Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 21 Mei 2018

Dalil Hadits Amal Sunah I’tikaf Oleh Perempuan



I'tikaf Kaum Wanita

Hal ini disebutkan dalam hadits-hadits berikut:

1. Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hingga Allah Swt. mewafatkannya. Kemudian isteri-isterinya beri'tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari [2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

Sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “Hukum I'tikaf” pada poin pertama.

2. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Telah beri’tikaf bersama Rasulullah Saw. seorang isterinya yang sedang beristihadhah (bukan haid), kemudian dia melihat darah berwarna merah dan kuning, sehingga kadangkala kami meletakkan wadah di bawahnya ketika wanita tersebut shalat.” (HR. Bukhari [2037], Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam riwayat Bukhari yang kedua [309] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:

“Bahwa Nabi Saw. telah beri'tikaf bersama sebagian isteri-isterinya, dan salah seorang isterinya sedang beristihadhah. Isterinya itu melihat darah, dan mungkin sampai meletakkan wadah di bawahnya untuk menampung darah.”

3. Dari Amrah binti Abdirrahman, dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menyebutkan akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu Aisyah meminta izin dari beliau dan beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah meminta kepada Aisyah untuk mengizinkannya, dan ia pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat hal itu, maka dia memerintahkan untuk dibuatkan sebuah ruangan baginya. Aisyah berkata: Adalah Rasulullah Saw., jika telah selesai shalat, beliau kembali menuju ruangannya, lalu beliau Saw. melihat ruangan-ruangan tersebut, kemudian beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka berkata: Ini adalah ruangan Aisyah, Hafshah dan Zainab. Maka Rasulullah Saw. bertanya: “Apakah kebaikan yang mereka inginkan dengan melakukan seperti ini? Aku tidak jadi beri'tikaf.” Kemudian beliau Saw. pulang. Ketika telah berbuka (berhari raya), beliau Saw. beri'tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Bukhari [2045], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan “Hukum I'tikaf” poin empat.

Ketiga nash ini menunjukkan kebolehan kaum wanita melakukan i'tikaf, dan tentu saja di tempat yang terpisah dengan kaum lelaki di dalam masjid.
Hadits yang ketiga menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh beri'tikaf sehingga meminta izin kepada suaminya. Jika dia (wanita tersebut) beri'tikaf tanpa izin suaminya maka sang suami berhak menyuruhnya keluar. Dan kalaupun sang wanita itu beri'tikaf seizin suaminya, maka sang suami tetap berhak untuk menarik kembali izinnya dan melarangnya beri'tikaf. Pendapat inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama, dan pendapat inilah yang shahih. Sebab, hukum i'tikaf itu mandub. Seandainya wajib bagi seorang isteri, tentu sang suami tidak boleh dan tidak berhak melarangnya. Dengan demikian, pendapat ahlur ra'yi keliru, yang mengatakan: jika sang suami telah mengizinkannya beri'tikaf, kemudian melarangnya maka sang suami berdosa. Ini adalah salah satu pendapat Malik juga.

Para ulama Hanafiyah menetapkan syarat sahnya i'tikaf seorang wanita adalah harus dilakukan di masjid rumahnya. Ini adalah pendapat yang dibantah hadits nomor 3.
Ahmad telah berkata dalam satu riwayat darinya: bahwa seorang wanita berhak i'tikaf di masjid bersama suaminya. Ini adalah pendapat yang tidak diperselisihkan oleh siapapun, dan pendapatnya ini tidak disebutkan dalam bentuk syarat, seperti: seorang wanita berhak i'tikaf di masjid, dengan syarat bersama suaminya. Jika ucapan tersebut diungkapkan dalam bentuk syarat seperti itu, maka jelas keliru dan tidak memiliki dalil, karena hadits yang ketiga pun telah membantahnya juga, di mana isteri-isteri Rasulullah Saw. telah membuat kemah khusus untuk diri mereka masing-masing.
Hadits pertama telah menyebutkan: “Kemudian isteri-isterinya beri’tikaf setelahnya.” Artinya, mereka masing-masing beri'tikaf tanpa suaminya, yaitu Rasulullah Saw.
Adapun hadits kedua, maka ungkapkan tersuratnya (al-manthuq) menunjukkan bahwa seorang wanita yang sedang beristihadhah -yaitu yang darahnya mengalir dari kemaluannya disebabkan oleh sakit (bukan haid)- boleh melakukan i'tikaf, dan disertakan juga ke dalam kategori ini adalah orang yang da'imul hadats (orang yang buang air kecil terus-menerus), orang yang memiliki luka bernanah yang terus mengalir, dengan syarat tidak sampai menajisi masjid.

Pada masa kita sekarang ini, aktivitas i'tikaf kaum wanita sudah atau hampir tidak dilakukan lagi. Kita tidak melihat lagi kaum wanita beri'tikaf, bahkan kaum laki-laki pun hampir tidak melakukannya lagi. Kita juga tidak bisa lagi menyaksikan hal itu secara gamblang kecuali pada malam-malam datangnya lailatul qadar saja. Yang ada hanya i'tikaf singkat, dalam waktu satu atau dua jam, yakni berdiam di dalam masjid dengan niat i'tikaf, dan ini yang terus berlangsung atau terus ada karena mudahnya. Saya perlu sampaikan bahwa seorang wanita itu berposisi sebagai isteri, atau dia memiliki anak-anak yang masih kecil yang memerlukan pelayanan, sehingga pelayanan terhadap suami atau anak-anak tidak dapat terlaksana tanpa dirinya, maka (dalam kondisi demikian) meninggalkan i'tikaf itu menjadi ketetapan bagi dirinya, dan i'tikafnya menjadi tidak boleh. Ini disebabkan apabila sesuatu yang wajib berbenturan dengan sesuatu yang mandub (sunat), maka yang didahulukan adalah melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang mandub. Dalam kasus ini, tidak ragu lagi bahwa berkhidmat (melayani) suami dan anak-anak itu hukumnya adalah wajib bagi seorang wanita, sehingga aktivitas inilah yang lebih didahulukan daripada i’tikafnya yang bersifat mandub.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam