Kapan I'tikaf Dimulai?
Yang kami maksud
adalah saat-saat ketika sang mu'takif (orang yang beri'tikaf) memasuki tempat
i'tikafnya. Para ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan waktu dimulainya
i'tikaf:
Ishaq bin Rahuwaih dan
al-Auza'i, serta al-Laits dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, berpendapat
bahwa seseorang jika akan beri'tikaf hendaknya shalat subuh terlebih dahulu,
kemudian memasuki tempat i'tikafnya.
Sedangkan yang lain,
di antaranya imam yang tiga, dan Ahmad dalam riwayatnya yang kedua berpendapat
bahwa seseorang jika akan beri'tikaf hendaknya memasuki tempat i'tikafnya
sebelum terbenamnya matahari. Tirmidzi berkata: sebagian ahli ilmu menyatakan:
jika seseorang hendak beri'tikaf maka hendaknya dia shalat subuh, kemudian
memasuki tempat i'tikafnya. Ini merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ishaq
bin Ibrahim. Sebagian lagi berpendapat: jika seseorang ingin beri'tikaf
hendaknya ketika matahari sudah terbenam dia sudah duduk di tempat i'tikafnya.
Ini merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri dan Malik bin Anas.
Kelompok pertama
berargumentasi dengan hadits Aisyah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. biasa
beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan akulah yang
membuatkan kemah untuknya. Lalu beliau Saw. shalat subuh, kemudian
memasukinya.” (HR. Bukhari [2033])
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Muslim [2785], an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad
dengan lafadz:
“Adalah Rasulullah
Saw., jika hendak beri'tikaf beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih
dahulu), kemudian memasuki tempat i'tikafnya.”
Adapun kelompok lain,
yakni tiga imam dan Ahmad dalam riwayat keduanya, mereka mengatakan: sang
mu'takif memasuki tempat i'tikafnya sebelum terbenamnya matahari jika ingin
beri'tikaf satu bulan, atau beri'tikaf sepuluh hari. Mereka menakwilkan hadits
Aisyah bahwa Nabi Saw. memasuki tempat i'tikaf, menyendiri atau berkhalwat seorang diri setelah shalat subuh, dan
beliau Saw. beri'tikaf dengan berdiam diri di masjid sebelum terbenamnya
matahari. As-Syafi'i berkata dalam kitab al-Umm:
Barangsiapa yang mengharuskan dirinya beri'tikaf sebulan maka dia harus memulai
i’tikafnya sebelum terbenamnya matahari, dan keluar darinya setelah terbenamnya
matahari di akhir bulan.
Dengan meneliti kedua
pendapat ini, kita akan mendapati peluang mengkompromikannya. Pendapat kelompok
yang menyatakan wajibya seorang mu'takif ke tempat i'tikaf sebelum matahari
terbenam dibatasi dengan kondisi ketika sang mu'takif ingin menentukan satu hari,
sepuluh hari, atau sebulan untuk waktu i'tikafnya. Dan kaum Muslim menghitung
masuknya suatu hari dengan datangnya malam terlebih dahulu, sehingga awal hari
(al-yaum) atau awal bulan itu -menurut kaum Muslim- tidak ragu lagi adalah
dengan datangnya malam, sehingga ketika mereka mewajibkan sang mu'takif
memasuki tempat i'tikaf sebelum terbenamnya matahari dari hari yang
mendahuluinya, itu merupakan pendapat yang shahih. Saya tidak menduga kelompok
pertama akan menyalahi pendapat ini. Perbedaan hakiki sebenarnya ketika mereka
bersandarkan pada perbuatan Rasulullah Saw.: apakah beliau Saw. memulai
i'tikafnya di permulaan malam, atau setelah shalat subuh?
Pendapat yang benar
-yang harus dipegang- adalah bahwa Rasulullah Saw. memulai i'tikaf setelah
shalat subuh. Hal ini telah disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut
sehingga tidak ada hujjah bagi pihak yang menyelisihinya dengan melakukan
berbagai penakwilan yang terlalu jauh.
Hadits ini menyebutkan
secara jelas:
“Beliau Saw. shalat
subuh, kemudian memasukinya.”
Dan menyatakan:
“Apabila hendak
beri'tikaf, beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu), kemudian
memasuki tempat i'tikafnya.”
Ini adalah pernyataan
yang jelas-jelas diucapkan, bahwa awal i'tikaf itu setelah shalat fajar,
sehingga tidak bisa ditakwil lagi dengan sesuatu yang tidak ditunjukinya.
Jika hadits ini
memiliki redaksi misalnya:
“Apabila telah shalat
subuh, beliau kembali ke tempat i’tikafnya.”
Atau:
“Kemudian beliau Saw.
shalat subuh mengimami kaum Muslim, setelah itu masuk kembali ke tempat
i’tikafnya.”
Maka bisa saja menjadi
dalil yang memperkuat pengakuan mereka. Tetapi ternyata tidak seperti itu
redaksinya, bahkan dengan tegas dinyatakan:
“Apabila hendak
beri’tikaf, beliau Saw. melaksanakan shalat subuh (terlebih dahulu), kemudian
memasuki tempat i’tikafnya.”
Sehingga maknanya
harus dipahami seperti itu dan tidak boleh diselisihi dengan berbagai
penakwilan yang jauh.
Saya perlu tegaskan:
pemaparan yang telah lalu tidak boleh dipahami bahwa i'tikaf itu tidak sah
dimulainya kecuali setelah shalat subuh, atau beberapa saat sebelum terbenam
matahari. Yang benar, i'tikaf
itu sah dimulai setelah shalat subuh, atau sebelum terbenam matahari. Juga sah
dimulai kapanpun dari malam atau siang. Pemaparan tadi dan dalil-dalil
yang kami diskusikan, semata-mata hanya untuk membantah pendapat para imam dan
fukaha serta istidlal yang mereka lakukan, tidak lain.
Kesimpulan pembahasan
tadi adalah: ketika
Rasulullah Saw. biasa beri'tikaf setelah shalat fajar, tidak menunjukkan bahwa
hal itu bersifat mewajibkan atau menjadi syarat, karena tidak ada dalil dan qarinah yang menunjukkan bahwa hal
tersebut diharuskan.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar