Kapan I'tikaf Dilaksanakan?
I’tikaf itu sah
dilaksanakan pada hari atau malam apa saja sepanjang tahun tanpa kecuali,
karena nash-nash yang ada tidak menyebutkan satu pembatasan (taqyid) atau
pengkhususan apapun (takhsis).
Malahan nash-nash
tersebut datang dalam bentuk mutlak tanpa taqyid, dan umum tanpa takhsis.
Apa yang disebutkan,
seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tiada lain hanya menjelaskan
keutamaan dan sunahnya saja, tidak sebagai satu syarat yang sifatnya wajib.
Sekarang kita beranjak
menelaah nash-nash berikut terkait masalah ini guna mengistinbath hukumnya:
1. Dari
Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw. biasa
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari [2025],
Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
2. Dari
Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. biasa
beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun
diwafatkannya, beliau Saw. beri'tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari
[2044], Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan ad-Darimi)
3. Dari
Ummu Salamah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
beri'tikaf di tahun pertama di sepuluh hari pertama, kemudian beri'tikaf di
sepuluh hari pertengahan, lalu beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Dan beliau
Saw. berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi melihat lailatul
qadar di dalamnya, lalu aku dibuatnya lupa. Rasulullah Saw. senantiasa
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir hingga wafat.” (HR. at-Thabrani dalam
kitab al-Mu’jam al-Kabir [23/994])
Al-Haitsami berkata:
sanadnya hasan. Sebelumnya hadits ini telah kami cantumkan dalam bab “Qiyam
Ramadhan dan Lailatul Qadar.”
4. Dari
Amrah binti Abdirrahman, dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu
Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah
meminta pada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab
binti Jahsy melihat hal itu maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah
ruangan baginya. Aisyah berkata: adalah Rasulullah Saw. jika telah selesai
shalat beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat
ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka
berkata: “Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab.” Maka Rasulullah Saw.
bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini?
Aku tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka
(berhari raya) beliau Saw. beri’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR.
Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Sepuluh hari dari
bulan Syawal, maksudnya adalah sepuluh hari pertama, sebagaimana disebutkan
dalam riwayat Muslim [2285], Abu Dawud dan al-Baihaqi dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw., jika hendak beri’tikaf beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih
dahulu). Kemudian memasuki tempat i'tikafnya dan menyuruh dibuatkan kemah. Lalu
dibuatlah kemah itu. Ketika itu beliau Saw. hendak beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan. Kemudian Zainab menyuruh agar dibuatkan kemah, maka
dibuatlah kemah itu. Dan isteri-isteri Nabi yang lain memerintahkan untuk
dibuatkan kemah, maka dibuatlah kemah itu. Ketika Rasulullah Saw. telah selesai
melaksanakan shalat subuh, beliau Saw. melihat ternyata ada banyak kemah, maka
beliau Saw. bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?” Lalu beliau Saw.
memerintahkan agar kemahnya dirobohkan dan meninggalkan i’tikaf pada bulan
Ramadhan, hingga akhirnya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan
Syawal.”
Al-Khiba artinya
tempat yang terbuat dari wol bulu domba yang sudah ditenun, yang ditegakkan di
atas dua atau tiga buah tiang. Jika ditegakkan di atas empat tiang atau lebih,
disebut al-bait. Tetapi menurut riwayat Bukhari, sepuluh hari bulan Syawal itu adalah
sepuluh hari terakhir. Diriwayatkan oleh Bukhari [2041] dari jalur Aisyah ra.,
ia berkata:
“Ketika beliau Saw.
pulang dari shalat subuh, beliau Saw. melihat empat kemah, maka beliau
bertanya: “Apa ini?” Lalu beliau Saw. diberitahu perihal isteri-isterinya, maka
beliau Saw. berkata: “Apa yang'menyebabkan mereka melakukan hal ini, apakah
kebaikan? Bongkarlah kemah-kemah itu agar aku tidak melihatnya.” Kemudian kemah
itu pun dibongkar, dan beliau Saw. tidak beri'tikaf pada bulan Ramadhan hingga
akhirnya beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Syawal.”
5. Dari
Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Umar bertanya
kepada Nabi Saw. Dia berkata. Aku pernah bernadzar di masa jahiliyah akan
beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram? Beliau Saw. berkata: “Penuhilah
nadzarmu.” (HR-. Bukhari [2032], ana Nasai, Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
Dalam riwayat Bukhari
yang kedua [2042] dari jalur yang sama, disebutkan dengan lafadz:
“Maka Nabi Saw.
berkata kepadanya: “Penuhilah nadzarmu.” Umar kemudian beri'tikaf semalam.”
Dari nash-nash ini
tampak jelas apa yang kami nyatakan di awal pembahasan, bahwa i'tikaf itu sah dilakukan pada
hari apa saja sepanjang tahun.
Penyebutan nash-nash
tentang i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, semata-mata
untuk menunjukkan keutamaan dan kemanduban
hal itu, tidak lebih.
Hal ini karena hadits
yang kedua dan hadits ketiga telah menyebutkan selain sepuluh hari terakhir.
Hadits kedua
menyebutkan dua puluh hari, dan dalam hadits ketiga disebutkan sepuluh hari
pertama, sepuluh hari kedua, lalu sepuluh hari terakhir.
Tetapi hadits keempat
lebih jelas lagi dilalahnya, membolehkan
i'tikaf pada selain sepuluh hari terakhir, bahkan pada selain Ramadhan.
Selain itu, Rasulullah
Saw. telah melakukan i'tikaf pada bulan Syawal walaupun diperselisihkan oleh
beberapa riwayat. Satu riwayat menyebutkan sepuluh hari pertama Syawal,
sedangkan yang lain menyebutkan sepuluh hari terakhir Syawal. Namun, kedua
riwayat ini menunjukkan bahwa i'tikaf itu boleh dilakukan pada selain bulan
Ramadhan.
Adapun hadits kelima
menjadi nash yang lebih mutlak lagi, karena i'tikaf yang disebutkan dalam
hadits tersebut tidak dibatasi oleh waktu apapun, sehingga menjadi dalil yang
lebih tegas lagi tentang bolehnya i'tikaf di hari apa saja sepanjang tahun.
Sekali lagi saya ingin
menyatakan bahwa i'tikaf pada bulan Ramadhan itu lebih utama daripada
selainnya, dan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan menjadi
i'tikaf paling utama.
Keutamaan i'tikaf pada
sepuluh hari terakhir tiada lain karena bertepatan dengan upaya mencari lailatul qadar, dan pahala serta keutamaannya
yang tak ternilai yang bisa diraih seorang Muslim.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar