Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 21 Mei 2018

Dalil Aturan Dalam I’tikaf



Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan oleh Mu’takif

Para ulama bersepakat bahwa seseorang yang beri’tikaf (mu’takif) di dalam masjid, boleh keluar untuk memenuhi hajat yang harus ditunaikannya, yakni buang air kecil (al-baul), buang air besar (al-gaith), muntah (al-qai), mandi (al-ightisal) dan wudhu, serta berbagai perbuatan lain yang serupa. Jika mu’takif melakukan beberapa perbuatan tadi, maka i’tikafnya tidak batal.
Tetapi mereka berbeda pendapat terkait perbuatan selain yang disebutkan tadi. At-Tsauri, as-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu riwayat, berpendapat bahwa sang mu’takif boleh keluar untuk menengok orang sakit dan menshalatkan jenazah jika dia telah mensyaratkannya di awal i’tikafnya, baik i'tikaf wajib -seperti i’tikaf nadzar- ataupun yang tidak wajib. Ishaq bersepakat dengan mereka dalam hal i'tikaf sunat, sedangkan dalam i'tikaf yang wajib, maka menurutnya hal itu tidak boleh dilakukan.
Malik dan al-Auza’i berkata: dalam i'tikaf itu tidak ada syarat apapun. Said bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, an-Nakha'i dan Ahmad dalam satu riwayat menyatakan bahwa sang mu’takif boleh menjenguk orang sakit dan menghantarkan jenazah. Mereka tidak mengaitkan hal itu dengan syarat sebelumnya. Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Ali ra.
Ibnu Hazm berkata: seluruh kewajiban bagi seorang Muslim tidak bisa dihalangi oleh i'tikaf, dan ia harus keluar menunaikannya, tindakan seperti itu tidak berdampak apapun bagi i'tikafnya. Pendapat yang senada dengan Ibnu Hazm dilontarkan oleh Ibnu Qudamah: dia boleh keluar untuk melakukan sesuatu yang diwajibkan Allah Swt. Ibnu Qudamah membolehkan sang mu’takif keluar untuk mendapatkan makanan dan minuman -jika tidak ada orang yang menghantarkannya-.
Abu Hanifah, Malik dan as-Syafi’i berkata: sang mu’takif tidak boleh keluar secara mutlak. Jika dia keluar maka i’tikafnya batal, walaupun hanya sebentar. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, yang keduanya adalah murid Abu Hanifah berkata: i'tikafnya tidak rusak, kecuali jika dia keluar hingga setengah hari, karena keluar sebentar itu dimaafkan.

Mereka juga berbeda pendapat terkait keluarnya sang mu’takif untuk menghadiri shalat Jum’at, jika i'tikafnya itu dilaksanakan di masjid yang tidak diperuntukkan untuk shalat Jumat. Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa dia boleh keluar menghadiri shalat Jumat, dan i’tikafnya tidak batal. Sedangkan as-Syafi'i memiliki dua pendapat, yang paling shahih sebagai pendapatnya adalah: i'tikafnya batal jika dia keluar untuk shalat Jumat, kecuali jika dia telah mensyaratkannya sebelumnya, kemudian dia melanjutkan kembali i'tikafnya.

Mengenai aktivitas di dalam tempat Ftikaf, yakni di dalam masjid, mayoritas fukaha bersepakat bahwa sang mu’takif tidak boleh berjual-beli dan melakukan pekerjaan apapun sama sekali. As-Syafi'i berkata: seseorang yang beri'tikaf tidak apa-apa berjual-beli dan menjahit bajunya. Ibnu Qudamah telah menukil perkataan dari Ahmad: tidak boleh berjual-beli kecuali sesuatu yang diharuskan untuknya.

Pendapat yang benar yang layak jadi pegangan adalah bahwa orang yang beri'tikaf boleh keluar untuk hajat yang harus dipenuhinya, tanpa batasan apapun, baik yang disyaratkan sebelumnya ataupun tidak, semua itu tidak merusak i'tikafnya.
Kami tidak perlu merinci kebutuhan primer yang wajib itu, karena sifatnya tidak tetap, berbeda antara satu orang dengan yang lain, dan satu waktu ke waktu lain, sehingga kalau sang mu’takif keluar di hari yang dingin untuk mendapatkan baju penghangatnya, atau keluar pada hari yang panas untuk mengambil kipasnya, maka hal itu boleh baginya dan tidak merusak i'tikafnya. Tentu saja sang mu'takif boleh keluar untuk menghadiri shalat Jum’at, dan i'tikafnya itu tidak batal. Bahkan jika datang kabar bahwa anaknya mengalami kecelakaan dan perlu segera dibawa ke rumah sakit, maka dia boleh keluar untuk urusan itu, dan hal itu pun tidak membatalkan i'tikafnya. Begitu seterusnya. Namun, apabila sang mu'takif keluar dari masjid, tanpa keperluan sama sekali, maka tidak ragu lagi hal itu membatalkan i'tikafnya.

Terkait perbuatan di dalam masjid, semua perbuatan yang dilarang dikerjakan di dalam masjid maka sang mu’takif pun dilarang melakukannya, dan apa yang tidak dilarang di dalamnya maka sang mu’takif boleh melakukannya, tanpa mempengaruhi keabsahan i'tikafnya. Kami katakan bahwa pendapat ini tidak perlu lagi merinci perbuatan yang dibolehkan itu satu persatu, karena terlalu banyak untuk dihitung dan dituliskan dalam satu atau dua lembar kertas. Inilah sejumlah nash yang terkait dengan masalah tersebut:

1. Firman Allah Swt.:

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)

2. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau Saw. sedang beri'tikaf dalam masjid, kemudian aku menyisirnya, padahal aku sedang haid.” (HR. Bukhari [2028], Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan lafadz yang berbeda-beda)

3. Dari Aisyah ra.:

“Apabila Rasulullah Saw. menyodorkan kepalanya kepadaku dan beliau Saw. berada di dalam masjid, maka aku menyisir rambutnya, dan baliau Saw. tidak suka masuk rumah kecuali karena (ada) keperluan jika beliau Saw. sedang beri'tikaf.” (HR. Bukhari [2029], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad dan Tirmidzi)

4. Dari Ali bin al-Husain bahwa Shafiyah isteri Nabi Saw. telah mengabarinya:

“Bahwa dia telah datang kepada Rasulullah Saw. untuk mengunjunginya ketika beliau Saw. sedang beri'tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lalu dia berbicara dengannya beberapa saat, kemudian berdiri dan berbalik hendak pulang. Lalu Nabi Saw. berdiri menghantarnya.” (HR. Bukhari [2035], Muslim, Abu Dawud, anNasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

5. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. menjenguk seseorang yang sakit, padahal beliau Saw. sedang beri'tikaf. Lalu beliau Saw. menjenguk seperti biasa dan tidak berhenti menanyainya.” (HR. Abu Dawud [2472] dan al-Baihaqi)
Hadits ini dhaif.

6. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Sungguh aku memasuki rumah karena suatu keperluan dan ada orang sakit di dalamnya. Aku tidak menanyainya, aku hanya lewat. Dia berkata: “Rasulullah Saw. tidak biasa masuk rumah kecuali karena satu keperluan, itu jika mereka sedang beri'tikaf.” (HR. Ibnu Majah [1776], Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah dengan lafadz yang berbeda-beda)

7. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Sunah bagi orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri pemakaman jenazah, dan tidak menyentuh (menyetubuhi) perempuan, dan dia tidak boleh keluar karena suatu keperluan kecuali yang memang diharuskannya. Dan tidak ada i'tikaf kecuali dengan puasa, dan tidak ada i'tikaf kecuali di masjid jami'.” (Riwayat Abu Dawud [2473])
Ini atsar pendapat Aisyah.

Dalam menafsirkan ayat pada poin pertama, telah dinukil dari Abdullah bin Abbas ra., ia berkata:

Al-Mubasyarah, al-mulamasah, dan al-massu bermakna jima' seluruhnya, tetapi Allah azza wa jalla menyebut sesuatu dengan sesuatu yang dikehendakinya.” (Riwayat al-Baihaqi)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “Di mana I'tikaf Dilaksanakan?”
Ibnu al-Mundzir menukil kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan al-mubasyarah dalam ayat tersebut adalah jima' (bersetubuh).

Hadits dalam poin kedua, seperti hadits poin ketiga, keduanya memiliki pengertian bahwa sang mu'takif boleh menjulurkan kepalanya keluar masjid untuk dirapikan dan disisir. Dalam salah satu riwayat yang ditakhrij Bukhari [2031], disebutkan: “lalu aku mencucinya, padahal aku sedang haid,” yang menunjukkan bolehnya mandi untuk bersuci, merapikan dan membaguskan penampilan dengan cara menyisir rambut dan sebagainya.

Hadits ketiga memiliki dilalah yang jelas tentang bolehnya sang mu'takif keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Para ulama bersepakat bahwa kebutuhan di sini adalah buang air kecil, buang air besar, dan yang sejenisnya.

Adapun hadits keempat menunjukkan bahwa sang mu'takif boleh menyambut tamunya, berbincang-bincang dengan mereka, dan berjalan melepas kepulangan mereka. Maka ucapan: “lalu beliau Saw. berdiri bersamanya melepas kepulangannya”, memiliki pengertian bahwa beliau Saw. berjalan menyertai kepergian Hafshah dari sisinya.

Hadits kelima yang diriwayatkan Abu Dawud, di dalamnya terdapat Laits bin Abi Salim, yang didhaifkan oleh Ahmad, Yahya bin Said, Abu Hatim, Ibnu Ma'in, Ibnu al-Madini, dan selainnya, sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Tentang hadits keenam, menunjukkan bolehnya sang mu'takif keluar untuk memenuhi hajatnya, dan hajat tersebut telah ditafsirkan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri sebagai buang air kecil (al-baul) dan buang air besar (al-ghaith). Ibnu Hajar berkata: para ulama bersepakat untuk mengecualikan dua perkara tersebut, tetapi mereka berbeda pendapat terkait perbuatan yang lainnya.

Hadits ketujuh, Abu Dawud -setelah meriwayatkan hadits ini- berkata: selain Abdurrahman bin Ishaq tidak ada yang mengatakan di dalamnya: “dia (Aisyah) berkata: adalah sunah.” Abu Dawud berkata: yang menjadikannya sebagai perkataan Aisyah. Ad-Daruquthni berkata: kalimat adalah sunah bagi sang mu'takif hingga (teks) terakhir, bukan perkataan Nabi Saw. Ini adalah ucapan az-Zuhri, dan siapa yang menyisipkannya dalam hadits ini tidak diketahui secara pasti, Allah Swt. yang lebih tahu, dan Hisyam bin Sulaiman tidak menyebutkan kalimat seperti itu. Dengan demikian, hadits ini tidak lebih dari sekedar ucapan Aisyah ra., dan ucapan Aisyah bukanlah dalil syara’ yang tidak wajib kita pegang, terlebih lagi sahabat-sahabat selainnya telah memfatwakan sesuatu yang bertolak belakang dengan ucapannya ini.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan ucapan dari Ali ra.: “Jika seorang laki-laki beri’tikaf maka hendaklah dia menghadiri (shalat) Jumat, menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman jenazah, mendatangi keluarganya, dan meminta mereka memenuhi keperluannya, dan dia dipandang tetap beri'tikaf.”
Perkataan sahabat itu, jika berbeda-beda dan bertentangan, maka hal itu menunjukkan bahwa semuanya berasal dari pemahaman dan ijtihad mereka, yang tidak harus kita pegang. Kita memang boleh bertaklid kepada mereka, sehingga siapa saja boleh bertaklid kepada Aisyah atau kepada Ali, dalam perkara tersebut.

Menurut saya, pendapat yang benar adalah bahwa menjenguk orang sakit dan menghadiri pemakaman jenazah bukan termasuk keperluan yang sangat penting dan wajib, yang menuntut sang mu'takif keluar meninggalkan tempat i'tikafnya. Kedua aktivitas tadi adalah perbuatan-perbuatan yang disunahkan (al-mandubat) saja, sehingga sesuatu yang mandub tidak menjadikan sang mu'takif boleh keluar meninggalkan tempat i'tikafnya.

Mengenai perbuatan apa saja yang dilarang dilakukan di dalam masjid, maka kami persilakan kepada para pembaca untuk menelaah kembali kitab saya “al-Jami li Ahkam as-Shalat” juz dua, pembahasan “Adab Masjid” bab kedua.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam