Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 18 Mei 2018

Dalil Waktu I’tikaf



Kapan I'tikaf Dilaksanakan?

I’tikaf itu sah dilaksanakan pada hari atau malam apa saja sepanjang tahun tanpa kecuali, karena nash-nash yang ada tidak menyebutkan satu pembatasan (taqyid) atau pengkhususan apapun (takhsis).
Malahan nash-nash tersebut datang dalam bentuk mutlak tanpa taqyid, dan umum tanpa takhsis.
Apa yang disebutkan, seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tiada lain hanya menjelaskan keutamaan dan sunahnya saja, tidak sebagai satu syarat yang sifatnya wajib.
Sekarang kita beranjak menelaah nash-nash berikut terkait masalah ini guna mengistinbath hukumnya:

1. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari [2025], Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

2. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. biasa beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun diwafatkannya, beliau Saw. beri'tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari [2044], Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan ad-Darimi)

3. Dari Ummu Salamah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. beri'tikaf di tahun pertama di sepuluh hari pertama, kemudian beri'tikaf di sepuluh hari pertengahan, lalu beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Dan beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi melihat lailatul qadar di dalamnya, lalu aku dibuatnya lupa. Rasulullah Saw. senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir hingga wafat.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [23/994])

Al-Haitsami berkata: sanadnya hasan. Sebelumnya hadits ini telah kami cantumkan dalam bab “Qiyam Ramadhan dan Lailatul Qadar.”

4. Dari Amrah binti Abdirrahman, dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah meminta pada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat hal itu maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah ruangan baginya. Aisyah berkata: adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai shalat beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka berkata: “Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab.” Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini? Aku tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka (berhari raya) beliau Saw. beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Sepuluh hari dari bulan Syawal, maksudnya adalah sepuluh hari pertama, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim [2285], Abu Dawud dan al-Baihaqi dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw., jika hendak beri’tikaf beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu). Kemudian memasuki tempat i'tikafnya dan menyuruh dibuatkan kemah. Lalu dibuatlah kemah itu. Ketika itu beliau Saw. hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian Zainab menyuruh agar dibuatkan kemah, maka dibuatlah kemah itu. Dan isteri-isteri Nabi yang lain memerintahkan untuk dibuatkan kemah, maka dibuatlah kemah itu. Ketika Rasulullah Saw. telah selesai melaksanakan shalat subuh, beliau Saw. melihat ternyata ada banyak kemah, maka beliau Saw. bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?” Lalu beliau Saw. memerintahkan agar kemahnya dirobohkan dan meninggalkan i’tikaf pada bulan Ramadhan, hingga akhirnya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Syawal.”

Al-Khiba artinya tempat yang terbuat dari wol bulu domba yang sudah ditenun, yang ditegakkan di atas dua atau tiga buah tiang. Jika ditegakkan di atas empat tiang atau lebih, disebut al-bait. Tetapi menurut riwayat Bukhari, sepuluh hari bulan Syawal itu adalah sepuluh hari terakhir. Diriwayatkan oleh Bukhari [2041] dari jalur Aisyah ra., ia berkata:

“Ketika beliau Saw. pulang dari shalat subuh, beliau Saw. melihat empat kemah, maka beliau bertanya: “Apa ini?” Lalu beliau Saw. diberitahu perihal isteri-isterinya, maka beliau Saw. berkata: “Apa yang'menyebabkan mereka melakukan hal ini, apakah kebaikan? Bongkarlah kemah-kemah itu agar aku tidak melihatnya.” Kemudian kemah itu pun dibongkar, dan beliau Saw. tidak beri'tikaf pada bulan Ramadhan hingga akhirnya beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Syawal.”

5. Dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Umar bertanya kepada Nabi Saw. Dia berkata. Aku pernah bernadzar di masa jahiliyah akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram? Beliau Saw. berkata: “Penuhilah nadzarmu.” (HR-. Bukhari [2032], ana Nasai, Abu Dawud dan ad-Daruquthni)

Dalam riwayat Bukhari yang kedua [2042] dari jalur yang sama, disebutkan dengan lafadz:

“Maka Nabi Saw. berkata kepadanya: “Penuhilah nadzarmu.” Umar kemudian beri'tikaf semalam.”

Dari nash-nash ini tampak jelas apa yang kami nyatakan di awal pembahasan, bahwa i'tikaf itu sah dilakukan pada hari apa saja sepanjang tahun.
Penyebutan nash-nash tentang i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, semata-mata untuk menunjukkan keutamaan dan kemanduban hal itu, tidak lebih.
Hal ini karena hadits yang kedua dan hadits ketiga telah menyebutkan selain sepuluh hari terakhir.
Hadits kedua menyebutkan dua puluh hari, dan dalam hadits ketiga disebutkan sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, lalu sepuluh hari terakhir.
Tetapi hadits keempat lebih jelas lagi dilalahnya, membolehkan i'tikaf pada selain sepuluh hari terakhir, bahkan pada selain Ramadhan.
Selain itu, Rasulullah Saw. telah melakukan i'tikaf pada bulan Syawal walaupun diperselisihkan oleh beberapa riwayat. Satu riwayat menyebutkan sepuluh hari pertama Syawal, sedangkan yang lain menyebutkan sepuluh hari terakhir Syawal. Namun, kedua riwayat ini menunjukkan bahwa i'tikaf itu boleh dilakukan pada selain bulan Ramadhan.
Adapun hadits kelima menjadi nash yang lebih mutlak lagi, karena i'tikaf yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak dibatasi oleh waktu apapun, sehingga menjadi dalil yang lebih tegas lagi tentang bolehnya i'tikaf di hari apa saja sepanjang tahun.

Sekali lagi saya ingin menyatakan bahwa i'tikaf pada bulan Ramadhan itu lebih utama daripada selainnya, dan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan menjadi i'tikaf paling utama.

Keutamaan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir tiada lain karena bertepatan dengan upaya mencari lailatul qadar, dan pahala serta keutamaannya yang tak ternilai yang bisa diraih seorang Muslim.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam