleh dua syaikh ini tanpa ragu lagi adalah hadits shahih.

Hadits yang pertama menyebutkan:

“Barangsiapa yang mati sedangkan dia masih punya hutang puasa, maka walinya berpuasa menggantikannya.”

Sedangkan hadits yang kedua menyebutkan:

“Ya, karena hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan.”

Hadits yang pertama bersifat umum untuk setiap puasa, dan hadits yang kedua bersifat umum dalam satu riwayat, dan disebutkan untuk puasa nadzar dalam riwayat kedua, dan katakanlah bahwa hadits ini datang terkait dengan puasa nadzar.

Sedangkan hadits ketiga adalah hadits shahih yang berisi perintah untuk berpuasa menggantikan si mayit:

“Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah engkau mengganti puasanya.”

Ucapan ini berbentuk umum untuk segala jenis puasa, dan tidak benar mengkhususkannya hanya untuk puasa nadzar saja. Saya benar-benar telah menelusuri beberapa riwayat dari hadits ini dalam beberapa kitab hadits yang mu'tabar seluruhnya, dan saya tidak menemukan satupun riwayat yang memiliki isyarat apapun yang menunjukkannya sebagai puasa nadzar, sehingga hadits ini berbentuk umum untuk semua puasa sebagaimana hadits yang pertama.

Hadits yang keempat seperti hadits yang kedua, menyebutkan puasa nadzar dengan lafadz yang jelas.

Adapun hadits keenam secara khusus terkait dengan puasa kaffarat dengan dalil ucapan:

“Dan ia masih berhutang puasa dua bulan berturut-turut.”

Sehingga kalimat “berturut-turut” ini menjadi indikasi (qarinah) bahwa puasa dalam hadits tersebut adalah puasa kaffarat, tetapi masih ada kemungkinan yang sangat lemah jika puasa ini adalah puasa nadzar.

Hadits yang pertama dan ketiga datang dalam bentuk umum untuk semua puasa, hadits kedua dan keempat khusus terkait dengan puasa nadzar, sedangkan hadits yang keenam khusus terkait dengan puasa kaffarat, juga memiliki peluang terkait dengan puasa nadzar.
Lafadz hadits yang pertama dan ketiga berbentuk umum tentang mengqadha semua puasa, tetapi yang paling tampak dan paling masyhur adalah qadha puasa Ramadhan. Tidak pernah ditemukan ada sesuatu yang menasakh atau mentakhsis keduanya, sehingga kedua hadits ini tetap dalam keumumannya.

Lafadz hadits kedua dan keempat berbentuk khusus, terkait puasa nadzar, yakni mengqadha puasa nadzar, dan tidak ada nash yang menasakh atau memalingkan pada selain makna nadzar ini, sehingga lafadz kedua hadits ini tetap berbentuk khusus, dan boleh pula menyertakan hadits keenam dalam kategori ini (terkait dengan qadha puasa nadzar-pent.).
Sehingga bisa kami katakan bahwa jika seseorang meninggal, kemudian dia masih memiliki hutang puasa fardhu seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, ataukah puasa kaffarat, maka walinyalah yang berpuasa menggantikannya.
Perintah melakukannya disebutkan dalam mahkota hadits-hadits shahih (yakni hadits muttafaq 'alaih), dan tidak ada hadits shahih ataupun hasan yang menyelisihinya, sehingga perintah ini harus diamalkan dan dipegang. Orang yang telah mengetahuinya tidak boleh mengucapkan sesuatu yang menyalahinya karena alasan apapun.
Tidak ada hadits-hadits dhaif, perkataan sahabat, ataupun ijtihad ahli fikih yang mampu menasakh hukum syara yang telah terbukti tetap ini dengan kondisi dan alasan apapun.
Berdasarkan hal itu, maka sikap berpegang teguh pada nash dan atsar berikut, yang berisi ucapan yang menyalahi hukum ini, yang dilakukan oleh sebagian ahli fikih merupakan sikap yang batil. Dan ijtihad dalam perkara yang dijelaskan oleh syara adalah ijtihad yang tidak dibolehkan. Saya sodorkan kepada pembaca sekalian beberapa nash yang menjadi sandaran mereka:

a. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan kemudian dia meninggal dan belum berpuasa maka (walinya) harus memberikan makan atas namanya, dan tidak ada kewajiban qadha atasnya. Dan jika dia masih memiliki hutang nadzar maka walinya harus mengqadhanya. (Riwayat Abu Dawud [2401], ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan Abdurrazaq)

Bukhari meriwayatkan hadits ini secara mu'allaq. Abdul Haq dan Ibnu Hajar berkata: dalam masalah memberi makan (dari seorang yang telah meninggal) tidak ada sesuatu yang sah, yakni tidak ada satupun hadits marfu'.

b. Dari Ibnu Abbas ra.:

Seseorang tidak boleh berpuasa mengganti puasa yang lain, dan memberikan makan atas nama orang lain. (Riwayat al-Baihaqi [4/257])

An-Nasai meriwayatkan ini dalam kitab as-Sunan al-Kubra [2930] dengan lafadz:

Seseorang tidak boleh shalat mengganti shalat orang lain, dan tidak boleh puasa mengganti puasa orang lain, tetapi boleh memberi makan atas nama orang lain pada setiap hari 1 mud tepung gandum.

Az-Zaila’i berkata: hadits ini gharib tetapi marfu'.

c. Dari Ubadah bin Nusay, ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

Barangsiapa yang sakit dalam bulan Ramadhan, dan ia terus-menerus sakit hingga meninggal, maka tidak ada makanan yang diberikan atas namanya. Dan jika dia sembuh tetapi belum sempat membayarnya hingga meninggal, maka harus ada makanan yang diberikan atas namanya. (HR. Abdurrazaq [7635])
Di dalam sanadnya ada al-Hajjaj bin Arthah, dia seorang yang dhaif, juga ada al-Aslami di mana dia itu seorang pendusta (al-kadzdzab). Hal ini dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Hadits ini sangat dhaif.

d. Dari Malik, dia menerima kabar:

Bahwa Abdullah bin Umar pemah ditanya: Apakah seseorang boleh berpuasa mengganti puasa orang lain, ataukah seseorang boleh shalat mengganti shalat orang lain? Maka dia berkata: Seseorang tidak boleh berpuasa mengganti puasa orang lain, dan tidak boleh shalat mengganti shalat orang lain. (Riwayat Imam Malik [1/256])

e. Dari Ibnu Abbas ra.:

Jika seseorang yang masih berhutang puasa meninggal dunia dan dia belum sempat sembuh sebelum matinya, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya, dan jika pernah sembuh maka makanan harus diberikan atas namanya setiap hari sebanyak setengah sha tepung gandum. (Riwayat Ibnu Hazm [7/7] dan ia menshahihkannya)

Diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq dan ad-Daruquthni.

f. Dari Umar bin al-Khattab ra., ia berkata:

Jika seorang lelaki meninggal dunia sedangkan ia masih punya hutang puasa Ramadhan yang terakhir, maka makanan harus diberikan atas namanya dari setiap harinya sebanyak setengah sha' tepung gandum. (Riwayat Abdurrazaq [7644] dan Ibnu Hazm)

g. Dari Maimun bin Mihran, dari Ibnu Abbas ra.:

Dia ditanya tentang seseorang yang meninggal dunia padahal dia masih punya hutang puasa Ramadhan dan puasa satu bulan? Maka Ibnu Abbas berkata: Makanan diberikan atas namanya untuk puasa Ramadhan, dan puasa dilakukan walinya untuk puasa nadzarnya. (Riwayat Ibnu Hazm [7/ 7] dan ia menshahihkannya)

h. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia masih berhutang puasa satu bulan, maka hendaklah makanan diberikan atas namanya untuk setiap harinya pada seorang miskin. (HR. Ibnu Majah [1757] dan Tirmidzi)
Tirmidzi berkata: kami tidak mengetahui hadits yang marfu' kecuali dari jalur ini, dan sebenarnya hadits dari Ibnu Umar ini bersifat mauquf.

Adapun hadits (c) adalah hadits yang sangat dhaif, sehingga harus ditinggalkan. Hadits (h) kemarfu'annya tidak benar, yang benar, hadits ini berasal dari ucapan Ibnu Umar sendiri, sehingga tidak ada satupun hadits Nabi dalam rangkaian dalil di atas, semuanya hanya atsar atau berupa ucapan sahabat.

Seperti sudah diketahui bahwa ucapan sahabat itu tidak menjadi dalil syara, terlebih lagi bila harus menasakh atau menyalahi hadits-hadits Nabi.
Maka saya katakan: sesungguhnya atsar-atsar ini tidak layak kalau harus dihadapkan dengan hadits-hadits Nabi yang telah kami sebutkan, sehingga secara otomatis seluruh atsar ini harus ditinggalkan.
Selain itu, atsar-atsar ini tidak diriwayatkan oleh as-Syaikhani (Bukhari dan Muslim), baik secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri, sehingga derajat sanadnya sangat jauh dibawah hadits-hadits kami di atas.
Al-Baihaqi berkata: “Hadits-hadits marfu' yang paling shahih sanadnya dan paling terkenal perawinya telah dituturkan oleh pengarang dua kitab Shahih, seandainya as-Syafi’i mengetahui semua jalurnya dan keunggulannya, niscaya dia tidak akan menyalahinya, insya Allah.” Al-Baihaqi menambahkan, dialah yang meriwayatkan atsar Ibnu Abbas: “Aku mengetahui sebagian teman kami mendhaifkan hadits Ibnu Abbas ini...”, sehingga atsar-atsar seperti ini tidak memiliki kekuatan apapun di hadapan hadits-hadits shahih kami yang memerintahkan berpuasa menggantikan puasa si mayit.
Ibnu Abbas sendiri meriwayatkan hadits-hadits shahih yang menyebutkan adanya qadha puasa si mayit (hadits nomor 2, 4 dan 6), maka bagaimana bisa ada ucapan yang menyalahi hadits-hadits tersebut dalam bentuk atsar (nomor 1, 2, 5 dan 7)? Apakah seseorang yang adil bisa membenarkan bahwa Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa yang menyalahi ucapan Rasulullah Saw. yang diriwayatkannya sendiri?

Adapun atsar Malik pada nomor (d) sanadnya itu munqathi’ atau mu’dlal, di mana dia berkata: “Telah sampai kabar kepadanya bahwa Abdullah bin Umar ditanya”, dan Malik tidak menyebutkan orang yang menyampaikan kabar itu, atau beberapa orang yang meriwayatkan perkataan Ibnu Umar sampai kepadanya, sehingga hadits ini berstatus dhaif, yang tidak boleh dijadikan sebagai hujjah.

Yang tersisa sekarang dari atsar-atsar tersebut adalah ucapan tentang memberikan makanan (al-ith’am), di mana pernyataan tentang al-ith'am ini telah dinukil dari Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, dan Ibnu Abbas ra., sehingga sebagian ahli fikih (al-fuqaha) menyangka bahwa ucapan ini mengabaikan dan menafikan pernyataan tentang qadha. Padahal sangkaan seperti itu sama sekali tidak benar, di mana pernyataan tentang memberi makan ini disebutkan seperti halnya pernyataan tentang qadha, sehingga keduanya bersifat pilihan.
Jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa, maka boleh bagi walinya untuk berpuasa mengganti puasanya, dan boleh juga memberi makan atas namanya sebagai pengganti puasanya. Jadi, puasa (as-shiyam) dan memberi makan (al-ith'am), keduanya boleh dilakukan, dan tidak saling bertentangan. Inilah pendapat yang kami nyatakan.
Kami katakan pula bahwa sang wali boleh berpuasa mengganti puasa si mayit, bahkan sangat dianjurkan melakukan hal itu. Boleh pula memberi makan atas nama si mayit sebagai pengganti qadha. Perkara ini bersifat pilihan, antara mengqadha dengan memberi makan, sehingga ucapan tentang al-ith'am (memberi makan) dalam riwayat yang berasal dari Umar, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak menyalahi hadits-hadits Nabi yang terbukti memerintahkan qadha.

Berdasarkan paparan tadi kami katakan: jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa Ramadhan, puasa nadzar atau kaffarat, maka walinya boleh berpuasa mengganti puasanya, dan boleh juga memberi makan atas namanya. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah, Malik dan jumhur ulama “bahwa si mayit itu tidak boleh diganti puasanya, baik puasa nadzar atau selainnya” adalah pendapat yang tidak benar dan dibatalkan oleh hadits-hadits Nabi yang shahih yang menyatakan kebolehannya.

Saya tidak perlu menyebutkan terlalu panjang lebar membahas pendapat orang-orang yang meneliti hadits-hadits yang memerintahkan qadha, di mana mereka menakwilkan hadits-hadits tersebut dengan ucapannya: “sesungguhnya maksud dari qadha itu adalah bahwa si walinya harus memberi makan atas namanya.” Ini adalah takwil yang sangat lemah sekali, bahkan terkategorikan takwil yang batil yang tidak layak untuk diucapkan.

Mengenai klaim ulama Malikiyah bahwa dalam hadits-hadits puasa mengganti puasa si mayit ini terdapat kekacauan (idhthirab), maka ini pun pendapat yang tidak benar karena tidak ada kekacauan sama sekali dalam hadits-hadits ini, di mana berbagai ikhtilaf (perbedaan) di dalam hadits-hadits tersebut masih mungkin untuk dikompromikan, sehingga idhthirab (kekacauan) itu sesuatu, sedangkan ikhtilaf (perbedaan) itu sesuatu yang lain.

Tinggallah kini ucapan al-Laits, Ahmad, lshaq, Abu Ubaid yang membatasi qadha itu hanya untuk puasa nadzar. Maka saya katakan sebagai berikut: kebolehan mengqadha puasa nadzar (dibandingkan dengan memberi makan) itu disebutkan dalam beberapa hadits shahih. Ini adalah pendapat yang benar. Tetapi membatasi qadha pada puasa nadzar saja merupakan pendapat yang keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan karena upaya mereka berusaha membawa hadits-hadits yang menyebutkan qadha secara umum pada hadits-hadits yang menyebutkan puasa nadzar, sehingga akhirnya mereka mengeluarkan pendapat seperti itu.

Pendapat yang benar adalah bahwa hadits-hadits yang menyebutkan qadha dalam bentuk umum ini tidak dapat ditakhsis ataupun ditaqyid oleh hadits-hadits yang menyebutkan qadha dalam puasa nadzar, karena hadits-hadits yang memerintahkan mengqadha puasa nadzar itu tidak datang sebagai pentakhsis hadits-hadits yang menyebutkan qadha secara umum. Hal itu semata-mata hanya datang dan menyebutkan salah satu dari beberapa kondisi qadha, yakni hanya menyebutkan salah satu bentuk dari sesuatu yang masih umum, dan tidak datang sebagai pentakhsis. Dengan demikian, puasa mengganti puasa si mayit adalah dibolehkan. Ini merupakan pernyataan yang bersifat umum (qaulun ’am), dan dari puasa yang masih dalam bentuk umum ini terdapat puasa mengganti puasa nadzar. Dari sesuatu yang masih umum ini terdapat puasa mengganti puasa kaffarat, sehingga terdapat perbedaan antara menyebutkan satu-persatu bagian dari yang umum (tafshil) dengan pengkhususan sesuatu yang umum ini (takhsis).
Ibnu Hajar berkata: al-Laits, Ahmad, lshaq dan Abu Ubaid berkata: tidak diganti puasanya kecuali puasa nadzar, sebagai bentuk memahami keumuman puasa dalam hadits Aisyah menurut puasa yang telah ditaqyid yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas. Di antara keduanya tidak ada pertentangan sehingga bisa dikompromikan, di mana hadits Ibnu Abbas merupakan gambaran terpisah yang ditanyakan orang yang mengalaminya, sedangkan hadits Aisyah merupakan penetapan kaidah yang bersifat umum, di mana ditemukan isyarat keumuman seperti itu dalam hadits Ibnu Abbas, sebagaimana dikatakan di akhir haditsnya:

“Karena hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan.”

Dengan demikian, jelas bahwa pendapat yang membatasi qadha puasa si mayit hanya untuk puasa nadzar saja adalah pendapat yang salah. Yang benar adalah menetapkan keumuman dan kemutlakan tersebut untuk semua jenis puasa.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam