Jangka Waktu Beri’tikaf
Para imam dan ahli
fikih bersepakat bahwa tidak ada batas waktu maksimal untuk iktikaf, tetapi
mereka berbeda pendapat terkait batas waktu minimalnya.
Hanafiyah berpendapat
bahwa waktu minimal i'tikaf adalah sehari.
Malikiyah berkata:
sehari semalam.
As-Syafi'i, Ahmad dan
Ishaq bin Rahuwaih berkata: waktu minimal adalah waktu yang bisa disebut
berdiam diri, tidak disyaratkan duduk di dalamnya. Pendapat terakhir inilah
yang benar, sedangkan yang selainnya merupakan penetapan hukum dan pembatasan
tanpa dalil syariat, karena tidak ada satu nash pun yang menetapkan jangka
waktu i'tikaf, lama ataupun singkatnya, sehingga perkara tersebut tetap dalam
kemutlakannya tanpa ada taqyid apapun.
Apa yang disebutkan
dalam beberapa hadits bahwa Rasulullah Saw. telah beri'tikaf sepuluh hari bulan
Ramadhan, atau Syawal, atau telah beri'tikaf dua puluh hari, semua itu tidak
lebih sebagai realita terindera yang tidak mengharuskan kita menetapinya, serta
tidak layak dijadikan sebagai taqyid.
Bukhari [2032], Abu
Dawud, an-Nasai, dan ad-Daruquthni telah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Umar bertanya
kepada Nabi saw. Dia berkata: “Aku pernah bernadzar di masa jahiliyah akan
beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Beliau Saw. berkata: “Penuhilah
nadzarmu.”
Dalam riwayat Bukhari
yang kedua [2042] dari jalur yang sama disebutkan dengan lafadz:
“Maka Nabi Saw.
berkata kepadanya: “Penuhilah nadzarmu.” Umar pun kemudian beri’tikaf semalam.”
Ini menjadi dalil
shahih yang membantah pendapat Hanafiyah bahwa batas minimal waktu i'tikaf itu
sehari (yauman), di mana sehari itu (al-yaum) adalah terdiri dari waktu siang
(an-nahar) dan malam (al-lail). Sekaligus membantah pendapat Malikiyah yang mengatakan
waktu minimal i’tikaf itu satu hari satu malam. Walaupun begitu kami katakan
bahwa nash ini tidak berfungsi menetapkan batas minimal waktu i'tikaf selama
semalam. Nash tersebut semata-mata sekedar menceritakan sesuatu yang lain
sebagai realita terindera saja.
Ibnu Abi Syaibah
[4/501] telah meriwayatkan dari Ya'la bin Umayyah ra. bahwa dia berkata pada
temannya:
“Berangkatlah engkau
bersama kami ke masjid, kita beri'tikaf di sana sesaat.”
Abdurrazaq [8006] dan
Ibnu Hazm meriwayatkan darinya:
“Sesungguhnya aku
berdiam diri di masjid sesaat, aku tidak berdiam diri kecuali untuk
beri'tikaf.”
ini merupakan atsar
yang layak didengar.
Karena itu saya
katakan: i'tikaf itu tidak
ditentukan batas waktunya. Jadi, i'tikaf boleh dilakukan sebulan, dua bulan, dan juga sah
dilakukan sejam atau dua jam. Jika demikian halnya, maka i'tikaf sah
dimulai di waktu pagi, waktu zhuhur atau setelah shalat ashar, juga sah
dilakukan setelah shalat isya atau setelah shalat subuh, tanpa masalah dan
tanpa halangan apapun dari syariat.
Kita tidak perlu
berpegang pada pendapat kelompok yang mengatakan bahwa waktu i'tikaf itu harus
dimulai sebelum terbenamnya matahari saja, atau pendapat yang lain bahwa waktu
i'tikaf itu harus dimulai setelah shalat subuh saja.
I'tikaf sebagaimana
telah kami definisikan sebelumnya adalah: “Berdiam diri di masjid sejenak dalam
kondisi (shifat) yang dikhususkan, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah
Swt. (at-taqarrub ilallah)." Ini adalah definisi yang jelas, yang memutlakkan
jangka waktu i'tikaf tanpa taqyid apapun.
Di sini saya akan
mengutip pernyataan Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla:
Abu Hanifah berkata: i'tikaf tidak boleh dilakukan kurang dari satu hari. Malik
berkata: tidak ada i'tikaf yang dilakukan kurang dari satu hari satu malam
kemudian kembali pulang, dan dia berkata: tidak ada i'tikaf yang kurang dari
sepuluh malam. Juga dinyatakannya: tidak ada i'tikaf yang kurang dari tujuh
malam, dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya. Semua ini adalah pendapat yang
tidak berdalil. Benarlah perkataan Ibnu Hazm, bahwa semua pendapat ini adalah
pendapat yang tidak berdalil.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar