Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 19 Mei 2018

Dalil Kapan Mulai Masuk Beri’tikaf Di Masjid



Kapan I'tikaf Dimulai?

Yang kami maksud adalah saat-saat ketika sang mu'takif (orang yang beri'tikaf) memasuki tempat i'tikafnya. Para ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan waktu dimulainya i'tikaf:
Ishaq bin Rahuwaih dan al-Auza'i, serta al-Laits dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, berpendapat bahwa seseorang jika akan beri'tikaf hendaknya shalat subuh terlebih dahulu, kemudian memasuki tempat i'tikafnya.
Sedangkan yang lain, di antaranya imam yang tiga, dan Ahmad dalam riwayatnya yang kedua berpendapat bahwa seseorang jika akan beri'tikaf hendaknya memasuki tempat i'tikafnya sebelum terbenamnya matahari. Tirmidzi berkata: sebagian ahli ilmu menyatakan: jika seseorang hendak beri'tikaf maka hendaknya dia shalat subuh, kemudian memasuki tempat i'tikafnya. Ini merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Ibrahim. Sebagian lagi berpendapat: jika seseorang ingin beri'tikaf hendaknya ketika matahari sudah terbenam dia sudah duduk di tempat i'tikafnya. Ini merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri dan Malik bin Anas.

Kelompok pertama berargumentasi dengan hadits Aisyah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan akulah yang membuatkan kemah untuknya. Lalu beliau Saw. shalat subuh, kemudian memasukinya.” (HR. Bukhari [2033])

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim [2785], an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dengan lafadz:

“Adalah Rasulullah Saw., jika hendak beri'tikaf beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu), kemudian memasuki tempat i'tikafnya.”

Adapun kelompok lain, yakni tiga imam dan Ahmad dalam riwayat keduanya, mereka mengatakan: sang mu'takif memasuki tempat i'tikafnya sebelum terbenamnya matahari jika ingin beri'tikaf satu bulan, atau beri'tikaf sepuluh hari. Mereka menakwilkan hadits Aisyah bahwa Nabi Saw. memasuki tempat i'tikaf, menyendiri atau berkhalwat seorang diri setelah shalat subuh, dan beliau Saw. beri'tikaf dengan berdiam diri di masjid sebelum terbenamnya matahari. As-Syafi'i berkata dalam kitab al-Umm: Barangsiapa yang mengharuskan dirinya beri'tikaf sebulan maka dia harus memulai i’tikafnya sebelum terbenamnya matahari, dan keluar darinya setelah terbenamnya matahari di akhir bulan.

Dengan meneliti kedua pendapat ini, kita akan mendapati peluang mengkompromikannya. Pendapat kelompok yang menyatakan wajibya seorang mu'takif ke tempat i'tikaf sebelum matahari terbenam dibatasi dengan kondisi ketika sang mu'takif ingin menentukan satu hari, sepuluh hari, atau sebulan untuk waktu i'tikafnya. Dan kaum Muslim menghitung masuknya suatu hari dengan datangnya malam terlebih dahulu, sehingga awal hari (al-yaum) atau awal bulan itu -menurut kaum Muslim- tidak ragu lagi adalah dengan datangnya malam, sehingga ketika mereka mewajibkan sang mu'takif memasuki tempat i'tikaf sebelum terbenamnya matahari dari hari yang mendahuluinya, itu merupakan pendapat yang shahih. Saya tidak menduga kelompok pertama akan menyalahi pendapat ini. Perbedaan hakiki sebenarnya ketika mereka bersandarkan pada perbuatan Rasulullah Saw.: apakah beliau Saw. memulai i'tikafnya di permulaan malam, atau setelah shalat subuh?

Pendapat yang benar -yang harus dipegang- adalah bahwa Rasulullah Saw. memulai i'tikaf setelah shalat subuh. Hal ini telah disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut sehingga tidak ada hujjah bagi pihak yang menyelisihinya dengan melakukan berbagai penakwilan yang terlalu jauh.
Hadits ini menyebutkan secara jelas:

“Beliau Saw. shalat subuh, kemudian memasukinya.”

Dan menyatakan:

“Apabila hendak beri'tikaf, beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu), kemudian memasuki tempat i'tikafnya.”

Ini adalah pernyataan yang jelas-jelas diucapkan, bahwa awal i'tikaf itu setelah shalat fajar, sehingga tidak bisa ditakwil lagi dengan sesuatu yang tidak ditunjukinya.
Jika hadits ini memiliki redaksi misalnya:

“Apabila telah shalat subuh, beliau kembali ke tempat i’tikafnya.”

Atau:

“Kemudian beliau Saw. shalat subuh mengimami kaum Muslim, setelah itu masuk kembali ke tempat i’tikafnya.”

Maka bisa saja menjadi dalil yang memperkuat pengakuan mereka. Tetapi ternyata tidak seperti itu redaksinya, bahkan dengan tegas dinyatakan:

“Apabila hendak beri’tikaf, beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu), kemudian memasuki tempat i’tikafnya.”

Sehingga maknanya harus dipahami seperti itu dan tidak boleh diselisihi dengan berbagai penakwilan yang jauh.

Saya perlu tegaskan: pemaparan yang telah lalu tidak boleh dipahami bahwa i'tikaf itu tidak sah dimulainya kecuali setelah shalat subuh, atau beberapa saat sebelum terbenam matahari. Yang benar, i'tikaf itu sah dimulai setelah shalat subuh, atau sebelum terbenam matahari. Juga sah dimulai kapanpun dari malam atau siang. Pemaparan tadi dan dalil-dalil yang kami diskusikan, semata-mata hanya untuk membantah pendapat para imam dan fukaha serta istidlal yang mereka lakukan, tidak lain.
Kesimpulan pembahasan tadi adalah: ketika Rasulullah Saw. biasa beri'tikaf setelah shalat fajar, tidak menunjukkan bahwa hal itu bersifat mewajibkan atau menjadi syarat, karena tidak ada dalil dan qarinah yang menunjukkan bahwa hal tersebut diharuskan.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam